7 Hadits Sebagai Dalil Sunnah Paling Jelas Tentang Bahaya Riba

Yakinlah bahwa segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta’ala Yang Maha Tahu, pasti mengandung mudharat dan keburukan di dalamnya, oleh karenanya mesti dijauhi karena terkandung maksud kebaikan di baliknya. Diantara banyaknya perkara yang dilarang, amalan riba menjadi salah satunya.

Praktek ribawi merupakan dosa besar yang merusak, akibat yang ditimbulkan adalah merusak dan menghancurkan tatanan kehidupan muamalah di antara manusia. Namun sayang sekali, praktek riba telah menjamur di masyarakat, bahkan ada anggapan mustahil bagi kita untuk menuntaskan praktek ribawi secara tuntas.

Praktek Riba hukumnya haram berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Bahkan seluruh agama samawi selain Islam pun mengharamkannya.

Disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika engkau meminjamkan harta kepada salah seorang dari kalangan bangsaku, janganlah engkau bersikap seperti rentenir dan janganlah engkau mengambil keuntungan dari piutangmu.”
(Safarul Khuruj pasal 22 ayat 25; dinukil dari Fiqhus Sunnah, 3/130)

Dalam Perjanjian Baru juga disebutkan, “Jika kalian memberikan pinjaman kepada orang yang kalian harapkan imbalan darinya, maka keutamaan apakah yang akan kalian peroleh? Lakukanlah kebajikan dan berilah pinjaman tanpa mengharapkan adanya imbalan sehingga kalian memperoleh pahala yang besar.”
(Injil Lukas pasal 6 ayat 34-35; dinukil dari Fiqhus Sunnah, 3/131).

Cukuplah bagi kita tuntunan Dari Allah Yang Maha Tahu Lagi Maha Bijaksana, dalam firmanNya;

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. al-Baqarah: 275)

Imam Nawawi rahimahullah pernah berkata (yang artinya), “Kaum Muslimin telah sepakat akan haramnya riba. Riba itu termasuk kabair (dosa-dosa besar). Ada yang mengatakan bahwa riba diharamkan dalam semua syari’at (Nabi-Nabi), di antara yang menyatakannya adalah al-Mawardi”.
(lihat al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 9/391)

Dari sudut pandang yang lain, riba adalah satu bentuk kezhaliman, sedangkan keadilan yang terkandung dalam syari’at yang adil tentunya mengharamkan kezhaliman.

Jika ada yang berkata, “Bagaimana bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezhaliman padahal mereka yang berhutang, ridha terhadap bentuk muamalah ribawi ini?”

Maka di antara jawabannya adalah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya bentuk kezhaliman dalam bentuk muamalah ribawi sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil. (Karena) sesungguhnya kewajiban bagi orang yang menghutangi adalah memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan untuk melunasi hutangnya, bukan malahan meminta imbalan lebih, bahkan memakai syarat-syarat yang menyusahakan bagi yang berhutang. Petunjuk ini terkandung dalam firman Allah Ta’ala;

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(QS. Al Baqarah: 280).

2. Jika terdapat tambahan dalam transaksi hutang tersebut lalu diambil, maka hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan mengambil harta orang lain tanpa hak. Yang patut diperhatikan pula, bahwa seluruh hamba di bawah aturan syariat, mereka tidak boleh ridha terhadap sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah Yang Maha Mulia. Oleh karenanya, ridha dari pihak yang berhutang terhadap transaksi ribawi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek ribawi.

3. jika diteliti lebih lanjut dengan penuh kejujuran, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridha terhadap transaksi ribawi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak menuruti dan mengikuti bentuk mu’amalah ini, mereka akan memenjarakan dan melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk mu’amalah yang lain. Maka secara lisan (dirinya) menyatakan ridha, namun sebenarnya dirinya tidaklah ridha, karena seorang yang berakal sehat tentunya tidak akan ridha hutangnya dinaikkan tanpa ada manfaat yang dia peroleh, apatah lagi dia yang meminjam sedang dalam kesusahan saat itu.
(lihat penjelasannya dalam Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 10, juga dalam kitab Taudhihul Ahkam 4/367).

Berikut ini kami pilihkan hadits-hadits tentang bahaya riba, dan ngerinya dosa yang akan di pikul pelaku riba;

Pertama, Riba Termasuk dalam 7 dosa yang membinasakan

7 dosa yang amat besar dikhususkan nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam , Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah itu?”
Beliau menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”.

(HR. al-Bukhari, no. 3456; Muslim, no. 2669)

Kedua, Pelaku Riba terlaknat

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”,
dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mereka itu sama.”
(HR. Muslim, no. 4177).

Ketiga, Pelaku riba di antara indikasi bahwa pelakunya berhak mendapatkan azab di dunia

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله

“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.”
(HR. Al Hakim 2/37, beliau menshahihkannya dan disetujui oleh Adz Dzahabi).

Keempat, Dosa riba yang paling ringan seperti menzinai ibu kandung sendiri

Dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

“Riba itu ada tujuh puluh dosa. Yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri.”
(HR. Ibnu Majah, no. 2274. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Kelima, Keberkahan harta hilang, walau riba terus bertambah banyak

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Riba membuat sesuatu jadi bertambah banyak. Namun ujungnya riba makin membuat sedikit (sedikit jumlah, maupun sedikit berkah, -pen.).”
(HR. Ibnu Majah, no. 2279; Al-Hakim, 2/37. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Keenam, Pelaku riba dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :”إِيَّايَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ: الْغُلُولُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا يَتَخَبَّطُ”, ثُمَّ قَرَأَ: “الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ”

Dari sahabat ‘Auf bin Malik, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jauhilah dosa-dosa yang tidak terampuni: ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi; khianat; korupsi). Barangsiapa melakukan ghulul terhadap sesuatu barang, dia akan membawanya pada hari kiamat.

Dan pemakan riba. Barangsiapa memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, berjalan sempoyongan.”
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat yang artinya), “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
(lihat al-Baqarah:275). (HR. Thabrani di dalam Mu’jamul Kabir, no. 14537; al-Khatib dalam at-Tarikh. Dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 3313).

Ketujuh, Pelaku riba di neraka dengan hukuman berenang di sungai darah sambil diganjal mulutnya dengan batu

Dari sahabat mulia Samurah bin Jundub radhiallahu ’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam menuturkan keadaan pelaku riba di neraka,

فَأَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ – حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ – أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ ، وَإِذَا فِى النَّهَرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهَرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً ، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَأْتِى ذَلِكَ الَّذِى قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا فَيَنْطَلِقُ يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ ، كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ فَغَرَ لَهُ فَاهُ فَأَلْقَمَهُ حَجَرًا – قَالَ – قُلْتُ لَهُمَا مَا هَذَانِ قَالَ قَالاَ لِى انْطَلِقِ انْطَلِقْ

“Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu orang yang berenang itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu, sembari membuka mulutnya dan orang yang mengumpulkan batu tadi akhirnya menyuapi batu ke dalam mulutnya. Orang yang berenang tersebut akhirnya pergi menjauh sambil berenang. Kemudian ia kembali lagi pada orang yang mengumpulkan batu. Setiap ia kembali, ia membuka mulutnya lantas disuapi batu ke dalam mulutnya. Aku berkata kepada keduanya, “Apa yang sedang mereka lakukan berdua?”
Mereka berdua berkata kepadaku, “Berangkatlah, berangkatlah.” Maka kami pun berangkat.”

Dalam lanjutan hadits disebutkan,

وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِى النَّهَرِ وَيُلْقَمُ الْحَجَرَ ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا

“Adapun orang yang datang dan berenang di sungai lalu disuapi batu, itulah pemakan riba.”
(HR. Bukhari, no. 7047).

Demikianlah apa yang bisa kami himpun dari hadits-hadits shahih lagi sharih (jelas) yang menunjukkan bahaya riba, dan dosa mengerikan yang akan dipikul kelak bagi para pelakunya. Semoga bermanfaat bagi kami pribadi dan kaum muslimin.
Semoga Allah ‘Azza Wa jalla menolong kaum muslimin untuk terlepas dari jeratan riba dan beralih kepada bentuk-bentuk muamalah yang sesuai dengan syariat. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Kamis, 29 Muharram 1442 H / 17 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Mengapa Riba Menghancurkan Negara (2 – Habis)

PEMINJAM adalah pihak kekurangan dana, yang dapat kita sebut sebagi orang miskin. Pihak pengelola bank akan mengalokasikan dana yang ditabung oleh para orang kaya dan menjadikannya dana untuk dipinjamkan kepada peminjam. Namun, dana orang kaya yang menabung di bank dalam jumlah yang besar akan mendapatkan bunga yang besar. Darimanakah asal bunga tersebut? Di samping itu, orang miskin yang dengan terpaksa harus meminjam uang di bank semakin melarat akan tambahan beban bunga yang harus mereka tanggung.

Dan bunga yang dibayarkan para orang miskin akan disalurkan untuk membiayai operasional bank dan diberikan kepada orang kaya sebagai bunga. Itulah salah satu hal yang mengacaukan sistem perekonomian dunia, dimana yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

3. Riba juga akan berpengaruh terhadap investasi, produksi, dan pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, semakin rendah investasi sehingga semakin rendah pula produksi akibat kekurangan modal. Terjadinya penurunan produksi, dapat memacu meningkatknya pengangguran dan kemiskinan.

4. Inflasi dapat terjadi karena peningkatan bunga. Hal ini dapat dianalogikan bila bunga di bank meningkat, maka akan menurunkan minat menabung sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat menjadi over limit dibandingkan jumlah uang yang disimpan. Karena uang yang disimpan sedikit, akibatnya daya beli menurun dan meningkatkan kemiskinan rakyat. Hal ini merupakan asumsi dari teori Cateris Paribus.

5. Sistem ekonomi riba juga menjebak Negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan utang) yang dalam sehingga bunga yang harus dibayar atas utang yang telah dilakukan semakin menggemuk. Untuk membayar bunga saja kesulitan apalagi membayar pokok dari hutang mereka.

6. Di Indonesia, pelaksanaan riba pun berdampak pada pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbankan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Dengan pemaparan diatas, sudah sepatutnya masyarakat dan pemimpin negara sadar akan buruknya pelaksanaan riba bagi kesejahteraan dan kemaslahatan perekonomian masyarakat. Sang Maha Benar (Al-Haq), dalam firman-Nya telah menyatakan larangan keras terhadap tindakan riba. Para ekonom pun telah sepakat untuk menjauhi riba. Fakta atas dampak-dampak negative yang ditimbulkan riba pun telah berbicara bahwa Riba adalah ‘biang penyakit perekonomian’, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Keberadaan riba bagaikan ‘lingkaran setan’ yang tidak ada ujungnya. Berbagai transaksi di dunia ini seringkali dekat dengan riba. Untuk itu, mari kita berusaha, berusaha terus, dan terus berusaha untuk meminimalisir keterlibatan dengan riba. Contoh sederhana adalah dengan tidak menabung di bank konvensional atau bila memang kenyataan mengharuskan memiliki akun nasabah di bank konvensional, maka jangan ambil bunganya. [atika azis/education learning]

 

sumber: Islam Pos