Tiga Penyebab Batal Puasa karena Menelan Ludah

Menelan ludah di mulut adalah perkara ijma’, bahkan para ulama juga membahas hukum menghisap ludah ‘orang lain’

Ibnu Hazm menjelaskan bahwa tidak batalnya menelan ludah bagi orang yang berpuasa, ketika ludah masih di dalam mulut merupakan perkara ijma (kesepakatan para ulama). (Maratib Al Ijma`, 1/40).

Imam An-Nawawi menyatakan bahwa menelan ludah tidak membatalkan, dengan beberapa syarat:

Pertama: Ludah tidak berubah karena tercampur dengan benda lainnya, baik benda itu suci atau najis. Benda suci semisal zat pewarna yang ada pada benang yang bercampur dengan ludah.

Sedangkan yang najis adalah darah karena luka di gusi. Dengan demikian ketika ludah bercampur dengar unsur lainnya dan ludah itu ditelan, maka hal itu menyebabkan batalnya puasa.

Kedua: Ludah yang ditelan tidak keluar dari mulut. Kalau sekiranya ludah sudah dikeluarkan dari mulut kemudian dimasukkan lagi dengan lidah atau dengan yang lainnya maka puasa batal.

Namun jika seorang menjulurkan lidahnya ke luar mulut sedangkan pada lidahnya terdapat ludah kemudian ia mengambalikan lidahnya dan menelan ludahnya maka itu tidak membatalkan menurut pendapat paling shahih.

Jika seorang penjahit membasahi benang melalui mulut dengan ludah, lantas mengulanginya, jika benang yang dibasahi masih lembab oleh ludah sebelumnya jika ia menelannya maka menurut mayoritas ulama madzhab hal itu membatalkan puasa.

Ketiga: Menelan ludah dengan cara seperti kebiasaan. Jika seorang mengumpulkan ludahnya terlebih dahulu di dalam mulut kemudian ia menelannya, maka ada dua pendapat dalam masalah ini, yang paling shahih bahwa perbuatan itu tidak membatalkan puasa. (Lihat, Raudhah Ath Thalibin, 2/326).

Menelan Ludah Orang Lain Batalkan Puasa

Sedangkan Imam An-Nawawi menyatakan bahwa para ulama juga sepakat bahwasannya menelan ludah orang lain membatalkan puasa. (Al Majmu` Syarh Al Muhadzab, 6/308).

Adapun mengenai sebuah hadits:

عن عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ وَيَمُصُّ لِسَانَهَا ” (رواه أبو دود)

“Artinya: Dari Asiyah Radhiyallahu `anha bahwasannya Nabi ﷺ suatu saat menciumnya sedangkan beliau dalam kondisi berpuasa dan menghisap lidahnya.” (Riwayat Abu Dawud).

Para ulama mengomentari hadits ini bahwa Ibnu Al A`rabi mendapatkan khabar bahwasannya Imam Abu Dawud tidak menshahihkan sanad hadits ini. (Lihat Sunan Abu Dawud, 4/61).

Al Hafidz Az Zailai juga menyatakan bahwa menghisap tidak otomatis menelan ludah, bisa saja meludahkannya. (Nashb Ar Rayah, 4/253).

Sedangkan Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, ”Dan isnad-nya dhaif, kalau sekiranya ia shahih maka ia dimaknai bahwa beliau tidak menelan ludah yang bercampur dengan ludah Sayyidah Aisyah.” (Fath Al Bari, 4/153).*/Thoriq, LC, MA

HIDAYATULLAH

Bisa Batal Puasa Karena Niat?

Ada dua macam niat yang berkaitan erat dengan pembatal puasa:

– Niat yang kuat (al-‘azmu)

– Niat yang ragu (At-taroddud fin niyyah)

Jika seseorang berniat kuat untuk membatalkan puasa, maka puasa tersebut bisa batal. Misalnya, seseorang berniat kuat ingin makan di siang hari bulan Ramadhan. Akan tetapi, dia tidak menemukan makanan. Dalam kondisi semacam ini, puasanya telah batal. Dia wajib mengganti puasa di hari lain. Pendapat fikih ini dipegang oleh Mazhab Maliki dan Hambali. Berbeda dengan pendapat Mazhab Hanafi dan Syafi’i (Badaai’as-Shonaa-i’ 2/92, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/528, Al-Majmu’ 6/313, Kassyaf Al-Qona’ 2/316, sumber: Islamqa).

Dasarnya adalah hadis dari sahabat Abu Bakroh radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ» ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: «إِنَّهُ أَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِهِ

“Jika dua orang muslim bertengkar dengan pedang mereka, maka pembunuh dan yang terbunuh masuk neraka.”

Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kalau pembunuh, wajar jika masuk neraka. Namun bagaimana dengan yang terbunuh, (mengapa) juga masuk neraka?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Karena yang terbunuh juga ingin membunuh lawannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun jika niatnya masih di tahap ragu-ragu (apakah ingin diwujudkan ataukah tidak), ada beberapa pendapat ulama tentang batal tidaknya puasa. Ringkasnya, pendapat yang kuat adalah tidak batal. Karena alasan-alasan di bawah ini:

Pertama, kaidah fikih,

اليقين لا يزول بالشك

“Sesuatu yang yakin tidak bisa dibatalkan dengan keraguan.”

Saat memulai puasa, dia masuk ke dalam ibadah puasa dengan niat yang yakin untuk menjalankan ibadah puasa. Lalu di tengah jalan, datanglah niat yang masih ragu-ragu tersebut. Maka niat yang yakin tersebut, tidak bisa dibatalkan oleh keraguan.

Kedua, selama ada keraguan, maka niat seseorang tidak sah. Padahal amal perbuatan itu tergantung niatnya. Sehingga niat membatalkan puasa, selama masih di tahap ragu-ragu, maka tidak sah (tidak bisa) membatalkan puasa.

Ketiga, hadis-hadis tentang pemaafan Allah atas kesalahan yang diucapkan oleh jiwa selama tidak diucapkan lisan atau dilaksanakan.

Di antaranya seperti hadis,

إن الله تجاوز لأمتي عما وسوست أو حدثت به أنفسها ما لم تعمل به أو تكلم

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku atas dosa dari bisikan jiwa, selagi belum dilakukan atau belum diucapkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan makna hadis ini,

الخواطر وحديث النفس إذا لم يستقر ويستمر عليه صاحبه فمعفو عنه باتفاق العلماء؛ لأنه لا اختيار له في وقوعه ولا طريق له إلى الانفكاك عنه

“Dosa yang terlintas di pikiran dan bisikan jiwa, jika tidak menetap di dalam hati atau tidak diiyakan oleh seseorang, maka dosa itu diampuni Allah. Seluruh ulama sepakat akan hal ini. Karena dosa seperti itu tidak di bawah kendali seseorang dan tidak mungkin seseorang bisa terhindar darinya.”

(Lihat Al-Adzkar, 1/ 415, terbitan: Maktabah Nuzul Al-Musthofa – Makkah & Riyadh. Cetakan ke 1, Th. 1417 H / 1997 M)

Wallahu a’lam bis showab.

***

Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Artikel : Muslim.or.id

Pembatal Puasa

Soal:

Apa saja pembatal-pembatal puasa?

Jawab:

Hal-hal yang dapat membatalkan puasa adalah sebagai berikut.

  1. Jima’ (bersetubuh) di siang hari
  2. Makan
  3. Minum

Dalil bahwa makan, minum, dan jima’ termasuk pembatal puasa adalah firman Allah Ta’ala,

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَٱشْرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلأسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

Maka sekarang campurilah mereka (istri) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga datang malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

  1. Mengeluarkan mani dengan syahwat

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala di dalam hadits qudsi tentang puasa,

يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

Ia tinggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Muslim no. 1151)

Mengeluarkan mani termasuk syahwat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berkumpulnya kalian dengan istri kalian adalah shadaqah.” Lantas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami ketika mendatangi syahwatnya lalu ia mendapat pahala?” Nabi menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia menempatkan syahwatnya pada tempat yang haram, bukankah ia mendapat dosa? Maka demikianlah, apabila ia menempatkan syahwatnya pada tempat yang halal maka ia mendapat pahala karenanya.” (HR. Muslim no. 1006). Sesuatu yang ditempatkan yakni maksudnya adalah mani yang memancar. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat bahwa madzi tidak membatalkan puasa meskipun keluar dengan syahwat dan cumbuan tanpa terjadi hubungan badan.

  1. Hal-hal yang serupa dengan makan dan minum

Yaitu injeksi (infus) asupan  yang membuat seseorang tidak membutuhkan makan dan minum. Hal ini meskipun bukan makanan dan minuman tetapi semakna dengan makan dan minum yang mana ia tidak lagi memerlukan makan dan minum disebabkan injeksi tersebut. Sesuatu yang serupa dengan suatu hal, maka ia dihukumi sebagaimana hal tersebut. Oleh karena itu, tubuh tetap mendapatkan asupan dengan injeksi tersebut meskipun tubuh tidak memperoleh asupan dari sumber yang lain. Adapun injeksi yang tidak memberikan asupan dan tidak menggantikan posisi makan dan minum, maka ini tidak membatalkan puasa baik seseorang memasukkannya ke dalam pembuluh darah, otot, maupun tempat yang lain dari badannya.

  1. Muntah dengan sengaja

Yaitu seseorang memuntahkan isi perutnya sehingga keluar dari mulutnya. Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ وَمَنْ ذَرَعَهُ القَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ

Barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka wajib mengqadha. Dan barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak ada qadha baginya.” (HR. Abu Dawud no. 2380 dan Tirmidzi no. 720)

Hikmahnya, apabila seseorang muntah dengan sengaja, maka perutnya akan kosong dari makanan sehingga badan membutuhkan makanan yang akan mengisi perutnya yang ksosong. Oleh karena itu kami katakan: apabila puasanya adalah puasa wajib, maka tidak boleh bagi seseorang untuk muntah dengan sengaja karena jika ia melakukannya, maka puasa wajibnya akan batal.

  1. Keluarnya darah dengan bekam

Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ

Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.” (HR. Bukhari no. 1937 dan Tirmidzi no. 774)

  1. Keluarnya darah haidh dan nifas

Ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

Bukankah jika seorang wanita haidh maka ia tidak shalat dan tidak puasa.” (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Para ulama rahimahumullah bersepakat bahwa puasanya wanita yang haidh maupun nifas tidak sah.

Pembatal-pembatal puasa tidaklah merusak puasa kecuali dengan 3 syarat.

  1. Ilmu

Yakni mengetahui hukum syar’i dan mengetahui kondisi yaitu waktu. Apabila ia tidak mengetahui hukum syar’i atau waktu maka puasanya sah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Ya Rabb kami, janganlah engkau menyiksa kami jika kami lupa atau keliru.” Lantas Allah Ta’ala menjawab, “Telah aku lakukan.” Demikian pula firman Allah Ta’ala,

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ

Tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian keliru padanya, tetapi yang ada dosanya adalah apa yang disengaja oleh hatimu.” (QS. Al-Ahzab: 5).

Kedua ayat ini merupakan dalil yang umum.

Demikian pula dalil dari hadits yang merupakan dalil khusus mengenai puasa. Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berpuasa dan meletakkan dua ‘iqal –tali yang dipakai untuk mengikat kaki depan unta ketika menderum- di bawah bantal. Salah satu tali berwarna hitam dan satunya putih. Ia mulai makan dan minum hingga nampak jelas tali warna putih dari tali warna hitam kemudian dia menahan diri dari makan dan minum. Ketika pagi hari, ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyampaikan apa yang ia lakukan. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tali putih dan hitam di dalam ayat adalah tanda yang telah dikenal. Maksud dari tali putih adalah terangnya siang sedangkan tali hitam adalah gelapnya malam. Meskipun demikian Nabi tidak menyuruhnya mengqadha puasa (HR. Bukhari no. 1916 dan Muslim 1090) karena ia tidak tau hukum dan mengira itulah makna ayat yang mulia.

Adapun ketidaktahuan dengan waktu, terdapat dalil di dalam Shahih Bukhari dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami tidak puasa di hari yang mendung lalu terbitlah matahari”  (HR. Bukhari no. 1959). Meskipun demikian, Nabi tidak menyuruh mereka untuk mengqadha. Seandainya qadha hukumnya wajib, tentu Nabi akan memerintah mereka dan seandainya Nabi menyuruh mereka, tentu hal itu akan disampaikan kepada umat sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

Ketika hal tersebut tidak disampaikan padahal telah terpenuhi faktor-faktor pendorong untuk menyampaikannya, maka diketahui bahwa Nabi tidak memerintahkan qadha. Apabila Nabi tidak menyuruhnya, diketahui bahwa qadha tidaklah wajib. Contoh yang lain, apabila seseorang bangun tidur dan ia mengira bahwa masih malam lantas ia makan dan minum kemudian nampaklah bahwa ia makan dan minum setelah terbit fajar, maka ia tidak terkena kewajiban qadha karena ia tidak tahu.

  1. Ingat

Yakni lawan dari lupa. Seandainya seseorang makan dan minum karena lupa maka puasanya sah dan tidak ada kewajiban qadha sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Ya Rabb kami, janganlah engkau menyiksa kami jika kami lupa atau keliru.” Lantas Allah Ta’ala menjawab, “Telah aku lakukan.” Demikian pula hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang lupa bahwa ia puasa lantas ia makan atau minum maka sempurnakanlah puasanya karena Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155)

  1. Sengaja

Yakni seseorang mempunyai pilihan untuk melakukan pembatal puasa. Apabila ia tidak punya pilihan maka puasanya sah baik itu dipaksa atau tidak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala tentang orang yang dipaksa untuk kafir,

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa kafir kepada Allah setelah ia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan. Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka atasnya murka Allah dan baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106).

Apabila hukum kekafiran diampuni karena dipaksa, maka hukum-hukum di bawah kekafiran lebih layak untuk diberi ampunan. Demikian pula hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045)

Dengan demikian, seandainya ada debu yang terbang dan masuk ke hidung dan terasa di kerongkonan lalu turun ke lambung maka puasanya tidak batal karena tidak sengaja. Demikian juga seandainya seseorang dipaksa untuk membatalkan puasa lantas ia berbuka dalam rangka mencegah paksaan maka puasanya sah karena ia tak punya pilihan. Demikian pula seandainya seseorang bermimpi lalu keluar mani ketika tidur maka puasanya sah karena orang yang tidur tidak melakukannya dengan sengaja. Demikian pula seandainya seorang suami memaksa istrinya padahal istrinya puasa lantas berhubungan intim dengannya maka puasa sang istri tidak batal karena ia tidak punya pilihan.

Terdapat masalah yang wajib untuk dipahami yakni seorang laki-laki apabila batal puasanya karena jima’ di siang hari Ramadhan dan ia wajib puasa, maka dampak dari jima’nya ada 5 hal.

  1. Berdosa
  2. Wajib menahan diri dari makan dan minum di sisa hari.
  3. Batal puasanya
  4. Wajib qadha
  5. Wajib membayar kafarah.

Tidak ada beda apakah laki-laki tersebut mengetahui konsekuensi dari jima’ ataukah tidak yakni apabila seorang laki-laki bersetubuh di siang Ramadhan dan ia wajib puasa, tetapi ia tidak tahu bahwa ia wajib membayar kafarah. Maka, ia tetap dikenai hukum-hukum yang telah disebutkan di atas karena ia menyengaja untuk merusak puasanya dan kesengajaan untuk membatalkan puasa mewajibkan ia terkena hukuman jima’. Bahkan di dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa datang seorang laki-laki menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, celakalah aku.” Lantas Nabi bertanya, “Apa yang menyebabkanmu celaka?” Ia menjawab, “Aku berhubungan intim dengan istriku di siang Ramadhan padahal aku puasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahnya untuk membayar kafarah (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111). Padahal laki-laki tersebut tidak mengetahui apakah ia wajib membayar kafarah atau tidak ketika melakukan jima’. Pada perkataan kami “Ia wajib puasa” mengecualikan kondisi semisal seorang laki-laki yang berpuasa Ramadhan lantas ia jima’ dalam keadaan ia sedang safar maka ia tidak wajib membayar kafarah. Contohnya ada laki-laki yang bepergian bersama istrinya di bulan Ramadhan dan keduanya berpuasa. Kemudian, laki-laki tersebut berkumpul dengan istrinya maka ia tidak dikenai kewajiban kafarah. Hal tersebut karena musafir jika berpuasa, ia tidak wajib menyempurnakannya. Jika ia ingin berpuasa, maka ia sempurnakan. Jika tidak, ia berbuka dan wajib qadha.

Diterjemahkan dari Fatawa Arkanil Islam, karya Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Al-Khairiyyah, Saudi, hal. 563-570.

Penulis: Deni Putri Kusumawati

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10241-pembatal-puasa.html

Hal yang Membatalkan Puasa

YANG membatalkan puasa adalah makan dan minum dengan sengaja, berjima, datang haidh atau nifas dan muntah dengan sengaja.

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa makan dan minum dapat membatalkan puasa, baik yang bermanfaat maupun yang berbahaya seperti rokok, demikian juga yang semakna dengan makan dan minum yaitu memberikan suntikan yang berisi makanan.

Perlu diketahui, bahwa seorang yang berpuasa tidaklah batal puasanya jika melakukan hal yang membatalkan puasa karena lupa, tidak mengetahui atau dipaksa. Oleh karena itu, jika seorang lupa sehingga makan atau minum maka tidak batal puasanya.

Demikian juga jika seseorang makan atau minum karena beranggapan matahari sudah tenggelam atau fajar belum terbit, maka tidak batal puasanya karena ia tidak mengetahui. Dan jika seseorang berkumur-kumur lalu ternyata air masuk ke dalam perutnya tanpa sengaja, maka tidak batal puasanya karena itu bukan pilihannya.

Atha berkata, “Jika seseorang beristintsar (menghirup air ke hidung dan mengeluarkannya), lalu ternyata air itu masuk ke tenggorokan, maka tidak mengapa jika ia tidak kuasa.” Al Hasan berkata, “Jika lalat masuk ke tenggorokannya, maka ia tidak diwajibkan apa-apa.”

[Referensi: Nubadz fish shiyaam (Syaikh Ibnu Utaimin), Risalah sayhri Ramadhan (Khaalid bin Abdillah Al Hamuudiy), Fiqhus Sunnah dll/ Ustadz Marwan bin Musa]

 

INILAH MOZAIK