Hukum Mengubur Ari-ari Bayi

APA hukum mengubur ari-ari bayi dalam Islam?

Kelahiran bayi kerap disambut dengan prosesi khusus, terutama setelah persalinan. Salah satu yang kerap dilakukan dan menjadi adat kebiasaan di masyarakat adalah mengurus ari-ari bayi.

Ari-ari merupakan bagian organ tubuh yang penting untuk perkembangan bayi ketika di dalam kandungan. Yang dimaksud sebagai organ penting itu adalah plasenta.

Ari-ari sendiri adalah bagian yang ikut keluar bersama bayi dan biasanya dipotong lalu dikubur supaya tidak dimakan oleh hewan.

Prosesi pengurusan ari-ari bayi masih jadi perdebatan. Namun, bagaimana hukum mengubur ari-ari bayi dalam Islam?

Hukum Mengubur Ari-ari Bayi

Dikutip dari Okezone, Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) dan Protokol Masjid Istiqlal Ustadz Abu Hurairah Abdul Salam mengatakan bahwa Islam menganjurkan ari-ari bayi dikubur karena sudah tidak berfungsi setelah bayi lahir.

“Dikubur, itu yang dianjurkan syariat Islam. Kalau budaya apalagi budaya Jawa beda lagi,” katanya.

Abu melanjutkan, pada dasarnya ari-ari bayi atau plasenta keluar bersamaan dengan darah. Untuk itu dianjurkan dikubur supaya menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dimakan binatang misalnya.

Abu Hurairah menuturkan, dalam persoalan mengubur ari-ari bayi ini tidak ada ayat yang menyebutkan. Namun hasil ijtihad para ulama mengatakan, disunahkan menguburnya berdasarkan sebuah hadis.

Hukum Mengubur Ari-ari Bayi

Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda:

كان يأمر بدفن سبعة أشياء من الإنسان الشعر والظفر والدم والحيضة والسن والعلقة والمشيمة

Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur tujuh hal potongan badan manusia; rambut, kuku, darah, haid, gigi, gumpalan darah, dan ari-ari.”

Jadi, mengubur ari-ari bayi memang dianjurkan di dalam agama Islam, dan tidak ada kaitannya dengan mitos apalagi berhubungan dengan mistis. Hal ini dilakukan supaya menghindari mudharat atau hal-hal yang tidak berguna atau disalahgunakan. []

ISLAMPOS

Mengganti Popok Bayi, Apakah Membatalkan Wudhu?

Di antara perkara yang sering menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat, terutama di kalangan kaum ibu, adalah mengenai batalnya wudhu ketika mengganti popok bayinya. Apakah mengganti popok bayi bisa membatalkan wudhu?

Mengganti popok tidak termasuk bagian dari perkara yang membatalkan wudhu. Karena itu, jika seorang ibu, atau lainnya, hanya mengganti popok bayinya tanpa ada persentuhan langsung antara telapak tangannya dengan kemaluan bayinya, baik kubul maupun dubur, maka wudhunya tidak batal.

Namun jika pada saat mengganti popok bayinya ada persentuhan langsung antara telapak tangannya dan kemaluan bayinya, maka wudhunya menjadi batal. Hal ini karena menyentuh kemaluan orang lain, baik kubul maupun dubur, dengan telapak tangan tanpa ada penghalang, meskipun kemaluan bayi dan anak sendiri, menyebabkan wudhu menjadi batal.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

السؤال : هل غيار حفاظات الطفل لغاية عمر سنتين ينقض الوضوء؟

الجواب :إذا وقع أثناء تغيير حفاظة الطفل لمس مباشر لفرجه – القبل أو الدبر – بباطن الكف: انتقض وضوء اللامس، لحديث بسرة بنت صفوان رضي الله عنها أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ فَلْيَتَوَضَّأْ) رواه النسائي. يقول الخطيب الشربيني رحمه الله: الإفضاء لغة: المس ببطن الكف. فثبت النقض في فرج نفسه بالنص، فيكون في فرج غيره أولى; لأنه أفحش؛ لهتك حرمة غيره

Pertanyaan; Apakah mengganti popok bayi yang sudah berumur dua tahun dapat membatalkan wudhu?

Jawaban; Jika terjadi persentuhan langsung saat mengganti popok dengan kemaluan bayi, baik kubul maupun dubur, melalui telapak tangan, maka wudhu orang yang menyentuh menjadi batal. Ini berdasarkan hadis Busrah binti Shafwan, bahwa Nabi Saw bersabda; Jika kalian menyentuh kemaluannya dengan tangannya, maka hendaklah berwudhu. Hadis riwayat Imam Al-Nasa-i. Al-Khathib Al-Syarbini berkata; Al-Ifdha secara bahasa adalah menyentuh dengan telapak tangan. Karena itu, wudhu menjadi batal dengan menyentuh kemaluan sendiri secara nash, dan menyentuh kemaluan orang lain lebih utama karena telah merusak kehormatan orang lain. 

BINCANG SYARIAH

Apakah Bayi Meninggal Diakikahkan?

Bismillahirrahmanirrahim.

Akikah memiliki keutamaan yang sangat besar. Hal ini sebagaimana yang dikabarkan di dalam hadis sahih dari sahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya. Disembelih atas namanya pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama” (HR. Ahmad no. 20722, at-Tirmidzi no. 1605, dan dinilai sahih oleh al-Albani).

Al-Khottobi Rahimahullah menerangkan makna hadis ini, dengan mengutip keterangan Imam Ahmad Rahimahullah,

قال أحمد: هذا في الشفاعة يريد أنه إن لم يعق عنه فمات طفلاً لم يُشفع في والديه

“Imam Ahmad berkata, ‘(Makna tergadaikan di sini adalah) tentang syafaat. Jika tidak diakikahi, kemudian anak meninggal sebelum baligh, maka orang tua terhalang dari (mendapatkan) syafaat anak’” (Lihat Al-Mifshal fi Ahkam Al-Aqiqah, hal. 30).

Penjelasan Imam Ahmad di atas dikuatkan oleh Ibnu Hajar Rahimahumallah,

اختلف الناس في هذا، وأجود ما قيل فيه: ما ذهب إليه أحمد بن حنبل قال: هذا في الشفاعة، يريد أنه إذا لم يعق عنه فمات طفلاً لم يشفع في أبويه

“Para ulama berbeda pendapat tentang makna ‘anak tergadai sampai diakikahi’. Namun pendapat yang paling baik adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Beliau mengatakan, ‘Hadis ini berkenaan dengan syafaat.’ Maksud beliau, jika anak belum ditunaikan akikahnya, lalu meninggal saat masih kecil, maka kedua orangtuanya tidak bisa mendapatkan syafaatnya” (Fathul Bari, 12: 410).

Mengingat keutamaan yang besar ini, maka tetap dianjurkan mengakikahkan bayi yang lahir meskipun telah meninggal.

Sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa Lajnah Da-imah (Majelis Fatwa dan Ulama Senior Saudi Arabia) berikut,

إذا توفي الحمل بعد نفخ الروح فيه، وسقط من بطن أمه فإنه يغسل ويكفن ويصلى عليه ويدفن، ويستحب أن يسمى وأن يعق عنه وهو ما تسمونه الطلوعة، والسنة عن الذكر اثنتان وعن الأنثى واحدة من الغنم كل واحدة تجزئ في الأضحية. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

“Jika janin meninggal setelah ditiupkan ruh, kemudian ibunya keguguran, maka janin itu dimandikan, dikafani dan disalatkan, kemudian dikuburkan. Disunahkah diberi nama dan diakikahkan. Bagi anak laki-laki dua kambing, anak perempuan satu kambing. Kriterianya adalah kambing yang sah untuk kurban. Semoga Allah memberikan taufik, selawat serta salam untuk Nabi kita Muhammad serta keluarga dan para sahabat beliau” (Fatwa Lajnah Da-imah, 10: 459-460).

Selain itu, bayi yang sudah ditiupkan ruh (yakni sejak umur 4 bulan di dalam kandungan), sudah dihukumi sebagai manusia yang kelak di hari kiamat akan dibangkitkan. Sehingga, dianjurkan untuk tetap diakikahkan.

Semoga penjelasan ini bermanfaat untuk penulis dan juga para pembaca sekalian.

Wallahua’lam bis showab.

Penulis: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/68047-apakah-bayi-meninggal-diakikahkan.html

Jenis Kelamin Bayi

‘Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita, dari air mani, apabila dipancarkan.'(QS An-Najm [53]:45-46) 

Kromosom Y membawa sifat-sifat kelelakian, sedangkan kromosom X berisi sifat-sifat kewanitaan. Di dalam sel telur ibu hanya dijumpai kromosom X, yang menentukan sifat-sifat kewanitaan. Di dalam air mani ayah, terdapat sperma-sperma yang berisi kromosom X atau kromosom Y saja. Jadi, jenis kelamin bayi bergantung pada jenis kromosom kelamin pada sperma yang membuahi sel telur, apakah X atau Y. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, penentu jenis kelamin bayi adalah air mani, yang berasal dari ayah.

Hingga baru-baru ini, diyakini bahwa jenis kelamin bayi ditentukan oleh sel-sel ibu. Atau setidaknya, dipercaya bahwa jenis kelamin ini ditentukan secara bersama oleh sel-sel lelaki dan perempuan. Namun kita diberitahu informasi yang berbeda dalam Alquran, yang menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki atau perempuan diciptakan “dari air mani apabila dipancarkan”. “Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita, dari air mani, apabila dipancarkan.” (QS An-Najm [53]:45-46)

Cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berkembang seperti genetika dan biologi molekuler telah membenarkan secara ilmiah ketepatan informasi yang diberikan Alquran ini. Kini diketahui bahwa jenis kelamin ditentukan oleh sel-sel sperma dari tubuh pria, dan bahwa wanita tidak berperan dalam proses penentuan jenis kelamin ini.

Kromosom adalah unsur utama dalam penentuan jenis kelamin. Dua dari 46 kromosom yang menentukan bentuk seorang manusia diketahui sebagai kromosom kelamin. Dua kromosom ini disebut “XY” pada pria, dan “XX” pada wanita. Penamaan ini didasarkan pada bentuk kromosom tersebut yang menyerupai bentuk huruf-huruf ini. Kromosom Y membawa gen-gen yang mengkode sifat-sifat kelelakian, sedangkan kromosom X membawa gen-gen yang mengkode sifat-sifat kewanitaan.

Pembentukan seorang manusia baru berawal dari penggabungan silang salah satu dari kromosom ini, yang pada pria dan wanita ada dalam keadaan berpasangan. Pada wanita, kedua bagian sel kelamin, yang membelah menjadi dua selama peristiwa ovulasi, membawa kromosom X. Sebaliknya, sel kelamin seorang pria menghasilkan dua sel sperma yang berbeda, satu berisi kromosom X, dan yang lainnya berisi kromosom Y. Jika satu sel telur berkromosom X dari wanita ini bergabung dengan sperma yang membawa kromosom Y, maka bayi yang akan lahir berjenis kelamin pria.

Dengan kata lain, jenis kelamin bayi ditentukan oleh jenis kromosom mana dari pria yang bergabung dengan sel telur wanita. Tak satu pun informasi ini dapat diketahui hingga ditemukannya ilmu genetika pada abad ke-20. Bahkan di banyak masyarakat, diyakini bahwa jenis kelamin bayi ditentukan oleh pihak wanita. Inilah mengapa kaum wanita dipersalahkan ketika mereka melahirkan bayi perempuan.

Namun, tiga belas abad sebelum penemuan gen manusia, Alquran telah mengungkapkan informasi yang menghapuskan keyakinan takhayul ini, dan menyatakan bahwa wanita bukanlah penentu jenis kelamin bayi, akan tetapi air mani dari pria. Pengetahuan tentang hal ini, yang tak mungkin dapat diketahui di masa Alquran diturunkan, adalah bukti akan kenyataan bahwa Alquran adalah kalam Allah.

Disarikan Dari Serial Harun Rahya

REPUBLIKA

Bayi yang Bicara Satu Kalimat

Pernah Rasulullah mengisahkan tentang seorang hamba Allah di zaman dahulu yang sangat saleh bernama Juraij. Demikian salehnya sehinga dia membuat sebuah surau tempat dia memencilkan diri untuk beribadah kepada Allah. Dia tinggal dalam surau tersebut dan jarang pergi menjenguk ibunya, padahal ibunya masih hidup dan sudah tua. Apabila ibunya sudah sangat rindu kepadanya, beliaulah yang datang melihatnya. Dihormatinya ibunya tersebut sejenak, lalu dia meneruskan lagi shalat dan ibadahnya.

Pada suatu hari, ibunya datang dan didapati Juraij sedang sangat tekun beribadah. Dipanggil-panggilnya anaknya. “Juraij. Juraij!”

Namun Juraij asyik shalat. Ibunya memanggil lagi.

Lalu dia menadahkan tangan ke langit, “Tuhanku… ibukukah atau shalatku! lbukukah atau shalatku!” Akhirnya, Shalatnya dilanjutkan dan ibunya tidak dipedulikan.

Sedih hati ibunya. Kemudian, dia menadahkan tangannya ke langit seraya menyampaikan permintaan kepada Tuhan . “Ya Allah, sebelum anakku Juraij ini meninggal, biar dilihatnya juga perempuan lacur!”

Setelah berdoa demikian, ibu Juraij pergi meninggalkan tempat beribadah Juraij, dan dia tidak menoleh-noleh lagi ke belakang karena sangat sedih hatinya.

Tidak berapa lama kemudian datang seorang perempuan pengembala ternak yang namanya telah kotor karena kejahatannya.

Dia menggembalakan ternaknya dekat surau si Juraij. Dia mencoba merayu-rayu Juraij yang saleh, tetapi tidak berhasil. Juraij tetap teguh dalam ibadahnya, tekun dalam shalatnya. Perempuan lacur tersebut kemudian pergi berzina dengan seorang penggembala lain sampai hamil. Kian lama perutnya kian besar sehingga timbul kecurigaan orang sekampung melihat perempuan tersebut hamil, tetapi tidak bersuami.

Perempuan tersebut segera ditangkap dan ditanyai dengan siapa dia berzina. Dia menjawab bahwa dia berzina dengan Juraij. Tidak berapa lama kemudian, demikian menurut salah satu dari riwayat tersebut, anak tersebut pun lahir. Setelah perempuan tersebut melahirkan anaknya, tangan dan leher perempuan jahat tersebut diikat dan digiring bersama-sama ke tempat Juraij beribadah. Juraij didapati sedang beribadah seperti biasa.

Sementara, orang-orang di luar telah berteriak-teriak menuduhnya sebagai seorang alim yang palsu, seorang munafik. Sebelum dia sempat menjawab atau mempertahankan diri, suraunya sudah mulai diruntuhkan orang dan dia diseret keluar, diikat tangan dan lehernya, digiring bersama-sama perempuan lacur tersebut oleh orang banyak untuk dihukum bunuh.

Setelah dikatakan kepadanya bahwa dia akan dihukum mati bersama perempuan lacur tersebut sebab mereka telah melakukan zina, barulah Juraij mengerti mengapa dia diseret, mengapa suraunya diruntuhkan, dihancurkan habis, dan diratakan dengan tanah. Sebelum dihukum; Setelah dikatakan kepadanya bahwa dia akan dihukum mati bersama perempuan lacur tersebut sebab mereka telah melakukan zina, barulah Juraij mengerti mengapa dia diseret, mengapa suraunya diruntuhkan, dihancurkan habis, dan diratakan dengan tanah.

Sebelum dihukum; Juraij meminta agar mereka berhenti sebentar. Orang pun terdiam, tetapi di wajah masing-masing terbayang rasa kebencian. Lalu, Juraij mendekat kepada perempuan lacur yang sedang menyusui anaknya tersebut. Anak yang tidak jelas siapa bapaknya, yang dituduhkan perempuan tersebut bahwa Juraijlah bapaknya.

Semua orang diam. Juraij tegak berdoa sebentar, menengadahkan wajahnya ke langit memohon pertolongan kepada Tuhan, lalu dipegangnya anak bayi yang baru lahir tersebut dengan lemah lembut.

Dia bertanya, “Hai Buyung! Katakanlah, siapa bapakmu yang sebenarnya?” Semua orang diam menunggu.

Anak tersebut kemudian melepaskan mulutnya dari susu ibunya dan berkata, “Bapakku ialah si anu tukang gembala.”

Perkataan anak ini didengar oleh semua orang. Sesudah berkata demikian, anak tersebut kembali menyusu dan tidak berkata-kata lagi.

Orang-orang berpandangan satu kepada yang lain. Akhirnya, serentak mereka tersungkur ke hadapan Juraij, minta ampun atas kesalahan, dan Juraij yang saleh bertambah besar dan agung di mata mereka. Kemudian, datang tetua kampung tersebut kepada Juraij, memohon izin hendak membangun kembali surau yang telah mereka runtuhkan dengan bertahtakan emas dan perak. Namun dengan tenang Juraij menjawab, “Biarlah surau yang seperi dahulu saja, dibuat dari tanah.”

 

Paramuda/BersamaDakwah