Mengapa Bencana Terus Melanda?

Bencana demi bencana menimpa negeri ini secara bertubi-tubi; tanah longsor, tsunami, kebakaran, gunung meletus, dan yang sedang marak sekarang ini adalah bencana banjir.

Tentu saja, sebagai seorang muslim kita harus yakin bahwa di balik bencana tersebut terkandung hikmah bagi kita semuanya, di antaranya agar kita semua berintrospeksi dan berbenah diri, bertaubat dan bersimpuh di hadapan Allah.

Sungguh, termasuk kesalahan yang amat fatal jika kita hanya meyakini seperti kebanyakan orang bahwa bencana banjir dan sejenisnya adalah sekadar bencana alam murni tanpa ada sebab dan hikmah di dalamnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata dalam khutbahnya yang berjudul Atsaril Ma’ashi:

“Sesungguhnya kebanyakan manusia sekarang menganggap bahwa musibah yang menimpa mereka baik dalam bidang perekonomian, keamanan, atau politik disebabkan karena faktor-faktor dunia semata.

Tidak ragu lagi bahwa semua ini merupakan kedangkalan pemahaman mereka dan lemahnya iman mereka serta kelalaian mereka dari merenungi al-Qur‘an dan sunnah Nabi.

Sesungguhnya di balik musibah ini terdapat faktor penyebab syar’i yang lebih besar dari faktor-faktor duniawi. Allah berfirman:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS ar-Rum [30]: 41)”.

Semoga Allah merahmati para ulama salaf yang selalu melakukan introspeksi atas segala musibah yang menimpa mereka, lalu segera sadar dan memperbaiki diri.

Ibnu Sirin berkata, “Saya tahu dosa apa yang menyebabkan aku sekarang ini memikul hutang, karena dahulu empat puluh tahun silam saya pernah mengatakan kepada seorang: ‘Wahai muflis (orang yang bangkrut)’”.

Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Dahulu aku diberi pemahaman tentang al-Qur‘an, namun tatkala aku menerima kantong uang maka pemahaman itu hilang dariku”.

Demikianlah orang-orang yang cerdas, mereka selalu melakukan introspeksi dan mengakui kesalahan dan dosa yang menyebabkan musibah yang terjadi pada dirinya.

***

Penulis: Ust. Abu Ubaidah As Sidawi

Artikel Muslim.or.id

Rasulullah Larang Bencana Alam Dikaitkan Politik

KALAU Allah memberikan bencana alam seperti di Lombok (NTB), Palu (Sulteng), dan kini di Banten, Lampung (Selat Sunda), hanya karena urusan politik, maka sesuai QS. an-Nahl ayat 61, Allah juga akan memberikan gempa kepada seluruh manusia.

Berikut di bahwa ini sekilah sejarah fenomena alam di masa para nabi.

Suatu hari, masyarakat Arab berkerumun, mereka sedang membincangkan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu gerhana matahari. Perbincangan orang Arab saat itu, jika terjadi gerhana matahari, maka hal itu sangat berkaitan dengan kematian seorang pembesar. Inilah yang menjadikan perbincangan di kalangan masyarakat Arab saat itu semakin mempercayai bahwa mitos tentang gerhana itu benar adanya.

Mendengar desas-desus yang terjadi di kalangan masyarakat Arab saat itu, Rasul kemudian bersabda:

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda (kekuasaan) Allah, keduanya tidak gerhana karena kematian atau lahirnya seseorang, jika kalian melihatnya (gerhana) maka laksanakanlah salat.

Hadis ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa fenomena Alam dan bencana yang terjadi, sama sekali tidak ada kaitannya dengan urusan duniawi, termasuk kematian seorang pembesar pada saat itu, begitu pula dengan urusan politik, khususnya yang terjadi saat ini.

Hal ini ditegaskan juga oleh Ibn Hajar al-Asyqalani dalam Fathul Bari-nya bahwa fenomena Alam, sama sekali tidak berkaitan dengan urusan apapun terkait duniawi. Fenomena alam yang terjadi adalah bentuk kebesaran Allah, yang harus diikuti dengan ketauhidan dan muhasabah diri.

Jika kasus dalam hadis tersebut diqiyaskan dengan kasus bencana di Indonesia, maka sama sekali tidak ada kaitannya gempa dengan pilihan politik di Tanah Air menjelang Pilpres 2019. Hal ini justru dilarang oleh Rasulullah SAW, mengaitkan bencana Alam dengan urusan duniawi, termasuk pilihan politik.

Memang dalam kasus nabi-nabi terdahulu, Allah memberikan azab kepada umat nabi tertentu karena menyekutukan Allah dan melanggar perintah-Nya. Hal ini termaktub dalam Surat Ali Imran ayat 56:

“Adapun orang-orang yang kafir, maka akan Ku-siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong.”

Bahkan untuk orang kafir pun, Allah menjadikan azab atau musibah dalam ayat tersebut sebagai sarana untuk bersabar, bukan sebagai hukuman atas hal yang ia lakukan. Hal ini ditegaskan oleh Fakhruddin al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaibnya:

“Karena sesungguhnya ayat (Ali Imran 56, untuk orang kafir) bukan menjadi hukuman, melainkan hanya ujian. Sedangkan argumentasi yang menyebutkan hal itu adalah bahwa Allah memerintahkan semua orang untuk bersabar atas semua musibah, rida dan berpasrah. Dan hal ini tidak berkaitan dengan hukuman.”

Menurut al-Razi, jika orang kafir diberikan hukuman di dunia, maka akan bertentangan dengan Surat an-Nahl ayat 61, yang menyebutkan bahwa jika Allah menghukum seluruh manusia di Bumi, niscaya tidak akan ada sesuatu yang terlepas dari azab-Nya.

“Jika Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada makhluk yang ditinggalkan-Nya.”

Bagi al-Razi, kata lau dalam ayat di atas adalah berfaidah intifaus syai lintifai ghairihi, yakni jika kata lau itu dihilangkan, maka artinya Allah tidak akan meemberikan hukuman (azab) kepada seseorang secara langsung di bumi. Karena jika Allah memberikan azab, maka semua orang yang ada di bumi ini akan mendapatkannya.

Surat Ali Imran: 56 di atas, menurut al-Razi juga bertentangan dengan Q.S. Ghafir: 17, yang menjelaskan bahwa semua kesalahan yang dilakukan manusia akan diberikan balasannya di akhirat kelak, bukan di dunia:

“Pada hari itu (kiamat) Allah akan memberikan balasan kepada setiap jiwa atas segala hal yang telah dilakukan.”

Nah, jika orang kafir saja tidak diberikan hukuman secara langsung di dunia atas kekafirannya, bagaimana dengan orang yang jelas-jelas beriman kepada Allah?

Perbedaan pandangan politik memang bukan merupakan hal baru. Lima belas abad yang lalu, generasi Islam awal juga pernah mengalaminya, tepatnya pada masa Ali versus Muawiyah. Namun, sampai sekarang kita belum pernah mendengar atau membaca literatur keislaman yang menjelaskan bahwa kelompok Ali tertimpa bencana gempa bumi, gunung meletus, atau bencana lain, begitu pula kelompok muawiyah.

Jika ada orang-orang mengira kalau bencana di Indonesia sebagai hukuman karena urusan politik saat ini, maka jika mengikuti QS. an-Nahl ayat 61 di atas, seluruh manusia, juga akan mendapatkan azab yang sama. Wallahu Alam.

 

 

Lari Saat Gempa, Muslimah Sempatkan Ambil Kerudung

MUSLIMAH, sebut saja nama wanita itu, sudah bersiap-siap berwudhu. Sebentar lagi ia akan menunaikan shalat fardhu. Adzan maghrib yang terdengar dari pengeras suara masjid di samping rumahnya sudah mau selesai.

“Laa ilaha illallah…”

Namun, begitu adzan berakhir, Muslimah bukannya mengambil air wudhu, tapi malah bergegas untuk melarikan diri. Niatnya berwudhu dan shalat terpaksa diurungkan. Sebab, tiba-tiba suara dan goyangan keras mengguncang tempatnya berpijak.

Itulah detik-detik terjadinya gempa dahsyat berkekuatan 7,4 skalar richter yang kemudian disusul tsunami yang menghantam dan memporak-porandakan Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan sekitarnya di Sulawesi Tengah, Jumat, 28 September 2018.

Sore itu, suasana senja yang tenang di pantai Tondo, Palu, tempat dimana Muslimah tinggal, berubah seketika. Kepanikan terjadi dimana-mana.

Beruntung Muslimah masih berpikir agak tenang. Meski suasana mencekam, ia masih sempat memikirkan kehormatan dirinya dan keselamatan keluarganya. Ia menyempatkan diri mengambil hijab penutup auratnya.

“Saya matikan kompor, saya masuk cari (dan ambil) kerudung, tarik HP karena saya juga untuk komunikasi, saya gendong anak yang umur 3 tahun, (sama) yang satunya yang kelas 3, saya lari saya, enda noleh-noleh ke belakang,” tuturnya ditemui koresponden hidayatullah.com di sela-sela reruntuhan bangunan di Kampus Pesantren Hidayatullah Palu di Kelurahan Tondo, Kecamatan Palu Barat, 3 Oktober lalu.

Kampus pesantren ini terletak hanya selemparan batu di bibir pantai. Saat kejadian, sebagian kampus porak-poranda, mulai rumah warga sampai gedung asrama. Meski begitu, atas kehendak Allah, semua penghuni pesantren berhasil menyelamatkan diri dan mengungsi.

Termasuk Muslimah yang selamat dari amukan tsunami setelah berhasil melarikan diri saat gempa terjadi. Ia juga terbantu dengan peringatan dari warga yang berteriak bahwa tsunami akan datang.

“Naik air,” teriakan itu ditirukannya kembali.

Saking paniknya saat melarikan diri, ia tak sempat lagi beralas kaki. “Cuma baju di badan (termasuk hijab), enda pakai sendal apa, enda ada sudah, anak saja kita bawa,” ungkapnya dengan logat khas orang Sulawesi.

Suaminya sedang tidak di rumah saat kejadian. “Saya sendiri dengan anak saya di sini, saya lari ke atas (gunung),” tutur wanita bercadar dan berjilbab besar ini.

Sekarang kondisinya sangat trauma akibat kejadian tersebut. Ia kini tinggal di pengungsian pesantren bersama keluarga.* Hamim/SKR

HIDAYATULLAH

Penyebab Terjadinya Musibah (3)

ALQURAN dengan tegas menjelaskan bahwa sebab utama terjadinya semua peristiwa di atas bumi ini, apakah gempa bumi, banjir, kekeringan, tsunami, penyakit thaun (mewabah) dan sebagainya disebabkan ulah manusia itu sendiri, baik yang terkait dengan pelanggaran sistem Allah yang ada di laut dan di darat, maupun yang terkait dengan sistem nilai dan keimanan yang telah Allah tetapkan bagi hamba-Nya.

Semua pelanggaran tersebut (pelanggaran sunatullah di alam semesta dan pelanggaran syariat Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad Saw), akan mengakibatkan kemurkaan Allah. Kemurkaan Allah tersebut direalisasikan dengan berbagai peristiwa seperti gempa bumi, tsunami dan seterusnya.

Semakin besar pelanggaran manusia atas sistem dan syariat Allah, semakin besar pula peristiwa alam yang Allah timpakan pada mereka. Allah menjelaskan dalam Alquran:

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.(Q.S. Al-Ankabut / 29 : 40)

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(Q.S. Ar-Rum / 30 : 41)

Kaum msulimim rahimakumullah Melalui ayat-ayat Alquran tersebut jelaslah bagi kita bahwa :

Semua peristiwa dan bencana yang kita saksikan di atas bumi dan alam semesta ini tidak ada yang terjadi begitu saja dengan sendirinya, melaikan sesuai kehendak dan ketentuan Tuhan Penciptanya, yakni Allah Taala.
Berbagai persitiwa dan bencana itu disebabkan kedurahakaan dan kesombongan manusia terhadap Allah dan syariat Allah serta berbagai dosa-dosa yang mereka lakukan. Lalu Allah menurunkan berbagai azab atas mereka.
Orang-orang kafir, sombong dan ingkar pada Allah dan Rasul-Nya melihat berbagai peristiwa tersebut murni hanya sebagai peristiwa alam yang terlepas dari kehendak dan sekenario Allah. Mereka tidak dapat mlihatnya sebagai sebuah azab, teguran atau cobaan. Melaikan hanya menambah kesombongan dan kekufiran kepada Allah. Sikap yang mereka kembangkan juga seakan melawan kehendak Alla. Namun sayang, sepanjang perjalanan umat manusia, belum ada satupun manusia yang mampu mengalahkan dan melawan kehendak Allah, kendati Firau yang begitu hebat memiliki semuak kekuatan saat berkuasa, namun tenggelam juga di laut merah dan bangkai dapat kita saksikan sekarang di sebuah useum di Mesir. Demiakian juga dengan Negara-negara maju teknolohi hari ini seperti jepang, Eropa dan Amerika. Belum pernah mereka mampu menahan gempa bumi, tsunami dan berbagai bencana yang Allah turunkan di negeri mereka. Semuanya lemah dan tak berdaya di hapadan kehendak Allah.
Sebaliknya, orang-orang beriman akan melihat semua peristiwa yang terjadi merupakan ujian dan teguran dari Allah. Mereka akan segera kembali dan bertaubat pada Allah. Semakin taat pada aturan Allah, baik yang terkait dengan sunnatullah maupun syariat Allah.
Sistem Allah terkait dengan imbalan (pahala) dan hukuman (punishment) bukan hanya terjadi di akhirat, melainkan sudah Allah terapkan sejak kita hidup di dunia. Setiap kebaikan yang dibangun di atas dasar iman pada Allah dan ketaatan pada-Nya dan Rasul-Nya akan berakibat keberkahan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat. Sebaliknya, setiap pelanggaran sistem Allah yang terkait dengan keimana, syariah, akhlak, sunnatullah dan sebabgainya akn berakibat kepada tidakan Allah melalui berbagai bencana yang Allah timpakan kepada manusia. Mari kita renungkan firman Allah berikut ini :

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka menolak (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.(96) Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?(97) Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?(98) Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.(99) (Q.S. Al-Araf / 7 : 96 99)

Kaum Muslimin rahimakumullah. Demikianlah khutbah singkat ini semoga bermanfaat bagi kita dalam menjalankan kehidupan dunia yang sementara ini. Semogaa Allah selalu membimbing kita ke jalan-Nya yang lurus, yaitu jalan para nabi, shddiqin, syhadak dan sholihin. [SELESAI]

 

 

Cara Pandang Manusia Terhadap Bencana Alam (2)

Kaum Muslimin rahimakumullah.

KALAU kita mentadabburkan ayat-ayat Alquraan terkait bencana alam yang menimpa berbagai umat sebelum kita, sejak zaman nabi Nuh, Ibrahim, Luth, Syuaib, Sholeh, Musa dan sebagainya, kita akan menemukan dua cara pandang manusia terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas bumi ini.

Pertama, cara pandang orang-orang kafir dan ingkar pada Allah dan Rasul-Nya. Cara pandang orang-orang yang sombong pada Allah dan tidak mengenal Tuhan Pencipta alam yang sebenarnya. Cara pandang orang-orang sekular yang tidak mampu melihat kaitan antara Tuhan dengan hamba, antara agama dengan kehidupan dan antara dunia dan akhirat.

Manusia semacam ini adalah manusia yang tidak pernah mau dan tidak mampu menjadikan berbagai peristiwa alam tersebut sebagai pelajaran dan sebagai bukti kekuasaan dan kebesaran Allah. Mereka bukannya mengoreksi diri dan kembali kepada Allah, melainkan semakin bertambah kesombongan dan pembangkangan mereka pada Allah dan Rasul-Nya. Hal seperti ini dijelaskan Allah dalam Alquran, di antaranya dalam surat Ghafir / 40 : 21 27 :

“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah” (21)

Yang demikian itu adalah karena telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata lalu mereka kafir; maka Allah mengazab mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Keras hukuman-Nya (22)

Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata,(23) kepada Firaun, Haman dan Qarun; maka mereka berkata: “(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta.”(24)

Maka tatkala Musa datang kepada mereka membawa kebenaran dari sisi Kami mereka berkata: “Bunuhlah anak-anak orang-orang yang beriman bersama dengan dia dan biarkanlah hidup wanita-wanita mereka.” Dan tipu daya orang-orang kafir itu tak lain hanyalah sia-sia (belaka) (25)

Dan berkata Firaun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.”(26) Dan Musa berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.”(27) (Q.S. Ghafir : 21 -27)

Kedua, cara pandang orang-orang beriman kepada Allah dan para Rasulnya. Apa saja peristiwa alam yang terjadi mereka kembalikan semuanya kepada kehendak dan kekusaan Allah, mereka hadapi dengan hati yang penuh iman, tawakal, sabar dan tabah serta mereka lihat sebagai sebuah ujian dan musibah untuk menguji kualitas keimanan dan kesabaran mereka, atau bisa jiag sebagai teguran Allah atas kelalaian dan dosa yang mereka lakukan.

Selain itu, semua peristiwa yang menimpa manusia mereka jadikan sebagai momentum terbaik untuk mengoreksi diri (tobat) agar lebih dekat kepada Allah dan sistem Allah dan Rasul-Nya. Pada saat yang sama merekapun meninggalkan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya.

Mereka adalah orang-orang yang sukses dalam beriteraksi dengan alam dan dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan semasa hidup di dunia dan juga di akhirat kelak. Allah menjelasakannya dalam Alquran surat Al-Baqoroh ayat 155 157 :

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(155) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun (sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami sedang menuju kembali kepada-Nya) (156) Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (157) (Q.S. Al-Baqoroh / 2 : 155 -157) [bersambung]

Pembangkangan Manusia kepada Sang Pencipta (1)

Kaum muslimin rahimakumullah.

PERTAMA-tama, marilah kita tingkatkan kualitas takwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal untuk melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Alquran dan juga sunah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Alquran dan juga sunah Rasul Saw.

Hanya dengan cara itulah ketakawaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan. Selanjutnya, selawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaiman perintah Allah: Wahai orang-orang beriman, ucapkan selawat dan salam pada nabi (Muhammad) Saw. (QS Al-Ahzab : 56).

Kaum Muslimin rahimakumullah.

Beberapa tahun belakangan ini, khususnya sejak Desember 2004 lima tahun silam; saat tsunami menerjang kawasan Barat Indonesia, khususnya wilayah Nanggro Aceh Darussalam, kita semakin sering melihat dan menyaksikan berbagai peristiwa besar yang menimpa negeri ini, dan terakhir gempa dengan kekuatan 7.8 SR mengguncang wilayah Sumatera, khususnya kota Padang dan Padang Pariaman. Kini bencana alam kembali terjadi di Indonesia yaitu di Lombok, NTB, dan Donggala, Palu, Sulawesi Tengah.

Peristiwa-peristiwa besar (bencana alam) itu bahkan juga menimpa hampir semua kawasan di atas bumi ini, tak terkecuali Negara-negara maju teknologi seperti Jepang, Taiwan, Cina, Eropa, Amerika dan sebabagainya.

Berbagai bencana alam seperti, gempa bumi, banjir besar, tsunami, berbagai penyakit yang mewabah dan bahkan di berbagai kawasan Amerika malah angin topan dan badai, seakan telah menjadi tontonan biasa.

Yang lebih menyedihkan lagi ialah, semua peristiwa besar tersebut dipandang bagaikan peristiwa yang terjadi begitu saja, tanpa ada kaitannya dengan kehendak Tuhan Maha Pencipta alam ini, yakni Allah Taala dan tanpa ada kaitannya dengan pembangkangan manusia terhadap Allah Tuhan Pencipta mereka.

Hal tersebut dapat kita lihat ungkapan dan opini yang berkembang dalam masyarakat yang mengandung semangat melawan bencana-bencana besar tersebut dengan cara membangun rumah dan gedung anti gempa, teknologi pendeteksi tsunami, kanal-kanal raksasa pengendali banjir, hujan buatan untuk mengatasi kekeringan, menciptakan vaksin anti berbagai virus yang menyebar di berbagai penjuru dunia dan sebagainya.

Apa yang diberitakan, didiskusiakan dan dilakukan sama sekali tidak mencerminkan hubungan semua peristiwa itu dengan Allah Rabbul Alamin. [bersambung]

Terapi Musibah

Terdapat ungkapan menarik yang tentunya telah mafhum, ad-dunya daar al-imtihan, dunia adalah arena ujian. Iman sejati justru berada dalam ujian. Lantas, mendidik nurani berbisik sebagaimana sajak Rendra, … hari ini dan esok, langit di luar langit di dalam, bencana dan keberuntungan sama saja.

Pesan moral dari sajak tersebut semestinya yang hadir dalam diri adalah kepasrahan yang tulus. Sebab, boleh jadi gelapnya musibah yang datang barangkali dapat memberikan pijar yang lebih terang dalam hidup.

Musibah hendaknya ditengarai sebagai jembatan yang mendatangkan keridhaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, Bahwasanya pahala itu ber gantung pada besarnya ujian bala, dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, maka kaum itu diuji nya terlebih dahulu, maka barang sia pa yang ridha mendapatkan ujian itu, maka mendapatkan keridhaan Allah, dan barang siapa yang benci, maka kemurkaan Allah baginya. (HR Tirmidzi).

Seseorang yang dirundung musibah, pada umumnya jiwa dan mental hidupnya menjadi rapuh. Oleh karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi seorang Muslim selain mengembalikan semua peristiwa kepada Allah sebagai sebuah takdir dari-Nya. Sebagaimana ungkapan yang sering kita serukan, innalillahi wainnailaihiraaji’un.

Secara eksplisit, sesungguhnya Allah telah memberikan terapi khusus bagi mukmin saat ditimpa musibah, sebagaimana firman-Nya, Hai orang- orang yang beriman, mintalah (pertolongan) kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS al-Baqarah [2]:153).

Pertama, sabar dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menyikapi kenyataan secara arif bijaksana. Seorang mukmin sejatinya menyadari bahwa hidup ini dan segalanya adalah hak mutlak Allah. Apa yang dimiliki, baik harta benda dan materi apa pun, hanyalah hak sekadar meminjam dari-Nya. Itu semua pada saatnya harus dikembalikan kepada-Nya. Bila semua yang kita miliki bukan milik kita, mengapa kita harus menangisi dan meratapi ketika semuanya lenyap dan hilang dari sisi kehidupam kita.

Sabar merupakan poros dan asas segala kemuliaan akhlak. Saat seseorang menaiki menara kebaikan dan keutamaan, maka sabar menjadi pondasinya. Zuhud, misalnya, merupakan bentuk sabar untuk tidak berfoya-foya meski di saat yang sama hidupnya bergelimang materi dan kekayaan. Qanaah atau merasa cukup dengan yang ada merupakan bentuk sabar dari segala keterbatasan yang ada walaupun di saat yang sama musibah menerpanya.

Kedua, shalat, secara generik berarti berdoa. Tipologi mukmin sejati, ia tidak pernah melepaskan segenap usahanya dengan berdoa yang terangkum indah dalam rangkaian shalat. Melepaskan diri dari belenggu musibah akan terasa indah manakala seseorang memasrahkan segala kehidupannya dalam untaian doa.

Shalat adalah serangkaian doa yang dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat juga merupakan representasi mikraj seorang mukmin dengan Allah SWT. Shalat adalah dialog istimewa dengan sang Khaliq. Melalui shalat, seorang mukmin dapat mencurahkan segala keluh kesahnya kepada sang pemilik kehidupan dan memohon pertolongan-Nya.

Tidak kurang lafal ayat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’indibaca 17 kali sehari-semalam dalam ritus shalat. Hanya Allah SWT satu-satunya yang berhak disembah dan sebaik- baiknya penolong dalam kehidupan.Shalat tidak hanya dipandang sebagai ungkapan rasa syukur saat mendapatkan rezeki yang berlimpah.

Shalat juga merupakan sarana memperingan penderitaan manakala beban hidup semakin berat. Di saat manusia dibelenggu rasa cemas, maka shalatlah yang membebaskannya. Pun di saat manusia diterpa musibah, maka shalat menjadi sumber tenaga, energi yang akan menguatkan diri dan imannya.

Orang yang dapat mengambil hikmah atas semua musibah, maka sejatinya dia adalah manusia yang tercerahkan.

Orang mukmin adalah orang yang tidak emosional saat mendapatkan musibah, pun tidak sombong tatkala mendapatkan anugerah. Tidak melekat pada kebahagiaan, tidak juga menolak pada kesedihan. Persis seperti bunga padma, di air tidak basah, di lumpur tidak kotor. Wallahua’lam.

OLEH AHMAD AGUS FITRIAWAN

 

Begini Cara Mengurus Jenazah dalam Kondisi Darurat

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan tata cara pengurusan jenazah dalam keadaan darurat. Hal ini terkait dengan paskagempa bumi tsunami di wilayah Donggala, Palu, Sulawesi Tengah.

Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan ada beberapa ketentuan tentang Pengurusan Jenazah (Tajhiz al-Janaiz) dalam kondisi darurat. Antara lain pertama, dalam keadaan normal, mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, menurut tata cara yang telah ditentukan menurut syari’at Islam.

“Kedua, dalam keadaan darurat di mana pengurusan (penanganan) jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syari’at seperti di atas,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (2/10).

Pengurusan jenazah dalam keadaan darurat itu tentu saja berbeda dengan mengurus jenazah dalam kondisi normal. Berikut ini tata caranya seperti disampaikan Zainut.

Pertama, memandikan dan mengkafani. Jenazah boleh tidak dimandikan, tetapi, apabila memungkinkan sebaiknya diguyur sebelum penguburan. Kemudian pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah yang bersangkutan walaupun terkena najis.

Selanjutnya, menshalatkan mayat. Mayat boleh dishalati sesudah dikuburkan walaupun dari jarak jauh (shalat ghaib), dan boleh juga tidak dishalati menurut qaul mu’tamad (pendapat yang kuat).

Langkah ketiga, menguburkan jenazah. Jenazah korban wajib segera dikuburkan. Jenazah boleh dikuburkan secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas, baik dalam satu atau beberapa liang kubur, dan tidak harus dihadapkan ke arah kiblat. Penguburan secara massal tersebut boleh dilakukan tanpa memisahkan jenazah laki-laki dan perempuan. Selain kitu, juga boleh antara muslim dan non-muslim. Jenazah boleh langsung dikuburkan di tempat jenazah ditemukan.

Baznas Serukan Gerakan Zakat Bantu Korban Tsunami

Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menyeru kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) di tingkat nasional dan daerah menggencarkan gerakan zakat untuk membantu korban gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah. Sebelumnya Baznas telah mengirim tim medis dan tim rescue dari Jakarta dan Makassar.

Ketua Baznas Bambang Sudibyo mengatakan, seluruh gerakan untuk membantu korban di lokasi bencana berada di bawah komando Baznas Pusat. “Kepada seluruh jajaran Baznas dan LAZ mari kita bantu saudara-saudara kita yang menjadi korban gempa dan tsunami dengan cara yang terkoordinasi di bawah arahan Baznas pusat melalui Baznas Tanggap Bencana (BTB),” kata Bambang kepada Republika.co.id, Sabtu (29/9).

Dia mengapresiasi respon cepat yang dilakukan oleh Baznas dan LAZ pada saat penanganan gempa bumi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Baznas mengajak hal serupa kembali dilakukan untuk membantu korban gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah.

Ia menegaskan, melalui koordinasi yang baik diharapkan bantuan akan tepat sasaran dan sesuai kebutuhan serta lebih cepat diterima oleh masyarakat yang membutuhkan. “Jadi mari kita lakukan sebaik yang kita lakukan di Pulau Lombok atau bahkan lebih baik lagi,” ujarnya.

Sebelumnya, Tim Medis dari Rumah Sehat Baznas Makassar dan sejumlah relawan telah bergabung bersama Tim Baznas Tanggap Bencana (BTB). Mereka bergerak menuju lokasi bencana gempa bumi dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. Koordinator Tim BTB, Ade Hilman mengatakan, saat ini tim dari Jakarta telah tiba di Makassar.

“Tim segera bergabung dengan tim medis untuk bergerak menempuh perjalanan darat selama 12 jam ke lokasi bencana, Baznas mengajak masyarakat untuk dapat berpartisipasi membantu pra korban gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah,” ujarnya.