Dalam Musibah Allah Memberi Ketakwaan dan Istiqamah

Habib Geys Abdurrahman Assegaf mengatakan musibah gempa dan tsunami yang menimpa Sulawesi Tengah merupakan cara Allah SWT menyayangi umatnya. Dia mengatakan ketika Allah secara lahir memberikan musibah, pada hakikatnya Allah memberikan ketakwaan dan istiqamah pada umatnya.

“Bisa jadi secara zahir Allah memberikan bencana, tetapi pada akhirnya Allah memberikan ketaqwaan, memberikan istiqamah dalam kehidupan,” ucap Habib Geys dalam acara doa bersama untuk Palu dan Donggala di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Kamis (4/10).

Ia mengatakan, apabila secara lahir Allah memberikan kesehatan, keselamatan, rumah mewah, istri yang cantik, dan suami yang sukses, maka Allah sedang memberikan umat-Nya ujian, menghalangi mereka dari kesyukuran, keimanan, dan ketakutan pada azab Allah. “Sesunguhnya azab Allah berbanding lurus dengan amal yang dilakukan manusia,” kata Geys.

Ia juga menambahkan, orang-orang yang diberikan musibah bukan berarti mereka melakukan dosa. Tetapi sesungguhnya Allah menyayangi orang-orang yang sabar.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) KH Masdar Mas’udi mengatakan bencana yang melanda Sulawesi Tengah merupakan kehendak Allah SWT. Bencana tersebut telah ditetapkan Allah pasti yang terbaik bagi umat-Nya.

“Kita percaya tak ada sesuatu di dunia tanpa rencana Allah. Meskipun kita tidak tahu, apa yang ditetapkan pasti yang terbaik,” ujar Kiai Masdar

Ia mengajak masyarakat husnuzan (berbaik sangka) terhadap bencana yang menimpa Sulawesi Tengah. Ia meyakini akan ada hal baik di balik bencana tersebut. Menurut dia, bencana mempunyai sisi positif, baik bagi mereka yang tertimpa bencana maupun yang selamat.

Hikmah bagi yang terkena musibah adalah momentum untuk berhenti berbuat kesalahan. Sedangkan, bencana tersebut juga menjadi hikmah bagi yang selamat, yaitu agar manusia selalu waspada.

“Allah punya segala-galanya. Itu artinya kita setiap saat harus siap menghadapi kematian. Nggak tahu kita kapan akan tiba,” kata Kiai Masdar.

 

REPUBLIKA

Hati-hati, Ucapan Bisa Pengaruhi Datangnya Bencana

LIDAH adalah juru bicara hati dan kata-kata adalah pengungkap niat, maka orang-orang beriman diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Taala untuk selalu menjaga perkataannya, kapan dan di mana pun mereka berada.

Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (al-Ahzab: 70).

Dalam situasi apa pun, ada ungkapan-ungkapan baik yang diajarkan oleh Islam kepada orang-orang Mukmin. Misalnya, ketika bencana terjadi, musibah datang, dan malapetaka menimpa, maka hendaklah kita mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilahi rodjiun Sesungguhnya kita hanyalah milik Allah, dan sesungguhnya kita kepada-Nya akan kembali.”

Ketika rasa takut datang menghantui, atau datang suatu berita yang mengagetkan, maka hendaklah kita mengucapkan, “Hasbunallahu wa nimal wakil Cukuplah Allah menjadi pelindung kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.”

Jika tidak sanggup memikul suatu beban, atau melaksanakan suatu pekerjaan, maka hendaklah kita mengucapkan, “La haula wa la quwwata illa billah Tiada daya dan tiada upaya melainkan dengan izin Allah.”

Sementara orang-orang yang penuh keraguan dan kemunafikan, memiliki kata-kata yang rendah, serendah perasaan mereka. Dan lemah, selemah pendirian mereka. Misalnya, ketika terjadi kekalahan pada pasukan kaum Muslim dalam satu peperangan, mereka berkata, “Kalau mereka tetap bersama-sama kita, tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh,” (Ali `Imran:156). Atau perkataan mereka yang berbunyi, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya,” (al-Ahzab: 12), dan perkataan-perkataan rendah lainnya yang seumpama dengan itu.

Ketika anak-anak Nabi Yaqub as minta izin membawa Yusuf ikut mereka bermain, beliau khawatir mereka menyakiti Yusuf. Padahal, seharusnya beliau bertawakkal dan memasrahkan segala urusan kepada Allah, atau beliau bisa melarang mereka membawa Yusuf, toh Yusuf masih ada di sisinya. Tapi, karena sayang anak, beliau berkata kepada mereka, “Aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala.” (Yusuf: 13). Dengan demikian, ia membuka peluang bagi mereka untuk melakukan kesalahan dan memberitahukan caranya. Karena itu, mereka pun pulang dengan mengatakan, “Ia dimakan serigala.” (Yusuf: 17).

Ketika Nabi Yusuf as diajak melakukan perbuatan keji , beliau berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.” (Yusuf: 33). Sebagian ahli ilmu mengatakan, “Seharusnya, beliau mengatakan, pengampunan dan keselamatan lebih aku sukai daripada penjara.” Karena perkataan itu, Nabi Yusuf pun dipenjara.

Di dalam gelapnya penjara dan sempitnya sel kurungan, beliau berkata kepada sahabatnya yang akan dibebaskan, “Ceritakanlah keadaanku kepada tuanmu.” (Yusuf: 42). Maksudnya, kepada raja. Padahal, Allah lebih dekat untuk dijadikan tempat pengaduan. Karena itu, jawaban Tuhan adalah, “Karena itu, ia tetap di dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (Yusuf: 42).

Firaun, sang tiran, berkata, “Sungai-sungai ini mengalir di bawahku.” (az-Zukhruf: 51). Maka, Allah membalasnya dengan mengalirkan sungai itu di atasnya, sehingga ia terbenam dan tenggelam.

Seorang munafik yang selalu membangkang berkata, “Mereka rela berada bersama-sama orang-orang yang tidak ikut berperang, dan Allah telah mengunci hati mereka, maka mereka tidak mengetahui akibat perbuatan mereka.” (at-Taubah: 93). Maka, datanglah izin Tuhan, “Ketahuilah, mereka telah terjatuh ke dalam fitnah.” (at-Taubah: 49).

Ucapan dapat mempengaruhi datangnya bencana. Karena itu, waspada dalam berbicara wajib hukumnya seperti wajibnya waspada dalam berbuat. Mewaspadai kata-kata juga sangat penting seperti pentingnya mewaspadai perbuatan.

Di dalam kitab Buzrjemher dikisahkan tentang seorang pemburu mencari burung merpati di hutan. Setelah sekian lama mencari dan tidak juga menemukannya, ia putus asa dan berniat pergi. Pada saat itu, sang merpati, yang merasa sudah selamat, mulai berkicau. Maka, pemburu itu pun berbalik menangkapnya.

Banyak kepala yang celaka karena pemiliknya mengatakan kalimat yang tidak berguna. Banyak leher yang tertebas karena pemiliknya salah lidah yang tidak dapat dibenarkan oleh al-Khalil maupun Sibawaih. Bukankah manusia masuk neraka juga disebabkan oleh lidah mereka? “Tiada satu ucapan pun yang terucap melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18). []

Sumber : Dr. Aid Abdullah al-Qarni, Silakan Terpesona

Antara Bencana dan Hidayah

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS al-Baqarah [2]:155 ).

Setiap orang beriman pasti akan dicoba. Huruf lam pada ayat di atas disebut laamut taukid (lam untuk suatu yang pasti ). Jika laamut taukiddigunakan dalam bahasa Arab sehari-hari, hal itu sesuatu yang biasa. Namun, bila berasal dari Yang Maha Pencipta, hal itu sesuatu yang sangat luar biasa. Artinya, setiap orang yang meyakini syariat agama Islam, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya tidak akan luput dari musibah dan cobaan.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkomentar: “Bahwa Allah SWT akan mencoba hambanya terkadang dengan hal yang mengembirakan dan terkadang dengan kesusahan berupa rasa takut dan lapar, sedikit, bahkan hilangnya harta benda, meninggalnya para karib kerabat serta sawah ladang yang tidak mendatangkan hasil seperti biasanya.”

Ketika musibah menimpa kita dan saudara-saudara kita, maka ucapan yang seharusnya kita perbanyak adalah Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un(Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. Kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah).

”Barang siapa yang membaca istirjaa ketika ditimpa musibah, maka Allah akan mengalahkan musibahnya, memberikan balasan yang baik kepadanya dan menjadikan baginya ganti yang baik yang diridhainya.” (HR As Suyuthi dalam kitab Ad Durrul Mantsur).

Said bin Jubair berkata: “Sungguh umat ini telah dikaruniai satu ucapan yang belum pernah diberikan kepada para nabi dan umat-umat sebelumnya, yaitu istirjaa.”

Namun, semestinya bukan hanya lidah yang berucap. Lebih dari itu, hati dan seluruh jiwa raga kita harus benar-benar kembali kepada-Nya, meratapi kesalahan, mengakui dosa-dosa yang telah kita lakukan serta mengisi detik-detik hidup kita dengan amal saleh dan ketaatan.

Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al Baqarah [2]:157 ). Al Muhtaduun (orang-orang yang mendapat petunjuk) merupakan derajat yang tidak sederhana dalam kacamata Alquran. Derajat ini biasanya diperuntukkan para nabi dan rasul. Akan tetapi, dalam ayat ini, ungkapan al muhtaduun diberikan bagi setiap orang yang mendapat musibah.

Modal mereka hanya satu, yaitu sabar. Menjadikan apa yang mereka peroleh sebagai sarana untuk memperoleh berkah, rahmat, dan hidayah Allah. Mereka tidak berkeluh kesah dengan derita yang mereka terima. Bagi mereka, seluruh peristiwa yang terjadi adalah yang terbaik bagi mereka.

“Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, sungguh setiap urusannya mengandung kebaikan. Jika ia ditimpa hal yang menyenangkan, maka ia bersyukur dan itu baik bagi dirinya, dan jika ia ditimpa musibah, ia bersabar dan itu juga baik bagi dirinya. Hal itu tidak dimiliki oleh siapa pun selain orang yang beriman (HR Muslim)”. Wallahu a’lam.

 

Oleh:  Abu Afifah Zulfiker

REPUBLIKA

Membedakan Bencana ini Karena Takdir/ Ulah Manusia

SUDAH tampak kini, bencana alam semakin sering terjadi. Gempa sering mengguncang bumi. Kebakaran hutan, pencemaran sungai, danau, serta lautan niscaya semakin memperparah bencana banjir, tanah longsor, polusi udara, air, dan ancaman sinar ultra violet matahari sebagai akibat dari semakin menipisnya lapisan ozon. Beberapa gunung berapi mulai aktif dan memperlihatkan gejala peningkatan. Di saat yang sama, pemanasan bumi (global warming) mengakibatkan es di kutub selatan dan utara mencair, siap menenggelamkan pesisir kepulauan. Jika sudah demikian, kemana manusia hendak berlari, berlindung, serta menyelamatkan diri?

Manusia harus berusaha maksimal untuk dapat mendeteksi hingga mampu meminimalisir berbagai bencana yang mungkin terjadi. Satu hal fundamental yang justru banyak terlupakan adalah bertobat meninggalkan perbuatan merusak alam dan senantiasa memohon keselamatan terhadap Allah Taala. Karena sesungguhnya bencana alam adalah peringatan bagi orang beriman yang lalai, serta hukuman bagi orang-orang yang kafir. Karena hanya di tangan Allah lah, kemampuan untuk mendatangkan dan menolak bala bencana seluruhnya. Lalu, kepada siapa lagi manusia dapat meminta perlindungan dan keselamatan kalau bukan kepada Allah Azza wa Jalla.

Berikut ini adalah salah satu doa perlindungan yang diajarkan oleh Rasulullaah shalallahu alaihi wa sallam, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan dalam urusan agamaku, urusan duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allah, tutupilah aib-aibku, berilah keamanan kepada hatiku dari ketakutan-ketakutan. Ya Allah, jagalah aku dari marabahaya yang mengancamku dari arah depan, arah belakang, arah kanan, arah kiri, dan arah atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu dari pembunuhan secara licik dari bawah.”

Ingatkah dengan bencana tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara, yang dahulu telah merenggut nyawa dan harta sebegitu besarnya. Ingatkah dengan gempa bumi di pesisir selatan Pulau Jawa yang juga telah memporak-porandakan berbagai kota. Melalui berita, kita dapat menyaksikan betapa perih luka saudara-saudara kita tertimpa bencana. Apabila kita cermati secara kasat mata, letusan gunung berapi, badai topan, gempa bumi, serta tsunami adalah musibah yang terjadi tanpa ada unsur kelalaian manusia. Ia terjadi semata kehendak Allah Taala.

Berbeda lagi dengan bencana bajir bandang dan tanah longsor yang merupakan akibat dari penggundulan hutan dan pembangunan yang menghilangkan tanah resapan. Tangan-tangan manusia rakus harta yang tak memiliki nurani menjadi awal dari datangnya rentetan bencana. Punahnya berbagai spesies hewan dan tumbuhan di lautan juga terjadi akibat ulah tangan manusia, melalui limbah pabrik, tumpahan minyak, pemakaian bahan peledak, dan lainnya. Mencairnya lautan es di kutub utara, juga melibatkan ulah manusia dengan pabrik-pabrik industri besar dan gas rumah kaca yang mengurangi lapisan ozon.

Demikianlah, ada bencana yang murni kehendak Allah tanpa unsur kesalahan manusia, adapula bencana yang terjadi sebagai akibat dari ulah tangan-tangan jahat manusia. Itulah sebabnya, dalam doa di atas, doa tersebut di awali dengan permohonan maaf lalu diiringi dengan permohonan perlindungan. Kaitannya sangat jelas, dengan memanjatkan doa ini, seorang muslim telah memohon kepada Allah agar tidak dihukum dengan bencana, baik ia bersalah maupun tidak, baik merusak alam maupun tidak. Saat berbuat dosa yang memang selayaknya mendapatkan hukuman, memanjatkan doa ini sama seperti merengek agar tidak dihukum. Adapun saat tidak melakukan dosa, doa ini berarti permohonan agar tidak menjadi korban atas dosa orang lain yang menyebabkan terjadinya bencana. Melalui doa dan dengan kemurahanNya, kesalahan kita (yang selayaknya diganjar dengan hukuman), bisa dimaafkan, asalkan bertekad tidak mengulanginya lagi. Dengan kebijaksanaanNya pula, kesalahan orang lain tidak akan menyebabkan bencana bagi diri kita.

Wallahu alam bish shawab. [Zulkifli Muhammad Ali]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2347342/membedakan-bencana-ini-karena-takdir-ulah-manusia#sthash.O2Skg1N4.dpuf

Tiga Alasan Bencana Menimpa Manusia

Oleh: Komarudin Saleh

 

Hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang bencana, mulai dari banjir, longsor, dan yang paling aktual adalah bencana asap di tanah Sumatra hingga bencana moral yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan kriminal. Mungkin kita bertanya mengapa semua ini terus terjadi? Alquran sebagai petunjuk dan pedoman hidup telah memberikan setidaknya tiga alasan terkait dengan bencana yang menimpa manusia.

Pertama, adakalanya bencana itu datang sebagai “soal ujian” bagi seseorang atau sekelompok manusia. Bencana jenis ini adalah murni kehendak Allah SWT (QS at- Thagaabun [64]:11) yang didatangkan untuk menguji manusia.

Banyak sekali teori yang diciptakan oleh manusia agar terhindar dari bencana atau musibah jenis ini. Dalam aktivitas perdagangan misalnya, untuk sukses dan terhindar dari kebangkrutan, manusia gencar merancang teori marketing dan promosi, tapi faktanya ada yang berkuasa mengatur arus rezeki.

Sikap yang harus kita ambil untuk menyikapi bencana ini adalah bersabar dan bertawakal kepada-Nya. Bersabar artinya kita menerima dengan lapang dada. Berat dan ringan cobaan yang menimpa seseorang bukan selalu bergantung pada bentuk musibahnya, melainkan tergantung pula bagaimana dia menerimanya. Jika diterima dengan hati yang sempit, sekecil apa pun musibah akan terasa berat. Ibarat sekepal garam yang dituangkan ke dalam air semangkuk, tentu akan terasa asinnya jika dibandingkan dengan sekepal garam yang dituangkan ke danau.

Kemudian tawakal, yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT, namun bukan berarti menyerahkan pekerjaan kepada-Nya. Artinya, manusia terus berusaha dan hasilnya terserah bagaimana Allah memberi ketetapan. Di samping itu, manusia juga senantiasa berprasangka baik kepada-Nya.

Kedua, adakalanya bencana itu datang disebabkan oleh kesalahan manusia (khatiiati an-naas) (QS ar-Rum [30]:41). Sifat serakah dan eksploitasi terhadap lingkungan hidup tentu berimplikasi terhadap datangnya bencana alam. Tidak jarang bencana yang ditimbulkan berdampak pula kepada mereka yang tidak terlibat dalam pengrusakan lingkungan.

Jutaan manusia di Riau dan sekitarnya yang terpapar asap kebakaran hutan mayoritas justru adalah mereka yang tidak terkait sedikit pun dengan keuntungan dari pembakaran hutan yang dilakukan atas nama ekonomi itu. Maka yang harus dilakukan, yakni, pertama, mengintrospeksi diri dan menata kembali hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dalam penataan ini jelas peran dan arahan pihak yang berwenang adalah yang terdepan.

Kedua, mempertebal kembali humanitas yang mungkin sudah mulai meluntur agar tidak ada lagi korban akibat keserakahan dalam mencari keuntungan. Ketiga, adakalanya bencana itu datang disebabkan oleh dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia (dzunubu an-naas). Jika bencana sebelumnya disebabkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia dengan alam, sedangkan jenis bencana yang satu ini disebabkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan.

Terdapat banyak kisah dalam Alquran yang mengisahkan tentang bencana yang menimpa kaum-kaum terdahulu yang disebabkan oleh dosa-dosa mereka. Tentu tidaklah semata-mata kisah tersebut disajikan dalam Alquran melainkan agar menjadi pelajaran. Maka, tidak ada yang dapat dilakukan untuk menghindari bencana jenis ini kecuali dengan pertobatan.

Demikianlah Alquran menjawab pertanyaan mengapa bangsa ini terus dilanda bencana. Boleh jadi keimanan kita sedang diuji, namun tidak menutup kemungkinan semua ini akibat dari kesalahan dan dosa-dosa yang kita perbuat. Apa pun yang melatari semua bencana yang melanda negeri ini, berpegang teguh kepada ajaran agama adalah solusinya. Wallahu a’lam.

 

sumber: Republika Online