Hukum Berbohong Demi Kebaikan

Dalam kondisi tertentu, terkadang kita perlu berbohong kepada orang lain demi kebaikan bersama dan untuk menghindari bahaya dan keburukan yang lebih besar. Misalnya, kita berbohong kepada istri demi terciptanya kerukunan dan kedamaian rumah tangga, atau kita berbohong kepada anak kecil agar dia berhenti menangis dan lainnya. Sebenarnya, bagaimana hukum berbohong demi kebaikan dalam Islam, apakah boleh?

Pada dasarnya, dalam Islam berbohong merupakan perbuatan tercela dan dihukumi haram. Kita tidak boleh berbohong kepada orang lain, sebaliknya kita harus berkata jujur. Hal ini karena selain merugikan orang lain, berbohong juga bisa membawa pelakunya pada keburukan lainnya, seperti tidak dipercaya orang lain dan sebagainya.

Namun demikian, meski pada dasarnya berbohong hukumnya haram, namun dalam kondisi tertentu berbohong justru diperbolehkan, bahkan terkadang menjadi wajib. Menurut Imam Al-Nawawi, berbohong boleh dilakukan jika hal itu dilakukan demi kebaikan yang tidak mungkin diperoleh kecuali dengan berbohong.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram berikut;

قال النواوي: اعلم أن الكذب وإن كان أصله محرما فيجوز في بعض الأحوال فكل مقصود محمود يمكن تحصيله بغير الكذب يحرم الكذب فيه، وإن لم يمكن تحصيله إلا بالكذب جاز الكذب، ثم إن كان تحصيل ذلك المقصود مباحا كان الكذب مباحا، وإن كان واجبا كان الكذب واجبا

Imam Al-Nawawi berkata: Ketahuilah bahwa berbohong, meski pada dasarnya hukumnya haram, namun ia boleh dilakukan dalam kondisi-kondisi tertentu. Setiap tujuan yang baik jika masih memungkinkan diperoleh tanpa berbohong, maka berbohong dalam kondisi seperti ini hukumnya haram. Namun jika tujuan yang baik itu tidak mungkin diperoleh kecuali dengan berbohong, maka hukumnya boleh berbohong. Jika tujuan yang baik itu bersifat mubah, maka berbohong hukumnya mubah, dan jika tujuan yang baik itu bersifat wajib, maka berbohong hukumnya wajib.

Dalil yang dijadikan dasar oleh Imam Al-Nawawi mengenai kebolehan berbohong demi kebaikan adalah hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Ummu Kultsum binti Uqbah, beliau mendengar Nabi Saw bersabda;

ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس فينمي خيرا أو يقول خيرا

Bukan seorang pendusta, orang yang berbohong untuk mendamaikan antar sesama manusia. Dia menumbuhkan kebaikan atau mengatakan kebaikan.

BINCANG SYARIAH

Siapa yang Berdusta Maka Dia Munafik

LIHAT cerita Hanzhalah dan Abu Bakr berikut ini,

Dari Hanzholah Al Usayyidiy -beliau adalah di antara juru tulis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam-, ia berkata, “Abu Bakr pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?”

Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Abu Bakr berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?”

Aku menjawab, “Kami jika berada di sisi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakr pun menjawab, “Kami pun begitu.”

Kemudian aku dan Abu Bakr pergi menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata di depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu bersabda, “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian mau kontinu dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. (HR. Muslim no. 2750).

Mereka masih khawatir diri mereka munafik, padahal keduanya adalah sahabat yang mulia, bagaimana lagi dengan kita-kita. Demikianlah sifat para sahabat, mereka takut tertimpa kemunafikan.

“Ibnu Abi Mulaikah pernah berkata: Aku telah mendapati 30 orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, semuanya khawatir pada dirinya tertimpa kemunafikan.” (HR. Bukhari no. 36)

Imam Ahmad pernah ditanya, “Apa yang kau katakan pada orang yang tidak khawatir pada dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Apa ada yang merasa aman dari sifat kemunafikan?”

Al Hasan Al Bashri sampai menyebut orang yang nampak padanya sifat kemunafikan dari sisi amal (bukan itiqod atau keyakinan), maka ia disebut munafik. Sebagaimana ada perkataan Hudzaifah dalam hal itu. Seperti ada perkataan Asy Syabi semisal itu pula,

“Siapa yang berdusta, maka ia adalah munafik.” (Jamiul Ulum wal Hikam, 2: 493)

Al Hasan Al Bashri berkata, “Orang yang khawatir terjatuh pada kemunafikan, itulah orang mukmin. Yang selalu merasa aman dari kemunafikan, itulah senyatanya munafik.” (Jamiul Ulum wal Hikam, 2: 491)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. Semoga Allah menyelamatkan kita dari kemunafikan. [Muhammad Abduh Tuasikal, MSc]

INILAH MOZAIK

Bahaya Dusta Atas Nama Nabi

Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar, bahkan bisa kafir.

Imam Adz Dzahabi dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran. Adapun perkara yang dibahas kali ini adalah untuk bentuk dusta selain itu.”

Beberapa dalil yang dibawakan oleh Imam Adz Dzahabi adalah sebagai berikut.

Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ  بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ

Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir)

Imam Dzahabi juga membawakan hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berkata atas namaku padahal aku sendiri tidak mengatakannya, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.

Dalam hadits lainnya disebutkan pula,

يُطْبَعُ الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلاَلِ كُلِّهَا إِلاَّ الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ

Seorang mukmin memiliki tabiat yang baik kecuali khianat dan dusta.” (HR. Ahmad 5: 252. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dhoif)

Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَوَى عَنِّى حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ

Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya).” (HR. Muslim dalam muqoddimah kitab shahihnya pada Bab “Wajibnya meriwayatkan dari orang yang tsiqoh -terpercaya-, juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 39. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Setelah membawakan hadits-hadits di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Dengan ini menjadi jelas dan teranglah bahwa meriwayatkan hadits maudhu’ -dari perowi pendusta- (hadits palsu) tidaklah dibolehkan.” (Lihat kitab Al Kabair karya Imam Adz Dzahabi, terbitan Maktabah Darul Bayan, cetakan kelima, tahun 1418 H, hal. 28-29).

Pembahasan ini bermaksud menunjukkan bahayanya menyampaikan hadits-hadits palsu yang tidak ada asal usulnya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/21024-bahaya-dusta-atas-nama-nabi.html

Berbohong kepada Suami atau kepada Istri yang Diperbolehkan

Berkata dusta atau bohong termasuk di antara perkara yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah [9]: 119)

Dapat dipahami dari ayat di atas yaitu larangan untuk menjadi atau bersama dengan orang-orang yang berkata dusta atau bohong.

Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian dari hukum di atas, yaitu diperbolehkannya berkata bohong dalam sebagian keadaan. Salah satunya adalah perkataan suami kepada istri atau sebaliknya. Masalah inilah yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

 

Dalil Diperbolehkannya Perkataan Bohong kepada Suami atau Istri

Diriwayatkan dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah radhiyallahu Ta’ala ‘anha, beliau berkata,

مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ، كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ

“Tidaklah aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan sedikit pun berkaitan dengan perkataan dusta kecuali dalam tiga perkara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

لَا أَعُدُّهُ كَاذِبًا، الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، يَقُولُ: الْقَوْلَ وَلَا يُرِيدُ بِهِ إِلَّا الْإِصْلَاحَ، وَالرَّجُلُ يَقُولُ: فِي الْحَرْبِ، وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ، وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا

“Tidaklah termasuk bohong: (1) Jika seseorang (berbohong) untuk mendamaikan di antara manusia, dia mengatakan suatu perkataan yang tidaklah dia maksudkan kecuali hanya untuk mengadakan perdamaian (perbaikan); (2) Seseorang yang berkata (bohong) ketika dalam peperangan; dan (3) Seorang suami yang berkata kepada istri dan istri yang berkata kepada suami.” (HR. Abu Dawud no. 4921, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Demikian juga dalam masalah ini terdapat hadis khusus yang diriwayatkan dari ‘Atha bin Yasar, beliau berkata,

جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله : هل علي جناح أن أكذب على أهلي ؟ قال : لا ، فلا يحب الله الكذب قال : يا رسول الله استصلحها و أستطيب نفسها ! قال : لا جناح عليك “

“Ada seseorang yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku berdosa jika aku berdusta kepada istriku?’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak boleh, karena Allah Ta’ala tidak menyukai dusta.’

Orang tersebut bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, (dusta yang aku ucapkan itu karena) aku ingin berdamai dengan istriku dan aku ingin senangkan hatinya.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tidak ada dosa atasmu.’ (HR. Al-Humaidi dalam Musnad-nya no. 329. Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 498)

 

Maksud Dusta kepada Suami atau Istri yang Diperbolehkan

Dari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Humaidi di atas, kita dapat mengetahui dusta seperti apakah yang diperbolehkan kepada istri atau sebaliknya. Dusta yang diperbolehkan adalah ketika seorang suami ingin menyenangkan istri yang sedang “ngambek” dan menghibur hatinya. Artinya, tidak semua dusta diperbolehkan.

Oleh karena itu, ketika Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku berdosa jika aku berdusta kepada istriku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak boleh, karena Allah Ta’ala tidak menyukai dusta.”

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menunjukkan bahwa dusta kepada istri atau kepada suami hukum asalnya tetap haram, namun terdapat pengecualian sebagaimana dalam kasus yang disebutkan, yaitu dusta untuk mendamaikan hati istri dan menyenangkan (menghibur) hatinya.

Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya, “Sayang, Engkau adalah wanita tercantik di dunia, kalau sayang ngambek tidak jadi cantik.” Padahal faktanya, istrinya bukanlah wanita tercantik di dunia ini. Jadi, boleh seorang suami memuji istri dengan pujian yang dusta dalam rangka menghilangkan rasa ngambek sang istri.

Hal ini sebagaimana penjelasan An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala ketika menjelaskan hadis ini,

وأما كذبه لزوجته وكذبها له فالمراد به في إظهار الود والوعد بما لا يلزم ونحو ذلك فأما المخادعة في منع ما عليه أو عليها أو أخذ ماليس له أو لها فهو حرام بإجماع المسلمين والله اعلم

“Adapun dusta dan bohong kepada sang istri, yang dimaksud adalah (dusta) untuk menampakkan besarnya rasa cinta atau janji yang tidak mengikat, atau semacam itu. Adapun berbohong (menipu) dalam rangka menahan (tidak menunaikan) apa yang menjadi kewajiban suami atau istri, atau mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak suami atau istri, maka ini haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 135)

Contoh dusta yang haram adalah suami memotong jatah nafkah yang berhak diterima istri dan suami beralasan dengan kebohongan. Misalnya dia mengaku sedang kesulitan ekonomi atau sedang kesusahan. Maka dusta semacam ini haram, karena ini bohong untuk tidak menunaikan kewajiban suami (yang menjadi hak istri). Atau misalnya, suami mengatakan kepada istri bahwa dia pergi ke luar kota dalam rangka perjalanan dinas. Padahal, dia ke luar kota bukan karena tugas dinas, namun sekedar senang-senang atau wisata.

 

Berdasarkan penjelasan An-Nawawi di atas, termasuk bohong yang diperbolehkan adalah janji yang tidak mengikat. Misalnya, seorang istri ngambek ingin dibelikan sesuatu dan suami tidak mampu, lalu sang suami berkata, “Kapan-kapan saja ya belinya.”

Perkataan “kapan-kapan” itu dinilai janji yang tidak mengikat, sehingga tidak wajib ditunaikan. Janji yang tidak mengikat semacam itu boleh diucapkan untuk menghibur atau menyenangkan hati sang istri.

Adapun janji yang mengikat, wajib dipenuhi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala berkata,

و ليس من الكذب المباح أن يعدها بشيء لا يريد أن يفي به لها ، أو يخبرها

بأنه اشترى لها الحاجة الفلانية بسعر كذا ، يعني أكثر من الواقع ترضية لها ،

لأن ذلك قد ينكشف لها فيكون سببا لكي تسيء ظنها بزوجها ، و ذلك من الفساد لا الإصلاح

“Tidaklah termasuk dusta yang mubah adalah seorang suami menjanjikan sesuatu dan dia tidak ingin (tidak berniat) untuk memenuhinya. Atau seorang suami mengabarkan kepada istri bahwa dia membelikan untuknya barang tertentu dengan harga sekian, yaitu lebih mahal dari harga sebenarnya, supaya istrinya rida. Karena hal semacam ini akan terbongkar di masa mendatang sehingga akan menjadi sebab buruk sangka istri kepada suami. Dan hal ini termasuk kerusakan, bukan perbaikan.” (Silsilah Ash-Shahihah, 1: 818)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44851-berbohong-kepada-suami-atau-kepada-istri-yang-diperbolehkan.html

Bercanda Tetapi Berbohong

Sempat menjadi trend kaum muda di zaman sekarang, bercanda tapi berbohong, yaitu trend “seberapa gregetnya kamu”. Bercanda dengan cara seperti ini umumnya dengan cara mengarang cerita yang umumnya tidak benar atau berbohong dalam candaan.

Kami nukilkan contohnya (tidak boleh diikuti):

“Kemaren gue lewati polisi tidur, trus gue selimuti polisinya”

“Kemaren gue beli lumpia basah, trus gue jemur supaya kering”

Contoh-contoh di atas adalah bercanda dan mengandung kebohongan. Hal ini tidak diperbolehkan oleh agama. Bagaimana pun juga hukum asal berbohong itu tidak boleh dan masih banyak cara lainnya untuk bercanda yang diperkenankan oleh syariat.

Bercanda seperti ini dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:

وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah orang yang berbicara kemudian dia berdusta agar suatu kaum tertawa karenanya. Kecelakaan untuknya. Kecelakaan untuknya.” [HR Abu Dawud no. 4990. Hasan]

Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin rumah di surga bagi mereka yang meninggalkan berkata dusta walaupun dalam hal bercanda. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

“Saya memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meningalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Saya memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meningalkan kedustaan walaupun dia bercanda. Saya memberikan jaminan rumah di surga yang tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya.” [HR. Abu Dawud, no. 4800; shahih]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa berbohong dalam bercanda dapat menimbulkan permusuhan atau salah paham di antara manusia. Syariat ini dalam rangka untuk menuntup jalan ke arah yang lebih buruk, jadi meskipun tidak menyebabkan langsung, tetapi bisa jadi menjadi penyebab permusuhan dan salah paham di kemudian hari. Beliau berkata,

وقد قال ابن مسعود : ” إن الكذب لا يصلح في جَدٍّ ، ولا هزل ” … .
وأما إن كان في ذلك ما فيه عدوان على المسلمين ، وضرر في الدين : فهو أشد تحريماً من ذلك ، وعلى كل حال : ففاعل ذلك – أي : مضحك القوم بالكذب – مستحق للعقوبة الشرعية التي تردعه عن ذلك .

“Ibnu Ma’sud berkata, ‘Berbohong itu tidak layak baik dalam keadaan serius maupun bercanda’. Apabila dalam candaan menimbulkan permusuhan di antara manusia dan menimbulkan madharat dalam agama, maka lebih diharamkan lagi. Pelakunya berhak mendapatkan hukuman yang bisa membuat jera.” (Majmu’ Al-Fatawa 32/256]

Bisa jadi seseorang menganggap bercanda, tetapi bagi orang lain itu bukanlah bercanda dan menyakiti hatinya. Perhatikan hadits berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا

“Tidak boleh seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik bercanda maupun serius.” [HR. Abu Dawud, shahih]

Bercanda dengan berbohong juga termasuk membuang-buang waktu kita yang sangat berharga. Lebih baik kita gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dan semoga Allah memudahkan kita.

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya’.” [HR. at-Tirmidzi, hasan]

Demikian semoga bermanfaat

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/43730-bolehkah-bercanda-dengan-cara-berbohong.html

Hoaks Jangan Dianggap Remeh

DALAM sebuah hadis Rasulullah SAW menerangkan bahwa salat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Tetapi, ada orang yang salat dia masih melakukan perbuatan keji dan munkar seperti berbohong (hoaks).

Bagaimana hukuman bagi orang yang salat tetapi suka berbohong? Islam mengajarkan agar seorang Muslim selalu dan mampu menjaga lisannya atau perkataannya. Sebab, berbohong adalah termasuk dalam kategori dosa-dosa besar. Namun, yang terjadi sekarang banyak sekali orang bahkan kita sendiri yang suka bermain-main dengan kebohongan.

Tak sedikit yang menganggap bohong merupakan sesuatu yang sepele. Padahal kita tahu sekecil apapun kebohongan tetap saja dianggap sebagai dosa besar.

Allah SWT berfirman di dalam surat An-Naml:

“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” [QS. An-Nahl ayat 105]

Bohong atau dusta adalah sifat buruk yang sangat dibenci, dan Allah sendiri mengutuknya. Kebohongan merupakan induk dari berbagai macam perkara buruk yang tidak hanya merugikan diri sendiri tapi juga orang lain.

Berbohong adalah pangkal dari berbagai kejahatan, dan salah satu ciri golongan orang munafik adalah mereka yang suka berkata dusta.

Dari Ibnu Masud bahwa Rasulullah bersabda,

“Berkata benar jadikanlah kebiasaan bagimu, karena benar menurut kebaikan dan mengantarkan ke surga. Seseorang selalu berkata benar (pasti) ditentukan siddiq di sisi Allah. Dan berhati-hatilah kamu pendusta, karena dusta menimbulkan kekejian (kejahatan) dan akibatnya akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Seseorang berdusta akhirnya ditentukan pendusta di sisi Allah”.

Kejujuran merupakan landasan iman bagi seorang Muslim. Bentuk kejujuran itu dapat dibuktikan melalui ucapan maupun perilaku sehari-hari.

Pada saat hari kebangkitan dan hari pembalasan kelak, seorang pendusta akan datang bersama kelompoknya (pendusta) dan datang kepada Allah dengan keadaan yang mengerikan. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” [QS. Az-Zumar ayat 60]

Allah juga berfirman:

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” [QS. Az-Zumar ayat 3]

Seperti yang Allah sudah firmankan dalam ayat di atas, orang yang berbohong pasti akan mendapatkan ancaman siksa neraka. Dan mereka memiliki ciri yaitu dengan muka yang sangat hitam legam.

Perbuatan dusta adalah salah satu perbuatan yang dapat merusak dan melenyapkan amal ibadah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga walaupun ia salat, puasa, walaupun ia mengira bahwa ia menjadi seorang Muslim, yaitu berdusta saat berbicara, jika berjanji dia ingkar, dan berhianat apabila diberi amanat (kepercayaan)”.

Bahkan, lebih parah lagi Allah tidak akan mau melihat dan mensucikan mereka yang berbohong dan Allah akan menyiksa mereka dengan siksa yang pedih.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW;

“Ada tiga golongan di hari kiamat nanti Allah tidak akan melihat dan mensucikan mereka bahkan akan ditimpakan siksaan yang pedih yaitu, orangtua yang berzina, raja yang berdusta, dan fakir yang sombong.” [HR. Muslim]

Dusta adalah perbuatan yang dilarang Islam, dan Allah akan mencatat dosa sekecil apapun dan akan tetap membalasnya. []

 

 

Orang Lain Bisa Dibohongi, Diri Sendiri tak Bisa

MUNGKIN manusia bisa membohongi orang lain, tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Didalam hatinya ada pengadilan yang akan mengadilinya sebelum menghadapi Mahkamah Agung dihadapan Allah swt.

“Aku bersumpah dengan hari Kiamat, dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu mencela (dirinya sendiri).” (QS.Al-Qiyamah:1-2)

Itulah kenapa Allah menggandengkan Hari Kiamat dengan Nafsil Lawwamah (Jiwa Manusia yang Mencela Dirinya). Setiap kali berbuat salah, hati kecil kita pasti mencela dan menyesali perbuatan itu. Dan ternyata, rasa penyesalan ini adalah hukuman pertama atas kesalahan yang kita perbuat.

Semua orang pasti mengalami kegelisahan yang sangat ketika pertama kali berbuat dosa. Jiwanya terus menyalahkan, hati kecilnya berontak dan mengadili kesalahan itu. Disaat seperti ini jalan untuk kembali masih mudah karena fungsi Nafsil Lawwamah nya belum mati.

Namun jika dosa itu terus terulang, maka rasa penyesalan itu semakin hilang. Hati kecil yang mencela keburukan itu semakin redup. Tak ada lagi rasa gelisah jika bersalah. Dalam posisi ini, jalan untuk kembali semakin sulit.

Hilangnya rasa penyesalan ini adalah hukuman yang lebih berat dari sekedar kegelisahan, karena Allah telah mencabut fungsi Nafsil Lawwamah yang selalu mengingatkan kesalahan dan Membiarkannya terjerumus dalam kemaksiatan. Baginya semua dosa ini adalah hal yang wajar. Tidak ada lagi antibody yang menahannya untuk berbuat buruk.

Selain Mahkamah Hati, ada juga Mahkamah Agung yang menanti di Hari Pembalasan. Terlalu banyak saksi yang akan berbicara tentang apa yang selama ini kita lakukan. Mulai bumi hingga anggota badan kita sendiri.

Jika manusia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, bagaimana ia akan membohongi Tuhan yang memiliki banyak saksi?

“Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri dan meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS.Al-Qiyamah:14-15). [Khazanahalquran]

 

MOZAIK INILAHcom

3 Batasan Berbohong Demi Kebaikan dalam Islam

PADA prinsipnya berbohong atau berkata dusta atau berperilaku tidak jujur dilarang dalam Islam. Alquran dan al hadits secara tegas mencela mereka yang suka berbohong. Alquran menganggap berbohong adalah perilaku orang yang tidak beriman.

“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah pembohong.” (QS An Nahl: 105)

Rasulullah menegaskan haramnya berdusta dan menjadi salah satu tanda orang munafik, “Tanda orang munafik ada tiga: berkata bohong, ingkar janji, mengkhianati amanah.” (HR Bukhari & Muslim).

Ada saat dan kondisi tertentu di mana berbohong itu dibolehkan. Yaitu, di saat terpaksa dan dalam situasi darurat.

“Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS An Nahl: 106)

Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin jilid IV/284 mengutip sebuah hadis Nabi yang membolehkan seseorang berdusta dalam 3 (tiga) perkara:

“Rasulullah tidak mentolerir suatu kebohongan kecuali dalam tiga perkaran: (a) untuk kebaikan; (b) dalam keadaan perang; (c) suami membohongi istri dan istri membohongi suami (demi menyenangkan pasangannya).”

Dalam hadis lain yang serupa dikatakan, “Setiap kebohongan itu terlarang bagi anak cucu Adam kecuali (a) dalam peperangan. Karena peperangan adalah tipu daya. (b) menjadi juru damai di antara dua orang yang sedang bertikai; (c) suami berbohong untuk menyenangkan istri.”

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan maksud hadis ini, “Adapun bohongnya suami pada istri dan bohongnya istri pada suami maka yang dimaksud adalah dalam menampakkan rasa sayang, dan berjanji yang tidak wajib, dan yang semacam itu. Adapun berbohong suami karena tidak bisa memenuhi kewajibannya atau bohongnya istri karena meninggalkan kewajibannya atau mengambil hak yang bukan milik suami atau istri maka itu haram menurut kesepakatan ulama (ijmak).”

Memiliki dan menumbuhkan sifat jujur wajib bagi setiap muslim karena jujur merupakan sifat yang membedakan antara mukmin dan munafik. Dan hukum berbohong adalah:
1. Haram yaitu melakukan kebohongan yang tidak berguna
2. Makruh, untuk mendamaikan dua orang yang berselisih.
3. Mubah, dalam hal cumbu rayu suami istri.
4. Sunah, dalam peperangan antara muslim dan kafir.
5. Wajib,untuk menyelamatkan jiwa seseorang.

Allah maha teliti hitungannya dan tidak zalim kepada hambanya, jadi kalau seseorang melakukan dosa kecil maka Allah akan mencatatnya sebagai dosa kecil dan bila melakukan dosa besar akan dicatat sebagai dosa besar, yang harus di garis bawahi ‘Tumpukan dosa kecil akhirnya bisa bergulir seperti bola salju dan menjadi tumpukan dosa besar’.

Oleh karena itu jangan pernah meremehkan dusta/ dosa, sekecil apapun sebaiknya dihindari dan selalu waspada agar tidak terjatuh pada kondisi yang memberatkan diri kita. Wallahu a’lam. [Ustadzah Nurdiana]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2337910/3-batasan-berbohong-demi-kebaikan-dalam-islam#sthash.gP685Ux1.dpuf

Ketika Orang Tua Tak Sadar Ajari Anak ‘Berbohong Demi Kebaikan’

White lies, satu istilah yang merujuk pada kebohongan yang dilakukan demi kebaikan. Hal ini sepertinya lumrah dilakukan orang dewasa. Tapi pada anak, apakah white lies juga bisa dilakukan?

“Sebetulnya bohong tetap bohong. Ketika anak berbohong, dia kan menyembunyikan fakta atau tidak mengungkapkan fakta, atau dia mencari fakta baru yang tidak sesuai dengan kejadian. Itu kan sesuatu yang perlu diklarifikasi,” tegas psikolog anak dan remaja dari RaQQi – Human Development & Learning Centre, Ratih Zulhaqqi.

Dalam perbincangan dengan detikHealth, Ratih kurang setuju dengan adanya anggapan bahwa anak bisa diajak berbohong, meski bentuk kebohongan itu adalah ‘white lies’. Sebab, nantinya anak bisa bingung.

Jika sebelumnya anak selalu diwanti-wanti untuk jujur, tapi suatu hari ia diminta berbohong, maka anak akan bingung karena sebelumnya ia dilarang bohong tapi mengapa kemudian ia diminta melakukan sesuatu yang dilarang tersebut.

Atau, bisa juga anak langsung mengambil nilai bahwa memang berbohong boleh dia lakukan. Sebab, kata Ratih pada dasarnya children see, children do atau dengan kata lain, anak akan melakukan apa yang dia lihat.

Contohnya saja, ketika ibu membeli tas baru bersama sang anak tanpa sepengetahuan si ayah. Lalu, si ibu meminta sang anak untuk mengatakan pada ayahnya bahwa tas ibu merupakan pemberian teman, bukan dibeli.

“Kalau begitu artinya ada negosiasi soal bohong dengan anak. Akhirnya anak mengambil suatu nilai bahwa dia boleh melakukan ini. Akan lebih baik kalau langsung saja bilang ini dikasih, jadi nggak perlu mengungkapkan fakta,” kata pemilik akun twitter @ratihyepe ini.

Atau, bisa juga jelaskan kepada anak mengapa sang ibu harus menyembunyikan fakta bahwa memang tas itu dibeli. Meski begitu, Ratih menegaskan sebisa mungkin ajari anak untuk tidak berbohong, salah satunya dengan memberi contoh pada mereka.

 

sumber: Detik.com

Berita Bohong

Oleh: Sarbini Abdul Murad

Ingatlah ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.” (QS an-Nuur: 15).

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan berita bohong (hadisul ifki) terhadap Sayyidah Aisyah RA. Berita itu disebarkan dari mulut ke mulut oleh kaum munafik dan sebagian kecil sahabat (Hamnah binti Jahsi, Hasan bin Tsabit, dan Misthah bin Asasah) yang juga terpengaruh. Orang-orang munafik sengaja ingin merusak kehormatan Ummul Mukminin Aisyah RA.

Perangkap ini kurang disadari ketiga sahabat itu dan mereka justru ikut berperan dalam penyebaran informasi yang tidak benar. Mereka tidak menyadari bahwa menyebarkan berita bohong di sisi Allah merupakan pelanggaran serius sampai Allah menurunkan teguran melalui wahyu.

Pada zaman digital sekarang, penyebaran segala macam informasi jauh lebih cepat dan aksesnya pun lebih mudah. Siapa pun dengan bebas menyebarkan informasi dari mana saja, bahkan dari sumber tidak jelas.

Sayangnya, sebagian mereka menyebarkannya tanpa meneliti dahulu apakah informasi itu layak disebarkan, apakah ada konsekuensi akibat tersebarnya informasi itu, apakah bisa merusak nama baik orang dan memecah-belah keutuhan umat?

Kita mesti bijak dalam menyebarkan informasi yang berseliweran di dunia maya. Keakuratan dan kesahihan informasi merupakan hal penting. Jangan sampai latah menyebarkan informasi yang kita sendiri tidak mengetahui kebenarannya. Kelatahan bukan berarti bebas dari konsekuensi kesalahan dan dosa.

Janganlah kebencian terhadap seseorang atau suatu golongan membutakan hati kita sehingga dengan sengaja menyebarkan berita bohong atau fitnah dengan maksud untuk merusak reputasi orang atau lembaga lain. Menahan diri segala macam isu yang belum tentu benar adalah sikap yang lebih bijak. (QS al-Maidah: 2).

Saling membantu dan saling menasihati adalah spirit utama umat Islam. Ibarat tubuh, apabila salah satu anggotanya sakit, anggota tubuh yang lain juga merasakan sakit.

Ayat di atas menjelaskan sekaligus menjadi peringatan bahwa saling menyebarkan berita bohong atau informasi yang tidak jelas kebenarannya termasuk dalam tolong-menolong dalam berbuat dosa. Islam melarang dan mengingatkan umatnya untuk berhati-hati agar tidak tergelicir dalam perbuatan dosa. (QS an-Nuur: 12).

Islam telah membuat bingkai dengan begitu indah supaya umat tidak jatuh ke kubangan perpecahan dan kehancuran. Penekanan pada sikap berbaik sangka merupakan dasar utama ketika kita mendengar ada informasi yang sumbernya tidak jelas.

Bertabayyun untuk mengklarifikasi informasi yang menjurus kepada fitnah dengan membuka saluran cross-check sehingga umat akan terjaga keutuhannya dan tak terpancing melakukan perbuatan bodoh. (QS al-Hujurat: 6).

Umat Islam harus waspada atas derasnya informasi yang dengan sangat cepat menjungkirbalikkan prasangka seseorang terhadap orang lain. Dengan begitu, umat Islam tidak mudah diadudomba oleh pihak yang memang senang melihat umat Islam terpecah-belah.

 

sumber: Republika Online