Bercerminlah! Agar Tahu Kekurangan Kita

Jika kita ingin orang lain berbuat baik pada kita, maka berbuat baiklah pada orang lain,  karena orang lain adalah cermin kita

BENAR memang kata orang, jikalau kita ingin terlihat lebih baik maka bercerminlah. Karena dengan cermin kita bisa mengetahui kotoran atau noda di wajah kita, sekecil apapun itu, bahkan pada bagian-bagian yang tak bisa dijangkau oleh pandangan mata.

Tapi sayang, tidak semua orang bisa bercermin, lebih tepatnya tidak mengetahui fungsi cermin yang sebenarnya. Apalagi cermin kehidupan kita. Rasulullah ﷺ telah bersabda

المؤمن مرآة المؤمن

“seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.”

Untuk mendapatkan hasil yang sempurna, seyogyanya kita mengetahui langkah-langkah penggunaan cermin yang benar. Berikut ini beberapa poin yang berhasil pernulis rangkum dari berbagai kata-kata bijak.

Mencari kesalahan, kekurangan juga kotoran yang ada pada diri kita (instropeksi diri). Mungkin kita tidak sadar, bila ternyata baju yang kita pakai itu sobek atau bolong.

Begitupun dalam keseharian kita. Bagaimana kita bisa mengetahui kesalahan, kekurangan dan keburukan diri kita jika tanpa melalui orang lain, sabda Rasulullah ﷺ

انّ احدكم مرآة اخيه

“sesungguhnya setiap dari kalian adalah cermin bagi saudaranya.”

Terkadang kita terlena dengan hanya mencari-cari keburukan orang lain, mengumbar kesalahan orang lain, tapi kita tidak pernah melihat dan mengoreksi keburukan, kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri. Wajar saja jika pepatah mengatakan, “semut di seberang laut tampak, gajah di pelopak mata tak tampak.“

Itulah kesalahan dan kelalaian kita yang perlu di benahi. Maka dari itu, sebelum kita menilai orang lain, nilailah diri kita sendiri.

Seperti maqolah;

حاسبوا قبل ان تحاسبوا

“koreksilah diri kalian sebelum kalian dikoreksi (dihisab)”

Caranya? Bisa dengan bertanya pada orang lain apa saja kesalahan dan kekurangan kita, atau dengan meresapi kritikan atau ejekan orang lain atau bahkan teman kita sendiri. Khusnudzon sajalah.

Bila dia mengkritik, bukan berarti dia benci atau sengit. Justru itu merupakan bukti bahwa dia sebenarnya perhatian pada kita dan ingin kita merubahnya.

Itu merupakan peluang bagi kita untuk mengoreksi dan menyadari kesalahan serta kekurangan kita, walaupun kebanyakan dari kita jika dikritik malah marah-marah, termasuk saya. Astaghfirullahaládzim.

Mengetahui kesalahan yang kecil atau bahkan yang tidak bisa terjangkau oleh pandangan mata (tidak kita sadari). Sering kita merasa apa yang telah kita lakukan sudah dirasa benar tapi belum tentu menurut orang lain seperti itu, karena memang dia melihatnya dari sisi yang berbeda sehingga terkadang kita tidak menyadari kesalahan itu sendiri atau juga dalam gagasan, pendapat kita.

Sehingga Imam Syafi’i pernah berkata

 رأينا صدق يحتمل الخطاء و رأي غيرنا خطاء يحتمل الصدق

“Pendapatku benar tapi juga masih bias salah, dan dapat selainku salah, tapi juga masih bisa benar.”

Memperbaiki kesalahan dan bertaubat lebih baik. Setelah kita mengetahui kesalahan kita, tentu kita juga ingin memperbaikinya supaya tidak terulang lagi.

Seperti kata pepatah “keledai tak akan pernah jatuh ke lubang yang sama”. Dalam hal itu tentu juga kita membutuhkan orang lain.

Tujuannya, supaya kita bisa tahu cara yang benar dalam memperbaiki diri, pendek kata “menyelesaikan masalah tanpa menambah masalah”.

Dalam hal ini mungkin bisa dengan meminta nasehat, pertimbangan atau kita bicarakan dengan teman. Bahasa gaulnya curhat atau kalau menurut santri musyawarah. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ

ما خاب من استشار و لا ندم من استخار

“Tidak ada ruginya orang yang bermusyawarah, dan tidak ada sesal orang yang beristikharah.”

Meneliti ulang hasilnya (evaluasi diri). Setelah kita selesai memperbaikinya, coba kita periksa kembali, siapa tahu masih ada suatu yang tidak benar atau kurang pas.

Dalam suatu maqolah dikatakan

إذا تّم الأمر بدأ نقصه

“Ketika suatu perkara telah sempurna, baru akan nampak kekurangannya.”

Cobalah kita tanyakan lagi pada orang lain, sudah benarkah kita dalam menyikapi dan memperbaikinya? Hal ini bertujuan agar kita mencapai klimaks yang sempurna.

Menyamakan/membandingkan dengan orang lain (barometer standarisasi). Jika kita ngefans pada seorang idola, atau kita melihat orang yang baik, tentu kita ingin meniru dan mengikuti gayanya, katakanlah biar kita sama, setidaknya mirip dia.

Begitupun sebaliknya, bila kita melihat seseorang itu jelek, tentu kita tidak ingin seperti  dia. Itu manusiawi memang.

Terkadang kita juga perlu menempatkan seseorang sebagai barometer standaritas diri kita. Mau kita jadikan seperti apa diri kita tak lepas dengan memandang orang lain sebagai tolak ukurnya. Siapa orangnya, itu terserah Anda.

المرء مع من احبّه

“Seseorang itu akan bersama dengan orang yang ia sukai kelak di hari kiamat.”

Dan seperti apa dia, ya itulah perwujudan kita setelah menirukannya. Jika kita melihat kesempurnaan pada diri orang lain maka jangan hanya kita melihat hasilnya, karena bisa saja itu akan menjadi bayangan semu bagi kita, fatamorgana dan kamuflase belaka.

Tapi cobalah kita menilik prosesnya, bagaimana dia bisa mencapai kesempurnaan itu, supaya kita bisa menemukan dan melihat bayangan yang benar-benar nyata.

Atau juga ketika kita tidak ingin menemukan bayangan dalam cermin terlihat buruk maka janganlah memperburuk diri kita. Dalam arti, jika kita tidak ingin orang lain menyakiti atau menghina kita, maka jangan sampai pernah kita menyakiti atau menghina orang lain, pun juga kita ingin dia berbuat baik pada kita maka berbuat baiklah padanya. Karena orang lain adalah cermin nyata bagi kita.

“Apabila baik (amal kita) maka baik pula (balasannya) dan bila buruk (amal kita) maka buruk pula (balasannya).”

Semoga Anda bisa bercermin dan sayapun juga. Amin.*

HIDAYATULLAH