Bukan Sekadar Mengingat Allah

Sering disampaikan dalam pengajian bahwa seorang hamba yang selalu mengingat Allah, maka Allah akan ingat kepada hamba tersebut. Mengingat Allah di sini tidak hanya sekedar ingat saja dalam pikiran, tatapi bentuk ingat kepada Allah tersebut diungkapkan dengan zikir dalam hati dan perbuatan yang bernilai ibadah.

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ

Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (QS Al-Baqarah: 152).

Dalam Tafsir Ringkas Kementerian Agama, dijelaskan maksud ayat tersebut. Yakni atas semua kenikmatan yang didapatkan manusia itu, Allah menyuruh kaum Muslim untuk selalu mengingat-Nya. Maka ingatlah kepada-Ku, baik melalui lisan dengan melafalkan pujian, melalui hati dengan mengingat kekuasaan dan kebijaksanaan Allah, maupun melalui fisik dengan menaati perintah Allah.

Jika kamu mengingat-Ku, Aku pun pasti akan ingat kepadamu dengan melimpahkan pahala, pertolongan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Bersyukurlah juga kepada-Ku atas nikmat-Ku dengan menggunakannya di jalan-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku, kepada nikmat-nikmat-Ku, dan jangan mempergunakannya untuk berbuat maksiat.

Tafsir Kementerian Agama menerangkan, dengan nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada kaum Muslimin, hendaklah mereka selalu ingat kepada-Nya, baik di dalam hati maupun dengan lisan, dengan cara membaca tahmid (alhamdulillah), tasbih (subhanallah), dan membaca Alquran dengan cara memikirkan alam ciptaan-Nya untuk mengenal, menyadari dan meresapi tanda-tanda keagungan, kekuasaan dan keesaan-Nya.

Apabila mereka selalu mengingat Allah, Dia pun akan selalu mengingat mereka pula. Hendaklah mereka bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang telah dianugerahkan-Nya dengan jalan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya dan dengan jalan memuji, bertasbih dan mengakui kebaikan-Nya. Di samping itu, janganlah mereka mengkufuri nikmat-Nya dengan menyia-nyiakan dan mempergunakannya di luar garis-garis yang telah ditentukan-Nya.

IHRAM

Menghidupkan Shalat dan Zikir di Saat Orang Lupa

BETAPA utama zikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala di saat orang-orang lupa dengan menghidupkan zikir, tasbih, dan shalat. Sebagian sahabat menyenangi menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya dengan shalat dan zikir. Mereka menyebutnya sebagai sa’ah al-ghaflah (waktu lupa).

Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik waktu ghaflah adalah shalat pada waktu antara Isya dan Maghrib.” (Baihaqi). Disebutkan juga bahwa berdoa pada waktu ini (antara Maghrib dan Isya) tidak akan ditolak, artinya diijabah. Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa melaksanakan shalat setelah Maghrib enam rakaat, ia tidak bicara kejelekan pada waktu itu, maka baginya pahala ibadah sebanding dua belas tahun.” (H.R. Ibnu Majah Ibnu Huzaimah dan Tirmizi).

Dalam hadist riwayat Aisyah dijelaskan bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa melakukan shalat dua puluh rakaat setelah Maghrib, maka Allah akan membangun baginya satu rumah di surga.” ( H.R. Ibnu Majah dan Tirmizi). Huzhaifah radiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendatangi Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam, lalu aku shalat Maghrib bersama Nabi hingga shalat Isya.” (H.R. Nasa’i).

Abu Syaikh meriwayatkan hadis dari Zubair radiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa duduk berzikir setelah shalat Maghrib hingga shalat Isya, nilai duduknya itu sama dengan perang di jalan Allah. Dan barangsiapa duduk berzikir setelah shalat Subuh hingga matahari terbit, nilainya sama dengan pergi be juang di jalan Allah.”

Sayyidina Umar berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dari sesuatu yang dapat menjaga iman seseorang.” Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menghendaki Allah menjaga imannya hingga hari kiamat, hendaklah shalat dua rakaat setelah shalat Maghrib sebelum bicara apa pun. Pada setiap rakaat, ia membaca Al-Fatihah satu kali, surat Al-Ikhlas enam kali, Al-Falaq satu kali, An-Nas satu kali. Kemudian ia salam setelah dua rakaat. Sungguh Allah akan menjaga imannya hingga hari kiamat.”

Ka’bu Al-Akhbar radiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Allah merasa bangga kepada malaikat dengan orang yang melakukan shalat setelah Maghrib dan Isya.”

Dari Ibnu Syakhin dan Al-Khatib, dari Tsauban radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengitikafkan dirinya antara Maghrib dan Isya di masjid dengan berjamaah, dan tidak bicara apa-apa kecuali shalat dan membaca A1-Qur’an, maka adalah hak Allah membangunkan baginya sebuah rumah di surga.”

Manusia generasi salaf radiyaallahu ‘anhum biasa melakukan shalat di antara Maghrib dan Isya, sebab saat itu merupakan saat lupa dan sibuk dengan urusan dunia. Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menghidupkan waktu antara Zuhur dan Ashar, maka Allah akan menghidupkan hatinya pada hari ketika seluruh hati mati.”

Ibnu Umar sendiri mengaku bahwa ia biasa menghidupkan waktu antara Zuhur dan Ashar. Menurut Ibrahim Al-Nakha’i, para sahabat menyamakan nilai shalat antara Maghrib dan Isya dengan shalat antara Zuhur dan Asar.

Yang diceritakan di atas adalah kebiasaan kebanyakan ahli ibadah ketika mereka meng-qadha shalat malam yang tertinggal dengan melakukan shalat di antara Maghrib dan Isya. Mereka mengisolasi diri dari makhluk dan memutuskan waktu hanya untuk Allah. Inilah waktu yang amat baik dan mulia untuk berkhalwat dengan Tuhannya.

Disunatkan melakukan itikaf di masjid antara Zuhur dan Ashar untuk melaksanakan shalat dan zikir. Hendaklah seseorang menyatukan antara itikaf dan menunggu waktu shalat, kecuali kalau ia pada waktu itu biasa tidur (istirahat) siang; tidurlah pada waktu itu agar ia mendapat kekuatan untuk melakukan shalat malam.

Adapun kegiatan setelah shalat Ashar sampai tiba shalat Maghrib adalah zikir, istigfar, tafakur tentang alam malakut, membaca Al-Qur’an, sebab pada waktu itu shalat sunat dilarang. Mari kita simak riwayat berikut:

Hasan meriwayatkan bahwa Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan berdasarkan apa yang beliau dengar dari Tuhannya Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’alatelah berfirman, “Wahai anak Adam, zikirlah kamu kepada-Ku setelah shalat Subuh, meskipun hanya sesaat, dan setelah shalat Ashar, meskipun sesaat. Aku mencukupkan untukmu waktu selain di antara keduanya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: “Bertasbihlah kamu dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari. Dan dan sebagian malam, bertasbihlah kamu; demikian juga di ujung siang. Mudah-mudahan kamu mendapat keridhaan-Nya.” (Thaha: 130).

Adapun shalat malam dilakukan pada saat semua manusia lupa kepada Tuhan, kecuali orang yang dipilih Allah untuk bermunajat dan ber-taqarrub kepada-Nya. Oleh karena itu, pada setiap zaman hanya sedikit orang yang diberi karunia oleh Allah untuk dapat melaksanakan zikir kepada-Nya.

Diriwayatkan dari Asma binti Yazid radiyallahu ‘Anha bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Pada hari kiamat manusia dikumpulkan dalam satu pelataran. Terdengarlah suara yang memanggil: ‘Di manakah orang-orang yang menjauhkan badannya dari tempat tidur’. Maka berdirilah mereka. Mereka ternyata hanya sedikit. Lalu mereka dimasukkan ke surga tanpa dihisab. Setelah itu, manusia yang lainnya diperintahkan untuk dihisab.” (H.R. Baihaqi).

Simak juga riwayat berikut:

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.; ia mengatakan bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Umat-umatku yang mulia adalah para pembaca Al-Qur’an dan orang-orang yang mendawamkan shalat malam (shalat Tahajud).” (H.R. Ibnu Abi Dunya dan Baihaqi).

Karena begitu pentingnya shalat malam tetapi begitu beratnya terhadap diri, terutama jika dilakukan tengah malam, maka pahalanya besar sekali bagi siapa saja yang dapat melakukannya dengan mengharap pahala dari Allah.

Anas radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Shalat di masjidku ini sebanding dengan sepuluh ribu kali shalat di masjid yang lain, sedangkan shalat di Masjidil Haram sebanding dengan seratus ribu kali shalat di masjid yang lain. Adapun shalat di tanah ribat (tempat yang dipakai para mujahidin di jalan Allah) sebanding dengan seribu kali shalat di masjid yang lain. Tetapi lebih banyak dari pahala tersebut adalah dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang pada waktu tengah rnalam, yang tidak ia laksanakan kecuali mengharap pahala dari Allah.” (H.R. Abu Syaikh dan Ibnu Hibban dalam kitab Al-Tsawab).

Adapun menekuni shalat Dhuha merupakan amal yang amat dituntut dan paling utama, sebab shalat Dhuha juga dilaksanakan pada saat manusia lupa kepada Tuhan. Jika mampu melaksanakannya, kita dapat menambah-nambah kebaikan dan berkah. Jika tidak bisa, tidaklah apa-apa. Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Dalam riwayat berikut disebutkan:

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Kekasihku Shalallaahu ‘Alaihi Wasallamtelah berwasiat kepadaku dengan tiga perkara; aku tidak boleh meninggalkannya: Pertama, aku tidak boleh tidur kecuali di atas bilangan ganjil. Kedua, aku tidak boleh meninggalkan dua rakaat Dhuha, sebab shalat ini adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Tuhan. Ketiga, aku harus selalu melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan.” (H.R. Bukhari Muslim).

Abu Darda radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa melaksanakan dua rakaat shalat Dhuha, ia tidak akan ditulis dari sebagian orang-orang yang lupa. Barangsiapa melaksanakan empat rakaat Dhuha, ia akan dituliskan sebagai bagian dari orang-orang yang beribadah (ahli ibadah). Barangsiapa melakukan shalat Dhuha dengan enam rakaat, maka dipenuhi keperluan hidupnya hari itu juga. Dan barangsiapa yang melakukannya dengan delapan rakaat, Allah akan mencatatkannya sebagai bagian dari orang-orang yang taat.”

Tidaklah berlalu suatu hari atau malam, kecuali bagi Allah, ada suatu anugerah dan sedekah (pemberian), yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Tidak ada anugerah yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang lebih utama daripada “ilham” untuk dapat berzikir kepada-Nya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa amal yang paling utama dan paling dicintai oleh Allah adalah seseorang yang bermeditasi dengan Tuhannya sambil meninggalkan tempat-tempat yang tiada berguna dan dapat membawa kelalaian kepada Allah, lalu ia mensucikan Allah, memuji-Nya, dan mengagungkan-Nya.*Dr. Usman Sa’id Sarqawi, dari bukunya Zikir Itu Nikmat.

 

HIDAYATULLAH

Istiqomah dalam Berdzikir

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Kuasa memberikan karunia kepada kita hati yang kuat sehingga kita bisa istiqomah di jalan-Nya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Allah Swt berfirman, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Rodu [13] : 28)

Saudaraku, dzikir adalah sumber kekuatan yang sangat dahsyat. Jika kita menafakuri praktik ibadah Thawaf, maka kita bisa memetik pelajaran berharga mengenai dzikir. Thawaf adalah ibadah yang pada pelaksanaannya benar-benar berbaur antara laki-laki dan perempuan, hampir tidak ada hijab. Apalagi jika jamaah sedang padat, maka bisa di depan, samping dan belakang adalah lawan jenis yang jaraknya dekat. Belum lagi setiap orang mengenakan pakaian Ihrom yang hanya dua helai kain saja. Namun, mengapa aman-aman saja, tidak pernah ada peristiwa memalukan semacam pelecehan? Mengapa tidak ada satupun jamaah yang berpikiran macam-macam?

Jawabannya adalah karena setiap orang dikala itu sibuk dengan dzikir, mengingat Allah. Setiap orang saat itu sibuk dengan membasahi lisannya dengan dzikir menyebut nama Allah, hati dan pikirannya konsentrasi kepada Allah. Bahkan, meski badan tersenggol, tersikut, kaki terinjak, tidak ada rasa jengkel atau marah. Mengapa? Karena semua potensi diri kita fokus berdzikir kepada Allah Swt.

Maa syaa Allah. Demikian dahsyat efek dari mengingat Allah. Bisa menghindarkan seseorang dari kemunkaran, kemaksiatan. Ucap, langkah dan niat senantiasa terjaga dari keburukan. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang istiqomah dalam berdzikir mengingat-Nya dalam keseharian kita. Aamiin yaa Robbal aalamiin.[smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Waspadai Bahaya Lisan, Gunakan untuk Berzikir

NABI Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. (Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa’ad)

Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah dapat mengarah kepada hal yang makruh atau haram. Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam.” (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala ucapan lidahnya, semestinya dia tahu akan bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman:

Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid.” (QS. Qaaf: 18)

Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berzikir kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa zikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah Azza wa Jalla.

Menuju surga cepat dengan lisan, menuju neraka pun cepat dengan lisan. Lisan bagai ‘jaring’, kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik. Sebaliknya jika tidak, hasilnya akan sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berpikir.

Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. Dan seorang hamba tidak akan memasuki surga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya.”

Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya:

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (An-Nisa’: 114)

Orang-orang sufi yang tekun menggunakan mulutnya untuk berzikir daripada berbincang-bincang, memperingatkan dengan prihatin bahwa manusia paling sering tertimpa bahaya dan paling banyak mendapatkan kesusahan karena lidahnya terlepas dan hatinya tertutup. Ia tidak dapat berdiam diri, dan kalau berkata tidak bisa mengungkapkan yang baik-baik.

Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu seorang wanita cantik di tempat sepi. Perempuan itu menegur, “Apakah engkau tidak malu?“Hasan Al Bashri lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mengawasi pula sekelilingnya. Setelah ia yakin di tempat itu hanya ada mereka berdua, dan tidak terlihat siapa pun, Hasan Al Bashri bertanya, “Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang lain yang menyaksikan perbuatan kita.“ Wanita itu menjawab, “Malu kepada Dzat yang mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyikan di dalam hati.”

Lemas sekujur tubuh Hasan Al Bashri. Ia menggigil ketakutan hanya karena jawaban sederhana itu, sehingga ia bertobat tidak ingin mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena itulah Rasulullah mengingatkan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, ucapkanlah yang bermanfaat, atau lebih baik diam saja”.

Jidaal adalah menentang ucapan orang lain guna menyalahkan secara lafadz dan makna. Perdebatan dalam isu-isu agama dan ibadah tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika dilangsungkan dengan etika debat yang benar, saling menghormati antar-peserta dan dengan kekuatan ilmiah yang meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih banyak mengundang kepada pertengkaran dan permusuhan merugikan.

Tidak dinafikan debat merupakan salah satu uslub (cara) yang sangat efektif dan berkesan dalam menyebarkan Islam, dakwah, dan kebenaran. Tetapi ia adalah langkah ketiga dan terakhir, yaitu setelah terjadi kebuntuan di mana pendekatan dengan hikmah dan nasihat/pengajaran yang baik tidak berhasil. Itu pun dilangsungkan dengan akhlak dan adab yang tinggi.

Allah berfirman:

Serulah ke jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (Al-Nahl: 125).

Ayat di atas meletakkan debat pada tempat terakhir, yaitu selepas pendekatan hikmah dan nasihat yang baik. Debat menjadi langkah terakhir, bukan karena kurang berkesan atau tidak ada faedahnya, tetapi karena kesukaran mematuhi aturan, akhlak, adab-adabnya.

Debat selalu dirusak oleh tidak adanya ikhlas antara dua kubu yang terkait. Pendebat selalu menginginkan kemenangan sekalipun ia tidak mempunyai hujjah. Pendebat tidak bersedia mengalah, sekalipun ternyata ia berada pada pihak yang salah. Pendebat akan memilih untuk berkata ‘ya’ apabila lawan berkata ‘tidak’, dan berkata ‘tidak’ apabila lawan berkata ‘ya’.

Debat selalu dikuasai oleh pihak yang handal bercakap, sekalipun tidak berisi. Keadaannya bagaikan dua pasukan pemain sepak bola yang masing-masing mempunyai ‘suporter’ yang tidak pernah mengaku kalah sekalipun tidak pernah bermain. Kalaupun ada yang mengaku, tetapi hanya dalam gelanggang. Di luar belum tentu. Begitulah debat yang tidak berakhlak dan biasa kita saksikan.

Etika debat yang perlu dipatuhi untuk menghasilkan hasil yang baik bahkan disifatkan sebagai terbaik ialah:
1. Hindari penggunaan bahasa yang rendah, tindakan yang kasar dan tidak menghormati pemikiran lawan. Jika perlu, adakan penengah untuk menengahi perjalanan debat. Penengah perlu diberi hak memberi kartu kuning atau merah, bahkan ‘men-skor’ pendebat yang melanggar disiplin debat dan aturan.
2. Hendaklah lebih banyak mencari titik persamaan antara kedua belah pihak. Kurangi usaha mencari titik perbedaan. Lebih banyak persamaan yang ditemui, lebih banyak hasil yang diperoleh. Arahkan sepenuhnya kepada titik-titik persamaan.

Debat Al Quran yang berlangsung antara Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dengan Yahudi dan Nashara, bahkan dengan kaum musyrikin, menjadi contoh untuk dipelajari, dari segi akhlak dan etikanya. Dikemukakan di sini debat antara Nabi dengan musyrikin dalam surah Saba’ ayat 24-26, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Katakanlah: “Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat.” Katakanlah: “Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar, dan Dia-lah Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui.”

Debat Nabi jelas beretika dan halus budi bahasanya. Setiap patah kata dalam ungkapannya dapat menjadi contoh bagi para dai yang mencintai kebenaran. Tetapi sayang, sebagian pendebat sekarang banyak menyimpang jauh dari panduan Nabi. Mereka berdebat seolah-olah berperang. Segala isu yang muncul dalam dakwah, besar kemungkinan ada persamaannya dalam politik.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Bahaya Lisan, penulis: Abu Hamid Muhammad al-Ghazali)

 

HIDAYATULLH