Mengapa Umat Manusia Harus Beribadah kepada Allah SWT?

Allah SWT memberikan anugerah dan nikmat kepada hamba-Nya

Atas dasar kepemilikan mutlak Allah itu lahir kewajiban menerima semua ketetapan-Nya, serta menaati seluruh perintah dan larangan-Nya. Atas dasar itu pula manusia tidak dibenarkan memilah-milah aktivitasnya, sebagian karena Allah dan sebagian untuk yang lain. 

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS Al Anam 162)

Dalam buku berjudul “M Quraish Shihab Menjawab” dijelaskan bahwa dari sini dapat dipahami mengapa perintah beribadah dalam Alquran dikaitkan antara lain dengan sifat rububiyah (pemeliharaan) Allah, misalnya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai seluruh manusia, beirbadahlah kepada (Tuhanmu) yang memelihara kamu dan menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu.” (QS Al Baqarah 21), atau “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan Pemeliharamu maka beribadahlah kepada-Ku.”

Perintah beribadah juga dikaitkan dengan perintah berserah diri setelah upaya yang maksimal (tawakkal), seperti firman Allah berikut: 

وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ “Milik Allah rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya lah dikembalikan seluruh persoalan, karena itu beribadahlah kepada-Nya dan berserah dirilah.” ( QS Hud 123 ).

Lebih lanjut, M Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah SWT adalah wujud yang Maha-Agung, Mahakuat, dan sangat dibutuhkan semua makhluk. Oleh karena itu, menurut dia, puncak dari ketundukan harus diarahkan kepada-Nya semata.

“Benar bahwa Allah membenarkan seseorang tunduk dan taat kepada manusia, namun ketundukan dan ketaatan ini tidak boleh bertentangan dengan ketetapan-Nya,” jelas Prof Quraish.  

Seluruh makhluk yang berkehendak dan beperasaan adalah hamba-hamba Allah SWT, termasuk manusia.

Pemilikan Allah atas hamba-Nya adalah kepemilikan mutlak dan sempurna. Karena itu, makhluk tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bersyukur dengan Beribadah

Hakikat dari ibadah adalah ungkapan rasa syukur seorang hamba.

Sebuah hadis diriwayatkan Hakim dari Jabir bin Abdullah RA menyebutkan, di akhirat nanti ada seorang hamba yang telah beribadah selama 500 tahun.

Ahli ibadah tersebut pun dipersilakan Allah SWT untuk memasuki surga. “Wahai hamba-Ku, masuklah engkau ke dalam surga karena rahmat-Ku,” bunyi Firman Allah dalam hadis qudsi tersebut.

Namun, ada yang menyangkal dalam hati si ahli ibadah. Mengapa ia masuk surga lantaran rahmat Allah? Bukankah ia telah beribadah selama 500 tahun? “Ya Rabbi, mengapa aku tidak dimasukkan kedalam surga karena amalku?” tanyanya.

Allah SWT pun memperlihatkan nikmat yang telah diberikan-Nya bagi si ahli ibadah. Nikmat Allah tersebut ditimbang dengan seluruh amal ibadah yang telah ia kerjakan.

Ternyata, nikmat penglihatan dari sebelah matanya saja sudah melebihi ibadah 500 tahun si ahli ibadah. Akhirnya, si ahli ibadah pun tunduk di hadapan Allah dan menyadari betapa kecilnya nilai ibadahnya.

Tak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak bersyukur kepada Allah. Sebanyak apa pun ibadah yang dilakukan, tak akan sebanding dengan nikmat dan karunia yang telah diterima dari Allah.

Demikianlah hakikat dari ibadah, sebagai ungkapan rasa syukur seorang hamba kepada Rabb-nya. Jadi, menunaikan ibadah bukan hanya sebatas pelunas utang dan menunaikan kewajiban saja.

Rasulullah SAW sebagai seorang hamba yang dijamin tidak berdosa (maksum) adalah teladan dalam hal bersyukur. Suatu kali, istri beliau SAW bertanya, mengapa suaminya itu selalu shalat tahajud sepanjang malam.

Bahkan, kaki beliau SAW pun sudah bengkak lantaran lamanya berdiri. “Ya Rasulullah, bukankah Allah SWT telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?” ujar Aisyah.

Aisyah mengisyaratkan, buat apalagi susah-susah ibadah, toh Rasulullah SAW sudah dijamin Allah masuk surga. Seluruh kesalahannya, kalaupun ada, sudah diampuni Allah.

Dan, ia adalah makhluk yang paling mulia dimuka bumi. Lalu, mengapa ia masih merepotkan diri dengan ibadah sepanjang malam? “Bukankah lebih elok jika aku menjadi hamba yang bersyukur,” jawab Rasulullah (HR Bukhari).

Demikianlah Rasulullah SAW mencontohkan, hakikat dari ibadah bukanlah sebatas pelunas utang atau pembersih diri dari dosa. Ibadah adalah luapan rasa syukur kepada Allah SWT.

Sungguh, sangat banyak hal yang harus disyukuri seorang hamba. Nikmat tersebut baru akan terasa nilainya ketika Allah SWT telah mencabutnya. Jadi, sebelum Allah mencabut nikmat itu, syukurilah keberadaannya.

Dan, jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menghitungnya (karena banyaknya). Sesungguhnya, Allah benar-benar Maha Penyayang.” (QS an-Nahl [16] : 18).

Ketika seorang hamba sudah mengetahui hakikat ibadahnya sebagai bentuk syukur, saat itulah ibadah bisa menjadi perisainya. Seorang yang menunaikan kewajibannya dan juga menambahnya dengan ibadah-ibadah sunah akan bermuara pada kecintaan Allah. Ketika ia sudah mendapatkan cinta Allah, seluruh aktivitas yang ia jalani di muka bumi adalah restu dan rida dari Allah SWT.

Sebagaimana Firman Allah dalam hadis qudsi: “Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku senangi daripada melaksanakan apa yang Aku fardukan atasnya. Dan, tidak pula hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri dengan melakukan amalan-amalan sunah, sehingga Aku mencitainya. Dan, bila Aku mencintainya, menjadilah Aku telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, matanya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Apabila ia bermohon kepada-Ku maka pasti Ku kabulkan permohonannya, apabila ia meminta perlindungan-Ku maka pasti ia Ku lindungi. (HR Bukari Muslim).

Mereka yang mendapatkan cinta Allah tersebut juga diistilahkan dengan wali Allah. Tak mudah untuk mengetahui siapa wali Allah tersebut. Tetapi, yang jelas wali Allah adalah ahli ibadah yang menunaikan ibadah sebagai bentuk rasa syukur mereka.

Berhati-hatilah berurusan dengan para wali Allah. Seperti dinyatakan dalam kelanjutan hadis di atas, “Siapa yang memusuhi wali-Ku (orang yang dicintai Allah) maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang dengannya.”

 

Oleh: Hannan Putra

REPUBLIKA