Melawan Fitnah, Hoax dan Penghinaan, Bolehkah?

Allah Swt berfirman dalam surah As-Syura’: 39,

(وَٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَابَهُمُ ٱلۡبَغۡیُ هُمۡ یَنتَصِرُونَ)

dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim, mereka membela diri.

Lafad yantashiruun terambil dari kata nashoro yang berarti membantu atau membela. Ar-Râghib al-Ashfahâni mengmahami kata al-intishor dan al-istinshor dalam arti meminta bantuan. Ini mangisyaratkan bahwa jika seorang muslim ditimpa kesulitan atau penganiayaan atau fitnah, kaum muslim lainnya akan tampil membantunya untuk meluruskan.

As-Syarawi dan mufasir lainnya memahami lafaz yantashiruun dalam arti membela diri. Sehingga mengisyartkan bahwa seorang muslim memiliki harga diri yang tinggi, ia tidak akan menerima penganiyaan, kezaliman, fitnah dan akan tampil sendiri melakukan pembelaan. Sehingga Asy-Sya’rawi mengatakan ayat ini melegalkan seseorang melawan bahkan membalas kezaliman terhadap dirinya dengan hal proposional.

Lalu siapakah orang zalim, pemitnah dan penganiaya yang disebutkan ayat tersebut ?

Imam at-Thabari menjelaskan bahwa pelaku zalim disini bisa mengandung dua makna. Pertama, orang yang melakukan kezaliman itu seorang kafir. Kedua, siapapun yang melakukan kezaliman baik itu kafir atau selainyya. Dan menurutnya, pendapat kedua ini lebih utama ketimbang yang pertama.

Lalu apakah melakukan perlawanan itu terpuji ? Imam At-Thabari menjawab,

إن في إقامة الظالم على سبيل الحق وعقوبته بما هو أهل له تقويما له، وفي ذلك أعظم المدح

Perlawanan terhadap orang zalim dengan cara cara yang benar itu sangat terpuji dan baik. Agar penganiayaan, kezaliman, hoax dan fitnah itu tidak berlanjut, pelakunya pun bisa jera.

Bukankah dengan memaafkan pelaku kezaliman, penyebar hoax dan pelaku fitnah itu lebih baik ketimbang harus melawannya ?

Imam al-Qurthubi menjawab anjuran untuk memaafkan itu berlaku bagi orang zalim yang menyadari kesalahannya lalu bertaubat dan meminta maaf , dan anjuran untuk membalas dan melawan adalah terhadap orang yang zalim, penyebar hoax, dan pemitnah yang tetap membangkang, efek kezalimannya besar, dan menyakitkan korban.

BINCANG SYARIAH

Jihad Memberantas Hoax

Medsos di zaman sekarang memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Namun sayangnya, banyak sekali medsos sekarang ini berisi sampah berupa berita-berita hoax yang tidak jelas sumbernya sehingga menimbulkan kekacauan dan kegaduhan.

Oleh karenanya, kita harus cerdas menyikapi hal ini agar tidak menjadi korban hoax.

Islam mengajarkan kepada kita agar selektif dalam menyikapi berita, sebab tidak semua berita yang terima mesti benar adanya sesuai dengan fakta, lebih-lebih pada zaman sekarang di mana kejujuran sangat mahal harganya.

Ibnu Baadis mengatakan, “Tidak semua yang kita dengar dan kita lihat harus diyakini oleh hati-hati kita, namun hendaknya kita mengeceknya dan memikirkannya secara matang. Jika memang terbukti dengan bukti nyata maka kita mempercayainya, namun jika tidak maka kita meninggalkannya.” (Ushul Hidayah hln. 97

Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sebuah prinsip dasar dalam menyikapi sebuah isu yang beredar dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS Al-Hujurat [49]: 6)

Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab berkata, “Ketahuilah dan renungkanlah ayat ini baik-baik.” (Ad Durar Saniyyah 1/35)

Di dalam ayat ini terdapat pelajaran berharga bagi setiap mukmin yang perhatian terhadap agama dalam berinteraksi dengan saudaranya seiman, hendaknya selektif terhadap hembusan isu yang bertujuan untuk meretakkan barisan, memperuncing api permusuhan, dan memperlebar sayap perpecahan.

Lebih-lebih lagi jika hal itu menyangkut kehormatan negara, pemerintah, atau ulama maka sikap selektif harus lebih ditingkatkan.

Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, “Diharuskan bagi seorang yang ingin menilai suatu ucapan, perbuatan, atau golongan untuk berhati-hati dalam menukil dan tidak memastikan kecuali benar-benar terbukti. Tidak boleh mencukupkan diri hanya pada isu yang beredar, apalagi jika hal itu menjurus kepada celaan kepada seorang ulama.” (Dzail Tibril Masbuk hlm. 4 karya As Sakhowi)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44396-jihad-memberantas-hoax.html

Hukum Penyebar Hoax

Kami ingin menanyakan, bagaimana hukum orang yang menyebarkan berita hoax di media sosial? Bagaimana juga hukum orang yang menyebar luaskannya padahal ia tidak mengetahui berita itu sejatinya adalah bohong. Terima kasih (Astrid, 085790226xxx).

Jawaban:

Hoax adalah kebohongan yang dibuat dengan sengaja untuk berpura-pura menjadi sebuah kebenaran. Dalam Islam terdapat istilah “khabar, qila wa qala”. Bahkan dalam Ilmu Hadis terdapat istilah “hadis mawdlu’ (hadis palsu)”.

Di antara ciri-ciri berita hoax adalah semua kata-katanya sama pada semua situs. Karena hanya copy paste dari situs satu ke situs lainnya. Selain itu semua hoax sumbernya tidak jelas dan isinya terkesan mengada-ada atau dibesar-besarkan dan beritanya tidak jelas.

Dalam Islam, khabar (berita) mengandung dua kemungkinan. Yaitu benar (shidq) dan salah (kidzb). Istilah “qila wa qala : katanya” dimaksudkan untuk menggambarkan berita yang tidak jelas sumbernya. Dalam Ilmu Hadis, sumber berita yang tidak jelas sumbernya itu diungkapkan dengan kata “an : dari”. Sebagai sebuah ungkapan yang menunjukkan sumber yang tidak jelas. Atau bahkan terputus persambungan sumber beritanya. Sehingga dalam hal itu, berita tidak boleh diterima sebagai berita yang benar (sahih). Oleh sebab itu, terhadap setiap berita, terutama persoalan agama, dihadapi dengan sikap yang sangat ketat dan selektif dalam menerima berita. Bahkan harus dilakukan klarifikasi (tabayun).

Menyebarkan hoax di medsos merupakan tindakan gegabah. Karena tanpa klarifikasi terlebih dahulu. Alquran surat al-Hujurat ayat 6 menyebutkan : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Menyebarkan berita hoax  berdampak negatif. Di antaranya adalah saling mencaci-maki, menggunjing, terpecahnya suatu kelompok, dan tersebarnya fitnah. Allah melarang mencaci maki sebagaimana pada QS. Al-Hujurat, 11: “hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Larangan pada ayat itu sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Muslim dari ‘Abd Allah ibn Mas’ud sebagaimana pada bab tahrim al-kibr wa bayanih, Rasul Allah SAW bersabda : “…. kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. Jika merendahkan sesama manusia adalah kesombongan, dan kesombongan sekecil apapun menghalangi masuk surge, sebagaimana pada awal hadis itu, maka hal ini dihukumi haram sebab terdapat ancaman tidak masuk surga.

Perbuatan saling ghibah (menggunjing atau menceritakan kejelekan orang lain) juga dilarang Allah Ta’ala, sebagaimana pada QS. al-Hujurat, 12 : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.

Menyebarkan berita hoax dalam kajian hukum Islam merupakan perantara (wasilah) seseorang melakukan perbuatan dosa. Sedangkan wasilah dihukumi sebagaimana tujuan (maqasid) dilakukannya. Yaitu munculnya dampak negatif, yang jelas diharamkan, sebagaimana uraian di atas, di antaranya saling mengolok-olok atau mencaci maki, menggunjing, terpecahnya suatu kelompok dan tersebarnya fitnah. Keterangan itu menunjukan, bahwa semua  perantara, dalam hal ini menyebarkan berita hoax, dihukumi sama dengan tujuan, yaitu larangan menggunjing dan yang lainnya. Dari kaedah ini dapat kita ketahui, bahwa hukum menyebarkan berita hoax adalah haram, seperti keharaman menggunjing dan keharaman yang lainnya. Karena itu, kita harus berhati-hati dalam menerima berita, dengan melakukan pelacakan sumber berita dan klarifikasi terlebih dahulu. Baru berita boleh dan tidak harus diinformasikan kepada orang lain, setelah melakukan klarifikasi. (Khamim dosen pengajar IAIN Kediri).

RADAR KEDIRI

Hukum Hoaks dalam Islam

Di dalam Islam, hoaks alias berita bohong tidak bisa dibenarkan

 

Di dalam Islam, hoaks alias berita bohong tidak bisa dibenarkan. Karena itu, kaum Muslimin diperintahkan untuk mengklarifikasi dan berhati-hati ketika berita datang kepadanya.

Seperti apa yang tertera dalam QS al-Hujuraat:6. Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Ditinjau dari segi bahasa, Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan, kata fasiq diambil dari kata fasaqa. Kata itu biasa digunakan untuk melukiskan buah yang telah rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya.

Ini menjadi kias dari seorang yang durhaka karena keluar dari koridor agama akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa kecil. Quraish Shihab menjelaskan, ayat ini merupakan salah satu ketetapan agama dalam kehidupan sosial.

Kehidupan manusia dan interaksinya harus didasarkan pada hal-hal yang diketahui dan jelas.

Karena itu, dia membutuhkan pihak lain yang jujur dan ber integritas untuk menyampaikan hal-hal yang benar. Berita yang sampai pun harus disaring. Jangan sampai seseorang melangkah tidak dengan jelas atau dalam bahasa ayat di atas, yakni bijahalah alias tidak tahu.

Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata: Nabi Muhammad SAW bersabda: Perhatikanlah aku akan memberitahukan kepada kalian apa itu al `Adhu? Al Adhu adalah menggunjing dengan menyebarluaskan isu di tengah masyarakat.

Rasulullah SAW juga bersabda: Sesungguhnya orang yang selalu berkata jujur akan dicatat sebagai seorang jujur dan orang yang selalu berdusta akan dicatat sebagai pendusta. (HR Muslim).

Pendapat Imam Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim, juz I halaman 75 memberikan penjelasan hadis tentang penyebaran berita. Menurut Imam Nawawi, peringatan setiap informasi yang didengar seseorang karena biasanya ia mendengar kabar benar dan dusta maka jika ia menyampaikan setiap yang ia dengar, berarti dia telah berdusta karena menyampaikan sesuatu yang tidak terjadi.

Sebagai Muslim, kita diperintahkan untuk tabayun atau klarifikasi setiap informasi yang diterima. Kisah tentang Tabayun atau verifikasi ada dalam Shahih al-Bukhari.

Diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surah al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan, Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu.

Mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan, Alquran memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan.

Faqra’uu maa tayassara minhu, sabda Rasulullah SAW, maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya. Apa yang dilakukan Umar dan Hisyam mendatangi Rasulullah untuk menanyakan langsung kepada sumber pertama disebut juga dengan tabayun alias klarifikasi.

Di sisi lain, Nabi SAW pun melarang kita untuk berprasangka kepada orang lain, apalagi menghinanya. Rasulullah juga mengingatkan kita untuk tidak bermusuhan. Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata: Rasulullah SAW ber sabda: Jauhilah berprasangka karena sesungguhnya prasangka adalah pembicaraan yang paling dusta.

Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, jangan saling menyombongkan diri (dalam hal duniawi), jangan saling iri, saling membenci satu dengan yang lain dan saling berpaling muka satu dengan yang lain. Jadilah kalian para hamba Allah yang bersaudara. (HR al-Bukhari).

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No 24/2017 tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial menjelaskan, setiap Muslim yang melakukan muamalah lewat media sosial diharamkan untuk ghibah, fitnah, namimah, dan menyebarkan permusuhan.

Muslim pun haram untuk melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan.

Bukan cuma penyebar, melainkan juga pihak-pihak yang mencari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain, atau kelompok hukumnya pun haram kecuali untuk kepentingan syar’i.

Menyebarkan konten yang bersifat pribadi kepada khalayak, padahal tidak patut disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.

MUI juga mengharamkan aktivitas buzzer di media sosial sebagai penyedia informasi berisi hoaks, ghibah, fitnah, hingga aib dan gosip sebagai profesi untuk mendapat keuntungan ekonomi dan nonekonomi. Begitu pula orang yang menyuruh dan memanfaatkan jasa para buzzer tersebut. Wallahua’lam.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hoax Pernah Menimpa Istri Rasulullah

Untuk membentengi perlu diri dari berita hoax, perlu tabayyun.

Berita bohong atau hoax bukan baru terjadi pada zaman sekarang. Hoax sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW, 15 abad silam.

“Berita hoax sebenarnya telah berkembang jauh pada zaman-zaman dahulu, termasuk ketika zaman Rasulullah SAW.  Bahkan istri Rasulullah sendiri, Siti Aisyah RA, pernah menjadi korban berita hoax yang sempat menghebohkan kaum Muslimin ketika itu,” ungkap Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh, Tgk Mulyadi Nurdin Lc MH, saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke, Banda Aceh, Rabu (28/3) malam.

Mulyadi Nurdin lantas menjelaskan peristiwa munculnya berita hoax yang menimpa Siti Aisyah yang bahkan membuat Rasulullah tak berdaya melawan fitnah tersebut.

Saat itu Ummul Mukminin Aisyah RA menjadi korban fitnah karena diisukan telah berselingkuh dengan Shafwan ibn Muaththal. Di satu sisi Nabi Muhammad sangat sayang pada Aisyah dan berpikir bahwa tak mungkin Siti Aisyah melakukan tindakan tercela tersebut.

Tapi di sisi lain, Nabi juga tak berdaya menghadapi isu tersebut yang menyebar luas. Orang munafik seperti Abdullah bin Ubay bin Salul memfitnah bahwa Siti Aisyah telah berselingkuh dengan Shafwan.

“Fitnah tersebut dengan cepat beredar hingga di Madinah sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum Muslimin,” kata Mulyadi dalam rilis KWPSI yang diterima Republika.co.id, Kamis (29/3).

Karena tuduhan berselingkuh tersebut, sampai-sampai Rasulullah menunjukkan perubahan sikap atas diri Aisyah. Diceritakan Aisyah, karena peristiwa itu dirinya akhirnya jatuh sakit.

“Akibatnya sampai membuat sikap Nabi terhadap Aisyah berubah. Nabi bersikap dingin terhadap Aisyah selama satu bulan,” ujar Mulyadi menceritakan kisah yang membuat Aisyah cukup bersedih.

Kondisi fitnah itu terus menyebar hingga mencapai satu bulan lamanya. Selama itu pula, tak ada wahyu yang diterima Nabi Muhammad.

Efek negatif berita hoax yang menimpa istri Rasulullah tersebut bahkan baru bisa teredam dengan turunnya wahyu dari Allah SWT sebagaimana termaktub dalam Al Quran Surat An Nur, ayat 11-20.

Ayat ini Allah turunkan sebagai jawaban atas beredarnya fitnah yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah RA. Setelah ayat ini turun, kondisi kaum Muslimin kembali normal dan bahkan semakin membaik dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.

Kisah ini memberi pelajaran penting kepada kaum Muslimin, bahwa orang-orang munafik seperti Abdulah bin Ubay bin Salul, dari sejak Rasulullah sampai sekarang akan terus menebarkan fitnah dan kebencian kepada orang-orang mulia. “Tak tanggung-tanggung, Abdullah bin Ubay berani memfitnah Rasulullah dan keluarganya dengan berita bohong,” tuturnya.

Untuk itu, Mulyadi Nurdin meminta semua pihak untuk membentengi diri dari pengaruh berita bohong dengan melakukan tabayyun terhadap isu-isu yang berkembang.

Tabayyun harus menjadi prosedur tetap bagi setiap Muslim dalam menerima informasi dari mana pun dan dalam lingkup apapun. Baik dalam keluarga, masyarakat, dan bahkan bernegara. Betapa banyak perselisihan terjadi karena salah dalam memahami informasi, atau tidak melakukan verifikasi dan klarifikasi terkait objek yang disampaikan,” pungkas Mulyadi.‎‎

 

REPUBLIKA