Berjamaah Menuju Jannah

Setelah serangan mematikan bertubi-tubi dilancarkan musuh-musuh Islam terhadap kedaulatan Islam dan kaum muslimin dimana dinamika internal yang silih berganti bergejolak juga mewarnai perjalanan sejarah Ummat Islam dalam menuntaskan perannya sebagai ummat pilihan Alloh di era akhir zaman, akhirnya khilafah Islamiyah runtuh pada tahun 1924 dengan dihapuskannya kesultanan Turki Utsmani oleh seorang ketururunan Yahudi bernama Musthapa Kemal. Semenjak itu, kaum muslimin memasuki era yang membingungkan karena konsep kehidupan berjama’ah yang dikenal Islam adalah satu bentuk kehidupan yang tertata dibawah seorang Imam Mumakkan (berkuasa penuh memimpin ummat). Akibatnya, jangankan mengemban misi rahmatan lil ‘alamiin sedangkan untuk mempertahankan eksistensi dan menjalankan tugas-tugas internal saja, kaum muslimin sudah mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan yang sangat hebat.

Musthapa Kemal tentunya tidak bekerja seorang diri bersama kelompoknya, disamping ia adalah seorang perwira tinggi militer yang amat memahami kerja-kerja tersistem dan terorganisasi dengan baik maka ia juga disokong sepenuhnya oleh gerakan Yahudi Internasional baik yang bergerak tertutup maupun institusi-institusi terbuka yang dimiliki jaringan Zionisme yang telah menguasai dunia ekonomi dan perbankan. Langkah-langkah revolusioner Musthapa Kemal hanyalah menyamakan irama dan derap langkah konspirasi Yahudi bagi terwujudnya impian mereka akan Israel Raya ditanah yang dijanjikan Tuhan versi mereka, yakni negara Yahudi di bumi Syam (khususnya Palestina).

Jadi Musthapa Kemal sebenarnya bekerja dengan sistem yang dalam Islam disebut sebagai Jama’ah. Sedangkan ia hanyalah icon pendobrak dan pemersatu yang menghancurkan sistem kehidupan Islam yang tersisa dari perjalanan sejarah Ummat Islam. Maka sangat disayangkan jika kaum muslimin justru melupakan hakekat ini, sehingga sistem Jama’ah semakin ditinggalkan kecuali pada hal-hal parsial saja atau paling maksimal adalah munculnya klaim berjama’ah namun ekslusif bagi kalangan tertentu saja. Ditambah lagi musibah munculnya fanatisme kelompok (quyyud hizbiyyah) yang semakin menjerat ummat pada posisi saling berhadapan dengan penuh persaingan dan ambisi saling menjatuhkan sesamanya. Dimana fenomena berbahaya ini telah ditangkap oleh seorang da’i dari Jama’ah Islamiyah Libanon (salah satu wilayah Syam) yakni ustadz Fathi Yakan rohimahulloh dengan istilah beliau yakni Aids Haroki. Wallohul Musta’an!

Tragedi keruntuhan Khilafah Islamiyah juga sekaligus menandakan masuknya kaum muslimin dalam kejatuhan kehidupan tanpa Jama’atul Muslimin sementara musuh kemanusiaan, yakni kaum Yahudi justru berhasil membangun kehidupan berjama’ah (sesuai versi mereka). Ketiadaan Jama’atul Muslimin dalam pengertian dan kriteria Syar’i  juga setidaknya telah dibuktikan secara ilmiah dihadapan para Masyaikh di Jamiyyatul Islamiyah Madinah Munawarroh oleh Ustadz Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir ,MA  dalam tesis masternya yang mendapat nilai imtiyyaz (Excellent). Padahal Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“ Dan aku memerintahkan kepada kalian lima hal yang Alloh memerintahkan aku dengan kelima hal tersebut, yaitu: berjama’ah, mendengarkan, mematuhi, berhijrah dan berjihad di jalan Alloh. Barangsiapa keluar dari jama’ah sejengkal saja maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya hingga ia kembali lagi…” Mereka bertanya: “ Wahai Rasululloh, sekalipun dia sholat dan puasa ?” Rasululloh menjawab: “ Sekalipun dia puasa, sholat  dan mengaku (dirinya) muslim.”  (HR. Ahmad, 4/202)

Tauhid dan Jama’ah adalah Kesatuan

Pembicaraan tentang Jama’ah membutuhkan kajian yang serius dan mobilisasi umum (keterlibatan semua unsur), oleh karena persoalan Jama’ah merupakan batu pondasi pertama untuk mewujudkan suatu ide (wacana) pikiran menjadi nyata dan kongkrit. Tanpa jama’ah, maka ide pikiran apapun tak akan pernah bisa menjadi eksis dan bertahan kekal. Barangkali kita masih ingat dengan perkataan Imam besar Muhammad bin Idris Asy Syafi’i rohimahulloh saat beliau melihat kefaqihan Laits bin Sa’ad, ilmunya dan periwayatan haditsnya. Lalu beliau mengucapkan perkataannya yang amat masyhur: “ Laits bin Sa’ad lebih faqih dari Malik, hanya saja para shahabatnya tidak ada yang menjadi penerusnya.”

Perkataan ini menunjukkan bahwa jama’ah, perkumpulan dan tanzhim sangat besar pengaruhnya terhadap eksistensi suatu ide pemikiran serta kelangsungannya. Tanpa jama’ah, perkumpulan dan tanzhim, maka suatu ide pemikirian tidak akan bisa eksis dan bertahan. Maka jika kita memahami hal ini, kemudian berpikir sejenak mengenai prikehidupan nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam dan kita mengkaji secara seksama dari permulaan dakwah beliau hingga kemenangan diinnyaserta apa yang diserukan beliau kepada manusia, niscaya kita akan melihat dengan sejelas-jelasnya bahwa yang pertama diserukan Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam adalah Tauhid dan Jama’ah.

Dahulu, apabila seseorang menjawab seruan nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam dan masuk menjadi muslim muwahhid maka dia memutuskan segala pertaliannya yang sebelumnya. Dia keluar secara psychis maupun phisiknya dari segala ikatan lama, baik ikatan keluargaatau kabilah atau ikatan apapun selainnya dan bergabug pada jama’ah yang baru (yakni jama’atul muslimin) dan terikat dengannya secara total dalam hal loyalitas, pembelaan, menjalankan perintah, empati maupun simpatinya. Gambaran ini tercermin pada sabda nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam:

Permisalan seorang mukmin dalam berkasih sayang dan berlemah lembut serta kecintaan diantara mereka adalah seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh turut merasakan demam dan tak dapat tidur.”

Jika prikehidupan orangorang Islam adalah demikian maka tidaklah aneh syiar seorang muslim yang benar (dalam aqidah dan manhajnya) adalah intima’ dibawah syiar (Firqoh An Naajiyah) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Banyak kisah generasi pertama yang berkaitan dengan konsepsi pemikiran kaum Sunni dalam permasalahan aqidah. Mereka menulis didalamnya apa yang disebut Kitaabul Aqoo’id. Dimana kitab-kitab tersebut disusun dengan satu maksud dan tujuan untuk menjelaskan konsep pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana seharusnya dan untuk menolak i’tiqod-i’tiqod yang menyelisihinya dari berbagai aliran pemikiran, yang oleh sebagian orang jsutru dianggap sebagai bagian dari Diinulloh (padahal samasekali bukan), yakni aqidah golongan Mu’tazilah, golongan jabariyah, golongan Syia’ah, golongan Khawarij dan golongan-golongan yang beraqidah sesat lainnya.

Namun demikian, masalah jama’ah masih belum diterangkan secara terperinci dalam kitab-kitab tersebut, oleh karena jama’ah yang perlu mendapatkan penjelasan pada era kehidupan mereka adalah masalah Imam Mumakkan dan sejauh mana kesyar’ian pembrontakan yang dilakukan sekelompok orang terhadap Imam Mumakkan itu yang didorong sikap baghyun (sikap aniaya dan durhaka) dan fasik. Demikian pula sejauh mana kesyar’ian Imam Mafdhul (Imam yang kalah keutamaannya) dengan adanya Imam Afdhol (yang ebih unggul keutamaannya). [1] jadi wajar kalau kaum muslimin sekarang mengalami kebingungan dalam mengimplementasikan konsep Jama’ah dalam kehidupan yang nyata-nyata dikalahkan oleh musuh-musuh Islam, baik dari kalangan Kuffar Internasional maupun penguasa lokal yang murtad.

Tsauroh Suriah menjanjikan Kembalinya Jama’atul Muslimin

Jika bahasan diatas cukup mengerenyutkan dahi dan menyesakkan dada hingga mampu meneteskan air mata, fenomena yang kita tangkap dari apa sedang terjadi di Suriah saat ini insya Alloh akan mampu memberi harapan baru bagi kembalinya kehidupan berjama’ah yang hakiki dan syar’i bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Namun semua cita-cita butuh biaya dan pengorbanan maksimal serta dedikasi total. Hanya orang malas dan tolol saja yang terus-menerus berteriak tentang apa yang diinginkannya namun tidak mau beranjak dari kenyataan pahit yang melingkupinya.

Tragedi yang dilanjutkan dengan perlawanan total kaum muslimin di Suriah telah memperlihatkan kwalitas Ahlus Syam yang gagah perwira sebagaimana yang disebutkan berbagai keutamaan mereka dalam hadits-hadits nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam. Ratusan ribu orang dari berbagai strata sosial dan usia yang telah dibantai rezim Basyar Asad an Nushoiry dengan dibantu Republik Syiah Iran, Negara Komunis China dan Rusia serta milisi-milisi bersenjata Syiah dari berbagai negara seperti Irak, Libanon, Yaman bahkan kaum Syiah di Indonesia ikut membuka pendafataran Relawan Combatan (tempur) dan non Combatan untuk berperang membela rezim jahat dimana kejahatannya melampui kekejian yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina. Namun jihad kaum muslimin Syam semakin menampakkan ketahanan dan daya juang yang amat luar biasa sehingga Alloh Azza wa Jalla berkenan menggerakkan hati-hati kaum Mujahidin dari kurang lebih 29 negara di dunia padahal mereka juga sedang sibuk berjihad melawan para thughyaan di negri mereka sendiri. Mereka kini hadir di Suriah dengan seluruh dedikasi dan kemampuan tempurnya dalam mengokohkan Jihad di bumi Syam.

Dan yang paling menggembirakan hati setiap orang mukmin, seruan revolusi Suriah telah bermetamorfose pada penegakkan Khilafah Islamiyah bagi dunia Islam. Hal inilah kemudian yang diantispasi kaum Kuffar sedunia dengan gembong-gembongnya dari kalangan munafik dan zindiq di seluruh negri kaum muslimin, mereka bukan saja mendatangkan segala kekuatan bersenjatanya ke Suriah dan sekitarnya namun juga membrangus segenap potensi dan kekuatan Jihad di negri-negri mereka dengan issu terorisme. Mereka meratifikasi konvensi PBB dalam bentuk undang-undang anti terorisme yang pada asal dan muaranya adalah menghancurkan kekuatan Islam.

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al Anfaal: 30)

Wallohu Ta’ala A’lamu bis showwab.

Ngruki,  Sya’ban 1434

Abu Fatih Abdurrahman S.

Red : Abdul Aziz Al Makassary

[1] Syekh Abu Qotadah Al Filisthiny fakkalohu asroh, Al Jihad wal Ijtihad.

 

 

sumber: BumiSyam,com