Pentingnya Sabar

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Ta’ala, yang senantiasa mencurahkan kepada kita nikmat dan bimbingan-Nya. Selawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia; amma ba’du.

Menjadi seorang muslim merupakan sebuah kebahagiaan yang sangat agung. Sebab dengan keislaman yang ada pada dirinya itulah Allah akan menerima amal dan ketaatannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Barang siapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan kelak di akhirat dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi” (QS. Ali-Imran: 85).

Oleh sebab itu seorang muslim akan berusaha untuk menjaga agama dan akidahnya agar tidak rusak dan hanyut dalam gelombang kekafiran dan kemunafikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bersegeralah kalian menggapai amal-amal sebelum datangnya berbagai fitnah laksana potongan malam yang gelap gulita; pada pagi hari seorang masih beriman namun sore harinya berubah menjadi kafir, atau sore hari beriman namun keesokan harinya berubah menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim).

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah. Fitnah di dalam hidup ini beragam bentuknya. Hakikat fitnah itu adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk hamba-hamba-Nya; dalam rangka membuktikan kebenaran iman dan ketulusan penghambaan mereka kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ (٢) وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ‌ۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَـٰذِبِينَ (٣)

“Apakah manusia itu mengira dia ditinggalkan begitu saja mengatakan: Kami beriman, lalu mereka tidak diberikan ujian? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah akan mengetahui orang-orang yang jujur dengan orang-orang yang dusta” (QS. Al-Ankabut: 2-3).

Iman itu sendiri bisa mengalami penambahan dan pengurangan, peningkatan dan kemerosotan. Ia akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena perbuatan kemaksiatan. Diantara perkara yang bisa memperkuat dan mengokohkan kembali iman adalah dengan merenungkan ayat-ayat Allah dan mengamalkannya di dalam sudut-sudut kehidupan kita. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُہُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتُهُ ۥ زَادَتۡہُمۡ إِيمَـٰنً۬ا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ

“Hanyalah orang-orang beriman itu adalah jika disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya, dan mereka bertawakal hanya kepada Rabb mereka” (QS. Al-Anfal: 2).

Para ulama menjelaskan, bahwa iman itu terdiri dari dua bagian. Sebagian berupa sabar, dan sebagian lagi berupa syukur. Sabar adalah menerima musibah yang menimpa dengan lapang dada, walaupun memang ia terasa pahit dan menyakitkan. Akan tetapi ingatlah bahwa musibah itu datang dari sisi Allah Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Allah Ta’ala berfirman,

 وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَہۡدِ قَلۡبَهُ 

“Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya” (QS. At-Taghabun: 11).

Alqomah -seorang tabi’in– menafsirkan ayat ini, bahwa orang yang dimaksud adalah seorang yang tertimpa musibah lalu dia menyadari bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah, sehingga dia pun merasa rida dan pasrah kepada kehendak Allah. Sehingga, dengan bersabar akan diperoleh pahala berlipat ganda. Allah Ta’ala berfirman,

 إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّـٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu akan disempurnakan balasan pahala mereka tanpa ada perhitungan” (QS. Az-Zumar: 10)

Sabar memang terasa pahit akan tetapi buahnya jauh lebih manis daripada madu; sebagaimana diungkapkan oleh sebagian ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya balasan yang besar bersama dengan cobaan yang besar pula. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan timpakan cobaan (musibah) kepada mereka” (HR. Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang menempa diri untuk sabar maka Allah akan jadikan dia penyabar. Dan tidaklah seorang diberikan suatu karunia yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Namun, sebenarnya sabar tidak hanya meliputi sabar ketika tertimpa musibah. Terdapat bentuk kesabaran yang lain, yaitu sabar di atas ketaatan dan sabar dalam menjauhkan diri dari berbagai bentuk kemaksiatan.

Ketika seorang hamba berusaha menuntut ilmu maka dia harus bersabar dalam menjalaninya. Demikian pula ketika dia berusaha mengamalkan ilmu yang telah dia dapatkan, pun dibutuhkan kesabaran. Tidak berhenti di situ, tatkala dia mendakwahkan ilmu dan kebenaran itu kepada orang lain pun dibutuhkan kesabaran. Sehingga sabar akan senantiasa mewarnai gerak langkah dan aktivitas ketaatannya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ جَـٰهَدُواْ فِينَا لَنَہۡدِيَنَّہُمۡ سُبُلَنَا‌ۚ

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di atas jalan Kami maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridaan Kami” (QS. al-‘Ankabut: 69).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Seorang mujahid adalah orang yang berjuang mengendalikan nafsunya di atas ketaatan kepada Allah. Dan seorang muhajir/yang berhijrah adalah yang meninggalkan segala yang dilarang Allah” (HR. Ahmad, disahihkan al-Albani).

Hal terpenting dalam melaksanakan ketaatan dan tidak boleh kita lupakan adalah hendaknya kita selalu membersihkan dan memurnikan niat kita untuk mencari wajah Allah saja, bukan untuk selain-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu diukur dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia dapatkan atau wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya hanya akan mendapatkan balasan seperti apa yang dia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sehingga seorang harus berjuang untuk menggapai keikhlasan dalam segala amal ibadahnya, ketika mengerjakan salat, ketika berpuasa, ketika bersedekah, ketika berdakwah, ketika meninggalkan maksiat, dan lain sebagainya. Semuanya membutuhkan kesabaran dan keikhlasan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sabar itu cahaya yang panas” (HR. Muslim). Sabar akan menerangi kehidupan kita, namun untuk mencapainya kita harus berjuang dan melawan berbagai keinginan nafsu dan ambisi-ambisi dunia yang rendah dan hina; wallahul musta’aan.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Jenis sabar yang lain adalah sabar dalam menghindarkan diri dari maksiat. Sebagaimana kita ketahui bahwa hawa nafsu senantiasa mengajak kepada hal-hal yang buruk dan merusak kehidupan. Allah Ta’ala berfirman,

 إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ‌ۚ

“Sesungguhnya nafsu itu senantiasa mengajak kepada keburukan, kecuali yang dirahmati Rabbku” (QS. Yusuf: 53).

Oleh sebab itu Allah Ta’ala menjanjikan kepada orang yang merasa takut kepada Allah dan menahan dirinya dari memperturutkan kemauan hawa nafsunya dengan balasan surga. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ (٤٠) فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِىَ ٱلۡمَأۡوَىٰ (٤١)

“Adapun barang siapa yang merasa takut kepada kedudukan Rabbnya serta menahan diri dari memperturutkan hawa nafsunya maka surgalah tempat tinggalnya” (QS. An-Naz’iat: 40-41).

Dari sini, kita menyadari bahwa sabar memiliki peranan yang sangat besar dalam menjaga keimanan seorang hamba. Baik sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam menjalankan ketaatan, maupun sabar dalam menjauhi maksiat. Karenanya Sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu berkata, “Sabar di dalam iman bagaikan kepala di dalam tubuh manusia.” Apabila kepala hilang maka hilang pula nyawa tubuh tersebut dan pada akhirnya tidak tersisa iman pada orang yang tidak memiliki kesabaran.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kepada kita kekuatan iman, sehingga kita bisa bersabar dalam menghadapi musibah, dalam menjalani ketaatan, dan menjauhi maksiat. Dan semoga Allah membantu kita untuk mewujudkan syukur kepada-Nya dengan hati, lisan, dan anggota badan kita. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَٮِٕن شَڪَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡ‌ۖ وَلَٮِٕن ڪَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

“Sungguh, jika kalian bersyukur pasti Aku tambahkan nikmat kepada kalian, akan tetapi jika kalian kufur maka sesungguhnya azab-Ku teramat pedih” (QS. Ibrahim: 7).

Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/66285-pentingnya-sabar.html

Kala Musibah Datang, Sabar dan Hadapi

Dengan sabar Allah SWT akan menurunkan pertolongannya.

Musibah memang sesuatu yang menyesakkan dada dan membuat seseorang terluka. Namun, jika seseorang telah mendapat petunjuk dengan hidayah Islam, maka luka tersebut pun akan mudah terobati. 

Pimpinan Majelis Taklim dan Dzikir Baitul Muhibbin, Habib Abdurrahman Asad Al-Habsyi mengatakan, obat dalam permasalahan ini sangat jelas dalam tuntunan Islam. Akan tetapi taufik tetap di tangan Allah Jalla wa ‘Ala.

“Seseorang tidak akan mampu berpegang teguh dengannya kecuali atas izin Allah Ta’ala,” katanya melalui dakwah virtualnya, Ahad sore (23/8).

Menurut Habib Abdurrahman Asad Al-Habsyi, Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan, orang-orang beriman ketika tertimpa musibah dan bencana, ia menghadapinya, bukan lari darinya. Ia tidak juga berburuk sangka, apalagi berputus asa.

“Ia akan menyadari sepenuhnya dunia ini adalah memang tempatnya ujian dan musibah. Tempat kenikmatan hanyalah di surga kelak,” katanya.

Sebagaimana firman Allah dalam Alquran, Surah At-Taghabun ayat 11,

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah; barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” 

اَللَّهُمَ أْجُرْنِيْ فِيْ مُصِيَبِتِيْ وَاخْلُفْ لِيْ خَيْرًا مِّنْهَا

“Ya Allah berilah pahala atas musibah yang menimpaku ini, dan berilah ganti yang lebih baik daripadanya.” (H.R Muslim).

Maka dari itu umat Islam yang mendapat musibah atau ujian agar bersabar. Dengan sabar Allah SWT akan menurunkan pertolongannya.

“Bersabarlah, dan yakinlah selalu ada ganti yang terbaik dari-Nya. Barakallah fiikum,” katanya menutup kajiannya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bersabar Atas Ujian Allah pada Kita

Setiap manusia akan Allah beri cobaan. Cobaan yang diberikan adalah hal-hal yang dicintainya. Mari kita bersabar dan bersyukur atas setiap cobaan yang Allah berikan pada kita.

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT berfirman: bila Aku member cobaan kepada HambaKu dengan kedua yang dicintainya (kedua matanya) dan dia tetap sabar, maka Aku ganti kedua yang dicintainya (kedua matanya) dengan syurga”. (HR. Bukhari)

 

sumber: Ummi-Online

Hakikat Sabar

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)

Pengertian Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Macam-Macam Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:

  1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
  2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
  3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sebab Meraih Kemuliaan

Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.

Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala,“Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).

Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).

Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).

Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)

Sabar Dalam Ketaatan

Sabar Dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)

Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.

Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)

Sabar Dalam Berdakwah

Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”

Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.

Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)

Sabar dan Kemenangan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).

Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.

Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sabar di atas Islam

Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)

Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.

Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.

Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.

Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).

Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.”(HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)

Sabar Menjauhi Maksiat

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.

Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”

Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”(QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).

“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allahtabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.

Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar Menerima Takdir

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar dan Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’alamembuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.

Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.

Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”

Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.

Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.

Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.

Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah(meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)

 

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Tujuh Kelebihan dari Bersabar

Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Negeri ini kembali berduka. Wasior diterjang banjir bandang. Mentawai disapu tsunami. Gunung Merapi memuntahkan kandungannya. Korban nyawa dan harta pun tak terhindarkan. Kita pun kembali menyadari betapa sangat lemah dan tak berdayanya diri ini di hadapan Sang Penguasa Kehidupan.

Saudaraku, tidaklah suatu kejadian dialami manusia, kecuali semuanya sudah ditentukan Sang Maha Menakdirkan (QS al-Hadid [57]: 22). Sungguh, takdir Allah adalah takdir Allah. Kita tidak mungkin bisa menolaknya. Hanya kita memohon kepada-Nya, semoga diberi kekuatan dan kecerdasan dalam menyibak hikmah di balik bahasa takdir-Nya.

Semoga kita termasuk golongan hamba-Nya yang bersabar dengan semua takdir-Nya. Bersabar dengan semua keadaan dan berbagai deret peristiwa mahapahit lainnya. Ketahuilah, inilah yang akan didapat oleh hamba-Nya yang mau bersabar.

Pertama, mendapatkan pahala surga dari Allah (baca: QS ar-Ra’d, [13]: 23 – 24). Anas bin Malik RA mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian dia bersabar, maka aku gantikan surga baginya’.” (HR Bukhari).

Kedua, sabar merupakan dhiya (cahaya yang amat terang). Dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah SAW mengungkapkan, “… dan kesabaran merupakan cahaya yang terang.” (HR Muslim).

Ketiga, kesabaran merupakan anugerah Allah yang paling baik.. “… dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (Muttafaqun Alaih).

Keempat, kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang Mukmin. “Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (mengetahui) bahwa hal itu memang baik baginya. Jika tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (mengetahui) bahwa hal itu baik baginya.” (HR Muslim).

Kelima, sabar merupakan sifat para nabi. Keenam, kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah menggambarkannya dalam sebuah hadis, “Tidaklah seorang Muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, marabahaya, dan juga kesusahan hingga duri menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketujuh, kesabaran merupakan sebuah keniscayaan. Seseorang tak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa, hendaklah ia berdoa kepada-Nya agar memberikan yang terbaik baginya: apakah kehidupan atau kematian.

“Janganlah salah seorang di antara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Sekiranya, ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, ‘Ya, Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik untukku. Wafatkanlah aku sekiranya itu lebih baik bagiku’.” (HR Bukhari Muslim). Demikianlah keutamaan bagi orang-orang yang sabar. Wallahu a’lam.

 

sumber: Republika Online