Hukum Bersiwak dengan Jari Tangan

Berikut penjelasan tentang hukum bersiwak dengan menggunakan jari tangan. Dalam Islam bersiwak merupakan salah satu sunnah nabi saw yang berkaitan dengan kebersihan mulut. Pasalnya, siwak dalam bahasa Arab memiliki arti menggosok, oleh karenanya bersiwak memiliki arti menggosok gigi dan sekitarnya dengan menggunakan benda yang tidak hanya dapat menghilangkan kotoran gigi namun juga bau mulut. 

Umumnya alat yang digunakan untuk bersiwak adalah kayu siwak atau yang dikenal dengan kayu Arak. Namun bagaimana jika seseorang bersiwak dengan menggunakan jari tangannya? Apakah tetap mendapatkan kesunnahan?

Dalam literatur fikih dijelaskan bahwa bersiwak dapat dilakukan dengan menggunakan setiap benda yang kasar baik berupa kain, kayu dan lainnya. Namun yang lebih utama dalam bersiwak adalah, tidak hanya menggunakan benda yang kasar tapi juga mempunyai aroma yang harum seperti kayu Arak

Sebagaimana yang telah dijelaskan Syekh Abdul Aziz Al Malibari dalam kitabnya Fathul Muin halaman 7;

ويحصل بكل خشن ولو بنحو خرقة أو أشنان والعود أفضل من غيره وأولاه ذو الريح الطيب وأفضله الأراك

Artinya: “kesunnahan bersiwak dapat tercapai dengan menggunakan benda yang kasar baik berupa kain atau kayu Usynan. Namun kayu lebih utama daripada yang lainnya. Dan yang lebih utama lagi yang mempunyai aroma harum. Dan paling utamanya lagi menggunakan kayu Arak.

Kemudian perihal hukum bersiwak dengan menggunakan jari tangan, dikalangan ulama masih terjadi perbedaan pendapat. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah juz 4 halaman 142

‌‌أَمَّا الاِسْتِيَاكُ بِالأُصْبُعِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ:

الأَوَّل: تُجْزِئُ الأُصْبُعُ فِي الاِسْتِيَاكِ مُطْلَقًا، فِي رَأْيٍ لِكُلٍّ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ، لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَأَدْخَل بَعْضَ أَصَابِعِهِ فِي فِيهِ. . . وَقَال: هَكَذَا كَانَ وُضُوءُ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

الثَّانِي: تُجْزِئُ الأُصْبُعُ عِنْدَ عَدَمِ وُجُودِ غَيْرِهَا، وَهُوَ مَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ، وَهُوَ رَأْيٌ آخَرُ لِكُلٍّ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ

وَالشَّافِعِيَّةِ، لِمَا رَوَاهُ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً مِنْ بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ قَال: يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّكَ رَغَّبْتَنَا فِي السِّوَاكِ، فَهَل دُونَ ذَلِكَ مِنْ شَيْءٍ قَال: أُصْبُعَيْكَ سِوَاكٌ عِنْدَ وُضُوئِكَ، أَمِرَّهُمَا عَلَى أَسْنَانِكَ. 

الثَّالِثُ: لَا تُجْزِئُ الأُصْبُعُ فِي الاِسْتِيَاكِ. وَهُوَ رَأْيٌ ثَالِثٌ لِلشَّافِعِيَّةِ، وَالرَّأْيُ الآْخَرُ لِلْحَنَابِلَةِ، وَعَلَّلُوا ذَلِكَ بِأَنَّ الشَّرْعَ لَمْ يَرِدْ بِهِ وَلَا يَحْصُل الإِنْقَاءُ بِهِ حُصُولَهُ بِالْعُودِ

Artinya: “Dalam bersiwak menggunakan jari tangan ada 3 pendapat: Pendapat pertama mengatakan bersiwak dengan menggunakan jari tangan cukup untuk mendapat kesunahan, pendapat ini disampaikan oleh kalangan ulama pengikut Madzhab Syafi’i, Maliki dan Hambali. Berdasarkan riwayat dari sahabat Ali Bin Abi Thalib RA. Bahwa sahabat Ali Bin Abi Thalib pernah berwudhu kemudian memasukkan sebagian jarinya kedalam mulut. Kemudian sahabat Ali Bin Abi Thalib berkata “beginilah wudhu Nabi Saw.”

Pendapat kedua menyatakan bersiwak dengan menggunakan jari tangan cukup untuk mendapat kesunahan, jika tidak ada benda lain untuk bersiwak selain jari tangannya. Hal ini menurut pendapat Madzhab Hanafi, serta sebagian pengikut Madzhab Syafi’i dan Maliki.

Berdasarkan riwayat sahabat Anas Bin Malik RA. bahwa ada seorang laki laki dari Bani Amr Bin Auf ia berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya Engkau ingin kami menggunakan siwak, lalu apakah ada benda lain selain itu? Lalu rasulullah saw menjawab “Kedua jarimu adalah siwak ketika kamu berwudhu, usapkan pada gigimu.”

Pendapat ketiga mengatakan bersiwak dengan jari tangan tidak cukup untuk mendapatkan kesunnahan. Hal ini menurut pendapat sebagian ulama pengikut Mazhab Syafi’i dan Hambali. Mereka beralasan bahwa syariat tentang bersiwak tidak datang dengan menggunakan jari tangan. Dan juga kebersihan yang dihasilkan dengan bersiwak menggunakan kayu berbeda dengan menggunakan jari tangan.”

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum bersiwak dengan menggunakan jari tangan, dikalangan ulama masih terjadi perbedaan pendapat. Namun sebaiknya kita menyikapinya dengan bijak. Dalam artian tetap berusaha bersiwak dengan menggunakan benda yang lebih utama, seperti kayu arak. Jika tidak ada baru menggunakan benda lainnya.

Demikian penjelasan tentang hukum bersiwak dengan menggunakan jari tangan, semoga bermanfaat. Wallahu alam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Anjuran untuk Bersiwak

Pengertian Siwak 

Siwak adalah bagian dari syariat. Islam Yang dimaksud siwak adalah menggunakan kayu atau sejenisnya untuk membersihkan kotoran dan warna kuning yang menempel pada gigi dan gusi dan menghilangkan baunya. Bersiwak bisa dengan kayu semisal kayu arok, zaitun, tangkai kurma, atau kayu jenis lain yang tidak mudah hancur dan tidak melukai mulut. (Al Mulakhos al Fiqhy)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Siwak menurut istilah para ulama yaitu kegiatan menggunakan ranting atau yang semcamnya untuk menghilangkan warna kuning serta kotorang lain yang ada pada gigi. “ (Syarh Shahih Muslim)

Apakah siwak boleh menggunakan sikat gigi dan pasta gigi ? Jawabannya doleh. Dianjurkan siwak menggunakan kayu arok. Jika tidak ada maka boleh menggunakan benda lain yang bisa membersihkan gigi dan mulut. Termasuk dalam hal ini menggunakan sikat gigi dan pasta gigi. Walllahu a’lam. (Shahih Fiqhu Sunnah)

Bersiwak Hukumnya Sunnah 

Bersiwak hukumnya sunnah dilakukan pada setiap waktu berdasarkan keumuman dalam hadits ‘Aisyah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Siwak membuat bersih mulut dan mendatangkan ridho Allah” (H.R Ahmad, shahih)

Bersiwak merupakan sunnah para rasul-rasul terdahulu. Yang pertama kali bersiwak adalah Nabi Ismail ‘alaihi sallam. Terdapat lebih dari hadits yang menjelaskan tentang siwak dan motivasi untuk melakukannya. Ini menunjukkan bahwa siwak adalah sunnah yang sangat ditekankan untuk diamalkan.(Al Mulakhos al Fiqhy)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Siwak hukumnya sunnah dan tidak wajib dalam keadaaan apaun, baik ketika hendak shlat maupun dalam kondisi lain” (Syarh Shahih Muslim)

Manfaat Siwak 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Siwak membuat bersih mulut dan mendatangkan ridho Allah” (H.R Ahmad, shahih

Hadits ini menunjukkan dua manfaat penting bersiwak :

  1. Manfat duniawi yaitu akan membersihkan mulut. 
  2. Manfaat ukhrawi yaitu akan mendapatkan keridhoan Allah. 

Ini menunjukkan perbuatan yang ringan bisa menghasilkan kebaikan dan pahala yang agung. (Asy Syarhu al Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’

Disamping membersihkan gigi dan mulut dengan siwak juga bermanfaat untuk menjaga kebersihan dan bau mulut serta bermanfaat bagi kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit.

Cara Bersiwak 

Cara bersiwak adalah dengan menggosok gigi dan gusi dimulai dari sisi mulut sebelah kanan kemudian ke kiri. Dalil yang menunjukkan hal ini karena kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterangkan dalam hadits berikut :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِيْ شَاْنِهِ كُلِّهِ 

“ Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai memulai pada bagian kanan saat mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam urusannya yang penting semuanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Para ulama berselisih pendapat apakah memegang siwak menggunakan tangan kanan ataukah tangan kiri ?

Sebagain ulama berpendapat menggunakan tangan kanan. Bersiwak adalah termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sunnah adalah ketaatan kepada Allah Ta’ala. Ketaatan kepada Allah tidak layak dilakukan dengan yang kiri. Karena ini adalah termasuk ibadah maka yang lebih utama adalah menggunakan tangan kanan. 

Sebagian ulama yang lain berpendapat yang lebih utama adalah dengan tangan kiri karena bersiwak adalah termasuk membersihkan kotoran. Kegiatan membersihkan kotoran adalah menggunakan tangan kiri seperti saat melakukan istinja’ atau isitijmar

Sebagian ulama yang lainnya memberikan perincian. Jika niat bersiwak untuk membersihkan kotoran seperti saat bangun tidur atau membersihkan sisa makan dan minum maka menggunakan tangan kiri karena ini termasuk perbuatan membersihkan kotoran. Jika niatnya untuk melaksanakan sunnah maka menggunakan tangan kanan karena hal ini semata perbuatan ibadah. Seperti bersiwak ketika hendak wudhu atau ketika akan sholat maka menggunakan tangan kanan. 

Menyikapi peerbedaan pendapat di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al‘Utsaimin rahimahullah menyimpulkan bahwa dalam maslah ini perkaranya luwes dan fleksibel, bisa menggunkan tangan kanan maupun tangan kiri. Tidak ada dalil yang jelas dan tegas dalam masalah ini. (Lihat Asy Syarhu al Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’)

Waktu Untuk Bersiwak 

Siwak lebih ditekankan untuk dilakukan pada kondisi berikut :

(1). Ketika wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ

“ Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu” (HR. Ahmad, shahih).

Menurut Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah bahwa bersiwak ketika wudhu dilakukan saat berkumur-kumur. (Al Mulakhos al Fiqhy)

(2). Ketika shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ

“ Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari).

(3). Ketika membaca Al Qur’an. Dari Ali bin Abi Thalib radhyiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, ‘Kami diperintahkan untuk bersiwak dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إن العبد إذا قام يصلي أتاه الملك فقام خلفه يستمع القرآن ويدنو فلا يزال يستمع ويدنو حتى يضع فاه على فيه فلا يقرأ آية إلا كانت في جوف الملك

“ Sesungguhnya seorang hamba ketika hendak mendirikan shalat datanglah malaikat padanya. Kemudian malaikat itu berdiri di belakangnya, mendengarkan bacaan Al-Qu’rannya, dan semakin mendekat padanya. Tidaklah dia berhenti dan mendekat sampai dia meletakkan mulutnya pada mulut hamba tadi. Tidaklah hamba tersebut membaca suatu ayat kecuali ayat tersebut masuk ke perut malaikat itu.” (HR. Baihaqi, shahih)

(4). Ketika masuk rumah. Dari Al Miqdam bin Syuraih dari ayahnya, dia berkata,

سَأَلْتُ عَائِشَةَ قُلْتُ بِأَىِّ شَىْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ قَالَتْ بِالسِّوَاكِ

Aku bertanya pada Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika mulai memasuki rumah beliau?” Aisyah menjawab, “Bersiwak” (Muttafaqun ‘alaihi).

(5). Ketika hendak shalat malam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ

“ Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun tidur di malam harimaka beliau bersiwak.” (Muttafaqun ‘alaih). (Shahih Fiqhu Sunnah)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa siwak hukukmnya sunnah dilakukan kapanpun saja di setiap waktu. Akan tetapi ada lima keadaan yang lebih ditekankan untuk bersiwak : (1) ketika hendak shalat, (2) ketika hendak wudhu, (3) saat hendak membaca Al Qur’an, (4) saat bangun tidur, dan (5) saat ada perubahan bau mulut seperti misalnya karena lama tidak makan dan minum, memakan makan yang berbau tidak enak, lama diam, dan banyak bicara. (Lihat Syarh Shahih Muslim)

Semoga bermanfaat. Allahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad.

Penulis : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56838-anjuran-untuk-bersiwak.html

Anjuran Rasulullah dalam Menjaga Kesehatan Gigi

Kesehatan gigi masih menjadi salah satu persoalan yang jamak dihadapi masyarakat, hingga sekarang ini. Salah satu pemicunya adalah perilaku dan kebiasaan yang mengabaikan faktor-faktor penentu kesehatan gigi.

Perihal kesehatan gigi, masih banyak masyarakat yang belum tahu Islam mengajarkan konsep yang bagus dalam menjaga kesehatan gigi. Hal ini terungkap dalam peringatan Bulan Kesehatan Gigi Nasional (BKGN) 2018, yang dilaksanakan di Rumah Sakit Islam Gigi dan Mulut (RSIGM) Sultan Agung, Kamis (27/9).

Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unissula, Suryono menyampaikan, Islam memiliki konsep yang sangat bagus dalam hal menjaga kesehatan gigi. Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya menjelaskan, andai saja tidak memberatkan maka Rasulullah akan mewajibkan umatnya memakai siwak (menggosok gigi) setiap hendak wudhu untuk menunaikan shalat.

Sedangkan, sesuai dengan ajaran Islam dalam sehari semalam ada lima waktu shalat wajib. “Artinya jika kita gosok gigi lima kali dalam sehari semalam, saya yakin gigi kita akan jauh lebih sehat,” ujar Suryono.

Suryono juga menekankan, kebiasaan malas menggosok gigi merupakan faktor utama penyebab gigi rapuh dan berlubang. Dahulu orang bilang, banyak yang mengalami gigi berlubang dan sakit gigi karena dokter gigi masih sedikit.

Namun sekarang, setelah ada 31 fakultas kedokteran gigi di Indonesia dan sudah banyak dokter gigi masyarakat masih banyak yang mengeluhkan kesehatan giginya. Penyebab utamanya karena masih banyak yang malas untuk menggosok gigi. Oleh karena itu, melalui BKGN kali ini, RSIGM kembali menegaskan pentingnya masyarakat merawat dan menjaga kesehatan gigi.

Peringatan BKGN Fakultas Kedokteran Gigi Unissula diisi berbagai kegiatan antara lain pemeriksaan gigi gratis untuk masyarakat umum di RSIGM Sultan Agung. “Untuk kegiatan pemeriksaan gigi gratis pada peringatan BKGN ini, kami menargetkan pemeriksaan terhadap 1.000 pasien, dalam satu bulan ke depan,” katanya.

BKGN kali ini semakin memiliki makna strategis dengan dilaksanakannya edukasi kepada siswa siswa SD Islam Sultan Agung 1 dan III oleh para mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Unissula. Kepada para murid SD ini diajarkan mengenai bagaimana cara menggosok gigi yang baik dan benar, kapan saat yang tepat untuk menggosok gigi hingga bagaimana merawat gigi agar tetap sehat.

“Melalui edukasi ini, diharapkan para murid sekolah tersebut memiliki pemahaman serta bisa menerapkan cara yang tepat dalam menjaga kesehatan gigi,” ujarnya.

 

Apakah Sikat Gigi Termasuk Siwak dalam Hadis? (2)

PENDAPAT Syafiiyah dan Malikiyah adalah yang lebih tepat. Hal ini karena alasan berikut:

Pertama, dari tinjauan bahasa arab. Secara bahasa, siwak dapat diartikan tindakan menggosok gigi, tanpa membatasi benda yang dipergunakan. Imam Az-Zubaidi rahimahullah menjelaskan, “Saaka asy-syai, yasuukuhu-saukan, yang artinya menggosok sesuatu. Dari kata tersebutlah diambil penamaan untuk alat menggosok gigi.” (Taj Al-Arus 27/215).

Dalam kitab Aunul Mabud Ala Sunan Abi Dawud diterangkan, “Siwak dimaknai tindakan menggosok gigi dan dimaknai benda untuk menggosok gigi. Namun makna yang dimaksud dalam hal ini adalah makna yang pertama.” (Aunul Mabud, 1/59).

Kedua, bersiwak bukanlah ibadah mahdoh (perbuatan yang murni ibadah). Akan tetapi, siwak adalah ibadah gahoiru mahdoh (tidak murni ibadah), karena tujuan dari bersiwak dapat dicerna oleh akal (maqulatulmana), yaitu membersihkan mulut. Dan tujuan ini, dapat dicapai menggunakan benda apa saja, seperti sikat gigi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Bersiwak diperintahkan, untuk tujuan memperindah, mensucikan dan membersihkan mulut.” (Syarah Umdah Al-fiqh 1/203)

Ketiga, nabi shallallahualaihi wa sallam tidak membatasi siwak beliau menggunakan benda tertentu saja, seperti kayu arok (kayu siwak) saja. Disebutkan dalam hadis dari Aisyah radhiyallahuanha, saat menceritakan detik-detik sebelum Nabi meninggal dunia, beliau bersiwak menggunakan dahan kurma, “Abdurrahman bin Abu Bakr berlalu dengan membawa kayu kurma di tangannya. Nabi shallallahualaihi wa sallam melihat kepadanyanya. Sayapun mengira beliau butuh pada dahan kurma itu. Lalu saya ambil, saya kunyah ujungnya, kemudain saya bersihkan. Lalu saya berikan ke beliau.” (HR. Bukhori).

Sebagai penutup, kami sertakan fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin dalam masalah ini. Beliau pernah ditanya tentang hukum menggosok gigi dengan sikat gigi dan odol, apakah bisa mendapatkan keutamaan siwak?

Iya, menggunakan sikat gigi dan odol cukup untuk bersiwak. Bahkan hasilnya lebih bersih dan suci daripada siwak. Jika seorang menggosok gigi dengan sikat gigi dan odol, maka dia telah melakukan amalan sunah. Karena intinya bukan pada benda yang digunakan. Akan tetapi pada perbuatan dan hasilnya. Sikat gigi dan odol, lebih besar hasilnya daripada sekedar memakai siwak.

Wallahualam bis showab. [Ustadz Ahmad Anshori, Lc]

 

INILAH MOZAIK

Apakah Sikat Gigi Termasuk Siwak dalam Hadis? (1)

BEBERAPA hadis menerangkan keutamaan bersiwak, diantaranya sabda Nabi shallallahualaihiwasallam berikut ini, “Siwak dapat membersihkan mulut dan mendapat keridhaan Rabb.” (HR. Ahmad, Irwaul Ghalil no 66).

Namun timbul pertanyaan, apakah bersiwak yang dimaksud pada hadis ini, harus menggunakan kayu siwak, atau boleh menggunakan benda lain seperti sikat gigi? Ada dua pendapat ulama dalam hal ini:

Pertama, Syafiiyah dan Malikiyah, bersiwak boleh menggunakan benda apa saja, asal dapat menghilangkan kotoran mulut. Meski menggunakan kayu arok (kayu siwak), ranting dan kayu bassyam (Sejenis tumbuhan berduri yang memiliki aroma harum, tumbuh di Saudi Arabia dan sekitarnya), itu lebih utama.

Dalam Kifayatul Akhyar, fikih ringkas mazhab Syafii dinyatakan, “Ketahuilah bahwa bersiwak itu bisa dilakukan dengan potongan kain atau segala benda kasar, yang dapat menghilangkan kotoran. Namun bersiwak menggunakan ranting atau kayu arok itu lebih utama.” (Kifayatul Akhyar, hal. 15).

Ibnu Abdil Bar Al-Maliki rahimahullah, menyatakan, “Siwak yang biasa dipakai oleh masyarakat dahulu adalah kayu arok dan bassyam, juga setiap benda yang dapat membersihkan gigi, dan tidak mencederainya.” (Al-Istidzkar 3/272)

Kedua, Hanafi dan Hambali, dikatakan bersiwak bila menggunakan kayu arok, ranting tumbuhan dan yang sejenisnya. Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin; salahsatu referensi fikih hanafi diterangkan, “Siwak, dengan (huruf sin) dibaca kasrah, maknanya adalah sepotong batang yang digunakan untuk bersiwak. Siwak juga dapat dimaknai mashdar (kata kerja yang dibendakan). Dalam kitab Ad-Durar dikatakan, “Makna inilah yang dimaksud dalam hal ini. Maka tidak perlu memaknai siwak dengan tindakan mempergunakan siwak.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/232).

Al-Buhuti, seorang ulama bermazhab hambali, menjelaskan dalam Syarah Muntaha al-Iradat, “Bab tentang bersiwak. Kata siwak merupakan bentuk mashdar dari kata tasawwuk, yang maknanya adalah menggosok gigi menggunakan ranting. Dan inilah makna siwak. Sedangkan uud adalah benda untuk bersiwak (ranting).” (Syarah Muntahal Iradat 1/72)

Dari dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan:
1. Menurut mazhab Syafii dan Maliki, hakikat siwak adalah fungsinya, yakni dapat membersihkan mulut, bukan benda yang digunakan. Sehingga, seorang yang membersihkan gigi menggunakan sikat gigi, mendapatkan keutamaan bersiwak yang tertera pada hadis di atas.
2. Menurut mazhab Hanafi dan Hambali, hakikat siwak adalah benda yang dipergunakan. Sehingga, yang mendapatkan keutamaan bersiwak adalah mereka yang mempergunakan kayu siwak dalam membersihkan gigi.
3. Seluruh ulama empat mazhab sepakat, bahwa bersiwak menggunakan kayu arok (kayu siwak), kayu bassyam, ranting tumbuhan dan yang semisalnya, adalah lebih utama.

Pendapat Syafiiyah dan Malikiyah adalah yang lebih tepat. Hal ini karena alasan berikut…

 

INILAH MOZAIK

Kapan Sebaiknya Bersiwak? Tujuh Hadits Tentang Bersiwak

Banyak hadits yang menganjurkan untuk bersiwak, agar sunnah tersebut disukai dan kesenangan Nabi dalam bersiwak hingga detik-detik terakhir beliau.

Berikut hadits-hadits tentang siwak dan kapan sebaiknya bersiwak:

1. Ibnu Umar berkata, “Tidaklah Rasulullah tidur melainkan siwak ada di sampingnya. Bila beliau bangun, maka dia akan memulai aktivitas dengan bersiwak.” (HR. Ahmad; Al-Bukhari; Abu Ya’la; Ath-Thabarani; dan Imam lainnya; dianggap shahih oleh Al-Albani).

2. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya tidak memberatkan mereka agar bersiwak untuk tiap sholat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Diriwayatkan dari Hudzaifah, “Bila Rasulullah bangun, beliau akan membersihkan mulut beliau dengan siwak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari, “Aku pernah mendatangi Nabi saat beliau sedang bersiwak dengan siwak basah; Ujung siwak berada di mulut beliau dan beliau bersuara ‘Uk.. Uk,” seakan beliau akan muntah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

5. Aisyah meriwayatkan, “Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq menghadap Nabi dan Nabi sedang bersandar di dadaku. Saat itu Abdurrahman membawa siwak yang digunakannya dan Nabi mengarahkan pandangan beliau menuju ke arah siwak tersebut. Aku pun mengambilnya dan membersihkannya lalu aku memberikannya kepada beliau. Setelah itu beliau terus menggunakannya dan aku tidak pernah melihat kesunnahan yang beliau lakukan yang lebih baik dari ini.” Dalam teks lain disebutkan, “Aku melihat beliau memperhatikan siwak itu dan aku tahu bahwa beliau menyukainya, maka aku berkata, ‘Apakah aku harus mengambilnya untukmu?’ Nabi mengangguk tanda setuju.” (HR. Al-Bukhari)

6. Abu Hurairah menceritakan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya tidak berat atas umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka agar bersiwak untuk setiap kali wudlu.” (HR. Al-Bukhari; Ahmad; An-Nasai; Ibnu Khuzaimah dan Imam lainnya dengan sanad yang shahih); Al-Bukhari mengomentari hadits ini dengan bentuk menetapkan dan menguatkan.

7. Aisyah menceritakan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “Siwak itu menyucikan mulut dan diridhai Tuhan.” (HR. Al-Bukhari; Ahmad;An-Nasai; Ibnu Khuzaimah; dianggap shahih oleh Al-Albani dan Imam Al-Bukhari mengomentari hadits ini dengan teks menguatkan).

Dalam syarh Muslim, Imam An-Nawawi menjelaskan “Siwak disunnahkan di semua waktu, namun tingkat kesunnahannya ditekankan lagi pada lima kesempatan yaitu ketika hendak sholat, ketika wudlu, ketika membaca Alquran, ketika bangun tidur dan ketika rasa atau bau mulut berubah buruk. Perubahan ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya, karena tidak makan dan tidak minum. Karena makan dan minum, karena makan sesuatu yang baunya tak sedap, diam terlalu lama dan terlalu banyak bicara. ”

Wallahu a’lam.

 

[Paramuda/BersamaDakwah]

Anjuran Rasulullah Membersihkan Gigi

Rasululah senantiasa menganjurkan umat Islam bersiwak (menyikat gigi) pada waktu sebelum shalat, sebelum tidur, dan bangun tidur.

Karena itu, dalam sebuah hadit rasullulah mengatakan, “Andaikan aku tidak memberatkan ummatku, niscaya aku akan menyuruh mereka bersiwak (menyikat gigi) setiap kali berwudhu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Syuraih bin Hani bertanya kepada Istri Rasulullah, Siti Aisyah RA, “Aapakah yang dahulukan oleh Nabi SAW jika hendak masuk rumahnya?” Saat itu Aisyah menjawab rasul mengosok gigi (bersiwak).”

Aisyah juga menceritakan, bahwa kami menyediakan siwak dan air wudhu untuk Rasulullah SAW. Maka bila saja Rasul telah bangun segera bersiwak dan wudhu kemudian Rasul menunaikan shalat.

Diriwayatkan Annas’I, Ibnu Khuzaimah, Rasulullah bersabda bahwa menyikat gigi (bersiwak) itu membersihkan mulut, dan menjadikan keridhoan Allah.

Banyak yang melihat Rasulullah rutin membersihkan gigi dengan siwak. Pada suatu pagi Hudzaifah RA pernah melihat Rasulullah SAW ketika bangun tidur menggosok giginya dengan siwak (sikat gigi).

Anas bin Malik RA juga menceritakan saat bertemu Rasulullah, Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Aku telah banyak menganjurkan kepadamu untuk bersiwak (menyikat gigi).”

Siti Aisyah dan Sahabat Rasulullah Abu Hurairah RA mengatakan mendengar Rasulullah menyampaikan sabdanya bahwa salah lima macam fitrah kebiasaan yang tetap dari nabi adalah menyikat gigi (bersiwak) dan berkumur.

Apabila dihitung dalah kesehariannya, maka seorang mulim telah melakukan tidak kurang dari 20 kali menyikat gigi (bersiwak). Rinciannya yaitu setiap mau melaksanakan shalat lima waktu, shalat sunah Rawatib (dua belas kali), shalat Dhuha, shalat Witir, dan ketika masuk rumah. Kebiasaan bersiwak pertama kali dilakukan oleh Rasulullah ketika akan masuk rumah seperti yang diriwayatkan oleh Istri Rasulullah Aisyah.

Berdasalkan hasil penelitian kesehatan modern tentang siwak, didapatkan bahwa sesungguhnya siwak mengandung banyak sekali kandungan dan manfaatnya untuk kesehatan gigi dan gusi loh. Di dalamnya mengandung materi yang dapat membasmi kuman, mengandung materi uang membersihkan gigi dan gusi, dapat menjaga kebersihan gigi, dan merubah bau mulut yang tidak sedap. Saat berpuasa pun Rasulullah tetap bersiwak/

 

sumber: Republika Online

Apakah Sikat Gigi Memiliki Keutamaan Seperti Bersiwak?

Fatwa Syaikh Muhammad Sholeh Al-Munajjid hafizhahullah

Pertanyaan: 

Jika seseorang berwudhu` dan tidak mendapatkan siwak, apakah pasta gigi bisa menggantikannya? Apakah bisa pelakunya mendapatkan pahala perbuatan tersebut?

Jawaban

Alhamdulillah.

Permasalahan pertama: Bersiwak adalah salah satu sunnah Nabi

Siwak (gosok gigi) adalah salah satu sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang keutamaan dan dorongan untuk melakukannya terdapat dalam beberapa hadits yang banyak jumlahnya. Adapun penjelasan tentang sebagian hukum-hukumnya telah dijelaskan di dalam jawaban dari pertanyaan no. 2577.

Penjelasan keutamaan gosok gigi (siwak) dan dorongan untuk melakukannya yang terdapat dalam beberapa hadits (sebenarnya) mencakup setiap alat yang bisa digunakan untuk membersihkan gigi, jika memang dengan alat tersebut tercapai tujuan (kebersihan gigi) dan dilakukan dengan niat melaksanakan sunnah siwak (gosok gigi).

Aktifitas menggosok gigi tersebut bisa dilakukan, baik dengan menggunakan ranting pohonal-arok (kayu siwak), ranting pohon zaitun, ranting pohon kurma maupun selainnya, termasuk pula sikat gigi yang dapat digunakan untuk menggosok dan membersihkan gigi.

Bahkan sikat gigi, bisa membersihkan bagian dalam gigi dengan mudah dan ringan, dilengkapi dengan zat pembersih gigi (pasta gigi).

Mengapa sikat gigi sama utamanya dengan bersiwak?

Beberapa perkara berikut ini menunjukkan bahwa (penggunaan) sikat gigi (juga) memiliki keutamaan (siwak):

1. Makna siwak

Bahwa kalimat “siwak” secara bahasa, pada asalnya diperuntukkan untuk aktifitas menggosok gigi, tanpa memperhatikan jenis alat yang digunakan untuk menggosok gigi. Lalu disebutlah alat yang dipakai untuk gosok gigi dengan sebutan “siwak” sedangkan secara adat kata “siwak” lebih banyak digunakan untuk menyebut “ranting pohon al-arok (yang dikenal dengan kayu siwak, pent.)”.

Berikut ini beberapa keterangan ulama tentang makna siwak

Berkata Az-Zubaidi:

ساكَ الشَّيءَ يَسُوكُه سَوْكًا : دَلَكَه ، ومِنْهُ أُخِذَ المِسواكُ

Saaka asy-syai`a yasuukuhu saukan maknanya yaitu mengosok sesuatu. Darinya diambil kata “miswak” (alat untuk gosok gigi)” (Taajul Aruus: 27/215).

Ibnu Daqiq Al-‘Id menyatakan bahwa, siwak adalah suatu istilah yang disebutkan untuk menunjukkan makna perbuatan, bentuk katanya (dalam bahasa Arab) adalah isim mashdar. Di antara dalilnya adalah hadits:

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Siwak itu membersihkan mulut dan menyebabkan (didapatkannya) keridhoan Ar-Rabb (Allah)” 1.

Para ulama ahli fikih pun mengatakan bahwa siwak hukumnya sunnah dan tidak wajib, serta pernyataan-pernyataan selain itu yang tidak mungkin disifati dengannya kecuali sebuah perbuatan. Di samping itu kata “siwak” (juga bisa) dimaksudkan untuk makna alat yang digunakan untuk menggosok gigi (Syarhul Ilmam:1/10).

Berkata Ibnul Atsir:

“والْمِسْوَاكُ: مَا تُدْلَكُ بِهِ الأسْناَن مِنَ العِيدانِ ، يُقَالُ سَاكَ فَاه يَسُوكُهُ : إِذَا دَلَكه بالسِّواك”

Al-Miswak adalah alat yang digunakan untuk menggosok gigi berupa ranting (misalnya, pent.). Seseorang itu dikatakan saaka faahu yasuukuhu jika ia menggosok giginya dengan siwak (An-Nihayah fi gharibil Hadits wal Atsar: 2/425).

Berkata Imam An-Nawawi:

السِّوَاك: هُوَ اسْتِعْمَال عود، أَو نَحوه، فِي الْأَسْنَان لإِزَالَة الْوَسخ، وَهُوَ من ساك، إِذا دلك، وَقيل من التساوك، وَهُوَ التمايل

Siwak adalah penggunaan sebuah ranting pohon atau semisalnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran. Kata ini berasal dari kata“ saaka” jika dia menggosok (gigi). Ada pula yang mengatakan “Diambil dari kata “At-Tasaawuk” yaitu At-Tamaayul.” (Tahriru Alfaazhit Tanbih, hal. 33).

Maka (kesimpulannya):

Siwak (gosok gigi) itu bukan terbatas pada (menggunakan) ranting pohon arok (kayu siwak) sebagaimana dipahami oleh sebagian orang, bahkan (sebenarnya) siwak adalah sebuah istilah bagi  aktifitas gosok gigi dan membersihkannya dengan alat apapun  juga, mencakup ranting apapun juga yang bisa digunakan untuk membersihkan gigi. Ahli bahasapun tidak membatasi siwak dengan ranting pohon arok (kayu siwak).

2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya menggunakan ranting pohon Al-Arok (kayu siwak) saja

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi diri  dalam menggosok gigi dengan menggunakan ranting pohon AlArok (kayu siwak) saja. Selain menggunakan ranting pohonAlArok  beliau juga menggunakan ranting pohon yang lainnya. Di antara dalil yang menyebutkan bahwa beliau menggosok gigi dengan ranting pohon AlArok (kayu siwak) adalah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata:

كُنْتُ أَجْتَنِي لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِوَاكًا مِنَ الْأَرَاكِ…

“Saya dulu pernah mengambilkan kayu siwak dari pohon Al-Arok  untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (HR. Ahmad (3991), Abu Ya’la Al-Mushili dalam musnadnya (9/209) dan ini adalah lafadz beliau. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun juga menggosok gigi dengan ranting dari pohon kurma (Adapun dalilnya adalah riwayat) dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, berkata

” تُوُفِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي ، وَفِي يَوْمِي ، وَبَيْنَ سَحْرِي وَنَحْرِي، وَكَانَتْ إِحْدَانَا تُعَوِّذُهُ بِدُعَاءٍ إِذَا مَرِضَ ، فَذَهَبْتُ أُعَوِّذُهُ ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَ: (فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى ، فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى). وَمَرَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ وَفِي يَدِهِ جَرِيدَةٌ رَطْبَةٌ ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَظَنَنْتُ أَنَّ لَهُ بِهَا حَاجَةً ، فَأَخَذْتُهَا، فَمَضَغْتُ رَأْسَهَا، وَنَفَضْتُهَا، فَدَفَعْتُهَا إِلَيْهِ، فَاسْتَنَّ بِهَا كَأَحْسَنِ مَا كَانَ مُسْتَنًّا ، ثُمَّ نَاوَلَنِيهَا، فَسَقَطَتْ يَدُهُ، أَوْ: سَقَطَتْ مِنْ يَدِهِ ، فَجَمَعَ اللَّهُ بَيْنَ رِيقِي وَرِيقِهِ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنَ الدُّنْيَا، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الآخِرَةِ “

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di rumahku, pada hari giliran yang menjadi jatahku dan (kepala beliau bersandar) di antara dada dan leherku.”

Salah seorang dari kami dahulu terbiasa membacakan do’a kepada beliau ketika beliau sakit. Lalu aku pun mendoakannya. Kemudian beliau mengangkat kepala (pandangan)nya ke atas dan mengucapkan,

فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى ، فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى

Ya Allah, jadikanlah aku bersama dengan golongan teman-teman yang terbaik di Surga yang tertinggi, Ya Allah, jadikanlah aku bersama dengan golongan teman-teman yang terbaik di Surga yang tertinggi“.

Lalu Abdurrahman bin Abu Bakr masuk sedangkan di tangannya ada ranting kayu siwak dari pohon kurma yang masih basah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampun menatapnya, saya menyangka beliau membutuhkan siwak tersebut.

Maka aku mengambilnya, mengunyah ujungnya dan mengibas-ngibaskannya, kemudian akupun menyerahkannya kepada beliau. Kemudian beliau menggosok gigi menggunakan ranting tersebut, dengan sebaik-baik cara bersiwak yang pernah beliau lakukan.

Setelah itu beliau memberikannya kepadaku, namun tangannya terjatuh atau ranting kayu siwak dari pohon kurma tersebut jatuh dari tangannya.

Maka Allah mengumpulkan antara air liurku dengan air liur beliau pada hari-hari terakhir beliau di Dunia dan pada hari-hari pertama di Akhirat kelak” (HR. Al-Bukhari no. 4451).

Jaridah adalah ranting pohon kurma“. (Thalabuth Thalabah, hal. 161).

Berkata Al-Fayumi: “Jarid adalah ranting pohon kurma. Kata tunggalnya adalah jaridah. Dinamakan dengan jaridah (artinya: sesuatu yang dihilangkan, pent.) jika dihilangkan darinya daun yang melekat padanya (Al-Mishbah Al-Munir: 1/96).

3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membatasi bersiwak dengan ranting kayu tertentu kepada para Sahabat radhiyallahu ‘anhum

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memerintahkan siwak (gosok gigi), tidaklah pernah membatasi dengan ranting kayu tertentu kepada para Sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk diambil (sebagai sikat gigi) darinya. Dahulu bangsa Arab menggosok gigi dengan berbagai macam ranting (untuk sikat gigi).

Disebutkan dalam Al-Bayan wat Tabayyun karya Syaikh Al-Jahizh (3/77) :

قضبان المساويك : البشام، والضّرو، والعُتم والأراك، والعرجون، والجريد، والإسحل (وكلها أسماء أشجار معروفة عند العرب).

“Ranting-ranting kayu untuk gosok gigi (contohnya) Al-Basyam, Adh-dhorwu, Al-Utumu, Al-Arok, Al-‘Urjun, Al-Jarid, dan Al-Ishal” (Semuanya adalah nama-nama pohon yang dikenal oleh bangsa Arab) (Lihat pula: Musykilat Muwaththa` Malik bin Anas karya Al-Bathliyusi, hal. 72).

Ibnu Abdil Barr menyatakan:

وَكَانَ سِوَاكُ الْقَوْمِ: الْأَرَاكَ ، وَالْبَشَامَ ، وَكُلَّ مَا يَجْلُو الْأَسْنَانَ وَلَا يُؤْذِيهَا وَيُطَيِّبُ نَكْهَةَ الفم: فجائز الاستنان به

Dahulu ranting kayu untuk gosok gigi bagi kaum (bangsa Arab) adalah  Al-Arok,  Al-Basyam dan segala sesuatu yang bisa membersihkan gigi, tidak menyakitinya, bahkan mengharumkan bau mulut, maka semua itu boleh dipakai untuk menggosok gigi. (Al-Istidzkar: 1/365).

4. Para Ahli Fikih tidak pernah membatasi bersiwak dengan ranting kayu tertentu dalam membahas fikih tentang siwak di kitab-kitab mereka

Para Ahli Fikih tidak pernah membatasi hukum bersiwak dengan ranting kayu al-arok, bahkan mereka menyebutkan bahwa bersiwak bisa terwujud dengan segala sesuatu yang bisa digunakan untuk membersihkan mulut (gigi), baik berupa ranting yang kaku (bukan lembek) dan yang semisalnya. Ibnu Abdil Barr menuturkan:

وَالسِّوَاكُ الْمَنْدُوبُ إِلَيْهِ : هُوَ الْمَعْرُوفُ عِنْدَ الْعَرَبِ ، وَفِي عَصْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَكَذَلِكَ الْأَرَاكُ وَالْبَشَامُ ، وَكُلُّ مَا يَجْلُو الْأَسْنَانَ.

(Ranting kayu) siwak yang disunnahkan adalah (ranting kayu) yang dikenal di kalangan bangsa Arab dan dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula (ranting kayu) Al-Arok, Al-Basyam dan segala sesuatu yang bisa membersihkan gigi (At-Tamhid(7/201)).

Beliau juga berkata:

وَكُلُّ مَا جَلَا الْأَسْنَانَ ، وَلَمْ يُؤْذِهَا ، وَلَا كَانَ مِنْ زِينَةِ النِّسَاءِ : فَجَائِزٌ الِاسْتِنَانُ بِهِ

Segala sesuatu yang bisa membersihkan gigi dan tidak menyakitinya, maka boleh dipakai untuk menggosok gigi (At-Tamhid 11:213).

An-Nawawi mengatakan:

” وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَسْتَاكَ بِعُودٍ من أراك، وبأي شئ اسْتَاكَ، مِمَّا يُزِيلُ التَّغَيُّرَ: حَصَلَ السِّوَاكُ ، كَالْخِرْقَةِ الْخَشِنَةِ، وَالسَّعْدِ، وَالْأُشْنَانِ “

Disunnahkan bersiwak dengan ranting dari pohon Al-Arok dan dengan segala sesuatu yang bisa digunakan untuk bersiwak berupa sesuatu yang bisa menghilangkan perubahan (bau mulut), maka (hakekatnya dengan itu) sudah diperoleh sunnah bersiwak. (Alat yang bisa digunakan bersiwak tersebut) misalnya secarik kain yang kasar, ranting tumbuhan As-Sa’du dan Al-Asynan (Syarhu Shahih Muslim (3/143)).

Al-‘Iraqi menyatakan:

وَأَصْلُ السُّنَّةِ تَتَأَدَّى بِكُلِّ خَشِنٍ يَصْلُحُ لِإِزَالَةِ الْقَلَحِ [أي صفرة الأسنان].

Pada asalnya Sunnah (dalam masalah bersiwak) adalah bisa terlaksana dengan segala benda kaku yang cocok untuk membersihkan kotoran gigi (yaitu kotoran gigi yang biasanya berwarna kuning) (Tharhu At-Tatsrib (2/67)).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bertutur:

” وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ السِّوَاكُ عُودًا لَيِّنًا يُطَيِّبُ الْفَمَ وَلَا يَضُرُّهُ ، وَلَا يَتَفَتَّتُ فِيهِ ، كَالْأَرَاكِ وَالزَّيْتُونِ وَالْعُرْجُونِ “

Disunnahkan alat untuk bersiwak (gosok gigi) berupa ranting lembut yang mengharumkan bau mulut (membersihkannya) dan tidak membahayakannya serta tidak mudah terlepas (serabutnya), seperti kayu Al-Arok, Az-Zaitun dan Al-‘Urjun (Syarhu Umdatul Fiqhi: 1/221).

Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin:

ويحصل الفضل بعود الأراك، أو بغيره من كل عود يشابهه

Keutamaan bersiwak bisa didapatkan dengan menggunakan ranting kayu Al-Arok (kaya siwak) atau dengan selainnya dari setiap ranting yang semisalnya (Syarhu Riyadhish Shalihin:5/226).

Dan tidak ada seorangpun dari ulama -sebatas yang kami ketahui- yang mengatakan bahwa bersiwak itu hanya dengan ranting kayu Al-Arok (kayu siwak) saja, bahkan pernyataan-pernyataan mereka itu cukup banyak yang menunjukkan bahwa bersiwak itu bisa dilakukan dengan menggunakan selain ranting kayu selain Al-Arok (kayu siwak) juga, yang dengannya bisa tercapai maksud (kebersihan gigi).

5. Bersiwak adalah ibadah yang terkait dengan alasan (tujuan), sehingga bisa terlaksana dengan setiap alat yang mubah dan cocok untuk mencapai tujuan tersebut

Bahwa bersiwak bukanlah tergolong kedalam jenis ibadah yang murni, akan tetapi bersiwak adalah jenis ibadah yang bisa dipahami maknanya (alasan disyari’atkannya).

Maksud disyari’atkannya bersiwak adalah untuk membersihkan gigi dan mengharumkan bau mulut, sedangkan ini terealisasi dengan setiap alat (mubah) yang bisa digunakan untuk mencapai maksud tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bertutur:

” وَلِأَنَّ السِّوَاكَ إِنَّمَا شُرِعَ لِتَطْيِيبِ الْفَمِ وَتَطْهِيرِهِ وَتَنْظِيفِهِ “

Karena siwak disyari’atkan untuk mengharumkan (bau)mulut, membersihkan dan mengeluarkan kotorannya. [Syarhu Umdatul Fiqhi :1/218].

Dengan penjelasan di atas, nampak jelas bahwa:

Keutamaan yang dijanjikan dalam dalil-dalil Syari’at tentang bersiwak (pada asalnya) adalah terkait dengan aktifitas bersiwaknya (membersihkan gigi) dan bukanlah terkait dengan alat untuk bersiwaknya. Maka keutamaan tersebut (pada asalnya) bukan terkait dengan ranting pohon Al-Arok (kayu siwak)nya, namun keutamaan itu  terkait dengan aktifitas membersihkan mulut dan gigi.

Disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud (1/46):

” وَهُوَ يُطْلَقُ عَلَى : الفعل والآلة ، والأول هو المراد ها هنا “

Kata tersebut (Siwak) diperuntukkan untuk menunjukkan makna perbuatan dan alat sekaligus, sedangkan untuk makna yang pertama (perbuatan) itulah yang dimaksud di sini.

(Maksud dari perkataan “di sini”) yaitu:  di dalam hadits-hadits tentang keutamaan bersiwak dan dorongannya.

Syaikh  Ibnu ‘Utsaimin ditanya: “Apakah menggunakan pasta gigi (dan sikat gigi, pent.) bisa mewakili kayu siwak (ranting pohon Al-Arok)?

Dan apakah orang yang menggunakannya (sikat & pasta gigi) dengan niat membersihkan mulut akan diberi pahala? Maksud (saya): Apakah  sepadan dengan pahala kayu siwak, yang dengan pahala tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyemangati orang yang membersihkan giginya? ”

Beliau Rahimahullah Ta’ala menjawab,

” نعم ؛ استعمال الفرشاة والمعجون يغني عن السواك ، بل وأشد منه تنظيفاً وتطهيراً ، فإذا فعله الإنسان حصلت به السنة ؛ لأنه ليس العبرة بالأداة ، العبرة بالفعل والنتيجة ، والفرشاة والمعجون يحصل بها نتيجة أكبر من السواك المجرد .
لكن هل نقول إنه ينبغي استعمال المعجون والفرشاة كلما استحب استعمال السواك ، أو نقول إن هذا من باب الإسراف والتعمق ، ولعله يؤثر على الفم برائحة أو جرح أو ما أشبه ذلك ؟ هذا ينظر فيه ”

Ya benar, menggunakan sikat dan pasta gigi bisa mewakili kayu siwak, bahkan lebih mampu membersihkan dan mengeluarkan kotoran gigi, maka jika seseorang gosok gigi dengan sikat gigi (itu berarti) sudah terlaksana Sunnah (bersiwak) dengannya, karena yang dijadikan patokan bukanlah  alat untuk bersiwaknya, namun yang dijadikan patokan adalah perbuatan dan hasilnya. Sedangkan sikat dan pasta gigi bisa menghasilkan hasil (kebersihan gigi & keharuman bau mulut, pent.) yang lebih maksimal dibandingkan dengan kayu siwak saja.

Akan tetapi apakah bisa kita katakan bahwa penggunaan sikat dan pasta gigi itu sebaiknya ketika setiap kali disunnahkan penggunaan kayu siwak? Atau justru hal ini tergolong melampaui batas dan berlebih-lebihan? (karena) barangkali berdampak  pada mulut, baik berupa bau, luka atau semisalnya? Ini perlu pembahasan (lebih lanjut).

[Fatawa Nur ‘alad-Darb lil ‘Utsaimin :2/7, penomoran maktabah Syamilah].

 

Permasalahan Kedua: Kayu siwak memiliki keistimewaan tersendiri!

(Meskipun) telah disebutkan bahwa menggosok gigi dengan menggunakan sikat gigi itu sudah termasuk melakukan Sunnah siwak dan mendapatkan pahala  jika diiringi dengan niat ibadah, hanya saja, bersiwak dengan menggunakan ranting pohon Al-Arak (kayu siwak) tetap memiliki keistimewaan (tersendiri), berupa mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

(Keistimewaan tersebut yaitu) bahwa kayu siwak dahulu paling banyak digunakan oleh mereka, ditambah lagi mudah dibawa dan dipindah-pindah di segala tempat dan kondisi. Dan hal itu telah menjadi kebiasaan tanpa ada yang mengingkarinya serta tidaklah hal itu terhitung ‘nyeleneh’.

Lain halnya dengan sikat gigi yang sulit jika digunakan pada setiap saat, karena sikat gigi tersebut membutuhkan tempat tersendiri.

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (4/140):

” اتَّفَقَ فُقَهَاءُ الْمَذَاهِبِ الأْرْبَعَةِ عَلَى أَنَّ أَفْضَلَهُ جَمِيعًا : الأْرَاكُ ، لِمَا فِيهِ مِنْ طِيبٍ ، وَرِيحٍ ، وَتَشْعِيرٍ يُخْرِجُ وَيُنَقِّي مَا بَيْنَ الأْسْنَانِ ”

Ulama Ahli Fikih dari keempat madzhab sepakat bahwa alat siwak yang paling utama dari seluruh alat siwak yang ada yaitu: ranting pohon Al-Arok, karena didalamnya terdapat kebaikan, keharuman bau dan berserabut yang bisa mengeluarkan dan membersihkan kotoran yang terdapat di sela-sela gigi.  

Ibnu Allan menyatakan:

” وأولاه : الأراك ؛ للاتباع ، مع ما فيه من طيب طعم وريح ، وشعيرة لطيفة تنقي ما بين الأسنان ، ثم بعده النخل ؛ لأنه آخر سواك استاك به صلى الله عليه وسلم”

Yang paling baik adalah ranting pohon Al-Arok (kayu siwak) karena mengikuti (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), diiringi dengan kesegaran rasa dan keharuman bau serta serabut yang lembut membersihkan kotoran yang terdapat di sela-sela gigi, kemudian (urutan yang berikutnya adalah) ranting pohon kurma, sebab ranting pohon kurma tersebut adalah ranting siwak yang terakhir kali dipakai bersiwak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[Dalilul Falihin (6/658)].

Berkata Syaikh Athiyyah Muhammad Salim:

” إذا نظرنا إلى الغرض من استعمال السواك ، وهو كما في الحديث : ( مطهرة للفم مرضاة للرب ) فأي شيء طهَّر الفم فإنه يؤدي المهمة ، ولكن ما كان عليه السلف فهو أولى وأصح طبياً ”

“Jika kita perhatikan tujuan penggunaan kayu siwak, yaitu sebagaimana disebutkan dalam hadits :

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Siwak adalah membersihkan mulut dan menyebabkan (didapatkannya) keridhoan Ar-Rabb (Allah)” , maka dengan alat (mubah) apapun yang bisa membersihkan mulut, itu berarti telah memenuhi tujuan tersebut, namun perkara yang menjadi Sunnah Salafush Sholeh itu lebih utama dan lebih bagus secara medis”.

[Syarhu Bulughil Maram (5/13), dengan penomoran maktabah Syamilah].

Untuk penjelasan tambahan, silahkan baca jawaban pertanyaan no. 115282, di dalamnya terdapat beberapa faedah yang bermanfa’at tentang ranting pohon Al-Arok (kayu siwak).Wallahu a’lam.

***

Sumber: Islamqa.info/ar/219510

Penerjemah: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

  1. HR. An Nasa-i dan Ahmad, shahih