Perlu tidaknya Kita Bersyahadat?

PERTANYAAN anda dengan sendirinya akan terjawab kalau kita perhatikan makna harfiyah kata “syahadat.” Apa sih arti kata syahadat itu? Syahadat artinya adalah persaksian. Seorang yang bersyahadat pada dasarnya dia sedang bersaksi. Pertanyaannya: mengapa harus bersaksi? Katakanlah sebagai contoh, mengapa seseorang harus bersaksi di pengadilan? Untuk apa bersaksi atau berikrar di depan hakim?

Jawabnya untuk menegaskan kepada khalayak tentang persepsi, pemahaman, keyakinan serta pendirian dirinya. Tetapi kenapa harus ada persaksian? Karena saat itu belum jelas pendirian seseorang, sehingga orang itu harus bersaksi di depan pengadilan.

Di masa lalu, ketika belum ada satu pun orang yang memeluk agama Islam, setiap kali ada yang masuk Islam, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta mereka melakukan persaksian ini, yaitu melafazkan dua kalimat syahadat. Sebagai tanda bahwa mulai saat itu dia sudah pindah agama dan menjadi pemeluk Islam. Pengucapan ini dilakukan untuk menegaskan bahwa seseorang sudah pindah agama, dari agama selain Islam menjadi beragama Islam.

Lalu bagaimana dengan orang yang sudah jadi muslim sejak lahir? Masihkah diperlukan persaksian? Jawabnya tentu saja tidak perlu bersyahadat lagi. Mengapa? Sebab dalam kehidupan sehari-hari, semua ciri, perilaku dan penampilannya sudah menunjukkan bahwa dirinya seorang muslim. Karena itu persaksian itu tidak lagi diperlukan. Toh tidak ada kepentingannya lagi.

Lagi pula secara akidah, keyakinan dan fikrah, sudah bisa dipastikan dirinya mentauhidkan Allah dan menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi dan rasul-Nya, serta kesetiaan untuk menjalankan semua perintah Allah Ta’ala. Mengapa seorang yang sejak lahir sudah demikian masih dipertanyakan keIslamannya dengan harus syahadat ulang?

Apakah anak-anak para sahabat nabi, para tabi’in, para ulama salaf dan setiap lapis generasi muslim sepanjang 14 abad itu pernah melakukan proses syahadat ulang, padahal mereka lahir sudah jadi muslim? Jawabnya tidak pernah. Sebab mereka memang sudah muslim, sejak lahir dan selama 24 jam dalam setiap hari dalam kehidupan mereka.

Bahkan ketika mereka pergi ke masjid untuk salat, itu adalah ‘syahadat’ mereka. Ketika Ramadan mereka berpuasa, itu adalah syahadat mereka juga. Ketika bayar zakat atau pergi haji ke baitullah, itu adalah syahadat mereka. Lantas buat apa lagi mereka bersyahadat lagi? Adakah pihak-pihak yang meragukan atau mencurigai bahwa orang yang melakukan itu bukan muslim? Dan anda benar, bukankah tiap salat kita pasti sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Bukan hanya sekali seumur hidup saja, tetapi setiap hari tujuh belas kali, apa masih kurang?

Selain itu syahadat tidak harus di depan imam. Sebuah cara pandang yang keliru dan sesat adalah bila mensyaratkan bersyahadat di depan imam tertentu, atau pimpinan tertentu dari suatu jemaah. Pemikiran ini tidak datang dari ajaran Islam yang benar, tetapi merupakan hasil rekayasa palsu kelompok tertentu. Mereka menyamakan antara syahadat dengan bai’at. Seolah orang yang tidak berbai’at dengan kelompok mereka, masih belum muslim. Syahadatnya dianggap belum sah, kecuali setelah bersyahadat sekaligus berbai’at dengan kelompok mereka.

Ide harus adanya syahadat ulang buat semua umat Islam, biasanya datang dari kelompok-kelompok yang punya kepentingan tertentu. Syahadat ulang hanya diberlakukan kepada mereka yang murtad, yaitu ingkar kepada salah satu rukun iman dan rukun Islam, atau melakukan hal-hal yang kongkrit membatalkan syahadat. Itu pun ada perintah penguasa resmi, bukan orang perorang.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

 

INILAH MOZAIK

Bersyahadat Bisa Kapan Saja dan di Mana Saja

Ketua Mualaf Center Indonesia Steven Indra Wibowo mengungkapkan bahwa para mualaf bisa mengucapkan syahadat kapan saja dan di mana saja.

“Selama tempat itu bersih dari najis, syahadat bisa di mana saja dan kapan saja,” kata dia, Rabu (12/8).

Hidayah dari Allah SWT, ujarnya, memang bisa datang tanpa bisa diduga oleh manusia, dan bisa terjadi pada siapapun, dimanapun dan kapanpun Allah SWT menghendakinya. Maka, seorang manusia juga tidak bisa memperkirakan kapan dan di mana seseorang mendapatkan hidayah, serta memiliki keinginan untuk memeluk Islam.

Hal itulah yang diyakini betul oleh Steven sering membimbing para mualaf di tempat-tempat umum, termasuk tempat-tempat nongkrong. Menurutnya, tidak masalah berada dimana saja, kapan saja, selama tempat tersebut suci dari najis, ia akan mensyahadatkan siapaun yang mendapatkan hidayah.

Pengalaman pahit yang pernah ia alami saat mencoba memualafkan sanak keluarganya, semakin meneguhkan niatnya untuk tetap mensyahadatkan orang di manapun dan kapanpun ia bisa.

Kala itu, orang yang sebenarnya sudah ingin memleuk Islam, harus terlebih dahulu dijemput oleh maut, hanya karena ingin bersyahadat dalam Masjid Istiqlal.

Mulai saat itulah, Indra memutuskan untuk bisa mensyahadatkan orang di manapun dan kapanpun sesegera mungkin, selama tempat untuk bersyahadat tersebut bersih dari najis.