TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid: Ulama Pendiri Nahdlatul Wathan dan Pejuang Kemerdekaan dari Nusa Tenggara Barat

Maulana Syekh Tuan Guru Kiai Haji (T.G.K.H.) Muhammad Zainuddin bin Abdul Madjid lahir di desa Pancor pada tahun 1908. Dan merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Pada saat kecil beliau memliki nama Muhammad Saggaf, namun pada usia sembilan tahun diubah menjadi Muhammad Zainuddin, ini karena ayah beliau T.G.H. Abdul Madjid mencari keberkahan dari ulama’ besar dari daerah Serawak yaitu Syekh Muhammad Zainuddin.

Semenjak kecil beliau sudah menjadi papadu (anak kebanggaan) dari ayahnya. Beliau sejak kecilnya sudah di gembleng untuk memahami beragam disiplin ilmu ilmu kegamaannya guna meningkatkan kapasitas agar lebih tajam dan komprehensif. Disamping mengikuti sekolah formal di Volkscholen yang dibangun pemerintah hinida Belanda, ia juga belajar dengan beberapa Tuan Guru yang ada di desa Pancor diantaranya TGH. Syarafuddin, TGH. Abdullah bin Amaq Dulaji,  TGH. Muhammad Said dan lainnya.

Pada tahun 1923, Maulana Syekh bersama saudara adiknya Muhammad Faisal diantar orangtuanya belajar ke Tanah suci Mekkah, tepatnya  di Madrasah ash-Shaulatiyah, madrasah yang sama dimana Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan Kiai Hai Ahmad Dahlan belajar.  Madrasah yang didirikan pada 1219 H. oleh seorang ulama besar imigran India Syekh Rahmatullah Ibn Khalil al Hindi al Dahlawi. Tercatat sebagai madrasah pertama dalam dunia pendidikan di Arab Saudi.

Maulana Syekh masuk Madrasah Shaulatiyah pada 1345 atau 1927 M. saat itu mudir atau direkturnya adalan Syekh Salim Rahmatullah. Ia merupakan cucu pendiri Madarash Shaulatiyah. Pada saat belajar di Shaulatiyah, para guru beliau menilai Maulana Syekh memiliki ketekunan tinggi dalam belajar. Beberapa guru  mengakuinya sebagai murid yang tergolong cerdas. Syekh Salim Rahmatullah selalu mempercayakan kepadanya untuk menghadapi penilik madrasah Pemerintah Arab Saudi yang seringkali datang ke madrasah. Penilik adalah penganut Wahabi.

“Dan Zainuddin adalah satu satunya murid Madrasah ash-Shaulatiyah yang dianggap menguasai paham Wahabi dan ia selalu berhasil menjawab pertanyaan penilik itu dengan memuaskan” kata aeorang teman sekelasnya, Syekh Zakariya Abdullah Bila, ulama besar di Tanah Suci Makkah.

Setelah menyelesaikan studinya pada tahun 1933 M., Maulana Syekh kembali ke kampung halamannya. Melihat keadaan masyarakat Nusa Tenggara Barat yang saat itu masih jauh dari akses pendidikan yang layak beliau merasa tertantang untuk membenahi masyarakatnya yang masih dalam jajahan koloni Belanda melalui pendidikan. Pada tahun 1934 beliau mendirikan Pesantren Al Mujahidin.

Berselang tiga tahun, pada tanggal 22 agustus 1934 M beliau mendirikan madrasah khusus laki-laki yang dinamainya Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah atau disingkat NWDI, setelah madrasah NWDI meluluskan angkatan pertama tahun 1941 H. Untuk memperluas kader-kader pendidikan Maulana Syekh mendirikan Madrasah khusus kaum perempuan yang bernama Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah pada tahun 1941 H yang biasa di singkat NBDI. Kedua Madarasah ini merupakan madrasah pertama yang berdiri di Pulau Lombok, dan merupakan cikal bakal berdirinya semua madrasah yang bernaung dibawah organisasi Nahdlatul Wathan.

Melihat perkembangan Madrasah cabang dari NWDI dan NBDI yang cukup pesat, untuk lebih memudahkan dalam koordinasi, pembinaan, dan pengembangan madrasah-madarasah cabang tersebut, pada tanggal 1 Maret 1953 Maulana Syekh mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan (NW) yang bergerak di bidang pendidikan, sosial dan dakwah.

Menjadi Tokoh Pejuang Kemeredekaan dari Nusa Tenggara Barat

Selain dikenal sebagai kiai kharismatik yang mencurahkan pemikiran dan pengetahuannya untuk pendidikan umat, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga dikenal sebagai tokoh perjuang kemerdekaan di Nusa Tenggara Barat. Penggunaan nama pesantren yang dibuat oleh beliau mensyiarkan semangat yang kuat untuk memajukan umat Islam dan membangkitkan negeri, dan tanah air. Ini tercermin dari arti kata Nahdlatul Wathan yang berarti kebangkitan Tanah Air.

Pada zaman penjajahan madrasah disamping sebagai tempat untuk belajar agama juga dijadikan oleh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot patriot bangsa yang siap bertempur melawan penjajah.

Pada tahun 1947, dipimpin oleh adik kandungnya beliau bersama santri santrinya menyerang markas NICA. Penyerangan ini menewaskan para santri, guru madarsah serta adiknya sendiri. Setelah itu beliau dengan Saleh Sungkar membentuk wadah politik untuk perjuangan dan memajukan rakyak bernama Persatuan Umat Islam Lombok (PUIL). Selain itu, beliau juga aktif sebagai anggota konstituante, Masyumi, Permus dan Golkar.

Atas jasa jasanya terhadap bangsa Indonesia, pada tahun 2017 beliau kemudian dianugrahkan gelar pahlawan oleh presiden Jokowi bersamaan dengan 4 tokoh dari daerah lainnya. TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal sebagai seorang ulama pejuang kemerdakaan, guru sufi dan ulama’ yang nasionalis.. Beliau wafat di Lombok pada 21 Oktober 1997. Lahu al Fatihah

BINCANG SYARIAH

Aria Wangsakara Sosok Ulama dan Pahlawan Pengusir Kompeni di Tangerang

Hari ini 10 November 2021 Bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai bagian dari mengenang jasa para pahlawan untuk diteladani semangat perjuanganya dalam berjuang membebaskan bangsa dan rakyat dari belenggu keterjajahan baik secara fisik maupun secara non-fisik. Tema yang diambil adalah “Pahlawanku Inspirasiku”.

Para pahlawan wajib menjadi inspirasi generasi bangsa, untuk terus berjuang dalam membangun bangsa dan banyak sekali palawan yang patut untuk dijadikan inspirasi, salah satu pahlawan yang ditetapkan sebagai pahlawan bertepatan dengan Hari Pahlawan adalah Raden Arya Wangsakara.

Dilansir dari laman news.detik.com Rabu (10/11). Raden Wangsakara merupakan tokoh dari Lengkong Tangerang yang melawan kompeni Belanda di masa Kesultanan Banten abad ke-17. Di masa itu, ia juga dikenal sebagai imam di kesultanan karena ilmu agamanya.

Arya Wangsakara juga digelari Kiyai Mas Haji Wangsaraja. Ia memiliki peran khususnya dalam peperangan Banten di era kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda di Batavia.

Di buku ‘Catatan Masa Lalu Banten’ karya Halwany Michrob, pada 11 Mei 1658, Banten menyatakan perang kepada kompeni yang melakukan monopoli perdagangan. Pengumuman perang disampaikan oleh sultan dengan diikuti pengerahan pasukan ke daerah perbatasan-perbatasan dekat Batavia.

Pasukan perang yang dibentuk oleh kesultanan juga diikuti oleh para pembesar salah satunya Kartiduta, Aria Wangsakara dan Demang Narapaksa. Wangsakara yang dikenal alim duduk di atas tandu bersama pasukan. Mereka lalu berangkat ke Tangerang dan baru tiba di hari ke delapan lalu membuat barak di Tangerang dan Angke sebagai pusat pertahanan.

Pengerahan pasukan itu mendapat reaksi dari Belanda dengan mengumpulkan pasukan tentara dari berbagai daerah seperti Ternate, Bali, Bandan hingga Ambon. Pasukan ini juga ditempatkan di Angke dan saling berhadap-hadapan dengan pasukan Banten.

Di Angke itu, masing-masing pasukan awalnya hanya menahan diri meski dekat dan saling berhadap-hadapan. Baru pada hari ke delapan pertempuran keduanya pecah. Wangsakara di situ tulisnya memimpin doa agar pasukan Banten memenangkan perang dan menghancurkan kompeni.

“Setelah Haji Wangsaraja bedoa mohon perlindungan Allah untuk menghancurkan penindas, berangkatlah pasukan ke medan laga. Sepanjang hari pertempuran berlangsung hebat tanpa henti-hentinya,” tulis Halwani sebagaimana dikutip detikcom, Rabu (10/11/2021).

Di buku ‘Aria Wangsakara Tangerang, Imam Kesultanan Banten, Ulama Pejuang Anti Kolonialisme 1615-1681’ yang ditulis Mufti Ali, kedua pasukan ini tulisnya hanya dipisahkan kali Cisadane dan memang tidak memulai peperangan selama 7 hari pertama. Baru di hari kedelapan terjadi pertempuran hingga malam.

“Sengitnya pertempuran dilukiskan dengan jelas di Sajarah Banten. Gempar orang yang ada di dalam kota, suara tambur dari Meriam, bersahutan dengan ringkikan kuda, derit kereta kuda besar dan kecil, diejek yang tertinggal, kuda-kuda dipacu kencang, kilatan cahaya senapan, pedang tombak, dan peluru,” tulisnya.

Setelah perang sehari, kedua pasukan kemudian jeda selama tiga hari. Pasukan Banten kemudian sepakat menggunakan strategi perang dadali dengan menyebar pasukan mengelilingi daerah musuh. Ada yang ke arah timur mengelilingi Jakarta bahkan ada yang bertugas membakar perkebunan.

Strategi ini rupanya berhasil dan pasukan Banten dapat merebut beberapa benteng pertahanan milik Belanda. Ada yang menguasai benteng belanda di Sudimara, hingga ada yang bisa menerobos ke timur Ciangke.

Pertempuran itu berakhir begitu ada perjanjian damai pada Juli 1659. Salah satu perjanjian itu menyepakati batas wilayah kekuasaan antara Kesultanan Banten dan kompeni Belanda yang menguasai Batavia.

“Dalam salah satu pasal dari sepuluh pasal dalam perjanjian damai yang ditandatangani pada 10 Juli 1659 tersebut disebutkan bahwa kedua belah pihak bersepakat untuk menentukan batas wilayah Banten dan Batavia dengan tapal batas Sungai Cisadane sejak dari muara hingga daerah pegunungan sampai Ange-Tangerang yang jatuh ke tangan kompeni,” tulisnya.

Selain perang melawan Belanda, masa Sultan Ageng Tirtayasa juga berhasil menguasai Sumedang dari hegemoni Mataram dan VOC. Sultan oleh Mufti disebut memberikan ucapan ke Aria Wangsakara yang notabenenya dari sana dan mengatakan bahwa daerah itu telah kembali ke kekuasaan Banten.

ISLAM KAFFAH

Sayyidah Asiyah; Teladan dalam Keimanan

Termasuk salah satu perempuan yang dimuliakan oleh Allah dan diabadikan namanya dalam Al-Qur’an ialah Sayyidah Asiyah binti Muzahim. Beliau merupakan istri dari Fir’aun, dan ibu asuh Nabi Musa. Beliau juga merupakan satu dari sekian nama yang dicatat oleh Allah untuk dijadikan teladan akan keimanan yang dimiliki dan pengorbanannya yang begitu besar.

Maka tidak heran sesungguhnya tema International Women Day 2021 tempo lalu adalah “Choose To Challenge” (dari tantangan menuju perubahan). Dalam konteks ini, Sayyidah Asiyah menemukan relevansinya di sini. Asiyah merupakan perempuan yang tidak hanya sekadar dipenuhi tantangan dan pilihan yang sulit, namun tetap struggle, tetap berpendirian teguh memegang keyakinannya. Inilah makna sesungguhnya dari peringatan International Women Day itu.

Memuliakan perempuan berarti memuliakan peradaban, yang sejatinya telah diabadikan dalam Al-Qur’an yang berbunyi,

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوا امْرَاَتَ فِرْعَوْنَۘ اِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَنَجِّنِيْ مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهٖ وَنَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَۙ

Artinya: Dan Allah telah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir‘aun (Asiyah), ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisiMu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS. Al-Tahrim: 11)

Imam At-Thabari dalam kitabnya Jami’ Al-Bayan, menafsirkan ayat ini bahwa Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang Shiddiq (jujur) dan mengesakan-Nya, istri Fir’aun yaitu Aisyah ialah wanita yang benar-benar beriman kepada Allah dan mengesakan-Nya. Ia telah bersaksi atas kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa.

Keadaan Sayyidah Asiyah pada saat itu benar-benar di bawah musuh-musuh Allah, yaitu lingkungan orang kafir. Kendati demikian, hal itu tidak membahayakannya apalagi meruntuhkan keimanannya akan Allah. Imam At-Thabari juga mengatakan redaksi doa yang terkandung dalam ayat tersebut bermakna bahwa Allah mengabulkan doa Asiyah, istri Fir’aun dengan membangunkan sebuah rumah yang indah di surga Firdaus.

Di dalam tafsir yang lain, makna doa tersebut adalah senantiasa dekat kepada rahmat dan karunia Allah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al-Syaukani, Imam Az-Zamakhsari dan Imam Baghawi.

Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir menafsirkan bahwa Allah mengumpamakan, sesungguhnya pergaulan orang mukmin terhadap orang kafir tidaklah membahayakan dirinya, jikalau memang mempunyai keperluan kepada mereka. Serta senantiasa memegang teguh keyakinan mereka, urusan mereka hanya sebatas persoalan duniawi, kemanusiaan, tidak lebih dari itu. “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”, demikian yang allah firmankan dalam Al-Qur’an Surat Al-Kafirun.

Lebih lanjut lagi, Ibnu Katsir mengutip ayat Al-Qur’an Surat Ali Imran: 28 dengan tafsiran, “Janganlah kalian orang-orang mukmin mengambil orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. Artinya, perihal keyakinan dan akidah, kita harus tetap mengutamakan orang-orang mukmin daripada non-muslim.

Sayyidah Asiyah sebagaimana digambarkan oleh ayat di atas merupakan perempuan suci, bahkan kekafiran suaminya (Fir’aun) tak lantas membahayakan terhadap dirinya, karena Asiyah senantiasa taat kepada Allah tanpa sedikitpun ia merasa takut untuk menolak segala keburukan yang dilakukan oleh suaminya termasuk berhubungan badan (jima’) dengannya.

Makna dari doa Asiyah di atas sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Az-Zamakhsyari tidak hanya ingin dibangunkan rumah di surga-Nya, melainkan agar ia senantiasa dekat dengan rahmat Allah. Dalam kitab Tafsir Al-Kasyaf,  Az-Zamakhsyari mengatakan,

فإن قلت ما معنى الجمع بين عندك وفي الجنة؟ قلت طلبت القرب من رحمة الله والبعد من عذاب أعدائه، ثم بينت مكان القرب بقولها { فِى ٱلْجَنَّةِ } أو أرادت ارتفاع الدرجة في الجنة

Jika engkau ditanya, apa makna doa ayat di atas “baina indaka” (di sisi-Nya) dan “fil jannah” (dalam surga)? Maka kamu menjawab, “sesungguhnya ia bermakna bahwa Asiyah meminta agar senantiasa dekat dengan rahmat-Nya dan dijauhkan dari siksa-Nya. Kemudian makna dekat itu ia lukiskan dalam redaksi fil jannah. Artinya, di surga-Nya adalah representasi ketinggian derajat (jannat al-ma’wa) seorang hamba dan kedekatannnya dengan Allah. (Tafsir AlKasyaf, juz 6, hal. 134)

Penafsiran ini kemudian dikonfirmasi Al-Syaukani dalam kitabnya Fathul Qadir bahwa yang dimaksud doa itu adalah rumah yang dekat dengan rahmat Allah Swt (bait qariban min rahmatika). Dan ketinggian keluhuran derajat serta diriingi ridha-Nya di setiap aktifitasnya.

Imam Al-Baghawi dalam kitab Ma’alim Al-Tanzil justru menggambarkan doa Asiyah dengan nuansa sufistik. Bahwa Allah akan membuka atau menyingkap (kasyaf) surga sehingga Asiyah melihatnya.

Pada satu kisah, ketika Asiyah akan dieksekusi mati, Fir’aun hendak melemparkan batu sangat besar (shakhrah ‘adzimah) kepada istrinya, kemudian Asiyah berdoa, “idz qalat rabbibni lii ‘indakan baitan fil jannah”, maka saat itu juga Allah swt memperlihatkan mutiara surga beserta kenikmatannya kepadanya.

Selepas itu Allah mencabut ruhnya sebelum ia dilempar batu oleh Fir’aun sehingga Asiyah tanpa sedikitpun merasa kesakitan. Imam Al-Hasan dan Ibnu Kisan menuturkan: Allah swt mengangkat Asiyah ke atas surga-Nya, dan ia sedang bersuka ria meminum dan memakan di dalam surga. Sementara redaksi berikutnya, “wa najjini minal qaumidz dzalimin”, Muqatil menafsirkannya dengan Allah menjauhkan Asiyah dari amalan Fir’aun berupa syirik. Abu Shalih dari Ibn Abbas berkata: yang dimaksud amalan itu ialah jima’ (bersetubuh).

Memuliakan Perempuan Berarti Memuliakan Peradaban

Secara eksplisit Ayat di atas mengindikasikan kepada kita kaum lelaki, bahwa suatu kewajiban bagi kaum laki-laki untuk memberikan surga kepada istri bagi yang sudah berkeluarga. Maksud surga di sini yaitu pakaian, makanan, rumah atau dalam filosofi Jawa dikenal Sandang, Pangan, Papan. Apabila belum bisa memberikannya secara optimal, paling tidak adalah memberikan rasa kasih sayang, bermuka riang terhadap istri, menyenangkan hatinya, menentramkan jiwanya. Singkat katanya, saling melengkapi dan saling memahami.

Bagi laki-laki yang belum menikah adalah memberikan rasa aman kepada perempuan, melindungi harkat dan martabatnya, tidak melecehkan dan tidak berbuat senonoh kepadanya, apalagi sampai menciderai kemurniannya, dan segala perbuatan yang mampu memuliakannya.

Walhasil, dari doa Sayyidah Asiyah kita belajar untuk memuliakan perempuan, sebab dengan memuliakan perempuan berarti kita memuliakan peradaban. Parameter kemajuan peradaban ini diukur dari bagaimana kiprah seorang perempuan itu dapat terlaksana dengan baik. Bila kiprah perempuan terpasung, kemurniannya dirampas lalu bagaimana kemajuan peradaban manusia akan dicapai. Kemudian bagaimana dengan nasib generasi penerus kelak? Alih-alih memajukan peradaban, justru malah meluluhlantahkannya.

Semoga bermanfaat. Wallahua’lam.

BINCANG MUSLIMAH

KH. Ghazali Ahmadi: Pendidik Umat Yang Tidak Kenal Lelah

Bagi masyarakat Kangean, Kiai Ghazali tidak sekadar dikenal sebagai seorang kiai, ulama, pendidik, intelektual dan tokoh masyarakat. Tetapi juga dikenal sebagai sosok yang sederhana, santun, toleran dan egaliter sekaligus panutan/teladan bagi masyarakat. Sebab dalam kesehariannya, Kiai Ghazali tidak menampakkan sifat “ketokohannya” melainkan menunjukkan kebiasaan beliau, yakni gemar bekerja, membantu masyarakat, membersihkan halaman rumahnya hingga ruas jalan, dan lain-lain.

Meskipun demikian, kapasitas serta kepakarannya di bidang ilmu agama tidak ada seorang pun yang meragukannya. Dari saking “alimnya” di bidang ilmu agama, Kiai Ghazali menjadi rujukan utama bagi masyarakat Kangean tak terkecuali para da’i, pejabat dan lain-lain. Terbukti, dalem (rumah) beliau tak pernah sepi didatangi para tamu, mulai dari tamu kelas papan atas hingga akar rumput (masyarakat kelas bawah) dengan maksud dan tujuan yang berbeda-beda.

Yang menarik dari Kiai Ghazali dalam mempelajari ilmu, beliau tidak sekadar mendalami ilmu agama melainkan juga ilmu-ilmu umum, seperti; ilmu politik, pemikiran Islam kontemporer, sejarah Indonesia, kajian orientalis, dan lain sebagainya. Maka tidaklah berlebihan, jika Kiai Ghazali dijuluki sebagai “raksasa genius” dari Pulau Kangean. Bahkan lebih dari itu, beliau adalah seorang filosof dan intelektual Islam kontemporer.

Selain itu, Kiai Ghazali juga termasuk ulama yang produktif dalam menghasilkan karya. Di antara karya yang lahir dari jari-jemari beliau, kurang lebih 10 kitab. Salah satunya adalah; Sabilul Jannah, kitab fiqih ibadah praktis dan mudah untuk dipahami. Menariknya, kitab ini ditulis berbentuk Arab pegon meskipun bahasanya menggunakan bahasa Madura. Tentu, tujuannya tidak lain dan tidak bukan; untuk mempermudah bagi para pemula yang hendak belajar kitab kuning, khususnya masalah ibadah. Dalam kolofonnya, kitab ini dianggit pada waktu Kiai Ghazali berada di Pondok Pesantren Sukorejo, Situbondo bersanding dengan karya K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, bertajuk Isra’ Mi’raj.

Sebagai seorang yang alim khususnya di bidang ilmu agama, tentu Kiai Ghazali memahami betul bahwa ilmu yang dimilikinya bukan sekadar untuk pribadinya (tidak disebarkan). Tetapi, bagaimana bermanfaat terhadap orang lain. Karena, hakikat dari ilmu sendiri adalah untuk diamalkan dan disebar-luaskan kepada seluruh umat manusia.

Pun dalam menyebarkan ilmu (memberikan pendidikan) kepada masyarakat, tentu memerlukan suatu metode atau strategi yang tepat agar tujuan yang dikehendaki bisa tercapai. Begitu pula dengan Kiai Ghazali, beliau mencoba merumuskan metode yang layak digunakan sebagai strategi untuk menyebarkan ilmu disesuaikan dengan kehidupan masyarakat. Di antara metode tersebut adalah; ceramah (Bil Lisan) dan keteladanan atau praktik (Bil Hal).

Dengan Bil Lisan, Kiai Ghazali memberikan pengajian kitab kuning (karya-karya ulama klasik) terhadap masyarakat. Di antara kitab yang diajarkan adalah; Safinatu an-Najah, Sulamu al-Taufik, Syarah al-Hikam, dan lain sebagainya. Selain melalui pengajian, beliau juga menempuh jalur “ceramah” dalam menyebarkan ilmu.

Yang tak kala menariknya dalam menyebarkan ilmu, Kiai Ghazali tidak melulu sekadar menempuh jalur “ceramah” dan “pengajian kitab kuning”. Tetapi, beliau juga memberikan keteladanan atau praktik konkret (Bil Hal) kepada masyarakat. Bahkan, Kiai Ghazali mengaksentuasikan praktik daripada ucapan. Sebab, menurut beliau, praktik lebih efektif dan mudah diterima ketimbang ucapan. Apalagi, objeknya masyarakat Kangean yang notabene masyarakatnya adalah pekerja-keras.

Namun, dalam menyebarkan ilmu tentu seseorang akan menemui pelbagai rintangan, ancaman dan cacian dari masyarakat begitu-pun dengan Kiai Ghazali. Bagi beliau, rintangan, ancaman dan cacian tersebut sudah menjadi “makan setiap harinya”. Bukan sedakar fisik melainkan juga psikis dan bahkan tak jarang beliau diserang melalui ilmu gaib. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. dalam mendakwakan agama Islam kepada Masyarakat Arab.

Akan tetapi, hal tersebut tidak menggoyahkan sedikit-pun girah Kiai Ghazali untuk menyebarkan ilmu. Karena, beliau memahami betul bahwa; mendidik umat bukanlah sesuatu hal yang mudah; tetapi memerlukan keteguhan, kesabaran, pengorbanan, dan ketabahan dengan disertai konsistensi yang kuat dalam diri seseorang.

Kegigihan yang kuat dengan ditopang sifat kesabaran dan ketabahannya, lambat laun masyarakat Kangean sudah mulai menerima kehadiran Kiai Ghazali. Alhasil, masyarakat yang awalnya ‘jahiliyah’ berubah menjadi masyarakat yang beradab, berakhlak serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan bahkan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya hingga saat ini.

ISLAM KAFFAH