Cara Tobat dari Homo

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum, Ustadz.

Saya sekarang sedang bingung dengan masalah yang saya hadapi dan saya mohon bimbingannya, Ustadz. Begini, saya telah terjerumus ke dalam dunia liwath dan itu sudah terjadi sejak lama. Sampai sekarang, sudah pantas rasanya saya untuk membina rumah tangga karena umur saya sudah kepala tiga. Tapi karena liwath itu, saya sampai saat ini tidak ada semangat untuk menjalani pernikahan karena keraguan dalam diri saya akan kemampuan saya menjalani peran sebagai suami kelak. Saya sangat ingin bisa bebas dari pengaruh liwath ini, Ustadz. Mohon petunjuk, apa yang harus saya lakukan? Terima kasih atas bantuan Ustadz sebelumnya. Saya tunggu jawabannya, Ustadz.

NN (**@yahoo.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Allahu akbar! Perbuatan liwath (melakukan homoseks antar-sesama lelaki dengan sodomi) adalah dosa yang sangat besar. Allah menyebutnya sebagai “al-fahisyah” (kumpulan perbuatan kekejian). Allah berfirman,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

Ingatlah Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya, kalian telah melakukan al-fahisyah, yang belum pernah dilakukan seorang pun di alam ini.‘” (Q.s. Al-Ankabut:28)

Perbuatan ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang nuraninya masih baik. Saking jeleknya perbuatan ini, Allah menghukum umat Nabi Luth yang melanggar, dengan empat hukuman sekaligus:

1. Dibutakan matanya (Q.s. Al-Qamar:37).
2. Bumi yang mereka tempati diangkat dan dibalik (Q.s. Al-Hijr:74).
3. Dihujani dengan batu (Q.s. Al-Hijr:74).
4. Allah kirimkan suara yang sangat keras (Q.s. Al-Hijr:73).

Andaikan hukum Islam ditegakkan, orang yang melakukan liwath akan dihukum dengan hukuman mati. Hanya saja, para sahabat berbeda pendapat tentang cara menghukumnya. Ada yang berpendapat dibakar, ada yang berpendapat dijatuhkan dari tempat yang tinggi kemudian dihujani batu dari atas, dan ada yang berpendapat dipenggal kepalanya. Yang jelas, semua sepakat bahwa pelaku homoseks antar-sesama lelaki dihukum mati, baik sudah menikah maupun belum menikah. Dasar masalah ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به

Siapa saja yang berjumpa dengan orang yang melakukan perbuatan seperti tindak-tanduk kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya!” (H.R. Ahmad; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Karena itu, bagi Anda yang sempat terjerumus ke dalam perbuatan nista ini, hendaknya serius dalam bertobat kepada Allah. Yang bisa Anda lakukan:

  1. Tinggalkan lingkungan dan semua teman yang menjadi penyebab Anda melakukan kemaksiatan ini.
  2. Banyak memohon ampun kepada Allah, agar Allah menghapuskan dosa dan hukumnya yang menjadi ancaman bagi Anda.
  3. Anda harus bersedih ketika Anda teringat perbuatan ini.
  4. Carilah lingkungan yang baik, yang bisa membimbing Anda untuk melakukan ketaatan.
  5. Penuhi hidup Anda dengan ibadah dan mempelajari agama. Semoga ini bisa menjadi penghalang bagi Anda agar tidak lagi kembali kepada kemaksiatan sebelumnya.
  6. Jangan ceritakan hal ini kepada siapa pun, termasuk orang terdekat Anda, termasuk keluarga, istri, orang tua, atau siapa pun dia. Jika Anda ingin berkonsultasi, Anda bisa konsultasikan kepada orang lain yang tidak mengenal Anda, dengan cara yang disamarkan.

Terkait masalah pernikahan, Anda berhak untuk menikah, karena orang yang sudah bertobat itu dianggap tidak melakukan dosa yang dia sesali.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Suara Ibu Membuatku Tobat dari Dunia Lesbi

Namaku Rosi, BMI Hong Kong asal Banten. Aku berkenalan dengan pria yang bekerja di Korea lewat internet. Ketika aku benar-benar jatuh cinta kepadannya, tiba-tiba ia mengkhianatiku dengan menikahi gadis lain di kampung. Dari sanalah kisah kelamku bermula.

Awalnya aku sekadar curhat tentang permasalahan yang kuhadapi kepada si T, sesama BMI Hong Kong. Lama – lama ada rasa tenang dan nyaman yang aku rasakan bila ngobrol dengan T. Merasa sepi tanpa kehadirannya.

Perhatian yang diberikan T layaknya seorang lelaki yang menghawatirkan kekasihnya. Walau kenyataan kami sama-sama perempuan. T memberi semangat, menemani ngobrol setiap saat. Dari sinilah imanku mulai goyah.

T menjadi “lelakinya” dan aku yang perempuannya, walau kami sama-sama wanita. Entah setan mana yang merasuk, namun saat itu ku merasakan kenyamanan bersamanya. Karena sakit hati dengan pengkhianatan pacar, aku stres dan hilang kendali.

Dua tahun bekerja di Hong Kong aku tidak mendapatkan apa-apa karena uang dipakai untuk hura-hura. Lalu di kontrak kedua aku memilih jalan sendiri dan menjadi seorang tomboy (TB).

Karena beban berat dan patah hati dua kali,teman-teman TB menasihatiku, jika aku ingin melupakan T, maka aku harus jadi tomboy. Setelah menjadi TB, aku jatuh hati dengan perempuan yang kebetulan juga berinisial T juga. Mulai dari sana seperti hilang kendali, lupa daratan, lupa tujuan, lupa agama, orang tua, bahkan lupa tanah air.

Banyak kegiatan yang kami lakukan berdua agar kelihatan kompak dan serasi. Dari mulai dancer sampai ke gitar. Intinya agar kelihatan keren.

Suatu hari aku memergoki dia telepon cowok. Dari sana mulai ada pertengkaran. Hatiku mulai gelisah. Karena aku tidak bisa melupakannya.

Semakin lama menjadi TB, membuatku percaya diri, bahkan berjanji sehidup semati dengannya. Lagi-lagi uangku habis untuk menghidupi “pacarku” itu.

Lalu aku kenal kegiatan yang mengasah adrenalin. Dari sana aku mulai ada rasa malu, kenapa aku harus menjadi TB?

Lama berkutat dengan kesibukan baruku, sampai pacarku cemburu dan menuduh aku selingkuh.

Aku cerita ke teman baruku tentang pertengkaranku. Namun teman baruku sering cerita kalau dulu semua anak yang belajar di sini pernah lesbi. Tapi setelah masuk sini, mereka tobat.

Bukan hanya teman baruku yang membuatku malu, guruku juga sering nyindir ketika kita foto bersama. Katanya aku “ganteng”. Secara nurani aku tersinggung karena aku wanita.

Hatiku semakin gersang, pertengkaran sering terjadi.

Ramadhan datang. Kegiatanku libur karena aku harus setia menemani ceweku aktif kegiatan di grupnya. Ada pengajian, buka bersama, ngaji bareng, padahal semua anggotanya lesbian.

Suatu saat ada lomba yang diadakan KJRI Hong Kong bekerja sama dengan majelisku. KJRI mengadakan lomba qiroáh dan kebetulan grup kami diundang untuk mengajukan anggota dan berpartisipasi dalam lomba. Terpilihlah aku. Hari itu malam Nuzulul Qur’an. Aku dandan rapi dan cantik dengan berkerudung dan percaya diri ikut lomba qiro.

Acara Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di KJRI berjalan lancar, walaupun aku tidak menang. Banyak akhwat yang mengikuti acara. Ruangan penuh. Semua anggun berjilbab,ramah, dan murah senyum.

Di antara mereka ada yang menyapaku dan bertanya dari majelis apa, spontanitas aku kaget dan bingung mesti jawab apa karena aku bukan perwakilan suatu majelis pengajian apa pun. Aku perwakilan dari grub dancer. Akhirnya terpaksa aku bohong kalau aku berasal dari Majelis Al-Muslimin.

Hatiku tidak karuan, terasa panas dan mau nangis tidak tahu kenapa. Akhirnya perlombaan selesai. Masing masing peserta sibuk dengan mengaji karena sambil menunggu buka bersama.

Aku dan temanku memutuskan untuk keluar ganti kostum dan mencari makan karena lapar. Kami pura- pura berpuasa dari pagi sampai sore.

Ketika di dekat sebuah warung Indonesia, kebetulan ada akhwat dari salah satu panitia lomba. Ia menyapaku pelan, ”Mbak, tadi ‘kan yang ikut lomba ngaji ‘kan?”.

Aku langsung tertunduk malu. Bingung mau jawab apa karena kostumku sudah ganti ala anak TB. Rambut pun diacak-acak pakai hairspray. Akhirnya aku beranikan diri menjawab, mengiyakan, seraya pamit dan cepat- cepat pergi.

Sepanjang perjalanan KJRI Victori park hatiku gundah seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk menangis. Aku coba tahan karena tidak enak dengan teman sebelahku.

Hampir tiap malam, sebelum tidur, aku tidak menelepon ceweku. Walau dia miscall dan SMS banyak kali. Aku hanya menjawab ngantuk dan capek. Setiap hari sudah mulai malas meneleponnya. Hatiku tidak karuan, teringat sapaan dan pertanyaan Mbak panitia lomba waktu itu. Rasanya malu dan hancur sudah membohongi diri sendiri dan banyak orang.

Pertengkaran terus berlanjut antara aku dan ceweku,tapi ada saja alasanku tidak ingin diganggu.Akhirnya ia menuduhku selingkuh dan macam-macam tuduhan lain. Aku tidak bisa menjelaskan kenapa tidak mau menjawab teleponnya.

Suatu hari aku bilang ke ceweku “bagaimana kalau kita sama sama pakai krudung?” Ia marah, nangis, bahkan ngancam mau bunuh diri. Dia sempat  menyilet pergelangan tangannya, untung lukanya tidak dalam. Karena merasa kasihan dan khawatir dengan keselamatanya, akhirnya aku urungkan niat untuk pakai kerudung dan berjanji tidak akan meninggalkan dia lagi.

Hari demi hari kami lalui sampai hari raya tiba. Aanehnya, kami merayakan hari raya dengan sangat spesial. Bagi yang TB harus memakai sarung, baju koko, dan peci. Sedangkan yang cewek pakai baju panjang dan berkerudung. Padahal kami pasangan yang menyelewengkan agama, tapi dengan “pedenya” merayakan hari raya Idul Fitri dengan kostum itu.

Setelah lebaran, aktivitas liburku kembali normal. Beladiri, dancer, dan gitar. Hubungan kami pun mulai membaik. Tapi lagi-lagi pertengkaran datang karena adanya perbedaan kegiatan dan minimnya waktu bertemu. Dia memaksaku fokus di dancer, sedangkan aku lebih suka belajar beladiri. Masing masing tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya kuputuskan keluar dari dancer dan gitar.

Hanya datang sebentar di grup menemani dia dancer setelah itu waktuku untuk pelatihan bela diri. Semakin lama hatiku tersiksa dengan hubungan lesbi seperti ini, karena tiap minggu bertengkar masalah waktu.

Semenjak pertengkaran itu, semua teman sering membicarakanku. Ada yang bilang “ngapain lesbian, cewek sama cewek apa enaknya, buang waktu aja.” Ada juga yang menyarankan aku untuk tobat. Telingaku memerah. Hatiku panas.

Akhirnya aku sudah mulai terbiasa tidak berkomunikasi dengan ceweku dan merasakan ketenangan.

Tanggal 30 Desember adalah hari yang kutunggu, karena hari itu pertandingan lomba klubku. Sebelum lomba, aku mendapat SMS dari temanku bahwa ketika lomba aku harus pakai kerudung. Pikiranku semakin kacau antara cewekku dan lomba. “Apa kata orang -orang nanti kalau aku tiba tiba berkrudung? Apa kata gengku nanti?” Semua berkecamuk sampai pusing tujuh keliling.

Sampai di tempat lomba, semua sudah bersiap-siap . Hanya aku yang masih bingung mau bagaimana. Lalu temanku menyodorkan kerudung dan menyuruh aku memakainya.

Dia bilang, boleh dilepas setelah lomba. Akhirnya dengan yakin aku ambil kerudung itu dan sebisa mungkin aku memakainya karena sudah lama tidak pakai.

Perasaan jadi aneh. Semua teman- teman di ruang ganti bengong melihat aksi yang terjadi. Mereka hanya melirik dengan tatapan mata yang bermacam-macam artinya.

Tanpa pikir panjang lagi, aku keluar dari ruangan ganti menuju arena lomba. Hampir semua teman di arena melihatku seolah tidak percaya, bahkan guru pun sampai tidak mengenaliku. Aku hanya bisa diam, senyum, dan cuek dengan mereka. Bagiku, di hatiku sudah merasa tenang, karena temanku selalu berbisik untuk tidak mempedulikan mereka.

Aku menang dalam lomba dan mendapat gold medal, namun selesai perlombaan tidak tahu kenapa aku ingin mencopot jilbab itu.

Perselingkuhan terjadi. Perasaanku mulai goyah lagi di antara tiga pilihan: lanjut sama ceweku yang pertama, jalan sama ceweku yang kedua, atau memilih tobat dan berkerudung?

Ada yang bilang aku “playboy”, suka gonti-ganti psangan. Ada yang bilang aku munafik karena sudah berkerudung tapi masih lesbian.

Semua gosip membuat telingaku panas. Lama aku merenung, sakit bila melihat status di Facebook. Mereka sengaja menyindirku, bahkan mereka beramai-ramai komen membahas tentangku. Sangat menyakitkan, padahal mereka yang berkomen juga lesbian.

Sabar yang aku jalani tidak cukup membuatku tenang. Hampir sebulan terombang-ambing dalam lautan masalah. Mentok di ujung jurang yang dalam, terpojok. Maju salah mundur terluka parah. Stres yang kurasakan mengingatkanku pada seseorang yang selama ini ku lupakan.

Ibu! Ibu kandungku yang membesarkanku dan mengirimku datang ke Hong Kong untuk mencari uang. Ibu yang selama ini sudah kulupakan. Suatu ketika aku menelepon ibu. Ia menangis karena aku tidak pernah memberi kabar. Berbagai macam pertanyaan ia lontarkan,sedangkan mulutku tidak kuasa menjawabnya. Hanya air mata yang keluar, tanpa ada isak tangis. Ia berpesan agar aku rajin shalat dan mendoakannya agar sehat dan kami bisa bertemu kembali.

Setelah telepon ibu, hatiku sedikit tenang, padahal di luar sana aku lagi jadi sorotan. Aku yang sangat pintar, sering berprestasi, tapi kelakuan “preman”.

Akhirnya aku putuskan memakai jilbab dan menelpon cewek baruku serta meminta maaf atas perbuatanku selama ini. Dia cukup mengerti dan menerima bahkan mendukungku. Kini ku anggap dia sebagai adik saja, terkadang ia juga ke masjid walau belum istiqamah tobat.

Sampai sekarang gosip tentangku masih ada, tapi aku tutup telinga karena butuh pegangan yang erat agar tak terjatuh lagi.

Aku mulai aktif lagi bergabung di majelis taklim yang sudah 10 tahun aku lupakan. Sampai sekarang, alhamdulillah, aku bisa yakin dan benar- benar istiqomah tobat. Aku menangis jika ingat masa lalu di dunia gelap itu. (Seperti dituturkan kepada Rima Khumaira/ddhongkong.org).*

 

sumber:  DD Hongkong

Saat Jenazah LGBT Telantar, Siapa yang Menshalatkan?

Keberadaan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Surabaya disebut memprihatinkan. Pendiri Kawan Pelangi, sebuah ormas yang menangani pasien marginal di Surabaya, Mila Machmudah Djamhari, mengakui kerap menemukan kasus pasien HIV/AIDS yang merupakan LGBT telantar.

Dia pun mengenang kejadian pada April 2015 lalu. Ketika itu, dua korban HIV/AIDS wafat di RSUD Dr Soetomo. Satunya waria, sedangkan lainnya merupakan gay. “Mereka sudah dua hari meninggal, tapi tak ada respons apa pun dari keluarga dan dari teman-temannya,” ungkap Mila saat berbincang denganRepublika.co.id, Selasa (2/2).

Untuk pasien waria, kata Mila, memang sudah tidak ada keluarga yang mendampingi. Sementara itu, pasien gay ditolak oleh keluarga mereka. Pihak Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Surabaya pun mengontak Mila untuk meminta solusi atas jenazah dua LGBT tersebut.

Menurut Mila, berdasarkan prosedur dari RSUD Dr Sutomo, jenazah tanpa penanggung jawab akan dikumpulkan hingga sepuluh. Setelah itu, jenazah tersebut akan dikuburkan tanpa mendapat penanganan sesuai dengan agama yang dipeluknya. Kendala tidak adanya keluarga yang menerima jenazah tersebut, pun membuat jenazah itu dalam status telantar.

Tak kehilangan akal, Mila lantas mengontak seorang aktivis organisasi masyarakat (ormas) Islam Abu Taqi Machiky Mayestino Triono Soendoro. Dia meminta saran kepada Abu Taqi apakah ada lembaga Islam yang bersedia menangani jenazah penderita HIV/AIDS tersebut.

“Kemudian, dikonfirmasi kepada saudara di STAI Ali bin Abi Tholib. Dari beliau-beliau direkomendasikan ke saudara Ustaz Hilmi Basyrewan dari Yayasan Dakwah Bil Hal,” kata Mila.

Sebelum meminta kepada sang ustaz untuk menangani dua jenazah tersebut, Mila mengaku menjelaskan kepada Ustaz Hilmi bahwa dua jenazah itu mengidap HIV/AIDS dan memiliki perilaku seksual menyimpang. Kemudian, kata Mila, ustaz itu hanya menjawab. “Asal dia Muslim, itu ladang amal kami,” kata Ustaz Hilmi seperti ditirukan Mila.

Jenazah waria pun dimandikan dan dishalatkan pada sore hari oleh Ustaz Hilmi. Jenazah itu lalu diantar dengan ambulans milik Dinkes Pemkot Surabaya ke permakaman.  Untuk jenazah gay, kata Mila, pihak dinkes melakukan pendekatan kepada keluarganya agar bisa menerima kondisi jenazah putra mereka. “Akhirnya, keluarga dan masyarakat pun menerima untuk memakamkannya di permakaman kampung,” ujarnya.

Kata Mila, tak ada satu pun ormas pro-LGBT yang melakukan pendampingan terhadap para pasien HIV/AIDS yang LGBT di rumah sakit tersebut. “Mereka kan hanya menggerakkan gaya hidup. Pada saat mereka sakit, coba saja di RSUD Dr Soetomo tidak kelihatan. Baru ketika ada proyek ditangani,” katanya.

Dia menjelaskan, hanya ormas waria yang menunjukkan kepedulian. Hanya saja, dia mengungkapkan, mereka terkendala dengan dana dan jaringan. Karena itu, mereka pun bergandengan dengan Kawan Pelangi untuk mendampingi para pasien korban HIV/AIDS.

Mila mengatakan, meski tidak setuju LGBT karena bertentangan dengan ajaran agama, dia memiliki banyak teman LGBT, dari homoseksual hingga waria. Kebanyakan mereka aktif di organisasi Kawan Pelangi bentukannya. Hanya, Mila mengaku kerap berusaha untuk menunjukkan kepada mereka untuk kembali pada fitrahnya masing-masing.