Hukum Bertransaksi Menggunakan Mata Uang Kripto (Cryptocurrency)

الحمْدُ للهِ ربِّ العالمينَ، والصَّلاةُ والسَّلامُ على نبيِّنا محمَّدٍ وآلِه وصحْبِه أجمعينَ، وبعدُ

Banyak pertanyaan yang telah diajukan terkait hukum perdagangan mata uang kripto (cryptocurency/العُملةِ الإلكترونيَّةِ), khususnya Bitcoin (البتكوينُ) yang merupakan jenis mata uang kripto terpopuler. Artikel ini berusaha untuk menjawab pertanyaan itu.

Pertama, kita harus memahami esensi mata uang kripto (cryptocurency) ini, yang mungkin bisa didefinisikan bahwa mata uang kripto adalah mata uang digital yang terenkripsi dengan tingkat kompleksitas yang sangat tinggi untuk melindungi proses transaksi yang berlangsung dengan menggunakannya. Salah satu isunya adalah apa yang disebut dengan “double-spend” (الإنفاقَ المُزْدوجَ), yang menciptakan uang dari ketiadaan (إيجاد النقود من لا شيء); atau untuk mengendalikan proses penciptaan unit baru, sehingga hal itu tidak terjadi dengan mudah atau bisa diciptakan oleh siapa pun sehingga menghindari praktik pemalsuan.

Diskusi perihal penggunaan mata uang kripto sebagai alternatif atau pendamping mata uang kertas telah menjadi berita umum di sebagian negara seperti Jepang dan Swedia. Pencetakan mata uang di atas kertas cukup menghabiskan harta dan tenaga; dan dengan adanya kecenderungan dunia mengarah pada era elektronik, maka ketimbang mencetak mata uang di atas kertas maka lebih baik mencetaknya dalam bentuk angka atau bentuk elektronik yang tersimpan di perangkat komputer; akan tetapi ia dienkripsi dengan cara yang sangat kompleks sehingga tidak ada kemungkinan untuk disalin dan dipalsukan seperti yang bisa terjadi pada mata uang kertas.

Mata uang kripto pun terdiri dari beberapa jenis sebagaimana halnya dengan mata uang kertas yang terdiri dari Dolar, Poundsterling, Riyal, Yen, dan lain-lain. Bitcoin, Lightcoin, Ethereum adalah sejumlah contoh dari mata uang kripto.

Demikian pula, kita bisa mengetahui bahwa mayoritas jenis mata uang kripto tidak berstandarkan oleh segala jenis harta yang bersifat riil (مُغطًّى بأيِّ نوعٍ مِن أنواعِ المالِ الحقيقيِّ); tidak emas, tidak pula oleh mata uang kertas. Sebagian jenis mata uang kripto diyakini oleh pemiliknya berstandarkan harta, atau mungkin saja berstandarkan emas dan perak. Namun, sebenarnya saya tidak mengetahui bagaimana sebenarnya mata uang kripto itu berstandarkan harta, kecuali sebatas janji dari sebagian pihak yang menggunakannya dalam transaksi, yaitu membelinya dengan sejumlah harta atau barang berwujud (tangible goods). Inilah perbedaan utama antara standar dan kemampuan membeli yang akan dijelaskan kemudian.

Perbedaan antara mata uang kripto dan mata uang kertas adalah mata uang kertas umumnya hanya diterbitkan oleh Bank Sentral suatu negara dan diakui secara internasional. Adapun mata uang kripto awalnya diterbitkan oleh sejumlah pihak dan individu, baik diketahui maupun tidak diketahui. Ia tidak tunduk, hingga saat ini, pada regulasi dan ketentuan perundang-undangan internasional, meskipun ada orientasi untuk menuju ke sana. Oleh karena itu, para penyelundup dan yang semisal mereka menggunakan mata uang kripto ini sebagai alternatif mata uang kertas, karena ia mampu mengatasi transaksi-transaksi perbankan yang tunduk pada pengawasan internasional.

Selain itu, nilai mata uang kripto ini mampu berfluktuasi sangat signifikan dalam waktu singkat dan dipengaruhi oleh sejumlah variabel pasar yang banyak, yang boleh jadi bersifat artifisial. Sementara nilai mata uang kertas pada umumnya terpengaruh dengan kekuatan dan kelemahan ekonomi negara. Nilainya pun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nilai mata uang kripto dari segi stabilitas dan osilasi.

Jika bukan karena mata uang ini diterima oleh sebagian besar orang, baik disengaja atau tanpa disengaja oleh pihak yang menerbitkannya, tentu ia tidak memiliki nilai apa pun. Bahkan pada dasarnya ia tidak layak disebut sebagai mata uang karena asal-usul uang adalah sesuatu yang diterima sebagai media perantara untuk membeli dan melakukan transaksi keuangan, dalam artian uang itu memungkinkan untuk digunakan dalam pembelian dan penjualan secara luas dan bukan hanya pertukaran yang terbatas dan bertopang pada persetujuan kedua belah pihak.

Sebagai contoh, diasumsikan ada dua belah pihak yang saling melakukan pertukaran, dimana salah satu pihak memberikan pakaian, sementara pihak lain mengambil pakaian itu dengan menukarkan makanan sebagai kompensasi. Dalam hal ini, makanan dan pakaian tersebut tidak dapat dianggap sebagai uang. Bahkan jika kita berasumsi dengan berargumen bahwa apabila suatu pakaian tertentu bisa diterima sangat luas di masyarakat karena mampu dipertukarkan dengan barang lain, dan manusia dapat menyimpannya untuk digunakan sebagai media tukar di saat membutuhkan; dan semua itu bukan karena statusnya sebagai pakaian tapi karena fungsinya yang menyimpan harta (menjaga nilai) sehingga bisa digunakan untuk membeli dan menjual, maka dalam kondisi tersebut status pakaian itu sama dengan status uang meskipun hal ini merupakan realita yang tak terbayangkan dapat terjadi. Saya mengira hal itu hanya bisa terjadi dalam sejarah di waktu-waktu tertentu sebagai hasil dari keadaan yang spesifik dan tidak permanen. Inilah wawasan yang dimiliki Imam Malik (w: 179H) sejak dahulu, di saat beliau mengatakan,

ولو جَرَت الجلودُ بيْن الناسِ مَجرى العَينِ المسكوكِ، لَكَرِهتُ بيْعَها بذَهبٍ أو وَرِقٍ نَظِرَةً

“Seandainya kulit berfungsi sebagai mata uang di tengah-tengah masyarakat, saya enggan menjualnya untuk dipertukarkan dengan emas dan perak.”

Di sini, saya melihat suatu keharusan untuk mengingatkan perbedaan antara suatu komoditi yang memiliki nilai yang sesungguhnya (nilai asli) yang melekat pada fisiknya, yang kemudian dianggap sebagai harta yang dipergunakan untuk membeli dan menjual; nilainya sebagai uang sebanding dan mendekati nilai aslinya, tidak terpisah secara total. Dan suatu komoditi yang tidak memiliki nilai pada fisiknya sebagaimana halnya dengan uang kertas dan mata uang kripto (mata uang digital). Dengan demikian, nilai kertas yang di atasnya tercantum nominal sebesar 100 dolar sama sekali tidak sebanding dengan nilai 100 dolar itu. Inilah perbedaan mendasar yang mengakibatkan sulit untuk menganalogikan antara sesuatu yang diterima masyarakat sebagai media perantara yang berfungsi sebagai uang dan tidak memiliki standar nilai yang riil seperti uang kertas dan sesuatu yang diterima masyarakat untuk digunakan bertransaksi layaknya uang yang memiliki nilai asli pada fisiknya, seperti contoh pakaian yang disebutkan tadi.

Emas dan perak telah diterima manusia untuk digunakan dalam transaksi mereka. Allah telah menitipkan penerimaan keduanya sebagai media perantara yang berfungsi sebagai uang dalam fitrah manusia. Meskipun demikian, keduanya memiliki nilai pada fisiknya, sehingga pembahasan keduanya merupakan hal yang berbeda. Itulah mengapa keduanya istimewa dibandingkan yang lain. Syariat menganggap keduanya memiliki ketentuan-ketentuan yang khusus, dimana pembahasannya disampaikan secara terpisah oleh para ahli fikih dalam topik Sharf dan Riba.

Hukum bertransaksi dengan mata uang kripto

Sejumlah ulama dan peneliti telah meneliti hukum mata uang ini. Akan tetapi, mayoritas ulama dan peneliti yang saya teliti pendapatnya membatasi pembahasan mereka hanya pada satu aspek. Aspek terpenting dari kasus ini, yang menjadi inti artikel ini, belum tersentuh.

Mayoritas peneliti membahas status mata uang kripto ini, apakah ia merupakan “harta (ماليَّة)” atau “uang (نَقديَّة)”; dan mereka menetapkan ketentuan-ketentuan yang lain berdasarkan penilaian apakah status mata uang kripto ini uang atau tidak. Di antaranya adalah legalitas bertransaksi menggunakan mata uang kripto sebagai uang, berlakunya riba pada mata uang kripto, dan kewajiban zakat pada mata uang kripto sebagaimana ketentuan tersebut berlaku pada emas, perak, dan mata uang kertas.

Sebagian peneliti menyampaikan bahwa fluktuasi nilai mata uang kripto serupa dengan judi yang diharamkan agama. Sebagian peneliti mengindikasikan ia mudah dipalsukan menjadi bentuk apa pun sehingga berujung pada pengharaman. Peneliti yang lain menyebutkan bahwa mata uang kripto bisa digunakan dalam praktik penyelundupan dan tindak kejahatan internasional. Oleh karena itu, bertransaksi menggunakannya adalah hal yang terlarang. Sebagian besar hal ini merupakan sebab eksternal yang bisa mempengaruhi hukum mata uang kripto, meskipun bukan alasan utama yang mempengaruhinya.

Sejumlah ulama bersikap abstain dalam menetapkan hukumnya. Bukan tanpa alasan, tapi karena mereka bersikap abstain dalam menilai apakah mata uang kripto ini berstatus uang. Oleh karena itu, mereka sampai pada kesimpulan bahwa jika mata uang kripto ini berlaku sebagaimana mata uang kertas, dimana ia diakui oleh seluruh atau mayoritas negara di dunia; dan penggunaannya dalam transaksi tunduk pada peraturan dan ketentuan yang mampu mencegah terjadinya kecurangan (fraud), maka di saat itulah bertransaksi dengan menggunakan mata uang kripto diperbolehkan.

Beberapa peneliti yang merupakan pakar di bidang ekonomi memberikan uraian terperinci terkait hukum mata uang kripto. Mereka menyampaikan bahwa mata uang kripto yang berstandarkan emas atau harta fisik yang lain, boleh jadi hukumnya diperbolehkan. Sayangnya mereka tidak mengangkat dan menyorot isu standar emas (غِطاءِ الذَّهبِ) dan dampaknya bagi perekonomian dunia, sehingga permasalahan ini menjadi salah satu aspek terpenting dari proses penelitian hukumnya.

Sebelum membicarakan status mata uang kripto, apakah ia merupakan harta atau bukan; dan agar kita mampu memahami standar emas dan dampaknya terhadap hukum bertransaksi menggunakan mata uang kripto, kita harus merenungkan prinsip dan bagaimana kemunculannya. Dengan merenungkan, kita dapat memahami bahwa seluruh bentuk mata uang ini muncul dari ketiadaan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ia hanyalah angka atau terkadang berupa bentuk digital yang ditulis, dirumuskan, dan diprogram oleh pengguna komputer. Dengan demikian, sama sekali ia tidak memiliki aset yang berwujud, tidak pula ada materi yang dikeluarkan darinya. Tak ada biaya nyata yang diperlukan untuk menerbitkannya selain listrik yang dikonsumsi untuk mengoperasikan komputer dan waktu yang dialokasikan oleh pemrogram dalam mencatatnya.

Dengan kata lain kita bisa menyatakan bahwa mata uang jenis ini termasuk mata uang atau uang yang diciptakan dari ketiadaan. Hal ini membawa memori kita ke belakang, untuk menyegarkan ingatan perihal kondisi uang kertas setelah tidak lagi memiliki keterikatan dengan emas; yang diinisiasi oleh kebijakan yang dicetuskan oleh Amerika Serikat tahun 1971 dan dikenal dengan Nixon Shock (صدْمةِ نِيكسون).

Dahulu mata uang kertas berstandarkan emas hingga saat itu. Atau kita bisa menyatakan, uang kertas adalah istilah bagi bukti kepemilikan sejumlah emas. Oleh karena itu, di atas mata uang itu biasanya tertulis pernyataan yang mengindikasikan bahwa negara penerbit mampu menjamin penyerahan emas kepada pemegang mata uang kertas, yang nilainya setara dengan nilai mata uang kertas tersebut. Tatkala Amerika Serikat mengakhiri keterikatan mata uang kertas dengan emas, emas tak lagi menjadi standar bagi mata uang dolar. Negara lain pun akhirnya menjalankan pola kebijakan yang sama. Hal ini berarti bahwa negara mampu membuat harta dari ketiadaan selain kertas yang dicetak dan memang itulah yang sebenarnya terjadi. Akhirnya, negara mencetak mata uangnya di atas kertas tanpa memiliki standar apa pun berupa emas, perak, atau harta yang lain.

Banyak ekonom Barat telah berbicara perihal transformasi ini. Mereka menganggap transformasi ini termasuk peristiwa ekonomi terbesar di dunia. Beberapa dari mereka turut mengemukakan sejumlah bahayanya, namun karena transformasi tersebut merupakan kebijakan Amerika Serikat, pandangan sebagian besar orang tertutup sehingga tidak mampu melihat bahaya yang timbul. Ia melemahkan suara ekonom Barat yang sangat memahami bahayanya. Hal yang juga menyedihkan adalah lenyapnya suara ahli fikih dan ekonom Islam, apalagi suara umat Islam seperti yang direpresentasikan oleh negara Islam.

Tidak berlebihan kiranya jika saya menyatakan bahwa transformasi ini dapat dianggap sebagai sumber penderitaan yang mengakibatkan seluruh dunia mengalami berbagai permasalahan ekonomi. Saya belum menemukan, sebatas penelitian sederhana yang saya lakukan, pihak yang menyingkap hakikat bahaya transformasi tersebut dan hubungannya dengan segelintir konglomerat dan orang yang berkuasa terhadap perekonomian dunia. Demikian pula belum ada pihak yang menyingkap hubungan transformasi tersebut dengan seluruh permasalahan ekonomi yang menimpa dunia. Hal ini adalah upaya untuk menjelaskan hakikat kebijakan tersebut dan bahayanya; kemudian hubungannya dengan apa yang dikenal saat ini dengan mata uang digital terenkripsi (mata uang kripto).

Pada kenyataannya, kebijakan ini dianggap membuka pintu peluang aktivitas yang dikenal dengan nama “creation of money”, menciptakan uang dari ketiadaaan, yang berjalan dalam sejumlah bentuk diantaranya adalah peningkatan pasokan uang dari berulangnya aktivitas kredit. Segala hal ini takkan terjadi apabila mata uang kertas merupakan bukti kepemilikan riil yang memiliki keterikatan dengan emas, perak, harta riil yang lain sebagai kompensasi.

Pencetakan mata uang dolar yang dianggap sebagai mata uang yang kuat, bahkan yang terkuat saat ini, untuk dipergunakan dalam perdagangan hanyalah menciptakan uang dari ketiadaan. Maka, sangat memungkinkan untuk mengkreasi mata uang dolar dari ketiadaan karena ia bukanlah bukti kepemilikan sejumlah emas; bahkan bukan pula dianggap sebagai bukti kepemilikan sejumlah harta riil yang lain. Atau dengan kata lain tak ada lagi keterikatan antara mata uang dolar dan emas atau harta riil. Ini satu persoalan. Adapun perintah negara atau ketetapan negara kepada warga negaranya untuk menyetujui mata uang yang diterbitkan negara sebagai uang yang dipergunakan dalam transaksi jual-beli; dan menerimanya sebagai kompensasi dan pembayaran, merupakan persoalan yang lain.

Dengan demikian, negara-negara di dunia mampu menciptakan harta dari ketiadaan; sehingga mereka pun memiliki kebebasan tak terbatas untuk memiliki emas dan perak. Bahkan mampu untuk merekayasa emas dan perak yang spesifik dari ketiadaan yang tak seorang pun bisa mempertanggungjawabkannya. Setiap kali kekuatan militer dan politik suatu negara menguat, menguat pula kekuatan mata uangnya. Demikian pula, segelintir orang yang berkuasa mampu mendominasi ekonomi dunia melalui uang imajiner sehingga mengambil keuntungan dari hal itu untuk memperkuat kekuatan dan kekuasaannya. Adapun negara-negara yang lemah, mata uang yang dihasilkannya adalah mata uang yang lemah, tak memiliki kekuatan apa pun kecuali melalui keterikatannya dengan mata uang dolar. Bahkan meskipun negara itu adalah negara yang kaya akan sumber daya alam berupa emas dan perak; sementara dolar itu sendiri tak memiliki kapital dan standar yang riil.

Salah satu indikator terpenting yang menunjukkan perbedaan utama antara status mata uang kertas sebagai bukti kepemilikan riil, baik emas, perak, atau harta riil yang lain; dan statusnya sebagai mata uang kertas yang diakui negara penerbitnya sebagai alat pembayaran adalah terjadinya inflasi, yaitu peningkatan jumlah uang yang beredar versus jumlah barang yang harus direpresentasikannya. Jika uang merupakan bukti kepemilikan yang riil untuk harta yang riil, inflasi itu takkan terjadi. Sebagaimana telah diketahui bersama inflasi adalah salah satu permasalahan ekonomi terbesar yang dialami oleh negara-negara di dunia, khususnya negara-negara yang lemah, walaupun mereka memiliki aset penting berupa emas alam.

Orang yang merenungkan semangat syariat Islam yang tinggi dalam menetapkan ketentuan serah-terima (التقابُضِ) di majelis akad, khususnya jika yang dipertukarkan adalah uang dengan uang, akan menemukan salah satu mukjizat dari sekian mukjizat syariat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda dalam sebuah hadis populer yang dinilai sebagai hadis utama dalam topik riba,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ؛ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah (burr) ditukar dengan gandum, gandum putih (sya’ir) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam; takaran/timbangannya sama dan dipertukarkan secara tunai. Jika jenis barang tadi berbeda, maka silahkan kalian menjualnya sesuka hati, namun harus dilakukan secara tunai.”

Berdasarkan apa yang dinyatakan oleh hadis di atas, maka kriteria sepadan dan sejenis (tamatsul) akan mencegah praktik riba, sedangkan kriteria serah-terima secara tunai akan mencegah praktik penciptaan uang. Kedua praktik ini, yaitu riba dan penciptaan uang, memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Serah-terima yang mampu mencegah praktik riba dan penciptaan uang tidak akan terwujud kecuali jika mata uang yang dipertukarkan bersifat riil. Dengan demikian, praktik riba dan penciptaan uang merupakan landasan kehancuran dan beragam permasalahan ekonomi dunia. Ia merupakan sebab hilangnya keseimbangan yang menjadi dasar Allah menciptakan alam semesta dan mendistribusikan rezeki. Allah menganugerahi sebagian negara dengan kekayaan alam berupa emas, sedangkan negara lain dianugerahi dengan kekayaan alam selain emas. Jika emas dan perak, atau bahkan uang, dikreasi dari ketiadaan, maka rusaklah keseimbangan yang merupakan keadilan ilahi ini. Keadilan itu tergantikan oleh kezaliman yang dilakukan pihak yang kuat dan tidak beriman kepada Allah, yang akan menentang kekuasaan-Nya.

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَىٰ أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَىٰ

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. al-Alaq: 6-7)

Penciptaan uang memberikan kesempatan untuk mewujudkan uang imajiner yang tidak memiliki standar apa pun. Bahkan, sebagaimana halnya dengan mata uang terenkripsi, beberapa pihak yang memiliki keterampilan menciptakan uang mampu memperoleh kekayaan dan bahkan memonopolinya. Status mata uang tersebut tidak terukur, sehingga menjadi pintu yang terbuka luas untuk tindakan penggelapan dan penipuan. Hal ini dikarenakan tidak ada harta riil yang mampu mengevaluasinya. Selain itu, nilai mata uang tersebut dapat dimanipulasi dan dikendalikan sesuka hati, sehingga nilainya bisa mengalami kenaikan dan penurunan yang siginifikan dalam waktu singkat. Dikarenakan uang yang tidak nyata ini kerap terjadi pula pembelian ganda (الشِّراءُ المُزدَوجُ), sehingga dari uang imajiner ini tercipta uang imajiner yang lain, betapa pun ketentuan yang telah diberlakukan untuk mengendalikan aktifitas tersebut. Ekonomi dunia atau ekonomi pasar itu pun menjadi bubble yang siap-siap meledak kapan saja dengan membawa efek destruktif yang besar.

Hal yang menyedihkan, isu penciptaan uang ini belum mendapatkan porsi yang cukup dalam riset dan kajian ahli fikih Islam. Walaupun ia berkorelasi dengan riba di banyak kasus, namun sebagian bentuk dan turunannya melebihi bentuk dan turunan riba.

Berdasarkan hal ini, segala bentuk penciptaan dan pembuatan uang dari ketiadaan adalah perkara yang haram dalam syariat. Ia melangkahi dan melanggar hak Sang Pencipta dalam penciptaan. Hanya Dia ‘azza wa jalla yang berhak mewujudkan sesuatu dari ketiadaan.

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS. al-A’raf: 54)

Seandainya memilki kemajuan di arena internasional dan ekonomi dunia, dunia Islam tentu tak akan menyetujui hilangnya keterikatan antara emas dan mata uang kertas. Ia akan mendesak agar mata uang kertas menjadi bukti kepemilikan emas yang setara dengan nilainya. Negara-negara Islam akan menolak transaksi uang imajiner ini yang dikreasi oleh pihak yang kuat lagi zalim dan menolak penggunaannya hingga menit terakhir agar tidak menjadi korban bagi uang tersebut dan pihak yang mengkreasinya.

Hukum mata uang kripto yang tidak berstandarkan harta

Mata uang terenkripsi ini merupakan bentuk lain dari penciptaan harta yang tidak berstandar. Sebagaimana yang telah kami sampaikan, mata uang ini dibuat baik oleh individu, perusahaan, atau negara. Mata uang ini belum diadopsi dalam transaksi internasional hingga saat ini. Boleh jadi hal itu akan segera dilakukan agar mata uang terenkripsi ini menggantikan mata uang kertas, yang sebenarnya menampilkan dua sisi dari mata uang yang sama. Uang imajiner tidak memiliki standar harta, terlebih lagi diharapkan berstandarkan dengan mata uang riil, yaitu emas dan perak.

Oleh karena itu, penciptaan mata uang yang dikenal dengan mata uang terenkripsi (cryptocurrency) ini terlarang, baik secara langsung maupun melalui aktivitas yang disebut dengan menambang (mining/ التَّنقيب), karena ia merupakan aktifitas pembuatan uang dari ketiadaan seperti yang disampaikan sebelumnya. Demikian juga memompa uang untuk memperkuat mata uang terenkripsi ini melalui proses jual-beli merupakan hal terlarang.

Apabila ternyata dalam kasus ini:

  • mata uang terenkripsi menggantikan atau mendampingi mata uang kertas;
  • negara, bank sentral, atau otoritas hukum yang menerbitkan berkomitmen menguangkannya dengan semua jenis komoditi atau produksi dalam negeri (GDP) yang setara dengan nilainya; semisal kita memiliki mata uang dolar kertas, mata uang dolar digital, atau mata uang Amerika lain yang mendampingi mata uang dolar, memiliki nilai tukar spesifik dan tetap sebagaimana kondisi mata uang dolar;
  • instrumen mata uang terenkripsi diberlakukan di seluruh negara di dunia, termasuk di negara-negara Islam, sebagai pengganti atau pendamping mata uang kertas;
  • nilai mata uang terenkripsi juga dapat disesuaikan dengan nilai tukar tetap – dengan sedikit kenaikan atau penurunan, seperti halnya mata uang kertas, tanpa mengalami fluktuasi yang besar dan cepat yang menjadikannya serupa dengan perjudian yang terlarang dalam agama;
  • perundang-undangan yang memadai diberlakukan untuk menjamin kegiatan transaksi yang menggunakannya,

maka jika berbagai persyaratan di atas terpenuhi, mungkin bisa dikatakan saat itu boleh bertransaksi dengan mempergunakannya, sebagaimana kondisi transaksi saat ini yang terpaksa menggunakan mata uang kertas. Mata uang terenkripsi ini di saat itu menjadi alternatif yang serupa, meskipun pada asalnya mata uang kertas pun terlarang (haram) setelah tak lagi memiliki keterikatan dengan emas.

Negara-negara Islam harus berupaya keras untuk menghindari penjualan kekayaan mereka dengan imbalan pembayaran berupa mata uang tersebut, jika menginginkan kemandirian ekonomi dan tegaknya keadilan di muka bumi. Dengan begitu, mata uang tersebut tidak akan menguat, karena selayaknya negara-negara Islam menjual kekayaan mereka dengan emas dan perak asli, atau melalui pertukaran dengan harta bergerak.

Hukum mata uang kripto yang berstandarkan emas

Seperti yang disampaikan sebelumnya, tidak terbayangkan bahwa mata uang ini akan berstandarkan emas secara riil. Paling banter pihak penerbit berjanji untuk menyerahkan sejumlah emas yang setara dengan nilai mata uang tersebut. Kita harus memverifikasi janji tersebut, apakah ia sekadar janji moral atau janji yang mengikat karena keterikatannya dengan aturan yang tetap dan diakui.

Di sisi lain, nilai mata uang ini harus sebanding dengan nilai emas, sehingga kita bisa memverifikasi kredibilitas standarnya. Jika demikian, tidak boleh bertransaksi dengan mempergunakan mata uang tersebut dengan cara yang memisahkannya dari emas yang menjadi standar melalui penawaran harga. Harga emas memang bisa berubah, namun perubahannya terbatas jika dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengubahnya. Jika berfluktuasi secara signifikan dalam waktu singkat, hal itu menunjukkan bahwa tidak ada standar riil berupa emas bagi mata uang kripto. Dengan demikian, tepatlah pendapat yang melarang transaksi mempergunakan mata uang ini. Hal itu dikarenakan transaksi mempergunakan mata uang tersebut dalam jual-beli termasuk aktifitas perjudian sebagaimana telah disampaikan di atas.

Jika terbukti bahwa mata uang tersebut memiliki standar emas dengan batasan-batasan yang kami sampaikan, maka hal itu tidak lantas menjadikannya sebagai mata uang yang independen; tapi faktanya adalah mata uang itu merupakan bukti kepemilikan emas yang karena hal itu ia tunduk pada ketentuan-ketentuan Sharf yang telah jamak diketahui. Saya tidak akan membahas hal ini secara detil, karena saya hanya menyampaikannya sebagai suatu kemungkinan; karena saya menganggap hal itu sulit terjadi secara nyata, setidaknya hingga saat ini.

Hukum mata uang kripto yang berstandarkan harta dan aset bergerak yang lain

Sebagaimana yang telah saya sampaikan perihal hukum mata uang kripto yang berstandarkan emas; bahwa tak terbayangkan sebagian bentuk atau jenis mata uang ini akan berstandarkan emas, demikian pula halnya jika mata uang ini akan berstandarkan dengan harta atau aset bergerak yang lain. Bahkan probabilitas hal itu tak akan terjadi lebih kuat. Apapun kasusnya, jika diasumsikan terdapat jenis mata uang kripto yang memiliki standar harta yang lain seperti tanah, properti, dan sejenisnya, maka mata uang ini hanya bisa menjadi bukti kepemilikan bagi harta tersebut. Di saat itu, kita harus memperlakukannya sebagaimana bukti kepemilikan dan bukan sebagai mata uang kertas. Kecuali jika bertransaksi dengan mempergunakannya telah stabil sebagaimana bertransaksi dengan uang kertas; di saat itulah kita harus meninjau kembali hukumnya dan tindakan-tindakan pencegahan yang telah disampaikan juga diberlakukan demi menghindari terjadinya perjudian ketika bertransaksi mempergunakannya.

واللهُ الموفِّقُ والهادِي إلى سواءِ السَّبيلِ

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari artikel “حُكمُ التعامُل بالعُملة الإلكترونيَّة المُشفَّرة: (البتكُوين) وأخواتها” karya Dr. Haitsam ibn Jawwad al-Haddad; dapat diakses di https://dorar.net/article/1982.

Sumber: https://muslim.or.id/69188-hukum-bertransaksi-menggunakan-mata-uang-kripto-cryptocurrency.html

Menyikapi (Teknologi) Bitcoin

BAHWASANNYA seluruh otoritas moneter dan keuangan kita melarang Bitcoin, saya bisa memahami dan setuju dengan tiga alasan yang saya jelaskan di bawah. Namun kehadiran Bitcoin 10 tahun terakhir telah memperkenalkan ‘peradaban teknologi baru’ yang disebut blockchain, sebagaimana internet hadir di dunia sekitar 30 tahun lalu – blockchain akan menjadi ‘the next internet’ for transactions.

Produk peradaban manusia selalu seperti pisau bermata dua – kita kudu melihat dua sisinya agar bisa memperoleh manfaatnya.

Mengapa saya setuju dengan keputusan BI maupun OJK dalam melarang Bitcoin? Ini tiga alasan saya untuk ini.

Pertama Bitcoin adalah decentralized money – yang ‘penerbit’nya adalah para miner atau penambang Bitcoin. Para miners ini sebenarnya melalukan fungsi verifikasi, namun sampai tahun 2140 – kalau belum keburu Kiamat, para miners mendapatkan ‘bonus’ berupa Bitcoin baru yang terus berkurang separuhnya setiap sekitar 4 tahun.

Bila ‘bonus’ Bitcoin baru itu nilainya per block 50 coin pada awal mula diperkenalkannya, saat ini tinggal 12.5 coin – karena Bitcoin sudah berusia 10 tahun. Dua tahun lagi bonus itu tinggal 6.75 coin per block dan seterusnya. Bitcoin baru terakhir akan dikeluarkan tahun 2140, dan setelah itu tidak ada lagi Bitcoin baru.

Pada saat Bitcoin terakhir dikeluarkan, saat itu total Bitcoin di dunia ada 21 juta keeping. Saat ini yang sudah beredar sekitar 16.7 juta, berarti tinggal sekitar 4.3 juta lagi yang masih bisa ‘ditambang’.

Bitcoin Miner Pools

Masalahnya adalah, karena desentralisasi penambangan Bitcoin ini membutuhkan energy yang murah – dan juga tenaga kerja IT yang murah, lebih dari 60% penambang Bitcoin ini berada di China, 15 % di Georgia, 7.5 % di Swedia, 3 % di AS dan total sisanya 14.5 % di negara-negara lain.

Bahkan karena para ‘penambang’ ini juga membentuk pool untuk berbagi bonus Bitcoin baru, lebih dari 80% pool ini bermuara di China lagi! Walhasil kalau kita menggunakan Bitcoin – ‘Bank Central’ nya terdesentralisasi kepada sejumlah pihak di China. Sama dengan setiap kita menggunakan Dollar berarti ‘meminjami’ Paman Sam, maka setiap kita mengggunakan Bitcoin secara tidak langsung kita ‘meminjami’ China dengan uang kita.

Kedua, meskipun Bitcoin jumlahnya akan berhenti pada 21 juta pada tahun 2140 – jangan dikira bahwa harganya hanya bisa naik karena kelangkaannya. Mirip juga jual beli pada umumnya, harga Bitcoin juga sangat terpengaruh oleh supply and demand.

Ketika ada isu satu negara seperti Indonesia menolak Bitcoin – dan sekarang bukan lagi isu lagi, maka harga Bitcoin di dunia juga sempat terguncang – karena banyaknya yang mau menjual. Bagaimana kalau negara lain juga melakukan hal yang sama? Bitcoin Anda karena dia virtrual – tidak ada intrinsic value-nya, dia bisa menjadi Zero dan tidak ada yang tersisa.

Sang pelopor teknologi ‘internet baru’ blockchain, bisa bernasib sama dengan pelopor lahirnya internet dahulu, mayoritas kita tidak tahu bukan siapa yang membuat web pertama? Teknologinya exist selama 30 tahun ini, tetapi sang pelopornya tidak lagi dikenal.

Maka demikian pula dengan teknologi blockchain yang dibawa oleh Bitcoin, teknologinya banyak bermanfaat dan kemungkinan besar akan exist dengan perbagai penyempurnaannya terus menerus – tetapi sang pelopor Bitcoin-nya sendiri belum tentu bisa berusia panjang.

Yang ketiga – dan ini alasan utama saya menolak Bitcoin tetapi tidak menolak teknologinya – yaitu fitrah dari uang itu sendiri.

Dalam Islam uang itu adalah intrinsic sebagaimana hadits sahih yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi Hadis yaitu  Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”.

Dari seluruh jenis alat tukar yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut, semuanya memiliki nilai intrinsic. Karenanya ‘uang’ dalam Islam tidak bisa bernilai zero seperti uang yang dipakai oleh dunia modern termasuk Bitcoin tersebut di atas.

Lantas di zaman now yang semuanya serba digital ini, apakah kita harus kembali menggembol emas, perak, gandum dlsb untuk bisa berjual beli? Disitulah indahnya Islam, umat ini dijamin unggul oleh Allah sepanjang zaman berarti termasuk zaman now! – selagi kita menggunakan kitabNya, dan tentu juga petunjuk nabiNya – dalam melaksanakan urusan kehidupan ini (QS 3:138-139).

Di zaman teknologi ini berarti kita juga harus sangat unggul di bidang teknologi, termasuk teknologi pengelolaan uang dan transaksi tersebut. Betapa banyak anak muda kita yang sukses luar biasa dalam usahanya – karena menguasai dan pandai pula menggunakan teknologi yang ada saat ini, betapa banyak ustadz-ustadz yang sukses mencerahkan umat – juga dengan menguasai dan menggunakan teknologi internet.

Sedangkan ‘the next internet’ of transaction itu akan menggunakan teknologi blockchain, tidak terbayang bukan kalau dahulu kita menolak internet? Maka tidak kebayang juga sekarang apabila kita menolak teknologi Blockchain yang merupakan the next level of internet.

Maka solusi Islam bisa sangat modern dan bahkan mengungguli zamannya, tetapi pada saat yang bersamaan solusi ini juga tidak keluar dari petunjukNya. Lantas bagaimana kita menggabungkan keduanya untuk menghadirkan ‘uang’ yang lebih baik dari Bitcoin yang kita tolak tersebut di atas?

Gunakan teknologinya – blockchain – untuk mengelola ‘uang’ sektor riil kita. Blockchain bisa kita pakai mengelola hutan kita agar terjaga hijau , tidak gundul tetapi juga produktif menciptakan pekerjaan yang sangat banyak misalnya, karena dengan blockchain yang merupakan catatan transactional (ledgers) yang terdesentralisasi dan terverifikasi – semua menjadi transparan dan dipelototi oleh jutaan nodes di seluruh dunia.

Dengan blockchain ini kita bisa melawan arus tersedotnya uang kita ke China karena menggunakan Bitcoin, atau tersedot ke AS karena menggunakan Dollar – menjadi sebaliknya, kita menyedot uang dunia untuk membiayai pengelolaan hutan-hutan kita.

Dengan blockchain pula kita bisa melacak setiap ‘transaksi’ pengambilan ikan di laut kita, sehingga semua produksi ikan dari negara kepulauan ini menjadi traceable dan auditable, tidak ada yang boleh memunahkan ikan di laut kita. Hal yang sama dengan tanah-tanah gersang di 60% desa-desa Indonesia yang masih tertinggal dan sangat tertinggal, penghijauannya, penyuburannya, pemakmurannya – bisa menggunakan teknologi blockchain untuk menyedot dana-dana global yang mulai banyak yang teralokasikan untuk impact investment, green fund, charity fund dlsb.

Sepert pisau bermata dua, demikianlah teknologi itu harus kita kuasai. Ketika teknologi itu hanya dikuasai oleh orang lain dan digunakan sisi buruknya – maka dia bisa melukai kita. Sebaliknya ketika kita yang menguasai pisau itu dan kita manfaatkan sisi baiknya, berjuta manfaat bisa kita peroleh karenanya. Hingga kini kita semua masih bisa memanfaatkan internet untuk kebaikan bukan? Maka demikian pulalah the next internet itu. InsyaAllah.*

Oleh: Muhaimin Iqbal, Penulis adalah Direktur Gerai Dinar

 

HIDAYATULLAH