Perpustakaan Masjid Nabawi Perkaya Pengetahuan Pengunjung

Perpustakaan Masjid Nabawi merupakan salah satu tempat penting yang selalu ingin dikunjungi oleh para pengunjung masjid. Fasilitas umum ini disediakan, berafiliasi dengan Kepresidenan Umum untuk Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Keberadaan perpustakaan ini dianggap sebagai kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan keahlian, serta memperkaya pengetahuan melalui beragam buku dalam lebih dari 21 bahasa.

Dilansir di Riyadh Daily, Selasa (30/11), perpustakaan ini menampung sekitar 180.000 buku dan sekitar 71 klasifikasi. Jumlah paling atas adalah buku-buku tentang biografi kenabian dengan 86 judul, serta sisanya seputar administrasi dan departemen khusus lainnya.

Untuk menambah kenyamanan pengunjung, Kepresidenan Urusan Dua Masjid Suci menyiapkan administrasi perpustakaan pintar digital pintar. Keberadaannya diresmikan pasca transformasi digital global.

Administrasi perpustakaan di Masjid Nabawi disebutkan menyediakan beberapa komputer dengan e-book tertentu yang dimuat di perangkat tersebut.

Direktorat Jenderal Urusan Masjid Nabawi mengalokasikan lokasi untuk perpustakaan ini di bagian atas barat laut perluasan kedua Saudi. Akses menuju tempat ini dapat ditemui melalui eskalator di Gerbang 10.  

Sumber:

http://alriyadhdaily.com/article/ce2819053b7d4aaabcb8960157f30c7c

IHRAM

Temukan buku2 pengetahuan Islam secar digital di aplikasi ini!

Kecintaan Ulama Kepada Buku

Kitab – kitab para ulama bukan hanya kita pajang, bukan hanya kita taruh di lemari kita. Sebenarnya kalau kita bisa memanfaatkannya dengan baik kita akan mendapatkan faedah ilmu yang begitu luar biasa.

Memang para ulama gemar untuk mengoleksi buku, memang para ulama gemar untuk mencari buku dan mereka mengumpulkannya bahkan mereka mencari dari berbagai negeri. Ada yang mencari sanad, ada yang mencari buku – buku yang mungkin sudah hampir punah.

Ulama terdahulu semangat mengoleksi dan mempelajari buku

Diantara contohnya para ulama yang gemar mengoleksi buku diantaranya adalah Ibnul Qoyim. Diceritakan oleh Ibnu Hajar Asqalani bahwasannya Ibnul Qoyim ketika meninggal dunia dia memiliki perbendaharaan buku kitab yang begitu banyak sampai sampai anak – anaknya ketika mendapatkan buku – buku dari Ibnul Qoyim mereka menjualnya sampai itu memakan waktu yang lama. Dan padahal itu sudah dibagi bagi jumlahnya untuk anak – anak dari Ibnul Qoyim. Ini menunjukan bahwasannya begitu banyaknya buku – buku yang dikoleksi oleh Ibnul Qoyim.

Yahya bin Ma’in dia punya buku yang tertata di lemari penuh yang tertata dalam seratus empat belas lemari dan ada empat lemari besar yang semuanya berisi penuh dengan buku, yang semuanya penuh dengan kitab, kitab – kitab para ulama.

Contoh lagi para ulama yang punya semangat untuk mengoleksi buku bahkan buku ini yang selalu menemaninya, yaitu seperti guru dari Ibnul Qoyim, yaitu Ibnu Taimiyah.

Ketika Ibnu Taimiyah dalam keadaan sakit, maka yang selalu menemaninya adalah sebuah buku sebuah kitab. Dia ketika sadar dia membacanya, ketika dia tidak sadar dia meletakannya dan ketika itu sampai seorang dokter yang memeriksa Ibnu Taimiyah itu mewanti wanti, wahai Ibnu Taimiyah janganlah engkau menyibukkan waktumu dengan ini, ini bisa memudharatkanmu jika engkau sibuk membaca buku. Apa – apa waktumu engkau habiskan sibuk dengan buku tersebut.

Maka, kita lihat disini semangatnya para ulama untuk mengoleksi buku. Namun, mereka bukan mengoleksinya saja, mereka membacanya, menghayatinya, menarik faedah – faedah didalamnya kemudian mereka amalkan.

Empat kiat mendapat manfaat dari kitab

Intinya disini, kami memberikan kiat – kiat agar kita bisa mendapatkan manfaat dari buku. Kiat singkat yang kami berikan;

Pertama, dalamilah bahasa arab. Karena dengan kita dalami bahasa arab akan terbuka cakrawala ilmu dan itulah yang jadi pembuka. Jadi dengan mempelajari bahasa arab terutama dalam mempelajari kaedah – kaedah dalam ilmu nahwu dan sharaf selain kita memperbanyak kosakata itu akan membuka pintu untuk mempelajari ilmu agama. Beda dengan orang yang tidak menguasai bahasa arab.

Yang kedua, ketika kita menguasai bahasa arab, maka belajarlah dari seorang guru. kita kaji kitab – kitab dari guru tersebut. Kenapa kita musti punya guru?, karena kalau kita cuma otodidak mempelajari buku tersebut tanpa panduan seorang yang lebih paham, seorang yang lebih berilmu kita bisa salah paham dalam memahami buku tersebut. Jadi, duduklah bermajlis dengan seorang guru agar kita bisa mendapatkan faedah ilmu yang bermanfaat.

Kemudian yang ketiga, yang kita lakukan adalah selain kita pelajari dari bahasa arab kemudian mengkajinya dari seorang guru kemudia kami contohkan dari apa yang dilakukan oleh para ulama, yaitu koleksinya buku – buku yang bermanfaat.

Buku – buku apa yang kita pilih kita cari dari ulama – ulama yang sudah punya ilmu yang siqqoh yang kredibel dalam masalah ilmu, ilmu – ilmu yang terpercaya jadi bukan dari sembarang penulis, bukan dari sembarang orang namun dari ulama yang sudah punya ilmu yang terpercaya.

Ada Ibnu Hajar, ada Imam Nawawi, ada juga ulama – ulama besar saat ini yang mereka punya buku – buku yang mumpuni yang ketika itu kita mengkajinya kita akan mendapatkan faedah yang begitu banyak.

Seperti inilah yang kita kaji yang kita koleksi dari apa yang sudah disarankan oleh para ulama mulai dari buku – buku aqidah, fikih – fikih dasar terutama kita mempelajari dari mazhab tertentu tanpa punya sifat untuk fanatik namun ini cuma sebagai dasar saja. Kemudian buku – buku dalam masalah akhlak, tazkiyatu nufus, dan kitab atau buku – buku yang lain.

Kemudian kiat yang terakhir, hendaklah kita punya sikap semangat dan pintar membagi waktu ketika kita belajar. Nabi katakan;

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

— Ihrish ‘ala maa yanfa’uka wasta’in billahi wala ta’jiz

“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat untukmu minta tolonglah pada Allah dengan banyak berdoa supaya mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan (janganlah — Ed) pantang menyerah, jangan punya rasa malas ketika belajar.” (HR. Ahmad 9026, Muslim 6945, dan yang lainnya).

Inilah kiat – kiat ya ikhwan sekalian, amalkanlah kiat – kiat ini mulai dari kita mempelajari bahasa arab, belajar dari seorang guru, berusaha untuk mengkoleksi buku – buku yang ini adalah buku – buku yang bermanfaat, mulai dari buku – buku bahasa Indonesia yang mungkin kita pahami yang kita koleksi.

Kalau kita sudah punya kemampuan kita mengumpulkan buku – buku bahasa Arab dan pintar dalam membagi waktu serta (jangan — Ed) pantang menyerah untuk terus belajar.

Maka, ingatlah faedah yang besar. Orang yang mempelajari ilmu agama, orang yang menekuni ilmu agama dia tidak akan pernah bingung ketika beramal karena dia punya dasar ilmu.

Kemudian inilah yang menjadi sebab dasar untuk banyak mendapat kebaikan.

Kata Nabi;

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

— Manyudillahu khairan yufaqqihhu fi dinniini…

“Siapa yang menginginkan kebaikan maka Allah akan memahamkan baginya untuk memahami agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Dan mudah – mudahan Allah memberi kita taufik untuk meraih ilmu dari ilmu itu kita bisa amalkan dari kita amalkan bisa kita dakwahkan pada orang lain dan kita sabar dalam menjalani hal – hal tadi.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

=== ## ===

Sumber: https://catatankajian.com/991-tausiyah-singkat-kecintaan-ulama-kepada-buku-ustadz-muhammad-abduh-tuasikal.html

Antusias Ulama dalam Membaca Buku

ADA rahasia menarik yang menjelaskan mengapa ulama-ulama Islam tempo dulu begitu produktif dalam kepenulisan. Salah satunya adalah mereka memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Hal itu dilakukan bukan saja saat luang, bahkan ketika dalam menghadiri undangan, saat sedang berjalan bahkan sakit pun disempatkan untuk membaca buku.

Kisah-kisah inspiratif itu bisa dibaca dalam buku Abdul Fattah Abu Ghaddah yang berjudul “Qīmah al-Zamān ‘Inda al-Ulamā” (1988). Sosok kenamaan seperti Tsa’lab, Imam Nawawi, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Malik, Adz-Dzahabi dan lain sebagainya, disebutkan sebagai ulama yang ‘gila baca’ buku.

Di antara mereka ada yang tidak pernah lepas dari buku. Ahmad bin Yahya asy-Syaibani yang lebih dikenal dengan Tsa’lab (200-291 H) tidak pernah terpisah dari buku ajarnya. Ulama yang dikenal ahli dalam bahasa Arab ini ketika diundang untuk menghadiri acara, beliau memberi syarat agar di depan tempat duduknya disediakan semacam meja untuk membaca buku. Beliau tidak mau waktunya terbuang sia-sia.

Kabarnya, yang cukup mengharukan, sebab wafatnya beliau adalah saat membaca buku di jalan. Waktu itu, pendengarannya agak terganggu. Ketika ada kendaraan kuda lewat, ia sama sekali tak mendengarnya hingga tertabrak dan terpental jatuh ke suatu lubang. Ketika diangkat kondisinya tak sadar. Beliau sempat mengeluhkan sakit kepala. Kemudian, hari kedua pasca kecelakaan beliau meninggal dunia.

Imam al-Khathīb al-Baghdady pun demikian. Saat sedang berjalan dia tak lupa memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Ulama pakar Nahwu seperti Abu Yusuf Ya’qub bin Kharzad al-Nujayrimy juga melakukan hal yang sama. Dikisahkan bahwa beliau saat berjalan menuju Qarafah, ia memegang buku. Perjalanannya diisi dengan membaca buku.

Ketika para ulama tak mampu atau berkesempatan membaca secara langsung, maka mereka meminta untuk dibacakan buku. Imam Adz-Dzabi dalam buku “Tadzkirah al-Huffādz” menceritakan kisah menarik terkait Hafidz Abu Nu’aim al-Ashfahāny. Ulama pakar hadits dan sejarah itu sangat hobi membaca buku. Setiap hari ada orang yang membacakannya buku hingga menjelang zuhur. Saat pulang ke rumah pasca zuhur pun beliau juga dibacakan buku. Menariknya, beliau sama sekali tidak bosan mendengarnya.

Lebih menarik dari itu, kakek Ibnu Taimiyah, Majduddin Abu al-Barakat ketika memasuki toilet (WC), dia meminta pada anaknya (ayah Ibnu Taimiyah), “Bacakanlah untukku pada halaman ini dan keraskan suaramu supaya aku bisa mendengar.” Luar biasa, bahkan di tempat pembuangan hajat pun beliau tidak mau ketinggalan menyerap ilmu dari buku dengan cara dibacakan oleh anaknya.

Sementara itu, ulama lain seperti Ibnu Malik (Ulama Pakar Nahwu) membagi kegiatannya jika tidak shalat, membaca, menulis, maka selebihnya untuk membaca buku. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin dalam menjaga waktunya. Kabarnya, di saat-saat menjalang ajal pun beliau gunakan untuk menerima ilmu. Suatu hari, beliau bersama sahabat-sahabatnya sedang melakukan safar. Ketika sudah sampai di tempat tujuan, segera ia menyingkir dari mereka tanpa disadari oleh mereka. Setelah dicari ke sana kemari, rupanya beliau sedang asyik bercengkrama dengan buku.

Pembaca mungkin juga tidak asing dengan sosok ulama kenamaan Ibnu Jauzy. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam menulis buku. Seleranya untuk membaca buku sedemikian tinggi. Ia tidak pernah merasa kenyang dalam menelaah buku. Ketika beliau menjumpai buku yang belum pernah dilihat, maka seolah-olah sedang menemukan harta karun.

Imam besar lain seperti An-Nawawi juga sangat antusias dalam membaca buku. Abu Hasan al-Aththar (salah seorang muridnya) memberi kesaksian bahwa Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya baik beriring penjelasan maupun koreksi.

Bahkan dari figur Syeikh Ibnu Taimiyah pun, pembaca bisa menemukan semangat yang sama dalam membaca buku. Beliau ini dikenal sebagai ulama yang produktif menulis dan cepat. Dikisahkan bahwa untuk menulis bantahan pada orang-orang pakar manthiq (logika) Yunani, beliau selesaikan dari bakda zuhur hingga ashar. Tidak mengherankan karena beliau adalah orang yang suka baca buku.

Ketika ditanya mengenai produktifitasnya dalam menulis buku, adalah karenah beliau tidak pernah terpisah dari menelaah, membaca dan membicarakan ilmu baik ketika sakit maupun bepergian. Ibnu Qayyim dalam buku “Raudhah al-Muhibbin” bercerita bahwa suatu hari Ibnu Taimiyah sakit. Oleh dokter disarankan agar mengurangi kegiatannya dalam bidang keilmuan dan membaca buku karena itu bisa memperparah sakit.

Apa jawaban Ibnu Taimiyan? Katanya, “Aku tak kuat menahan diri dari itu. Sekarang aku tanya berdasarkan keilmuanmu: bukankah kalau jiwa gembira maka berpengaruh positif pada kekuatan tabiat (kesehatannya)?” “Betul,” dokter. “Demikian juga aku. Aku sangat senang dan gembira dengan ilmu, aku merasa kuat dan rileks dengannya,” ujar Ibnu Taimiyah. Kata dokter, “Berarti ini di luar pengotan kami.”

Itulah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa ulama sangat antusias dalam membaca buku. Dan itu juga sebagai salah satu jawaban atas produktifitas mereka dalam bidang kepenulisan. Demikianlah para ulama. Mereka bisa produktif menulis dan berbagi ilmu kepada umat karena mereka punya bahannya, yang salah satunya diperoleh dengan rajin membaca buku. Sebab, kalau sekiranya mereka tak punya bahan, bagaimana bisa menulis dan berbagi ilmu. Seperti ungkapan Arab “Fāqidu asy-Syai` lā yu’thīhi” (orang yang tidak punya sesuatu, maka tak mungkin bisa memberi orang lain sesuatu).*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH