Dua Kiai di Balik Gelora Bung Karno

Tahun ini, Indonesia kembali menjadi tuan rumah event olahraga terbesar di Asia, Asian Games. Untuk menyambut gelaran ke-18 perlombaan berbagai cabang olahraga antarnegara tersebut, Pemerintah Indonesia merenovasi Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Presiden Joko Widodo pun telah meresmikan stadion yang selesai dibangun pertama kali pada 1962 itu pada Ahad (14/1).

Di balik kemegahan bangunan Gelora Bung Karno, ternyata tersimpan kontribusi dua ulama cum politisi yang berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), yaitu KH Saifuddin Zuhri dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Keduanya yang memberi nama sekaligus mempertahankan kompleks olahraga terbesar di Indonesia itu.

Seperti dilansir dari laman, NU.or.id,  saat akan diresmikan oleh Presiden Sukarno pada 1962 kawasan yang berdiri di atas lahan seluas 270 hektare itu belum memiliki nama. Pada suatu pagi di serambi belakang Istana Merdeka, Bung Karno bersama beberapa menteri sedang membicarakan hal tersebut. Hadir di antaranya Menteri Dalam Negeri Soemarno, Menteri Olahraga Maladi, dan beberapa pejabat lainnya, termasuk Menteri Agama kala itu KH Saifuddin Zuhri.

Dalam perbincangan tersebut, hampir disepakati sebuah nama untuk kompleks tersebut, yaitu Pusat Olah Raga Bung Karno. Tetapi, sebagaimana tertulis dalam Authorized KH. Saifuddin Zuhri: Berangkat dari Pesantren (LKiS: 2013), usulan tersebut disanggah oleh KH Saifuddin (ayah Menteri Agama RI saat ini, Lukman Hakim Saifuddin).

“Nama itu tidak cocok dengan sifat dan tujuan olahraga,” komentar Kiai Saifuddin. Semua mata tertuju kepadanya seakan tampak tak senang dengan sanggahannya tersebut.

“Mengapa?” selidik Bung Karno.

“Kata ‘pusat’ pada kalimat ‘Pusat Olah Raga’ itu kedengarannya kok statis, tidak dinamis seperti tujuan kita menggerakkan olahraga,” jawab Kiai Saifuddin.

“Usulkan nama gantinya kalau begitu!” sergah Bung Karno.

“Nama ‘Gelanggang Olah Raga’ lebih cocok dan lebih dinamis,” usulnya.

“Nama Gelanggang Olah Raga Bung Karno kalau disingkat menjadi Gelora Bung Karno! Kan mencerminkan dinamika sesuai dengan tujuan olahraga,” jelasnya lebih lanjut.

“Waah, itu nama yang hebat. Saya setuju!” ungkap Bung Karno.

Saat itu pula, Bung Karno memerintahkan Menpora Maladi untuk mengganti nama tempat tersebut menjadi Gelora Bung Karno. Pada kesempatan itu pula, Kiai Saifuddin mengusulkan pemerintah untuk membangun masjid di areal GBK. Usul itupun diterima oleh Bung Karno.

Tetapi, seiring dinamika politik yang mendera Indonesia, nama Gelora Bung Karno terusik. Pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto melakukan upaya massif untuk menghilangkan peran Presiden Sukarno. Proses de-sukarnoisasi itu pun menimpa pada penamaan Gelora Bung Karno.

Pada 1989, Presiden Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 4 yang berisi tentang pergantian nama Gelora Bung Karno menjadi Stadion Utama Senayan. Yayasan pengelolanya pun diubah dari Yayasan Gelora Bung Karno menjadi Yayasan Gelanggang Olahraga.

Tentu saja, kebijakan tersebut menghilangkan spirit sekaligus nilai historis dari kompleks olahraga tersebut. Tak banyak pihak yang berani menentang meski pada dasarnya banyak yang tak sepakat. Sikap represif pemerintah terhadap perbedaan pendapat memaksa pelbagai pihak yang keberatan untuk tutup mulut. Tak berani memprotesnya.

Suara-suara untuk mengembalikan nama Gelora Bung Karno kembali mencuat lebih dari satu dekade kemudian. Setelah Orde Baru lengser dan kepemimpinan Republik Indonesia berada di tangan seorang ulama mantan Ketua PBNU tiga periode, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), usulan itu muncul.

Usulan pergantian nama itu, pertama kali muncul saat digelar rapat dengar pendapat antara Komisi I DPR dan Mensesneg kala itu, yang juga menjadi Ketua Badan Pengelola Gelora Senayan (BPGS) pada 24 Oktober 2000. Usulan tersebut, kemudian direspon Presiden Abdurrahman Wahid pada saat menghadiri HUT PDI Perjuangan ke-28 di Stadion Utama Senayan, pada 14 Januari 2001.

Apa yang dijanjikan oleh Gus Dur tersebut lantas ditindaklanjuti beberapa waktu kemudian. Ia mengeluarkan Keputusan Presiden No. 7 tahun 2001 tentang pengalihan nama dari Stadion Utama Senayan kembali ke nama awal, Gelora Bung Karno.

 

REPUBLIKA

Jasa Sang Putra Fajar di Makam Imam Bukhari

BUNG Karno, sapaan akrabnya. Presiden pertama sebuah negara raksasa dalam ukuran, kerdil dalam penghargaan. Kenapa? Karena fakta seolah bungkam, fitnah lebih menarik ketimbang sejarah, dari yang berjasa menjadi tak ada harga, yang penjahat malah menjadi terhormat.

Itulah negeri ini, kaya tapi teraniaya, sumber daya berlimpah tapi kering muruah. Tak heran bila Bung Karno mengingatkan kita pada pidato di depan MPRS, 17 Agustus 1966, yang kemudian dikenal sebagai pidato Jasmerah dengan kalimatnya, “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”.

Mereka berkata dia komunis, dipertanyakan keislamannya, bahkan pengkhianat negara dengan tuduhan terlibat dalam peristiwa berdarah G30SPKI karena Tjakrabirawa (pasukan pengawal presiden saat itu) merupakan pasukan yang membunuh para Jenderal Angkatan Darat.

Apakah benar? Seorang patriot sejati yang hingga akhir hayatnya memilih diam dan menerima hukuman yang tak layak dipikulnya demi tetap terjaganya kesatuan bangsa Indonesia. Betapa ia tak rela mengotori tanah ibu pertiwi dengan lumuran darah para rakyatnya. Biar ia saja yang berkorban, sang pahlawan yang berjuang demi Indonesia sedari muda hingga tutup usia.

Bung Karno, orator ulung yang tak hanya jago kandang tapi namanya bergema di seantero dunia. Dibuktikan pada tahun 1961, ketika sahabatnya, seorang pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet, Nikita Sergeyevich Khrushchev mengundang beliau ke Moskow dengan penuh harap dan kehormatan penuh.

Khrushchev seolah hendak menunjukkan pada Amerika Serikat bahwa Indonesia berdiri di belakang Uni Soviet. Bung Karno tahu dan tak mau menjerumuskan rakyatnya di posisi sulit apalagi menjadi boneka negara lain.

Dengan kepercayaan diri tinggi Bung Karno mengajukan satu syarat pada Khrushchev, “Saya mau datang ke Moskow dengan satu syarat mutlak yang harus dipenuhi. Tidak boleh tidak. Temukan makam Imam Al Bukhari. Saya sangat ingin menziarahinya.”

Itulah beliau, yang disebut komunis namun memperjuangkan sila ketuhanan dalam Pancasila, yang disebut komunis namun menjadikan ziarah makam Imam besar ahli hadis umat Islam sebagai syarat kepada penguasa tertinggi negeri komunis, Uni Soviet.

Setelah mendengar syarat tersebut, betapa sibuknya Khrushchev memerintahkan seluruh pasukan terbaiknya demi mencari makam sang Imam. Hingga ia putus asa dan meminta Soekarno mengganti dengan syarat lainnya.

Apakah Soekarno mengganti permintaannya? Tidak, tidak sama sekali. Ia malah membuat gendang telinga Khrushchev panas dengan jawaban tegasnya, “Kalau tidak ditemukan, ya sudah, saya lebih baik tidak usah datang ke negara Anda.”

Dan untuk kedua kalinya Khrushchev menyebar orang-orang terbaiknya di tiap penjuru Samarkand hingga ditemukanlah makam Imam Al Bukhari melalui informasi para tetua Muslim di sana.

Ketika ditemukan, betapa memprihatinkannya keadaan makam tersebut, rusak dan tak terawat. Khrushchev segera memerintahkan agar pemakaman dibersihkan dan dipugar secantik mungkin. Bahkan dibuat sebuah jalan beraspal menuju ke tempat makam demi lancarnya perjalanan “Putra Sang Fajar” ketika menziarahi makam sang Imam nantinya.

Setelah Khrushchev mengabarkan bahwa makam telah ditemukan, tibalah Bung Karno di Samarkand pada 12 Juni 1961, dengan kereta api setelah mendarat di Moskow terlebih dahulu. Puluhan ribu orang menyambut kehadiran Pemimpin Besar Revolusi Indonesia ini sejak dari Tashkent.

Setibanya di pemakaman pada malam hari, seolah ada magnet antara beliau dan Imam Al Bukhari. Ribuan hadis yang dijaga dan dibagikan oleh sang Imam seolah menyihir Bung Karno untuk bersimpuh penuh hormat dan langsung melantunkan ayat-ayat suci Alquran hingga fajar terbit tanpa tidur sekejap pun.

Seusai menggenapkan ziarahnya, ia meminta agar pemerintah Uni Soviet dapat benar-benar menjaga dan memperbaiki makam sang Imam hadis dengan lebih layak. Bila tidak berkenan atau tidak mampu, biarkan beliau memindahkan makam tersebut ke Indonesia dengan tawaran emas seberat makam Imam Bukhari akan diberikan sebagai gantinya.

Setelah Khrushchev mendapat saran dari penasihatnya bahwa pemindahan makam seorang saleh ke tempat lain dapat mendatangkan bala bencana bagi Uni Soviet maka Khrushchev menyanggupi untuk menjaga dan memugar makam tersebut.

Kini, makam Imam Al Bukhari di Uzbekistan, negara pecahan Uni Soviet menjadi salah satu situs sejarah Islam yang menyedot kunjungan turis seluruh dunia. Bahkan warga negara Indonesia yang berkunjung mendapat hak istimewa yakni dibolehkan masuk ke dasar bangunan, tempat disemayamkannya jasad sang Imam, padahal bagian tersebut tertutup untuk umum.

Hal ini karena kebesaran nama Bung Karno di dunia khususnya Eropa Timur begitu membekas di hati para rakyatnya. Ucapan terima kasih dan doa senantiasa mengalir kepada beliau atas jasanya melakukan restorasi dan renovasi makam Imam Al Bukhari.

Bahkan tak berlebihan jika segenap umat Muslim turut menghargai jasa beliau. Jasa seseorang yang disebut komunis, yang malah mensyaratkan pada pimpinan tertinggi Negara Komunis untuk menemukan dan menjaga makam Al Bukhari, Sang Imam Hadis. Benar-benar paradoks yang menggelikan.

Bung Karno, semoga kami mampu memaknai arti dari sejarah, perjuangan, pengorbanan dan bentuk terima kasih melalui perbuatan. Salam kemerdekaan untukmu yang berjuang meraih kemerdekaan, dari kami yang berjuang mempertahankan kemerdekaan. [DOS]

 

MOZAIK

Bung Karno Proklamasikan Tanggal 17 Merujuk Islam

DUA hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI (15 Agustus 1945), suasana Jakarta sangat tegang dan penuh kesibukan.

Rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), didatangi para pemuda yang telah mengetahui Jepang sudah menyerah kepada Sekutu.

Sampai ia diculik ke Rengasdenglok, Bung Karno menolak desakan para pemuda agar saat itu juga kemerdekaan diproklamasikan. Dia lebih memilih tanggal 17 Agustus.

“Mengapa diambil tanggal 17 Agustus? Mengapa tidak sekarang atau tanggal 16 Agustus?” tanya Sukarni, salah seorang pemimpin radikal itu.

Dijawab, “Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan secara pertimbangan akal mengapa tanggal lebih memberi harapan. Angka 17 adalah suci. Orang Islam salat 17 rakaat sehari, Jumat hari suci.” [Alwi Shahab]

 

MOZAIK

Raja Salman Tanyakan Cucu Bung Karno, Puan Maharani Merapat

Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud beberapa kali menanyakan dan mencari cucu Bung Karno. Alhasil, Puan Maharani tampak dipanggil dua kali sesaat setelah upacara penyambutan di Istana Bogor, Rabu (1/3).

Ini disampaikan Kepala Biro Pers Media dan Informasi Sekretariat Presiden Bey Machmudin yang berada berdekatan dengan Raja Salman ketika upacara penyambutan kenegaraan dilakukan. “Raja Salman beberapa kali menanyakan kepada Presiden Jokowi tentang cucu Bung Karno,” kata Bey.

Saat baru tiba di Istana Kepresidenan Bogor dan disambut oleh Presiden Joko Widodo, Raja Salman bertanya, “Mana cucu Soekarno?”

Presiden Jokowi pun sigap merespons. Ia memanggil Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. “Ini cucu Soekarno,” kata Presiden.

Ternyata, ada yang berkesan pada Raja Salman atas sosok Soekarno. “Saya ingat sekali dengan Presiden Soekarno, selalu mengatakan, ‘Saudara-saudara’. Ini yang saya ingat di sini,” ucap Raja Salman seperti disampaikan Bey.

Karena itulah sebanyak dua kali, Puan Maharani tertangkap kamera tampak dipanggil Raja Salman. Puan sempat terlihat mendekat dan mengangguk-anggukan kepala saat mendengar apa yang disampaikan Raja Salman kepadanya. Bahkan setelah Puan menjauh, ia sempat kembali dipanggil mendekat ke arah Raja Salman.

 

———————————————————————————————
Umrah resmi, Hemat, Bergaransi
(no MLM, no Money Game, no Waiting 1-2 years)
Kunjungi www.umrohumat.com
atau hubungi handphone/WA 08119303297

Bung Karno, Putra Fajar Penemu Makam Imam Bukhari

BUNG Karno, sapaan akrabnya. Presiden pertama sebuah negara raksasa dalam ukuran, kerdil dalam penghargaan. Kenapa? Karena fakta seolah bungkam, fitnah lebih menarik ketimbang sejarah, dari yang berjasa menjadi tak ada harga, yang penjahat malah menjadi terhormat.

Itulah negeri ini, kaya tapi teraniaya, sumber daya berlimpah tapi kering muruah. Tak heran bila Bung Karno mengingatkan kita pada pidato di depan MPRS, 17 Agustus 1966, yang kemudian dikenal sebagai pidato Jasmerah dengan kalimatnya, “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”.

Mereka berkata dia komunis, dipertanyakan keislamannya, bahkan pengkhianat negara dengan tuduhan terlibat dalam peristiwa berdarah G30SPKI karena Tjakrabirawa (pasukan pengawal presiden saat itu) merupakan pasukan yang membunuh para Jenderal Angkatan Darat.

Apakah benar? Seorang patriot sejati yang hingga akhir hayatnya memilih diam dan menerima hukuman yang tak layak dipikulnya demi tetap terjaganya kesatuan bangsa Indonesia. Betapa ia tak rela mengotori tanah ibu pertiwi dengan lumuran darah para rakyatnya. Biar ia saja yang berkorban, sang pahlawan yang berjuang demi Indonesia sedari muda hingga tutup usia.

Bung Karno, orator ulung yang tak hanya jago kandang tapi namanya bergema di seantero dunia. Dibuktikan pada tahun 1961, ketika sahabatnya, seorang pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet, Nikita Sergeyevich Khrushchev mengundang beliau ke Moskow dengan penuh harap dan kehormatan penuh.

Khrushchev seolah hendak menunjukkan pada Amerika Serikat bahwa Indonesia berdiri di belakang Uni Soviet. Bung Karno tahu dan tak mau menjerumuskan rakyatnya di posisi sulit apalagi menjadi boneka negara lain.

Dengan kepercayaan diri tinggi Bung Karno mengajukan satu syarat pada Khrushchev, “Saya mau datang ke Moskow dengan satu syarat mutlak yang harus dipenuhi. Tidak boleh tidak. Temukan makam Imam Al Bukhari. Saya sangat ingin menziarahinya.”

Itulah beliau, yang disebut komunis namun memperjuangkan sila ketuhanan dalam Pancasila, yang disebut komunis namun menjadikan ziarah makam Imam besar ahli hadis umat Islam sebagai syarat kepada penguasa tertinggi negeri komunis, Uni Soviet.

Setelah mendengar syarat tersebut, betapa sibuknya Khrushchev memerintahkan seluruh pasukan terbaiknya demi mencari makam sang Imam. Hingga ia putus asa dan meminta Soekarno mengganti dengan syarat lainnya.

Apakah Soekarno mengganti permintaannya? Tidak, tidak sama sekali. Ia malah membuat gendang telinga Khrushchev panas dengan jawaban tegasnya, “Kalau tidak ditemukan, ya sudah, saya lebih baik tidak usah datang ke negara Anda.”

Dan untuk kedua kalinya Khrushchev menyebar orang-orang terbaiknya di tiap penjuru Samarkand hingga ditemukanlah makam Imam Al Bukhari melalui informasi para tetua Muslim di sana.

Ketika ditemukan, betapa memprihatinkannya keadaan makam tersebut, rusak dan tak terawat. Khrushchev segera memerintahkan agar pemakaman dibersihkan dan dipugar secantik mungkin. Bahkan dibuat sebuah jalan beraspal menuju ke tempat makam demi lancarnya perjalanan “Putra Sang Fajar” ketika menziarahi makam sang Imam nantinya.

Setelah Khrushchev mengabarkan bahwa makam telah ditemukan, tibalah Bung Karno di Samarkand pada 12 Juni 1961, dengan kereta api setelah mendarat di Moskow terlebih dahulu. Puluhan ribu orang menyambut kehadiran Pemimpin Besar Revolusi Indonesia ini sejak dari Tashkent.

Setibanya di pemakaman pada malam hari, seolah ada magnet antara beliau dan Imam Al Bukhari. Ribuan hadis yang dijaga dan dibagikan oleh sang Imam seolah menyihir Bung Karno untuk bersimpuh penuh hormat dan langsung melantunkan ayat-ayat suci Alquran hingga fajar terbit tanpa tidur sekejap pun.

Seusai menggenapkan ziarahnya, ia meminta agar pemerintah Uni Soviet dapat benar-benar menjaga dan memperbaiki makam sang Imam hadis dengan lebih layak. Bila tidak berkenan atau tidak mampu, biarkan beliau memindahkan makam tersebut ke Indonesia dengan tawaran emas seberat makam Imam Bukhari akan diberikan sebagai gantinya.

Setelah Khrushchev mendapat saran dari penasihatnya bahwa pemindahan makam seorang saleh ke tempat lain dapat mendatangkan bala bencana bagi Uni Soviet maka Khrushchev menyanggupi untuk menjaga dan memugar makam tersebut.

Kini, makam Imam Al Bukhari di Uzbekistan, negara pecahan Uni Soviet menjadi salah satu situs sejarah Islam yang menyedot kunjungan turis seluruh dunia. Bahkan warga negara Indonesia yang berkunjung mendapat hak istimewa yakni dibolehkan masuk ke dasar bangunan, tempat disemayamkannya jasad sang Imam, padahal bagian tersebut tertutup untuk umum.

Hal ini karena kebesaran nama Bung Karno di dunia khususnya Eropa Timur begitu membekas di hati para rakyatnya. Ucapan terima kasih dan doa senantiasa mengalir kepada beliau atas jasanya melakukan restorasi dan renovasi makam Imam Al Bukhari.

Bahkan tak berlebihan jika segenap umat Muslim turut menghargai jasa beliau. Jasa seseorang yang disebut komunis, yang malah mensyaratkan pada pimpinan tertinggi Negara Komunis untuk menemukan dan menjaga makam Al Bukhari, Sang Imam Hadis. Benar-benar paradoks yang menggelikan.

Bung Karno, semoga kami mampu memaknai arti dari sejarah, perjuangan, pengorbanan dan bentuk terima kasih melalui perbuatan. Salam kemerdekaan untukmu yang berjuang meraih kemerdekaan, dari kami yang berjuang mempertahankan kemerdekaan. [DOS]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2317198/bung-karno-putra-fajar-penemu-makam-imam-bukhari#sthash.ozq4kqvU.dpuf

Pemikiran Sukarno Tentang Islam Saat Diasingkan

Sudah berkali-kali Sukarno diasingkan. Salah satu yang menjadi tempat pembuangannya adalah Endeh, Flores (1934-1941). Selama dalam pengasingan, ia rutin menyurati Ustaz A Hasan, pemimpin Persatuan Islam (Persis) di Bandung, yang bersimpati kepada dia.

Surat-surat yang ditulis Sukarno itu menjadi pengobat kesepian dalam pengasingan lantaran ia hanya ditemani istrinya Inggit Ganarsih (setelah ia menceraikan Utari, putri Haji Oemar Said Tjokroaminoto), anak angkatnya, dan mertuanya.

Pada 18 Agustus 1936, dari Endeh Sukarno menuangkan pemikirannya tentang Islam, ”….Tetapi apa jang kita ‘tjutat’ dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinja, bukan njalanja, bukan flamenja, tetapi abunja, debunja, asbesnja. Abunja jang berupa tjelak mata dan sorban, abunja yang yang mentjintai kemenjan dan tunggangan onta, abunja jang bersifat Islam mulut dan Islam-ibadat —zonder taqwa, abunja jang cuma tahu batja Fatihah dan tahlil sahaja— tetapi bukan apinja jang menjala-njala dari udjung zaman jang satu ke udjung zaman jang lain ….”

Dalam 12 pucuk suratnya, Sukarno memperlihatkan keresahan, kerisauan, dan keprihatinan melihat umat Islam yang dihinggapi penyakit kekolotan, kejumudan. Islam, menurut dia, agama yang tidak pernah membedakan harkat dan derajat manusia.

Ia mengkritik keras kaum sayid, yang disebutnya sebagai pengeramatan atas manusia dan telah menghampiri kemusyrikan. “Tersesatlah orang yang mengira bahwa Islam mengenal suatu ‘aristokrasi Islam’. Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya suatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan,” tulis Sukarno.

 

Kritik Mubaligh

Dalam suratnya yang lain, Sukarno menulis: Demi Allah, Islam science bukan hanya pengetahuan Alquran dan hadis saja. Islam science adalah pengetahuan Alquran-hadis plus pengetahuan umum! Orang tidak akan dapat memahami betul Alquran dan hadis kalau tidak berpengetahuan umum.

Walau tafsir-tafsir Alquran yang masyhur dari zaman dulu —yang orang sudah beri titel ‘keramat’, seperti tafsir Al-Baghowi, tafsir Al-Baidhowi, tafsir Al-Mashari— masih bercacat sekali; cacat-cacat yang saya maksudkan ialah, misalnya bagaimanakah orang bisa mengerti betul-betul firman Tuhan, bahwa segala sesuatu itu dibikin oleh-Nya, berjodoh-jodohan, kalau tidak mengetahui biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui positif negatif, tak mengetahui aksi reaksi? Bagaimanakah mengerti ayat-ayat yang yang meriwayatkan Iskandar Zulkarnain, kalau tak mengetahui sedikit history dan archaeologi.

Sukarno berharap mubaligh-mubaligh berilmu tinggi. Ia memuji M Natsir —salah seorang murid Hassan— yang pada hari kemudian berpolemik keras dengannya tentang Islam dan politik. Sebaliknya, Sukarno secara keras mengkritik mubaligh-mubaligh yang tidak bisa memadukan pengajaran Islam dengan pengetahuan modern itu.

Ia menulis surat kepada Ustaz Hassan: Tanyalah kepada itu ribuan orang Eropa yang masuk Islam di dalam abad ke-20 ini. Dengan cara apa dan dari siapa mereka mendapat tahu, baik tidaknya Islam dan mereka akan menjawab bukan dari guru-guru yang hanya menyuruh muridnya ‘beriman’ dan ‘percaya’ saja. Bukan dari mubaligh-mubaligh yang tarik muka angker dan hanya tahu putarkan tasbih saja, tetapi dari mubaligh yang memakai cara penerangan yang masuk akal —karena berpengetahuan umum.

Mereka masuk Islam karena mubaligh-mubaligh yang menghela mereka itu ialah mubaligh-mubaligh modern dan scientific dan bukan mubaligh ‘ala Hadramaut’ atau ‘ala kiai bersorban’. Percayalah bila Islam dipropagandakan dengan cara yang masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sadar kepada kebenaran Islam.

 

Ingin Dimakamkan Membawa Nama Muhammadiyah

Sukarno dilahirkan 6 Juni 1901 di Surabaya. Ayahnya, Raden Sukemi Sastrodihardjo, seorang guru. Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai masuk Islam setelah menikah dengan Sukemi. Kusno —nama kecil Sukarno— tidak mendapatkan pendidikan yang cukup tentang Islam.

”Ibu adalah meskipun beragama Islam asal daripada agama lain, orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama, jikalau boleh dinamakan agama, teosofi. Jadi kedua kedua orang tua saya ini yang saya cintai dengan segenap jiwa saya, sebenarnya tidak dapat memberikan pengajaran kepada saya tentang agama Islam,” ujar Sukarno ketika berpidato di hadapan Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Gelora Sukarno, Jakarta, 25 November 1962.

Sukarno wafat di RSPAD Jakarta pada 21 Juni 1970 pukul 03.30 WIB dalam keadaan merana, setelah tiga tahun menjalani karantina politik. Semasa hidup, Sukarno meminta dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafannya.

Ia juga meminta dimakamkan di suatu tempat di Kebun Raya Bogor. Pada wasiat lain, ia meminta dimakamkan di Batutulis, Bogor. Tetapi Sang Proklamator akhirnya dimakamkan di Blitar.

 

Sukarno Kagumi KH Ahmad Dahlan

Perkenalan Sukarno dengan Islam tidak diawali dari surat menyurat dengan Hasan. Setelah tamat dari sekolah dasar Ropa (Europese Lagera School), 1915, Sukarno memperoleh kesempatan melanjutkan studinya di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya.

Selama di Surabaya, Sukarno menumpang di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh Islam pimpinan kharismatik Serikat Islam (SI). Di sinilah ia mulai ikut dalam pergerakan Islam dan di sini pula ia lebih mengenal Islam melalui ceramah-ceramah pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Perkenalannya dengan Dahlan ketika Dahlan berceramah di dekat rumah Tjokroaminoto di Penilih. Setelah itu, setiap Dahlan ceramah, ia selalu ikut.

”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto, saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan saya sering mengikuti ceramah-ceramahnya,” kata Sukarno di Muktamar Muhammadiyah.

”Saya sudah menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938…. Tahun 46 ini saya berkata, moga-moga jikalau saya diberi umur panjang oleh Allah, saja dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya.”

 

sumber: Republika Online