Jenazah Orang Bunuh Diri Apakah Disholatkan?

Ulama berselisih dalam masalah ini.

Selalu ada saja berita duka yang mengabarkan ada orang yang memilih mengakhiri hidup atau bunuh diri. Padahal, Allah SWT dan Rasul-Nya melarang umat manusia bunuh diri, bahkan manusia yang bunuh diri diancam dimasukan ke dalam neraka.

Agama Islam mengajarkan untuk bersabar dan tidak putus asa terhadap pertolongan Allah Yang Maha Pengasih. Islam juga mengajarkan manusia untuk saling setia dan saling tolong-menolong dalam kebaikan.

Lantas bagaimana jika ada umat Islam yang memilih bunuh diri?

Hadits yang diriwayatkan Abu al-Husein Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi atau Imam Muslim ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mensholati orang yang bunuh diri.

صحيح مسلم ١٦٢٤: حَدَّثَنَا عَوْنُ بْنُ سَلَّامٍ الْكُوفِيُّ أَخْبَرَنَا زُهَيْرٌ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

Jabir bin Samurah berkata, “Pernah didatangkan kepada (Nabi Muhammad SAW) beliau jenazah seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah. Tetapi jenazah tersebut tidak disholatkan oleh beliau. (HR Imam Muslim)

Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i Al-Qazwini yang lebih akrab dipanggil Ibnu Majah meriwayatkan hadits serupa. Namun, menambah penjelasan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mensholatinya untuk memberi pelajaran kepada umat manusia agar tidak melakukan bunuh diri.

سنن ابن ماجه ١٥١٥: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَامِرِ بْنِ زُرَارَةَ حَدَّثَنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُرِحَ فَآذَتْهُ الْجِرَاحَةُ فَدَبَّ إِلَى مَشَاقِصَ فَذَبَحَ بِهَا نَفْسَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَكَانَ ذَلِكَ مِنْهُ أَدَبًا

Jabir bin Samurah berkata, “Seorang laki-laki dari sahabat Nabi Muhammad SAW terluka hingga membuatnya tersiksa kesakitan, ia lalu merayap menuju sebilah pedang dan bunuh diri dengan pedang tersebut, hingga Nabi SAW tidak mau mensholatinya.” Jabir bin Abdullah berkata, “Itu adalah bentuk pelajaran dari beliau.” (HR Ibnu Majah)

Imam Tirmidz bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmidzi menjelaskan bahwa ulama berbeda pendapat terkait jenazah orang bunuh diri tetap disholati atau tidak disholati,

سنن الترمذي ٩٨٨: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ وَشَرِيكٌ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَتَلَ نَفْسَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي هَذَا فَقَالَ بَعْضُهُمْ يُصَلَّى عَلَى كُلِّ مَنْ صَلَّى إِلَى الْقِبْلَةِ وَعَلَى قَاتِلِ النَّفْسِ وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ وَإِسْحَقَ و قَالَ أَحْمَدُ لَا يُصَلِّي الْإِمَامُ عَلَى قَاتِلِ النَّفْسِ وَيُصَلِّي عَلَيْهِ غَيْرُ الْإِمَامِ

Jabir bin Samurah berkata bahwa seorang laki-laki telah bunuh dirinya. Nabi SAW tidak menshalatinya. Abu Isa berkata, ini merupakan hadits hasan sahih. Ulama berselisih dalam masalah ini. Sebagian berkata: Semua orang yang masih sholat menghadap kiblat, maka harus disholati walau orang yang bunuh diri. Ini merupakan pendapat Ats Tsauri dan Ishaq. Ahmad berkata: Imam tidak boleh mensholati orang yang bunuh diri, sedang selain imam boleh mensholatinya. (HR Imam At-Tirmidzi)

Sedangkan, hukum mensholati jenazah korban bunuh diri menurut kitab Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah dijelaskan ulama fikih sepakat mengenai kewajiban mengafani dan menguburkan jenazah orang Muslim. Mereka menegaskan kedua hal itu fardhu kifayah, seperti mensholati dan memandikannya. Termasuk juga orang yang melakukan bunuh diri, karena orang yang bunuh diri tidak keluar dari Islam karena perbuatannya.

Namun ulama sepakat bunuh diri adalah dosa besar dan sangat jelas dilarang oleh Islam.

ISLAMDIGEST

Fatwa Ulama: Hukum Bom Bunuh Diri

Pertanyaan:

Apakah diperbolehkan aksi bom bunuh diri? Apakah terdapat syarat tertentu untuk membenarkan aksi tersebut?

Jawaban:

Laa haula walaa quwwata illa billaah (Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan kekuatan Allah). Bagaimana kita mempertanyakan hukum aksi bom bunuh diri, sementara Allah Ta’ala telah mengatakan,

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَاناً وَظُلْماً فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَاراً وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيراً

Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisa’: 29-30)

Maka, tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk membunuh dirinya sendiri, bahkan dia wajib menjaga dirinya (nyawanya) semaksimal mungkin. Akan tetapi, hal itu tidaklah mencegah seseorang untuk berjihad dan berperang di jalan Allah. Dan kita tidaklah menghukumi orang yang membunuh dirinya sendiri atau terbunuh bahwa dia mati syahid.

Di sebagian peperangan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, terdapat satu dari dua orang pemberani yang terbunuh di jalan Allah. Manusia pun menyanjung-nyanjungnya dengan mengatakan, “Tidak ada satu pun di antara kita yang memuaskan kita pada perang hari ini sebagaimana yang dilakukan oleh si fulan itu.”

(Akan tetapi), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

هو فى النار

Dia di neraka.”

Hal ini pun membingungkan para sahabat. Bagaimana mungkin orang ini, yang telah berperang dan tidak meninggalkan satu orang kafir pun, kecuali dia akan kejar dan dia bunuh, akan tetapi pada akhirnya dia divonis di neraka?

Lalu, ada seseorang bercerita bahwa ia mengikuti fulan tersebut dan mendapatinya hingga terluka sangat parah. Lalu, laki-laki itu meletakkan pedangnya di tanah dan ujung pedangnya diletakkan di antara dua dadanya lalu dia membunuh dirinya sendiri.

Maka para sahabat pun berkata, “Benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Karena Rasulullah tidaklah pernah berbicara sesuai dengan hawa nafsunya semata. (HR. Bukhari no. 2742, 3966) [1]

Mengapa orang tersebut masuk neraka padahal dia sudah berjihad? Hal ini karena dia melakukan bunuh diri dan tidak mau bersabar. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seseorang untuk membunuh dirinya sendiri. Tidak boleh menyiapkan sesuatu yang memungkinkan dia terbunuh, kecuali jika dalam kondisi jihad bersama dengan ulil amri kaum muslimin. Dan juga ketika maslahat jihad ketika itu lebih tinggi dari mafsadah yang bisa ditimbulkan. [2]

***

@Rumah Kasongan, 8 Jumadil akhirah 1444/ 1 Januari 2023

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Di sini, Syekh Shalih Al-Fauzan menceritakan hadis tersebut berdasarkan makna, bukan berdasarkan tekstual hadis.

[2] Diterjemahkan dari kitab Al-Ajwibah Al-Mufiidah ‘an As-ilati Al-Manaahij Al-Jadiidah, hal. 228-229, pertanyaan no. 95 (penerbit Maktabah Al-Hadyu Al-Muhammadi Kairo, cetakan pertama tahun 1429)

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81895-fatwa-ulama-hukum-bom-bunuh-diri.html

Islam Larang Frustasi, Apalagi Bunuh Diri

Agama Islam mengajarkan bahwa bala’ (cobaan) sebagai sifat yang melekat pada diri manusia. Manusia sehebat apapun tidak bisa lepas dari cobaan selama hidup di dunia. Dunia adalah tempat cobaan sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Muluk bahwa Allah menciptakan kehidupan dan kematian adalah untuk mencoba makhluknya manakah dari mereka yang terbaik amal perbuatannya. Seandainya ada yang bisa selamat (terhindar) dari cobaan maka para Nabi adalah orang-orang yang selamat tersebut. Mereka sebaik-baik makhluk di satu sisi, dan di sisi lain paling berat cobaannya. Mereka memiliki kesadaran bahwa rumah sejati adalah rumah akhirat sebagaimana manusia tidak diciptakan kecuali untuk mencari bekal akhirat dengan beribadah kepada Allah.

Sejarah mencatat bahwa cobaan para Nabi sangat berat. Diantara mereka ada yang diuji sakit selama dua puluh tahun sampai  kehilangan istri dan anaknya, ada yang terpaksa pergi dari negaranya, ada yang didurhakai oleh istri dan anaknya, ada yang dituduh gila, ada yang dipukul dan dilukai, ada yang dipenjara, ada yang dilempar ke kubangan api, ada yang digergaji dan ada yang dibunuh. Semua ini tidak membuat mereka putus asa, frustasi dan putus misi. Mereka terus memperjuangkan misi dakwah hingga akhirnya menemukan kebahagiaan dan kemenangan.

Hal ini tidak berbeda dengan manusia yang lain. Tidak ada manusia hidup di dunia ini kecuali dia diuji dirinya, keluarganya, anaknya, hartanya, agamaya atau yang lain meskipun telah diberi kerajaan seperti Sulaiman, diberi hikmah seperti Lukman, diberi harta seperti Qarun dan sebagainya. Artinya, takdir Allah pasti terjadi dan tidak ada seorang pun yang mampu menolaknya. Terlebih bagi orang yang beriman, perjuangan hidup adalah keniscayaan. Berjuang mencari ilmu, berdakwah maupun mencari rejeki yang halal.

Oleh karena itu, Islam melarang siapapun untuk putusa asa, frustasi apalagi bunuh diri. Bunuh diri bukanlah solusi masalah. Berdo’a meminta mati kepada Allah hukumnya makruh sebab Allah telah memperluas rahmatnya bagi siapa yang bisa bersyukur. Nabi Muhammad telah memberikan contoh kesabaran di tengah kehidupan yang begitu ganas dengan tetap bersyukur sebagaimana riwayat Nabi shalat malam hingga kaki Nabi membengkak.

Selain itu, bunuh diri tidaklah menyelesaikan manusia dari penderitaan sebab kematian bukanlah akhir kehidupan, melainkan awal kehidupan baru yang tidak ada akhirnya. Justru orang yang bunuh diri melanjutkan siksaannya di akhirat. Dirinya akan masuk neraka Jahanam dan membunuh dirinya sendiri dengan cara yang digunakan saat bunuh diri di dunia. Siksaan akhirat, selain menyakitkan juga menghinakan.

Ilmu hikmah mengajarkan kepada setiap muslim agar bersabar, mawas diri dan ridla sehingga satu musibah tidak menjadi dua musibah, yaitu musibah dunia ditambah musibah akhirat. Pada prinsipnya, apa yang telah ditakdirkan oleh Allah kepada umat Islam adalah baik meskipun dianggap buruk. Allah memberikan cobaan bukan untuk menyiksa atau balas dendam, melainkan untuk memberikan kasih sayang atas hati yang kotor dan prilaku mereka yang buruk. Guru Besar Ilmu Hadis Universitas al-Azhar, Mesir Prof. Ibahim al-Asymawi menegaskan bahwa cobaan meskipun terasa keras dan menekan sesungguhnya adalah rahmat (kasih sayang) karena menghapus keburukan, menambah kebaikan, mengangkat derajat, mengganti sifat, merubah kebiasaan dan meningkatkan kualitas diri. Diantara tanda rahmat tersebut adalah meningkatnya rasa kasih sayang kepada sesama dan penjagaan diri dari hal-hal tercela.

Dengan demikian, sabar adalah kunci. Semua yang telah terjadi pasti akan berlalu dan rahmat Allah diberikan agar setiap mukmin mengukir masa depannya agar menjadi teladan bagi keturunan dan generasi-generasi setelahnya. Disebutkan dalam al-Qur’an bahwa orang-orang sabar diberikan pahala yang tidak terhitung jumlahnya. Sedangkan berputus asa dari rahmat Allah termasuk dalam dosa besar sebagaimana disebutkan dalam surat Yusuf ayat 87;

“Hak anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya. Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir”.

Para ulama menyebut adanya ancaman yang begitu pedih bagi orang yang putus asa atau frustasi. Tidak sedikit orang melakukan aksi bunuh diri disebabkan oleh frustasi. Termasuk dalam hal ini frustasi dengan keadaan yang tidak sesuai harapan dan espektasi. Oleh karena itu, Islam mengajarkan resep agar selalu tenang dengan merutinkan dzikir sehingga kehidupan bisa selalu seimbang antara antara semangat ikhtiar dan spirit tawakkal, antara sikap idealis dan realistis. Keseimbangan ini mengantarkan kepada kesabaran, dan kesabaran mengantarkan kepada keberuntungan. Wallahu A’lam.

ISLAM KAFFAH

Teror Bunuh Diri dan Jalan Pintas Spiritual

Istilah jalan pintas spiritual (spiritual bypass) mula-mula diperkenalkan oleh John Welwood pada 1984, yang mengacu kepada penyalahgunaan spiritualitas sebagai pelarian dari masalah psikologi yang tengah dihadapi seseorang. Jadi, jalan pintas spiritual ini merupakan bentuk pengalihan yang membuat seseorang menghindari berhadapan langsung dengan rasa sakit, kesulitan hidup, dan kebutuhan untuk tumbuh. Banyak manusia tidak cukup toleran untuk menghadapi, masuk ke dalam, dan memroses luka. Sebagian mereka memilih mematikan rasa sebagai solusi yang tampak lebih mudah.

Jalan pintas spiritual bisa diejahwantakan dengan berbagai cara: hasrat berlebihan untuk mengendalikan dan menghakimi orang lain (sindrom “dasar bid’ah, sesat, kafir, riba, penghuni neraka!”), kurang memiliki tanggung jawab personal, represi emosi, obsesi terhadap ritual, dan narsisisme spiritual (bisikan ego “saya sudah mendapat hidayah” atau “saya sudah syar’i”, ungkapan untuk memberikan perasaan ekslusif).

Jalan spiritual yang salim melibatkan kesadaran dan penerimaan terhadap realitas saat ini. Sebaliknya, para pelakon jalan pintas akan menyangkal sejumlah pengalamannya sendiri. Misalnya, pelakon jalan pintas mungkin terobsesi dengan ritual karena sebelumnya sangat lama tenggelam dalam gaya hidup duniawiyah yang profan. Jadi, orang ini menggunakan ritual sebagai wahana menghukum dirinya (bawah sadar), bukan sebagai latihan atau suluk untuk meningkatkan level kesadaran transendental, kebijaksanaan, serta memperluas kasih. Dia menolak menerima realitas kehidupan hura-hura sebagai bagian dari perjalanan hidupnya.

Kenarsisan Spiritual

Terkait kasus teror bunuh diri di Makassar dan Jakarta baru-baru ini yang tak merenggut nyawa siapa pun kecuali pelakunya, tentu ada banyak sudut pandang untuk menjelaskan motif pelaku. Saya sendiri lebih leluasa untuk membahasnya dari sisi perilaku dan latar keluarga, dengan melihatnya sebagai jalan pintas spiritual tadi. Tulisan ini berangkat dari informasi dari media, termasuk surat wasiat dari pelaku (Lukman dan Zakiah).  Sebetulnya, untuk melihat lebih dalam, kita membutuhkan data lebih detil terkait riwayat pelaku, termasuk genogramnya.

Yang pertama perlu dicermati adalah lelakon jalan pintas spiritual tak bisa dilakukan kecuali dengan merepresi emosi (misalnya dengan mengatakan, “Tak bahagia di dunia fana tak mengapa, yang penting happy di dunia lain”) atau dengan menghindari pemrosesan luka (menyangkal dengan kalimat, “Saya baik-baik saja kok.”).

Selain itu, pelakon juga biasanya menyalahgunakan narsisisme spiritual, yang dilakukan untuk memberikan rasa aman. “Sejak migrasi ke jalan Tuhan, kesulitan datang bertubi-tubi; aku menangis bukan karena sedih, tapi karena melihat bukti cintaNya dengan didatangkannya berbagai ujian ini.”

Yang sebetulnya terjadi, bisa saja, adalah dia berprasangka buruk kepada Tuhan bahwa Dia seperti orang tua kejam, yang mengatakan, “Papa itu marah karena sayang sama kamu!” Jadi, sayang tapi marah-marah, cinta tapi menyulitkan; di mana logikanya?

Ketika seseorang mendaku agama atau spiritualitas sebagai bagian terpenting dari kehidupan dirinya, kita perlu selanjutnya melihat apakah ada perasaan yang direpresi atau kenarsisan. Jika keduanya terkonfirmasi ada pada orang tersebut, gejala dia melakukan jalan pintas spiritual patut menjadi perhatian.

Baik Lukman maupun Zakiah terkonfirmasi DO dari kampus. Lukman adalah anak yatim sejak usia 5 tahun dan dikenal penyabar—orang awam bisa saja tak bisa membedakan antara penyabar dan mati rasa. Sementara itu, Zakiah dikenal sebagai perempuan berkepribadian pendiam dan tertutup, lebih-lebih sejak tak lagi menyandang status mahasiswa—orang awam juga sangat mungkin tak dapat membedakan antara tertutup dan represi emosi. Zakiah beberapa kali memosting doktrin jihad ISIS di grup WA keluarga—dan tidak ada tindakan dari anggota keluarga, yang berarti dia diabaikan; apalah beratnya ketika kehadiran kita tak diharap lalu memilih pergi?

Sementara itu, di antara ciri penyalahgunaan narsisisme spiritual adalah delusi telah mencapai maqam tertentu secara spiritual (bandingkan dengan Robert Augustus Masters, 2010). Padahal, spiritualitas yang otentik tidak muluk-muluk, tak terburu-buru (bertahap), dan bukan pelarian dari masalah pribadi. Informasi yang kita terima dari media tentang latar belakang kedua peneror maut tersebut menunjukkan tanda-tanda kedua pelaku memiliki persoalan hidup yang tak mudah.

Pada kasus Lukman dan Zakiah, ciri-ciri kenarsisan spiritual sangat tampak. Mari kita lihat penggalan surat Lukman, pelaku bom bunuh diri di komplek gereja Katedral Makasar, “Ummy sekali lagi minta maaf ka, ku sayang sekali tapi Allah lebih menyayangi hambanya. Makanya saya tempuh jalanku sebagai mana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan ki dan bisa ki kembali berkumpul di surga.” Identifikasi bom bunuh diri sebagai jalan Nabi terlalu silap untuk dinalar dan sama sekali bertolak belakang dengan berbagai riwayat yang sampai kepada para pelajar agama yang belajar secara tertib. Dari mana dia tahu Allah lebih suka dia mati daripada hidup bersama ibunya; atau, sebetulnya dia memilih mati hanya karena ingin segera lari dari kehidupannya yang sempit sejak kecil?

Tak berbeda dengan pesan Lukman, surat wasiat Zakiah Aini menyebutkan, ” … Makanya Zakiah tempuh jalan ini sebagaimana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan Zakiah dan dengan izin Allah bisa memberi syafaat untuk Mama dan keluarga di akhirat.” Dia juga menyebut jihad sebagai ekspresi tauhid tertinggi—bandingkan dengan konsep maqamat dan ahwal dalam tasauf yang sama sekali tak menyinggung jihad (dengan makna perang/membunuh) sebagai indikasi kualitas spiritual seseorang. Terlalu naif jika kita membayangkan gaya “berperang” dengan mondar-mandir menodongkan pistol dan tak menghasilkan apa-apa selain tewasnya diri sendiri sebagai jalan para nabi—equivalensi keliru sebab ketidakmampuan bernalar.

Zakiyah adalah bungsu dari enam bersaudara. Jika melihat relasinya di keluarga, sebagai mahasiswa DO pengangguran, dia tentu belum bisa memberikan apa-apa bagi keluarganya (terkait sistem memberi-menerima di keluarga, sila baca Hellinger 1998). Jalan pintas bagi situasi ini adalah fantasi memberi syafaat atau pertolongan masuk surga, seolah-olah dia tahu bahwa keluarganya bakal mencicipi neraka (mungkin karena mereka dianggap bersikap tak sesuai harapannya) sehingga membutuhkan bantuannya untuk membuka pintu firdaus. Gadis ini ingin menebus dengan sesuatu yang muluk, yang tak mungkin diberikan kakak-kakaknya—perlu ditelusur lebih lanjut tentang riwayat apakah dia sering dibanding-bandingkan dengan saudara yang lain. Selanjutnya, baik Lukman atau Zakiah gagal membedakan antara ajaran agama dan tuntunan sekte.

Untuk menghindari spiritualitas gadungan seperti ini, jika menghadapi masalah, kita perlu memahami prosedurnya, yaitu: (1) jangan lari darinya, (2) kita tak bisa menentukan sepenuhnya bagaimana masalah akan teratasi, dan (3) kita harus siap mengalami apa pun konsekwensi dari tindakan/keputusan yang sudah kita ambil. Jika ketiga prosedur ini kita abaikan, masalah akan tetap ada di sana, dan semua bentuk pengalihan (spiritual, alkohol, sabu, cimeng, makanan, lem, pornografi, atau seks) hanya akan memberikan penyelesaian semu atau bahkan palsu.

BINCANG SYARIAH

Bunuh Diri Bukan Mengakhiri Kehidupan

Ketika menghadapi cobaan hidup, sebagian orang mengambil “jalan pintas” dengan cara bunuh diri. Padahal bunuh diri bukanlah solusi dan bukanlah jalan pintas, bahkan bunuh diri adalah dosa yang sangat besar dalam Islam.

Besarnya dosanya bunuh diri

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan, “Bunuh diri adalah salah satu dosa besar. Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisa: 29-30).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من قتل نفسه بشيء عذب به يوم القيامة

Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan di adzab dengan itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110).

Maka bunuh diri itu adalah dosa besar yang paling buruk. Namun Ahlussunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa orang yang bunuh diri itu tidak kafir. Jika ia muslim, maka ia tetap dishalatkan dengan baik karena ia seorang Muslim yang bertauhid dan beriman kepada Allah, dan juga sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil” (Sumber: http://www.binbaz.org.sa/noor/3054).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

كان فيمن كان قبلكم رجل به جرح فجزع فأخذ سكيناً فحز بها يده فما رقأ الدم حتى مات . قال الله تعالى : بادرني عبدي بنفسه حرمت عليه الجنة

Dahulu ada seorang lelaki yang terluka, ia putus asa lalu mengambil sebilah pisau dan memotong tangannya. Darahnya terus mengalir hingga ia mati. Allah Ta’ala berfirman: ”Hambaku mendahuluiku dengan dirinya, maka aku haramkan baginya surga” (HR. Bukhari no. 3463, Muslim no. 113).

Ngerinya adzab bagi orang yang bunuh diri

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن قتل نفسه بشيء في الدنيا عذب به يوم القيامة

Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan di adzab dengan itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

من قتلَ نفسَهُ بحديدةٍ فحديدتُهُ في يدهِ يتوجَّأُ بها في بطنِهِ في نارِ جهنَّمَ خالدًا مُخلَّدًا فيها أبدًا ومن قتَلَ نفسَهُ بسَمٍّ فسَمُّهُ في يدهِ يتحسَّاهُ في نارِ جهنَّمَ خالدًا مُخلَّدًا فيها أبدًا من تردَّى من جبلٍ فقتلَ نفسَهُ فَهوَ يتردَّى في نارِ جَهنَّمَ خالدًا مخلَّدًا فيها أبدًا

Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi, maka besi itu kelak akan berada di tangannya dan akan dia gunakan untuk menikam perutnya sendiri di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan minum racun, maka kelak ia akan meminumnya sedikit-demi sedikit di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-lamanya. Barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, maka dia akan dijatuhkan dari tempat yang tinggi di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-selamanya” (HR. Bukhari no. 5778, Muslim no. 109).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan di adzab dengan itu di neraka Jahannam. Artinya seseorang yang bunuh diri pasti akan masuk neraka Jahannam” (Syarhu Al Kabair, 109).

Maka orang yang bunuh diri akan mengalami dua kengerian :

  1. Ia akan masuk neraka Jahannam yang merupakan neraka terburuk dan terngeri. Dalam Al Qur’an sering kali disebutkan tentang Jahannam:لَبِئْسَ الْمِهَادُ
    “seburuk-buruk tempat”بِئْسَ الْمَصِيرُ
    “seburuk-buruk tempat kembali”
  2. Ia akan terus diadzab dengan cara yang sama dengan cara ia bunuh diri secara terus-menerus di neraka
Apakah orang yang bunuh diri kafir?

Orang yang mati dalam keadaan Muslim, bukan dalam keadaan Musyrik, maka ia tidak akan kekal di neraka jika ia masuk neraka. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (Qs. An Nisa: 48).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنُ شعيرةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إله إلا الله ، وفي قلبِه وزنُ بُرَّةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنِ ذرَّةٍ مِن خيرٍ

akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji gandum kebaikan. akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji burr kebaikan.  akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji sawi kebaikan” (HR. Bukhari no. 44).

Hadits-hadits semacam ini sangat banyak.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “namun orang yang bunuh diri tidaklah keluar dari Islam jika memang ia Muslim sebelum melakukan bunuh diri. Bunuh diri tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Namun nasibnya di akhirat tahta masyiatillah (tergantung pada kehendak Allah) sebagaimana maksiat yang lainnya. Jika Allah berkehendak, Allah bisa mengampuninya dan memasukkannya ke surga karena keislamannya dan keimanannya. Dan jika Allah berkehendak, Allah juga bisa mengadzabnya di neraka atas kejahatan yang ia lakukan, yaitu pembunuhan. Lalu setelah bersih dosa-dosanya dengan adzab yang ia terima, Allah pun mengeluarkannya dari neraka untuk dimasukkan ke surga. Maka orang tua dari orang yang bunuh diri hendaknya banyak-banyak berdoa kebaikan dan rahmat baginya, banyak-banyak bersedekah untuknya, semoga Allah meringankan perkaranya dan memberikan rahmat kepadanya jika memang ia seorang Muslim” (http://www.binbaz.org.sa/noor/3054).

Karena orang yang bunuh diri tidak kafir, maka jenazahnya tetap dimandikan dan dishalatkan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Orang bunuh diri tidaklah kafir, bahkan ia tetap dimandikan, dikafani, dishalatkan, didoakan baginya ampunan, sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap seorang yang misyqash (semacam pisau). Jenazah orang tersebut didatangkan kepada Rasulullah namun beliau tidak mau menshalatkannya, dan beliau bersabda kepada para sahabat: shalatkan ia. Lalu para sahabat pun menyalatkannya. Ini menunjukkan bahwa lelaki yang bunuh diri tersebut tidaklah kafir, sehingga ia pun tidak berhak mendapatkan kekekalan di neraka. Yang disebutkan dalam hadits yang terdapat lafadz bahwa ia kekal di neraka, jika memang lafadz tersebut mahfuzh dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, maka maksudnya adalah ancaman dan peringatan keras terhadap amalan ini (bunuh diri)” (Syarhu Al Kabair, 110).

Dalil-dalil yang berbicara mengenai amalan dosa yang bukan syirik, yang mengandung kalimat semacam “tidak masuk surga orang yang demikian dan demikian” atau “diharamkan masuk surga orang yang demikian dan demikian”, maka maknanya sebagaimana dijelaskan Syaikh Musthafa Al Adawi tidak lepas dari dua kemungkinan:

  1. Orang yang melakukan dosa besar tersebut tidak masuk surga bersama golongan orang-orang yang masuk surga pertama kali. Ia mendapatkan adzab atas dosa yang ia lakukan (jika Allah tidak mengampuni dosanya), baru setelah itu dikeluarkan dari neraka dan masuk surga.
  2. Orang yang melakukan dosa besar tersebut tidak masuk pada jenis surga tertentu dari surga-surga yang ada (Mafatihul Fiqhi, 1/20).
Bunuh diri bukan solusi

Ketika seseorang menghadapi suatu permasalahan, akal yang sehat tentu akan setuju bahwa bunuh diri bukanlah solusi dari permasalahan tersebut. Apapun permasalahannya, selama-lamanya bunuh diri bukanlah solusi. Bunuh diri hanyalah bentuk lari dari permasalahan, bahkan justru ia akan menambah permasalahan-permasalahan yang lain bagi orang yang ditinggalkannya.

Ketahuilah bahwa setiap masalah yang kita hadapi itu pasti ada solusinya. Karena Allah Ta’ala tidak akan membebani sesuatu kepada kita kecuali masih dalam batas kemampuan kita. Allah Ta’ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah: 286).

Dan solusi dalam permasalahan hidup itu pasti akan bisa didapatkan jika kita kembali kepada Allah, kembali kepada agama, mendekatkan diri kepada Rabb kita dengan menjalankan berbagai ketaatan dan menjauhi segala larangan. Karena demikianlah janji Allah Ta’ala Ia adalah sebaik-sebaik penepat janji:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar” (QS. Ath Thalaq: 2).

Bunuh diri bukan mengakhiri kehidupan

Kematian bukanlah akhir. Bahkan ia adalah awal kehidupan akhirat yang lebih kekal. Allah Ta’ala berfirman:

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

Akhirat itu lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al A’la: 17).

Utsman bin Affan radhiallahu’anhu berkata:

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : « إن القبر أول منازل الآخرة فمن نجا منه فما بعده أيسر منه ، ومن لم ينج منه فما بعده أشد منه » قال : فقال عثمان رضي الله عنه : ما رأيت منظرا قط إلا والقبر أفظع منه

Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Alam kubur adalah awal perjalanan akhirat, barang siapa yang berhasil di alam kubur, maka setelahnya lebih mudah. Barang siapa yang tidak berhasil, maka setelahnya lebih berat’ . Utsman Radhiallahu’anhu berkata, ‘Aku tidak pernah memandang sesuatu yang lebih mengerikan dari kuburan’” (HR. Tirmidzi 2308, ia berkata: “hasan gharib”, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Futuhat Rabbaniyyah, 4/192).

Maka orang yang bunuh diri sesungguhnya berpikiran pendek dan dangkal dengan beranggapan bahwa jika ia mati maka berakhirlah semuanya. Justru kehidupan setelah kematian itu adalah kehidupan sesungguhnya yang lebih kekal lebih berat. Jika seseorang yang tidak memiliki bekal yang cukup untuk akhiratnya lalu ia mengakhiri hidupnya di dunia dengan dosa besar, yaitu bunuh diri, maka ia meninggalkan masalah yang jauh lebih kecil di dunia (jika dibandingkan dengan masalah di akhirat), lalu menghadapi masalah yang lebih besar dan lebih berat di akhirat.

Semoga Allah senantiasa memberi kita hidayah agar kita tetap istiqamah di atas jalan yang benar hingga ajal menjemput kita. Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.

***

Penulis: Yulian Purnama

MUSLIM.or.id

Solusi Utama agar Selamat dari Bunuh Diri

ORANG yang melakukan bunuh diri ada beberapa sebab yaitu ada yang karena himpitan ekonomi, karena penyakit, karena keadaan yang sudah sepuh dan kesendirian. Kalau memang karena penyakit, maka kewajibannya harus bersabar. Kalau memang karena himpitan ekonomi, maka dengan meningkatkan ketakwaan.

Kalau memang karena kesendirian dan usia lanjut, maka hendaknya sudah menjadi perhatian anak-anak untuk mengurus orang tuanya. Kalau bertakwa, tentu Allah akan berikan jalan keluar. Dalam ayat disebutkan, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Thalaq: 2)

Juga siapa yang bertawakkal yaitu pasrah dalam setiap urusan, maka Allah akan beri kecukupan. “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Intinya solusi utama agar seseorang selamat dari bunuh diri adalah memiliki iman yang kuat. Iman diperoleh lewat majelis-majelis ilmu. Dengan berada di majelis ilmu, seseorang akan mendapatkan kebaikan. Ketika Muawiyah berkhutbah, ia mengatakan bahwa ia mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang dikendaki Allah akan mendapatkan kebaikan, Allah akan memahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari, no. 71; Muslim, no. 1037)

[Naskah Khutbah oleh Muhammad Abduh Tuasikal di Masjid Adz-Dzikra]

 

INILAH MOZAIK

Jihad lalu Bunuh Diri, Dia Penduduk Neraka

BISA jadi ada yang membunuh dirinya karena alasan ekonomi hingga frustasi. Ada juga tujuannya atas nama agama seperti membunuh orang kafir. Padahal asalnya nyawa orang kafir itu haram untuk dibunuh.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang membunuh kafir muahad (yang memiliki perjanjian untuk tidak saling berperang), ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari, no. 3166)

Lebih-lebih jika yang dibunuh adalah seorang muslim. Allah Taala berfirman, “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa: 93)

Orang bunuh diri dalam rangka jihad pun tidak dibolehkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau mengatakan,

“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lalu beliau mengatakan pada orang yang mengaku Islam, “Dia termasuk penduduk neraka.” Ketika mengikuti peperangan, orang tersebut begitu semangat. Namun ia terkena luka parah. Kemudian ada yang berkata pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Yang engkau katakan bahwa ia termasuk penduduk neraka, ia benar-benar hari itu telah berperang lalu ia mati.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetap mengatakan, “Ia penghuni neraka.” Sebagian orang pun terheran-heran dan tetap dalam keadaan seperti itu. Ternyata, ada yang menceritakan bahwa orang tersebut sebelum mati, ia memiliki luka yang cukup parah. Ketika di malam hari, ia tidak sabar menahan lukanya yang parah tersebut. Lalu ia pun membunuh dirinya sendiri. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam dikabarkan tentang hal ini lantas beliau pun bersabda,

“Allahu akbar. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Kemudian beliau pun memerintahkan Bilal dan beliau menyeru pada manusia, “Sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang muslim. Namun boleh jadi Allah akan memperjuangkan agama ini melalui orang yang fajir (bermaksiat).” (HR. Bukhari, no. 3062 dan Muslim no. 111)

Lihatlah orang ini sedang berjihad. Namun tidak kuat menahan derita sehingga akhirnya ia bunuh diri. Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan tentangnya bahwa ia adalah penduduk neraka.

 

INILAH MOZAIK

Bentuk Siksaan bagi Pelaku Bunuh Diri

JANGAN bunuh diri, baik karena punya masalah berat maupun frustasi. Begitu pula tidak boleh bunuh diri yang mengatasnamakan agama karena bunuh diri jelas terlarang.

Lihatlah larangan bunuh diri dalam ayat ini. Allah subhanahu wa taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisa: 29-30).

Siapa saja yang bunuh diri, maka di akhirat ia akan disiksa sesuai cara ia mati. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara seperti itu pula.” (HR. Bukhari, no. 6047; Muslim, no. 110).

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan mencekik lehernya, maka ia akan mencekik lehernya pula di neraka. Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara menusuk dirinya dengan benda tajam, maka di neraka dia akan menusuk dirinya pula dengan cara itu.” (HR. Bukhari, no. 1365)

Lihatlah siksa yang pedih di atas. Itu menunjukkan bahwa yang dilakukan adalah dosa besar.

 

INILAH MOZAIK