Cara Shalat ketika Pulang Kerja

Pertanyaan:

Kami para pekerja kantoran di kota besar, biasanya keluar dari kantor pukul 5 sore. Kemudian harus menempuh perjalanan menggunakan bus dan KRL yang memakan waktu sekitar 2 jam-an. Sehingga biasanya kami sampai di rumah pukul 7 malam, yang mana ketika itu sudah masuk waktu Isya. Bolehkah kami menunda shalat Maghrib hingga waktu Isya?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin, Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala ahlihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.

Jawaban untuk masalah ini perlu kita rinci:

  1. Jika terjadi secara insidental.

Andaikan kejadian seperti ini terjadi secara insidental, tidak terencana, dan tidak bermaksud melalaikan shalat. Namun karena terjebak di tengah jalan atau terjebak kemacetan dan tidak bisa turun dari kendaraan untuk mengerjakan shalat, maka dibolehkan untuk menjamak shalat Maghrib dan Isya di waktu Isya, yang disebut dengan jamak ta’khir

Karena menjamak shalat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan). Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ’anhu beliau mengatakan:

جمع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بين الظهرِ والعصرِ ، والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan menjamak shalat Maghrib dan Isya di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan tidak hujan” (HR. Muslim no.705).

Para ulama mengatakan alasan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjamak karena ada masyaqqah (kesulitan). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

والقصر سببه السفر خاصة ، لا يجوز في غير السفر. وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر

“Dibolehkannya men-qashar shalat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada selain safar. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan udzur” (Majmu’ al-Fatawa, 22/293).

Maka, orang yang dalam kondisi demikian ia berada dalam kesulitan untuk shalat pada waktunya masing-masing, dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.

Cara mengerjakannya adalah dengan mengerjakan shalat Maghrib terlebih dahulu, baru kemudian shalat Isya. Karena wajib at-tartib (berurutan) dalam menjamak shalat. Dengan rakaat yang sempurna, yaitu shalat Maghrib sebanyak tiga rakaat dan shalat Isya sebanyak empat rakaat.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan tentang wajibnya at-tartib (berurutan) dalam menjamak shalat:

“Dipersyaratkan untuk tartib (berurutan) ketika menjamak shalat. Sehingga memulai dengan shalat yang pertama dahulu kemudian yang kedua. Karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana melihatku shalat”. Dan karena syariat datang menetapkan urutan waktu-waktu shalat. Namun andaikan seseorang lupa atau tidak tahu, atau datang sekelompok orang untuk shalat Isya, dan orang ini niat untuk jamak ta’khir, lalu ia shalat bersama sekelompok orang ini mengerjakan shalat Isya, baru setelah itu ia mengerjakan shalat Maghrib. Apakah gugur kewajiban tartib dalam keadaan seperti ini? Pendapat yang masyhur, tidaklah gugur kewajibannya.

Oleh karena itu, orang yang melakukan demikian karena lupa atau tidak tahu atau karena mengikuti jama’ah yang ada, atau karena sebab lainnya, maka jamak-nya tidak sah. 

Lalu apa yang perlu ia lakukan ketika itu? Jawabnya, shalat yang pertama tidaklah sah sebagai shalat wajib, ia harus mengulangnya” (Asy-Syarhul Mumthi’, 4 /401-402).

  1. Jika terjadi terus-menerus atau bersengaja.

Jika kejadian seperti ini terjadi terus menerus, yaitu setiap hari dengan sengaja menunda shalat Maghrib sampai waktu shalat Isya padahal tidak dalam kondisi safar, maka kami khawatirkan ini termasuk melalaikan shalat. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu telah diwajibkan bagi kaum Mukminin pada waktu masing-masing” (QS. an-Nisa: 103).

Sehingga tidak boleh mengerjakan shalat di luar waktunya tanpa udzur syar’i. Allah ta’ala berfirman:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya” (QS. al-Ma’un: 4–5).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini:

إما عن فعلها بالكلية ، كما قاله ابن عباس ، وإما عن فعلها في الوقت المقدر لها شرعا ، فيخرجها عن وقتها بالكلية ، كما قاله مسروق وأبو الضحى

“(Orang yang lalai dalam shalat adalah) bisa jadi orang yang tidak mengerjakannya sama sekali, ini tafsiran Ibnu Abbas. Atau bisa jadi orang yang tidak mengerjakannya pada waktunya yang ditentukan syariat, sehingga ia kerjakan di luar waktunya secara menyeluruh. Ini tafsiran Masruq dan Abu ad-Dhuha” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/493).

Beliau melanjutkan:

وإما عن وقتها الأول فيؤخرونها إلى آخره دائما أو غالبا . وإما عن أدائها بأركانها وشروطها على الوجه المأمور به . وإما عن الخشوع فيها والتدبر لمعانيها ، فاللفظ يشمل هذا كله

“Dan (orang yang lalai dalam shalat adalah) bisa jadi orang yang menunda shalat dari awal waktu ke akhir waktu secara terus-menerus atau secara umum. Atau bisa jadi orang yang lalai terhadap rukun dan syarat shalatnya, tidak melakukan sebagaimana yang diperintahkan syariat. Atau bisa jadi lalai dari kekhusyukan dan mentadabburi maknanya. Lafadz ayat mencakup semua bentuk kelalaian ini” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/493).

Dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan:

الجمع بين الصلاتين من غير عذر من الكبائر

“Menjamak dua shalat tanpa udzur termasuk dosa besar” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [2/346], dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu).

Masalah ini pernah kami ditanyakan kepada Syaikh Dr. Ashim al-Qaryuti, salah seorang ulama Yordania yang merupakan murid Syaikh al-Albani. Dengan teks pertanyaan sebagai berikut,

“Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada Anda. Ada seorang yang keluar dari rumahnya setiap hari untuk bekerja di tempat yang jauh namun belum termasuk perjalanan safar. Waktu kerja berakhir 1 jam sebelum Maghrib, kemudian ia naik bus atau kereta, dan sampai di rumah sudah masuk waktu Isya. Dan dia tidak bisa shalat di bus/kereta karena di sana berdesakan. Maka bolehkah ia menjamak shalat Maghrib dan Isya setiap hari? Ataukah dia harus menunggu waktu Maghrib, baru setelah itu pulang?”.

Lalu Syaikh Dr. Ashim al-Qaryuti hafizhahullah menjawab: ”Dia hendaknya shalat di atas kendaraan, jika tidak bisa turun dulu (di waktu Maghrib), dengan posisi shalat yang memungkinkan baginya di sana. Maka wajib shalat pada waktunya dan tidak menunda sampai keluar waktu dan juga tidak menjamak shalat” [selesai nukilan].

Sehingga tidak boleh bersengaja terus-menerus menunda shalat Maghrib hingga waktu Isya. Namun sebaiknya ia mengatur waktunya dan mengatur perjalanannya dengan baik agar bisa tetap shalat Maghrib pada waktunya. Semisal dengan menunggu waktu shalat Maghrib di stasiun kereta atau di perhentian KRL, atau terminal bus, lalu setelah selesai menunaikan shalat Maghrib baru melanjutkan perjalanannya kembali. 

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 

Referensi: https://konsultasisyariah.com/38668-cara-shalat-ketika-pulang-kerja.html