Cinta, Sumber Terjadinya Syirik

‘Cinta bikin orang gila’, begitu kata sebagian orang. Barangkali ada benarnya. Buktinya, banyak kita saksikan para pemuda atau pemudi yang rela melanggar aturan-aturan agama demi mencari keridaan pacarnya. Alasan mereka, ‘cinta itu membutuhkan pengorbanan’. Kalau berkorban harta atau bahkan nyawa untuk membela agama Allah, tentu tidak kita ingkari. Namun, bagaimana jika yang dikorbankan adalah syariat Islam dan yang dicari bukan keridaan Ar-Rahman? Semoga tulisan yang ringkas ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama, agar cinta yang mengalir di peredaran darah kita tidak berubah menjadi bencana.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن یَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادࣰا یُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَشَدُّ حُبࣰّا لِّلَّهِۗ وَلَوۡ یَرَى ٱلَّذِینَ ظَلَمُوۤا۟ إِذۡ یَرَوۡنَ ٱلۡعَذَابَ أَنَّ ٱلۡقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِیعࣰا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِیدُ ٱلۡعَذَابِ

Di antara manusia ada yang mencintai sekutu-sekutu selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beiman lebih dalam cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu menyaksikan tatkala mereka melihat azab (pada hari kiamat) bahwa sesungguhnya seluruh kekuatan adalah milik Allah dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah: 165)

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Allah menceritakan bahwa mereka (orang musyrik) mencintai pujaan-pujaan mereka (sesembahan tandingan itu) sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Maka, hal itu menunjukkan bahwa mereka juga mencintai Allah dengan kecintaan yang sangat besar. Akan tetapi, hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam. Lalu, bagaimana jadinya orang yang mencintai pujaan (selain Allah) dengan rasa cinta yang lebih besar daripada kecintaan kepada Allah? Lalu, apa jadinya orang yang hanya mencintai pujaan tandingan itu dan sama sekali tidak mencintai Allah?” (sebagaimana dinukil dalam Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 7)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala menyebutkan tentang kondisi orang-orang musyrik ketika hidup di dunia dan ketika berada di akhirat. Mereka itu telah mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, yaitu (sesembahan-sesembahan) tandingan. Mereka menyembahnya di samping menyembah Allah. Dan mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Dia itu adalah Allah yang tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Dia. Tidak ada yang sanggup menentang-Nya. Tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan tiada sekutu bersama-Nya.

Di dalam Ash-Shahihain (Sahih Bukhari dan Muslim) dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, dia berkata, ‘Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dosa apakah yang terbesar?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu engkau mengangkat selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya, padahal Dialah yang menciptakanmu.’ Sedangkan firman Allah, ‘Adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.’ Hal itu dikarenakan kecintaan mereka (orang yang beriman) ikhlas untuk Allah dan karena kesempurnaan mereka dalam mengenali-Nya, penghormatan, dan tauhid mereka kepada-Nya. Mereka tidak mempersekutukan apapun dengan-Nya. Akan tetapi, mereka hanya menyembah-Nya semata, bertawakal kepada-Nya, dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1: 262)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala mengabarkan bahwasanya barangsiapa yang mencintai sesuatu selain Allah sebagaimana mencintai Allah Ta’ala, maka dia termasuk kategori orang yang telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Syirik ini terjadi dalam hal kecintaan bukan dalam hal penciptaan dan rububiyah. Karena sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320)

Syekh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah menjelaskan, “Orang-orang musyrik itu menyetarakan sesembahan mereka dengan Allah dalam hal kecintaan dan pengagungan. Inilah pemaknaan ayat tersebut sebagaimana dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah…” (Ibthaalu Tandiid, hal. 180)

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Penyetaraan semacam itulah yang disebutkan di dalam firman Allah Ta’ala tatkala menceritakan penyesalan mereka di akhirat ketika berada di neraka. Mereka berkata kepada sesembahan-sesembahan dan sekutu-sekutu mereka dalam keadaan mereka sama-sama mendapatkan azab,

تَٱللَّهِ إِن كُنَّا لَفِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینٍ إِذۡ نُسَوِّیكُم بِرَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Demi Allah, dahulu kami di dunia berada dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’ara’: 97-98)

Telah dimaklumi bersama, bahwasanya mereka bukan menyejajarkan sesembahan mereka dengan Rabbul ‘alamin dalam hal penciptaan dan rububiyah. Namun, mereka hanya menyejajarkan pujaan-pujaan itu dengan Allah dalam hal cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320-321)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kecintaan orang-orang yang beriman lebih dalam dikarenakan kecintaan tersebut adalah kecintaan yang murni yang tidak terdapat noda syirik di dalamnya. Sehingga kecintaan orang-orang yang beriman menjadi lebih dalam daripada kecintaan mereka (orang-orang kafir) kepada Allah.” (Al-Qaul Al-Mufid, 2: 4-5)

Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa makna ‘orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah’ yaitu apabila dibandingkan dengan kecintaan para pengangkat tandingan itu terhadap sekutu-sekutu mereka. Karena orang-orang yang beriman itu memurnikan cinta untuk Allah, sedangkan mereka mempersekutukan-Nya. Selain itu, mereka juga mencintai sesuatu yang memang layak untuk dicintai, dan kecintaan kepada-Nya merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan, dan kemenangan hamba. Adapun orang-orang musyrik itu telah mencintai sesuatu yang pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk dicintai. Dan mencintai tandingan-tandingan itu justru menjadi sumber kebinasaan dan kehancuran hamba serta tercerai-cerainya urusannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 80)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sumber terjadinya kesyirikan terhadap Allah adalah syirik dalam perkara cinta. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن یَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادࣰا یُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَشَدُّ حُبࣰّا لِّلَّهِۗ وَلَوۡ یَرَى ٱلَّذِینَ ظَلَمُوۤا۟ إِذۡ یَرَوۡنَ ٱلۡعَذَابَ أَنَّ ٱلۡقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِیعࣰا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِیدُ ٱلۡعَذَابِ

Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.’ (QS. Al-Baqarah : 165)”

Beliau rahimahullah menegaskan, “Maksud dari pembicaraan ini adalah bahwasanya hakikat penghambaan tidak akan bisa diraih apabila diiringi dengan kesyirikan kepada Allah dalam urusan cinta. Lain halnya dengan mahabbah lillah. Karena sesungguhnya kecintaan tersebut merupakan salah satu konsekuensi dan tuntutan dari penghambaan kepada Allah. Karena sesungguhnya kecintaan kepada Rasul (bahkan harus mendahulukan kecintaan kepadanya daripada kepada diri sendiri, orang tua, dan anak-anak) merupakan perkara yang menentukan kesempurnaan iman. Sebab mencintai beliau termasuk bagian dari mencintai Allah. Demikian pula halnya pada kecintaan fillah dan lillah…” (Ad-Daa’ wad-Dawaa’, hal. 212-213)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79387-cinta-sumber-terjadinya-syirik.html

Meniru Perilaku “Cinta” Nabi Ibrahim

CINTA adalah anugerah yang Allah berikan kepada setiap makhluk-Nya, terkhusus manusia. Ketika rasa itu telah merasuk pada setiap diri bani Adam, maka semua yang diterima, atas konsekuensi cintanya, akan terasa indah lagi menyenangkan, sekalipun realitasnya balasan yang didapat sangat membebani fisik, pikiran dan perasaan. Menyitir pribahasa anak muda saat ini, “Kalau sudah cinta, tahi kucing pun terasa cokelat,” ujar mereka.


Ini merupakan satu ungkapan, yang berupaya menjelaskan akan keunikan cinta. Sehingga, hal yang sangat sukar sekalipun (tahi kucing), akan terasa seolah cokelat. Ya begitulah, tak ada istilah pamrih bagi orang yang sedang dimabuk cinta. Semua perjuangan yang dilakukan dibangun atas ‘keikhlasan’ yang tinggi, karena ingin membuktikan kebenaran cinta yang ada di dalam dada. Dan itu bukanlah sebuah kekeliruan. Justru, itulah ekspresi ataupun ‘akrobat’ dasar yang ditimbulkan cinta murni, yang tumbuh dari jiwa nan suci.


Ketika cinta tidak melahirkan ekspresi yang demikian dahsyat/spektakuler, maka patut dipertanyakan, apakah benar cinta yang dipersembahkan merupakan cinta yang tulus murni, atau, sebaliknya, hanya pemanis mulut saja, tapi hati berkata tidak? Istilahnya, ada udang di balik batu. Atau, yang lebih ekstrim lagi, munafik.
Untuk menakar kemurnian itu, bisa kita lihat dari tindak-tanduk sang pecinta dalam memenuhi hajat yang dicintai, ketika ‘sang-dipuja’ menuntut pengorbanan. Apabila dia melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh penuh semangat, ikhlas, tanpa keluh kesah, maka bisa diprediksi bahwa cintanya tulus dan murni.


Namun, apa bila yang terjadi justru sebaliknya, banyak protes, ogah-ogahan, baru menapaki jalan yang sedikit terjal sudah tidak kuat melangkahkan kaki barang setapak, maka, kita sendiri bisa mengecap, cinta model apakah ini?


Kisah Cinta Sejati Ibrahim pada Allah
‘Rumus’ (Menguji kemurnian cinta) di atas bisa kita temukan di al-Quran yang menjelaskan bahwa tidak lah cukup bagi seorang hamba membuktikan cinta (imannya) kepada Allah, hanya dengan mengungkapkan di bibir semata, bahwa dia telah beriman kepada Allah, kemudian mereka dibiarkan begitu saja. Sekali-kali tidak. Mereka perlu membuktikan akan keafsahan apa yang telah mereka ikrarkan. Karenanya, mereka akan diuji dengan beberapa ujian, sehingga nampaklah yang benar-benar beriman dan yang munafik di antara mereka.


Firman Allah: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al‘Ankabut:2-3).


Dalam perjalanan, tidak sedikit manusia yang gagal dalam menjalani ‘tes-tes’ kemurnian cinta, yang Allah berikan. Banyak di antara mereka yang ‘gugur’ di pertengahan jalan. Bahkan, tidak sedikit pula yang berjatuhan di saat ‘genderang’ ujian baru ‘ditabuh’. Potret pribadi-pribadi macam ini, sampelnya, bisa kita temukan pada sosok orang-orang munafik, yang memisahkan diri dari barisan pasukan perang kaum muslimin, pada perang Badar.


Saat itu, dengan mudahnya mereka menyatakan kesetian kepada baginda Rosul. Siap membela beliau baik dalam kondisi suka maupun duka, lapang ataupun sempit. Namun apa yang terjadi ketika ikrar tersebut diuji, mereka gagal. Nampak jelas kebusukkan hati mereka. Sumpah setia yang mereka umbar, hanyalah pemanis bibir semata. Sungguh, kecelakaan hiduplah bagi mereka.


Setali tiga uang, mereka yang sukses melewati ujian-ujian tersebut, pun banyak, meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit dari mereka yang gagal. Dan salah satu di antaranya adalah Nabi Ibrahim ’Alaihi Salam.

Nabi Ibrohim, selain mendapat gelar sebagai ‘Abu Al-Anbiya’ (Bapaknya para Nabi), beliau juga termasuk Nabi dalam kategori ‘Ulul ‘Azmi’. Tentu saja, sederet gelar tersebut tidak serta-merta menempel di pundaknya, tanpa melalui proses perjuangan yang tinggi.

Ujian cinta beliau terhadap Allah, sangatlah terjal. Namun, sekalipun demikian getirnya, dengan sabar dan disertai ketulusan yang sangat, hanya untuk mengharapkan ridho Allah, beliau hadapi ujian itu tanpa harus berkeluh-kesah.


Salah satu ujian yang harus beliau hadapi adalah menerima kenyataan, di mana perintah menyembelih anak semata wayangnya, Ismail. Padahal, jauh sebelum itu, ketika anak laki-laki tersebut masih dalam buaian, beliau tinggalkan bersama sang-ibu, di padang sahara yang tak ada aura kehidupan, tanpa bekal yang berarti.


Dan kini, setelah anak itu tumbuh dewasa menjadi pribadi yang sholeh, taat kepada orangtua, datanglah perintah untuk menyembelihnya. Siapa pun dia, sebagai orang tua, tentu galau menerima perintah demikian. Tak terkecuali Nabi Ibrahim. Karenanya, setelah mendapat mimpi demikian selama tiga kali, beliau kemudian menuturkan prihal mimpinya kepada sang-buah hati.


Subhanallah, setelah mendapat penjelasan dari sang-ayah, Ismail dengan mantap berujar, “Wahai ayahanda, sekiranya itu benar-benar perintah dari Allah, maka laksanakanlah. Mudah-mudahan engkau menemukanku termasuk orang yang bersabar.”


Singkat cerita, Ibrahim pun melaksanakan titah Allah SWT. Namun, dalam prosesnya kelak, Allah memrintahkan Ibrahim untuk mengganti penyembelihan Ismail, dengan binatang ternak (lembu). Dengan peristiwa ini, luluslah Ibrahim dari ujian cinta yang Allah berikan. Sebesar apapun cinta beliau terhadap Ismail, sebagai orang tua yang telah lama menanti kehadirannya, namun, tidak sebanding dengan cinta beliau kepada Allah. Karenanya, perintah penyembelihanpun beliau laksanakan, demi membuktikan kemurnian cintanya pada Allah. Inilah tauladan cinta sejati itu.


Bukan Cinta Buta
Cinta yang menghujam dalam diri Ibrohim, bukanlah cinta buta. Cinta yang beliau miliki adalah cinta murni nan tulus yang tumbuh dan memekar dalam hati (bukan dilandasi nafsu). Dan itu terjadi karena proses yang beliau lalui dalam menghadirkan cinta, itu benar, yaitu melalui pengenalan yang mendalam.


Kita tentu sangat akrab dengan pernyataan para pujangga, “Tidak kenal maka tidak sayang. Tidak sayang, maka tidak cinta”. Dan proses itulah yang telah melahirkan makrifat cinta Ibrohim yang begitu mendalam terhadap Tuhannya. Tak ubah pohon yang akarnya menghujam ke dasar tanah yang paling dalam, sehingga tidak mudah digoyahkan oleh badai sekalipun.


Hal tersebut, tersirat dalam proses pencarian Tuhan yang dilakukan Ibrohim. Dan keyakinan itu dipertabal kembali, dengan dikabulkannya permintaan/do’a Ibrohim, untuk menyaksikan secara nyata, bagaimana Allah menghidupkan dan mematikan makhluk-Nya. Kemudian, Allah memerintahkannya untuk menyembelih beberapa ekor burung, kemudian, diletakkan di atas bukit. Ketika Ibrohim menyeru keduanya, mereka pun datang memenuhi panggilan. Subhanallah. Dengan peristiwa ini, tambah mengakarlah cinta Ibrohim kepada Allah.

Sebagai penutup, marilah kita intropeksi diri, sudahkah kita mengenal Allah, Tuhan kita, secara utuh, sehingga melahirkan mahabbah (rasa cinta) yang benar-benar terhadap-Nya? Sebab realitas saat ini, banyak orang mengaku Muslim, tapi mereka tampil sebagai penentang Tuhan yang mereka sembah. Boleh jadi hal ini disebabkan dangkalnya makrifat mereka terhadap Allah sehingga berdampak minimnya stok cinta yang mereka miliki. Banyak orang mengaku cinta pada agamanya dan cinta pada Allah, namun antara lisan dan hatinya tak sesuai dengan ucapannya. Banyak orang memburu wanita pujaanya, bahkan rela mengorbankan nyawanya sendiri. Namun ketika mereka mengaku cinta pada agama dan Tuhannya, tak mampu mengorbankan dirinya sebagai ungkapan “cinta” itu. Semoga bisa meniru Nabiullah Ibrahim alaihi salam. [Robinsah/hidayatullah.com]

HIDAYATULLAH

Cinta dan Kasih Sayang Penopang Peradaban Islam

Peradaban Islam dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang.

Cinta dan kasih sayang adalah ruh kehidupan. Itulah yang menjelaskan mengapa dalam banyak kesempatan Nabi Muhammad SAW selalu berusaha mematrikannya di dada umatnya. ”Orang-orang yang punya rasa kasih sayang, Allah yang Mahasayang akan sayang kepada mereka,” ungkap beliau suatu ketika.

Di lain kesempatan kekasih Allah ini juga bersabda, ”Sayangilah penghuni bumi, niscaya Yang di Langit akan sayang kepada kalian.” Sungguh sebuah ungkapan cinta dan kasih sayang yang sarat makna.

Yusuf Qaradhawi, seorang pemikir dan ulama besar abad ini, pernah menukil perkataan seorang bijak, ”Seandainya cinta dan kasih sayang telah berpengaruh dalam kehidupan. Maka manusia tidak memerlukan lagi keadilan dan undang-undang.” Tak berlebihan. Sebab, mungkinkah huru-hara dan kekacauan dunia itu terjadi, jika cinta dan kasih sayang telah mewujud dalam kehidupan kita? Cinta dan kasih sayang kepada sesama yang terbingkai dalam cinta murni kepada Sang Khalik.

Sebab, sungguh hanya Allahlah Dzat tempat kita menggantungkan segala asa dan cinta. Dan Allah pulalah juga yang berhak menanamkan dan mencabut rasa cinta dari dalam lubuk hati kita. Allah berfirman, ”… sekiranya kalian infakkan semua kekayaan yang ada di bumi, niscaya kalian takkan mampu mempersatukan hati-hati mereka (manusia), tetapi Allahlah yang mempersatukan hati mereka …” (QS Al-Anfal [8]: 63).

Ayat ini menegaskan betapa harta benda tidak cukup mempertautkan hati. Tidak pula berbagai sistem ekonomi serta kondisi kebendaan (materialisme). Kalaupun itu terjadi, ia pastilah ikatan cinta semu, sebatas terpenuhinya sebuah kepentingan. Tentu saja cinta model ini (cinta atas motivasi keduniaan) pasti binasa dan fana, jika ia tak dilengkapi serta dibungkus jiwa yang lembut, yang disinari roh Ilahi.

Inilah rasa cinta dan kasih sayang yang sejati. Kasih sayang yang mendorong senyum yang merekah, dan wajah ceria saat bertemu sesama. Itulah sedekah yang lahir dari keikhlasan cinta dan kasih sayang. Sebab, cinta dan kasih sayang tidak mungkin terpancar dari orang yang gersang dari keduanya. Faaqidussyaa’i laayu’ti, sesuatu yang tidak punya apa-apa, tak akan mampu memberi apa-apa, begitu pepatah Arab soal ini.

Rasulullah SAW dalam sebuah hadis menyatakan, ”Maukah kalian kutunjukkan suatu hal yang apabila kalian lakukan pasti akan saling mencintai? Sebarkan salam di antara kalian.” (HR Muslim). Seulas senyum dan salam saja, mampu untuk merekatkan jalinan silaturahim. Begitu sulitkah menebar cinta, sehingga kebencian kian subur di hati kita?

KHAZANAH REPUBLIKA


Atas Nama Cinta Mereka Berzina

Cinta …
Semua orang bicara cinta
Tapi timbangannya beda-beda
Cinta di atas agama, atau cinta berujung petaka?
Petaka muncul bila cinta diukur sebatas nafsu
Atas nama cinta mereka berzina

Zina dibilang cinta

Karena sekarang banyak yang tertipu oleh setan; zina dibilang cinta. Bahkan zina dianggap biasa; sekadar kemaluan bertemu kemaluan.

Subhanallah! La hawla wala quwwata illa billah!!

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والقلب تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

Sesungguhnya Allah menetapkan jatah zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nah, kalau belum halal dalam ikatan nikah, jangan pandang-pandangan dulu. Jangan pegang-pegang dulu. Jangan belai-belai dulu. Dekat-dekat bisa berujung syahwat. Bahaya!

Allah telah mengingatkan hamba-Nya dengan keras tentang hal ini,

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

Dan jangan dekati zina! Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’:32)

Berhubungan badan bagaikan keledai

Betapa hinanya orang yang berzina. Mari kita simak bagaimana julukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mereka.

Shahabat Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu menyampaikan bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر و الحرير

Akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina dan sutera.”

Pada akhir zaman, setelah tidak ada lagi kaum mukminin, yang tersisa adalah seburuk-buruk manusia. Mereka saling melakukan hubungan badan bagaikan keledai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits An-Nawwas radhiyallahu ’anhu,

ويبقى شرار الناس يَتَهَارَجُون فيها تهارُج الْحُمُر ، فعليهم تقوم الساعة

Dan yang tersisa adalah seburuk-buruk manusia, mereka kawin di zaman itu bagaikan keledai, maka pada merekalah kiamat itu terjadi.’ ” (HR. Muslim)

Tantangan

Jika ada yang menantang Anda seperti ini: coba berbuatlah semau Anda, tidak perlu taat norma, tak usah patuh kepada agama. Nah, jatah setiap orang ‘kan cuma satu nyawa. Tidak lebih dari itu. Silakan Anda pilih sekarang:

  1. Hidup taat aturan Allah, matinya insyaallah selamat.
  2. Hidup bebas semaunya, matinya nanti “gambling”; tak jelas selamat atau sekarat.

Pasti Anda ingin selamat, ‘kan?

Hidup ini mesti berpegang pada prinsip

Sekali sudah berikrar dengan keislaman, kita mesti berjuang untuk istiqamah. Jauhkan diri dari teman yang merusak, pilih teman-teman yang mengajak berbuat baik. Perbanyak doa memohon pertolongan Allah; di Tangan-Nya hati kita berbolak-balik. Dengan taufik-Nya kita bisa hidup penuh ketenteraman dan kebahagiaan sejati.

قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.’”
(HR. Muslim)

Jika diri bergelimang dosa, tak perlu putus asa. Bertaubatlah sebelum terlambat. Pintu taubat masih terbuka selama nyawa belum sampai kerongkongan. Pintu taubat masih terbuka selama matahari masih terbit dari arah timur.

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap kepada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.

(Hadits qudsi riwayat Tirmidzi, no. 3540; Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih.)

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/5256-atas-nama-cinta-mereka-berzina.html

Ya, Aku Memang Mencintainya

YA, aku memang mencintainya. Aku mencintainya mengalahkan cinta seseorang kepada kekasihnya. Bahkan manakah cinta orang-orang yang jatuh cinta dibanding cintaku ini?

Ya, aku mencintainya. Bahkan demi Allah, aku merindukannya. Aku merasakan sentuhannya yang lembut, menyentuh relung hatiku. Aku tidak mendengarnya melainkan rinduku seakan terbang ke langit, lalu hatiku menari-nari dan jiwaku menjadi tentram.

Aku mecintaimu duhai perkataan yang baik. Aku mencintaimu duhai perkataan yang lembut. Aku mencintaimu duhai perkataan yang santun.

Alangkah indahnya ketika seorang anak mencium tangan ibunya seraya berkata, “Semoga Allah menjagamu ibu”.

Alangkah eloknya ketika seorang ayah senantiasa mendoakan anaknya, “Ya Allah ridailah mereka dan bahagiakan mereka di dunia dan akhirat”.

Alangkah bagusnya ketika seorang istri menyambut kedatangan suaminya dengan senyuman seraya berkata, “Semoga Allah tidak menjauhkan kami darimu, rumah ini serasa gelap tanpa dirimu”.

Alangkah baiknya ketika istri melepaskan kepergian suami bekerja di pagi hari, ia berkata, “Jangan beri kami makan dari yang haram, kami tidak sanggup memakannya”.

Kalimat dan ungkapan yang indah, bukankah begitu? Bukankah kita berharap kalimat dan ungkapan seperti ini dikatakan kepada kita? Bukankah setiap kita berangan-angan mengatakan kalimat-kalimat seperti ini kepada orang-orang yang dicintainya? Akan tetapi kenapa kita tidak atau jarang mendengarnya?

Penyebabnya adalah kebiasaan. Barangsiapa yang membiasakan lisannya mengucapkan kata-kata yang lembut, berat baginya untuk meninggalkannya, begitu pula sebaliknya.

Orang yang terbiasa memanggil istrinya dengan kata “kekasihku” sulit baginya memanggil istrinya seperti sebagian orang memanggil istrinya, Hei ..hai ..”. atau “Kau ..” & lain sebagainya.

Barangsiapa yang terbiasa memulai ucapannya kepada anaknya, “Ananda, Anakku, Putriku” tidak seperti sebagian lain yang mengatakan, “Bongak .. jahat ..setan!” maka ia berat mengucapkan selain itu.

Kenapa kita tidak bisa mengucapkan satu ungkapan cinta saja kepada anak-anak kita, ibu kita, dan keluarga kita? Jika adapun kalimat tersebut keluar dengan malu-malu. Kenapa lisanmu terkunci di dekat istrimu atau dihadapan ayah dan ibumu, sedangkan di hadapan temanmu, kata-katamu begitu mesra?

Biasakanlah, misalnya mengucapkan kepada ibumu, “Ibu, doakan kami. Apakah ibu ingin titip sesuatu agar ananda beli sebelum ananda berangkat?”

Biasakanlah mengucapkan kepada anakmu kata-kata (sayangku, anakku) dan apabila ia mengambilkan sesuatu untukmu seperti segelas air katakana kepadanya Jazakallah atau ungkapan terima kasih.

Jika putra atau putrimu meminta sesuatu darimu dan engkau sanggup memberikannya serta itu baik untuknya katakanlah kepada mereka dengan tulus, “Dengan sepenuh hati, ayah akan bawakan untukmu”.

Cobalah kata-kata dan kalimat yang lembut dan senyuman yang manis, lalu lihatlah hasilnya!

Lihatlah bagaimana Nabi kita shollallahu alaihi wa sallama berbicara kepada anak istrinya. Perhatikanlah kelembutan hatinya, serta keindahan tutur katanya. Beliaulah sebaik-baik suri teladan. [Ust. Abu Zubair Hawaary]

10 Terapi Mabuk Cinta

Kata orang, cinta itu buta. Virus hati yang mengatasnamakan cinta ternyata telah menelan banyak korban. Sering kita dengar seorang remaja yang nekat bunuh diri karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Bahtera rumah tangga bisa hancur jika ada cinta terlarang di dalamnya. Ada pula cinta yang membinasakan dan sekaligus memalukan, yaitu mencintai kepada sesama jenis.

Cinta kepada orang lain yang didominasi karena syahwat disebut al ‘isyq. Jika hawa nafsu menuruti cinta ini akan terjerat dalam mabuk cinta. Ini adalahpenyakit. Jika tidak dibentengi oleh aturan syariat yang benar, cinta ini bisa menjadi mabuk cinta yang terlarang.  Mabuk cinta bisa menjangkiti siapa saja. Tidak hanya pemuda, bahkan mereka yang sudah berkeluarga. Berikut 10 terapi bagi orang sedang dimabuk cinta.

(1). Menikah

Jika memungkinkan bagi orang yang sedang mabuk cinta untuk meraih cinta pujaan hatinya dengan ketentuan syariat, maka inilah terapi yang paling utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“ Wahaii sekalian pemuda, barangsiapa yang sudah mampu untuk menikah maka hendaklah dia segera menikah. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena puasa dapat menahan dirinya dari ketergelinciran perbuatan zina. ” (H.R Bukhari dan Muslim)

Hadits ini memberikan dua solusi, yaitu solusi utama dan solusi alternatif. Solusi petama adalah menikah. Jika ini bisa dilakukan, maka inilah yang terbaik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَمْ أَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ

Saya belum pernah melihat (solusi) untuk dua orang yang saling jatuh cinta selain menikah (HR. Ibnu Majah, shahih).

Adapun bagi yang belum mampu menikah, maka ada solusi alternatif yaitu berpuasa untuk meredam gejolak syahwatnya.

(2). Meninggalkan Si Dia

Jika tidak memungkinkan untuk menikahi orang yang dicintai, solusinya adalah meninggalkan pujaan hatinya sejauh-jauhnya. Menjauh dari kota tempat tinggal si dia adalah di antara obat mabuk asmara, sebagaimana sebuah perkataan :

البعيد عن العين بعيد عن القلب

Sesuatu yang jauh dari pandangan mata, akan jauh pula di hati”.

Maka hendaknya orang yang sedang mabuk cinta pergi ke daerah lain dan meninggalkan kota tempat tinggal orang yang dia cintai. Orang yang dia cintai memiliki peran penting, maka hendaknya dia menjauh darinya sehingga dia tidak lagi mendengar kabar berita si dia, tidak melihatnya , serta tidak mendengar ucapannya. Dengan demikian sedikit demi sedikit dia bisa melupakannya dan hilanglah penderitaann mabuk cinta yang dialaminya.

(3). Membayangkan Kejelekan Pujaan Hati

Dalam pandangan orang yang sedang mabuk cinta, pujaan hatinya seolah-olah tidak punya aib sama sekali. Yang tampak darinya hanya kebaikan, tanpa cela dan cacat sedikitpun. Maka termasuk obat bagi hawa nafsu yang sedang mabuk cinta adalah dengan membayangkan kejelekan yang ada pada orang yang dia cintai. Ibnu Mas’ud radhiyalllahu ‘anhu pernah berkata :

إذا أعجبت أحدكم امرأة فليذكر مناتنها

” Jika kalian kagum terhadap seorang wanita, maka ingatlah hal-hal buruk yang ada padanya “

(4). Meninggalkan Keharaman

Cinta buta yang dialami orang yang mabuk asmara ternyata sebagiannya merupakan cinta yang terlarang. Seperti mencintai wanita yang merupakan istri orang lain. Cinta seperti ini jelas merupakan perbuatan haram dan harus ditinggalkan.

Demikian pula termasuk cinta terlarang adalah mencintai sesama jenis. Ini merupakan perbuatan haram sebagaimana Allah melaknat dan membinasakan kaum Luth :

فَطَمَسْنَا أَعْيُنَهُمْ

“ lalu Kami butakan mata mereka “ (Al Qomar : 37)

فَلَمَّا جَاء أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ

Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi. “ ( Huud : 82)

فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ

Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. “ (Al Hijr : 73)

Inilah ancaman berat dan mengerikan bagi pecinta sesama jenis. Cinta yang terlarang dan merupakan keharaman yang harus ditinggalkan.

(6). Memperhatikan Akibat Buruk dari Penyakit ‘Isyq

Penyakit ‘isyq bisa mengakibatkan bahaya besar yang merusak. Mabuk cinta akan menjadikan manusia bodoh, lupa diri, dan akan mengurangi akal dan kebijaksanaannya. Mabuk cinta juga menyebabkan kegundahan, kekhawatiran, ketakutan akan perpisahan, rasa kesempitan di dunia, dan juga ancaman di akhirat.

Jika pada diri seseorang ada penyakit yang akan menyebabkan kebinasaan, maka dia pasti akan menempuh berbagai cara  mengobatinya. Demikian pula penyakit ‘isyq, ini merupakan penyakit hati yang membinasakan sehingga harus segera diobati apabila seseorang sudah terjangkiti penyakit ini.

(7). Banyak Berdoa

Bagi seorang mukmin, doa adalah senjata ampuh, obat untuk segala macam penyakit, dan solusi untuk beragam persoalan. Allah Ta’ala berfirman :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

“ Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku “ (Al Baqarah : 182)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengajarkan doa :

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِى وَمِنْ شَرِّ بَصَرِى وَمِنْ شَرِّ لِسَانِى وَمِنْ شَرِّ قَلْبِى وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّى

“ Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari kejelekan pada pendengaranku, kejelakan pada penglihatanku, kejelekan pada lisanku, kejelekan pada hatiku, serta kejelakan pada mani atau kemaluanku .“ (HR. Tirmidzi, hasan)

Doa lain yang Nabi ajarkan :

اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

“ Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina.” (HR. Muslim)

(8). Bersabar

Untuk mengobati penyakit ‘isyq memang membutuhkan kesabaran ekstra. Kesabaran hasil akhirnya adalah sesuatu yang terpuji. Pertolongan bagi seorang hamba akan senantiasa menyertai kesabarannya. Berat dan pahitnya sabar di dunia saat ini lebih baik daripada beratnya menanggung siksaan di neraka jahannam nanti.

(9). Bersungguh-Sungguh  

Dibutuhkan kesungguhan hati dalam mengobati penyakit ini. Dengan niat yang benar dan usaha yang penuh dengan kesungguhan, niscaya Allah akan beri jalan kemudahan. Allah Ta’alaberfirman :

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

Dan orang-orang yang berjihad bersunggguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami “ (Al Ankabut :69)

(10)  Berkonsultasi dengan Orang Yang Selamat dari Penyakit  ‘Isyq

Hendaknya orang yang sedang terjangkit penyakit ‘isyq berkonsultasi dengan orang yang pernah mengalami mabuk cinta dan selamat darinya. Meminta solusi dan nasihat darinya akan membantu untuk mengobati penyakit ini.

Demikianlah di antara kiat agar selamat dari bahaya mabuk cinta. Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad.

 

Penulis: dr. Adika Mianoki
Artikel: Muslim.or.id

Hakikat Cinta

Dalam bukunya, Taman Para Pecinta, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah menyebut cinta mempunyai banyak nama. Salah satunya adalah ‘mahabbah’. Kata ini memiliki beberapa makna sekaligus. ‘Mahabbah’ disebut sebagai bersih, bening, dan murni. Gigi yang putih dan indah akan dikatakan seorang Arab dengan sebutan ‘mahabbah.’ Ada juga yang menyebut ‘mahabbah’ berasal dari kata ‘habab.’ Artinya, air yang meninggi saat hujan deras. ‘Mahabbah’ pun diartikan sebagai “luapan dan gejolak hati yang berkobar karena ingin bertemu dengan yang ia cintai (kekasih)”.

Ada pula yang berpendapat bahwa ‘mahabbah’ berasal dari kata ‘hubb.’ Artinya, empat tonggak kayu yang dipancang untuk menopang sesuatu di atasnya. Contohnya guci, tempayan, dan sebagainya. Cinta pun dikatakan sebagai ‘hubb’ karena seorang pencinta sanggup menanggung beban bagi orang yang dia cintai.

Cinta menjadi media dari penciptaan. Usai diciptakan Allah SWT, Adam sendirian di surga. Konon, dia merasa kesepian. Hawa pun diciptakan untuk menemaninya. Adam dan Hawa pun turun ke bumi usai memakan buah khuldi. Dengan cintanya, mereka lantas beranak pinak. Habil, Qabil, Iqlima, dan Labuda menjadi buah cinta mereka. Lantas, mereka pun saling menikah hingga melahirkan kembali keturunan hingga sampai sanadnya kepada kita.

“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya..”(QS al-Araf [7]: 189). Said Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menjelaskan, pada dasarnya pertemuan suami istri bersifat menyenangkan dan menenteramkan. Kesenangan ini pun menyelimuti rahim tempat tumbuhnya embrio sehingga menghasilkan anak manusia yang berharga. Anak ini pantas menjadi generasi muda untuk mengemban warisan peradaban manusia.

Pertemuan ini pun disebut bukan semata-mata mendapatkan kenikmatan dan memenuhi keinginan. Bukan untuk menciptakan perpecahan dan permusuhan. Percintaan ini memiliki misi yang suci untuk membangun peradaban. Sebagaimana kelanjutan ayat di atas “.. Maka, setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah ia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian, tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata, ‘Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur’.”( QS al-Araf [7]: 189).

Kalimat ini merupakan ungkapan serasi untuk menggambarkan kondisi hubungan yang berlangsung dengan perasaan riang. Juga untuk menggambarkan kelembutan aktivitas mereka. Tampaklah bersatunya perasaan mereka, bukan sekadar pertemuan badan. Ungkapan ini pun menggambarkan manusia dengan gambaran kemanusiaannya dalam melakukan hubungan dan untuk membedakannya dari gambaran kebinatangan yang kasar.

Dalam ayat lainnya, Allah SWT pun menyeru kepada manusia mengenai tujuan penciptaan. Lewat cinta laki-laki dan perempuan, manusia pun menjadi berbangsa dan bersuku-suku. Bukan ras, warna kulit, bahasa, bangsa, dan sukunya itu yang membuat mereka mulia, melainkan ketakwaannya kepada Allah SWT.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat [49]: 13).

Pada era di mana kebencian begitu mudah diumbar seperti sekarang, sudah selayaknya kita kembali merenung tentang hakikat kita sebagai manusia. Apakah kita diciptakan  lewat kebencian atau kasih sayang?

REPUBLIKA

 

 

————————————
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Cinta Sejati Kita kepada Rasulullah SAW

Mengimani Rasulullah SAW adalah bagian dari rukun iman yang mesti dimiliki oleh setiap mukmin. Keimanan tersebut salah satunya diwujudkan dalam bentuk kecintaan kita kepada Nabi Muhammad selaku utusan Allah yang terakhir.

Pertanyaannya, bagaimana caranya mencintai Rasulullah SAW dengan benar? Persoalan itulah yang berusaha dijawab oleh Dr Sofyan bin Fuad Baswedan dalam kajian Islam yang digelar oleh Majelis Taklim Sidra Masjid al-Hidayah Kompleks Bank Indonesia (BI) Pancoran, Jakarta Selatan, Sabtu (13/5) lalu.

Dalam kesempatan tersebut, mubaligh asal Surakarta, Jawa Tengah, itu menuturkan, cinta kepada Rasulullah antara lain dapat dibuktikan dengan menaati perintah agama, termasuk sunah-sunah yang dibawakan oleh beliau SAW. Selain itu, kecintaan kepada Rasulullah juga dapat ditunjukkan dengan cara menjauhi berbagai perkara yang dilarang oleh agama.

Kendati demikian, kata dia, dalam praktiknya tidak semua Muslim mampu menjalankan perintah agama secara menyeluruh. Sebagian dari mereka ada yang masih melalaikan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya. Sebagian dari mereka ada pula yang melanggar larangan-larangan agama.

“Ketika seseorang meninggalkan perintah agama yang sifatnya wajib, dia merasa berdosa. Begitu pula ketika melanggar apa yang dilarang agama, dia merasa berdosa. Inilah bentuk cinta paling minimal dari seorang Muslim kepada Nabi Muhammad SAW,” ujar Sofyan.

Seseorang yang mengaku mencintai Rasullah SAW, kata dia, harus meyakini segala perkara gaib dalam Islam. Beberapa contoh perkara gaib itu antara lain turunnya wahyu dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, peristiwa Isra dan Mi’raj, datangnya hari kiamat, serta keberadaan surga dan neraka.

Dalam beberapa riwayat disebutkan, ketika Rasullah SAW menceritakan kepada penduduk Makkah tentang peristiwa Isra dan Mi’raj, banyak orang kafir di kota itu yang mengolok-olok nabi. Tidak hanya itu, di antara orang-orang yang baru memeluk Islam pada waktu itu bahkan ada yang menjadi murtad kembali, lantaran tidak percaya dengan mukjizat Rasulullah SAW tersebut.

Mereka menilai, baik peristiwa Isra (perjalanan Nabi SAW dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis) maupun Mi’raj (perjalanan Nabi SAW dari Baitul Maqdis ke Sidratul Muntaha), sangatlah tidak masuk akal. Pasalnya, jarak dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis di Palestina mencapai 1.500 kilometer, sehingga perjananan antara keduanya pada masa itu membutuhkan waktu lebih kurang satu bulan. Sementara, Rasulullah SAW mampu menuntaskan perjalanan tersebut hanya dalam waktu satu malam.

Apalagi dengan perjalanan menuju Sidratul Muntaha yang lokasinya berada di atas langit ketujuh. Kaum kafir Makkah dan orang-orang yang lemah iman menganggap peristiwa itu sebagai perkara yang mustahil untuk dicerna logika.

Namun, ketika kabar tentang Isra dan Mi’raj sampai ke telinga Abu Bakar RA, dia langsung menyatakan keyakinannya kepada Rasulullah. Tidak sekadar memercayai, Abu Bakar bahkan juga membenarkan seluruh peristiwa yang dialami oleh Nabi SAW tersebut, sehingga dia pun diberi gelar ash-Shiddiq (yang berkata ‘benar’).

“(Apa yang ditunjukkan oleh Abu Bakar) itu adalah sikap orang yang betul-betul memahami hakikat cinta kepada Nabi SAW. Karena konsekuensi dari iman kepada Rasulullah itu adalah memercayai apa pun yang beliau bawa, termasuk perkara-perkara gaib yang bahkan sulit dijangkau oleh akal kita sekalipun,” kata Sofyan.

Selanjutnya, cinta kepada Rasulullah dapat diwujudkan dengan mendahulukan syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW di atas semua ajaran yang ada di dunia ini. Dengan kata lain, setiap Muslim yang mengaku mencintai Rasulullah sudah seharusnya menjalankan perintah agama sesuai dengan sunah atau tuntunan yang beliau SAW ajarkan. Menurut Sofyan, seseorang yang menyelisihi sunah —atau bahkan merekayasa ritual peribadatan tertentu di dalam Islam— pada hakikatnya belum mampu menunjukkan cinta yang sejati kepada Nabi SAW.

Pada hari kiamat nanti, orang-orang yang melakukan bid’ah dalam urusan agama akan kecewa berat. Tak hanya itu, Nabi SAW pun akan kecewa berat dengan mereka. Dalam satu hadis disebutkan, “Sesungguhnya manusia pertama yang diberi pakaian pada hari kiamat ialah Ibrahim AS. Ingatlah bahwa nanti akan ada sekelompok umatku yang dihalau ke sebelah kiri. Maka kutanyakan: ‘Yaa Rabbi, bukankah mereka adalah sahabatku?’ Akan tetapi jawabannya adalah: ‘Kamu tidak tahu tentang apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu.” (Hadis muttafaq alaih).

Majelis Taklim Sidra Masjid al-Hidayah Pancoran rutin mengadakan kajian Islam sejak 2016. Setiap harinya, pemateri atau penceramah yang dihadirkan di majelis itu selalu berganti-ganti, dengan tema kajian yang cukup variatif. “Mulai dari fikih, akidah, akhlak, hingga tafsir,” ungkap salah satu jamaah MT Sidra, Fauzan Zaphran Hafiz.

 

REPUBLIKA