Kebolehan Tidak Shalat Jumat Selama Penyebaran Covid-19 Masih Parah: Kata Quraish Shihab, Mufti Singapura, dan MUI

Prof. Quraish Shihab, mufasir kondang Indonesia ikut memberikan pandangannya terkait Corona dan anjuran melaksanakan shalat jumat serta shalat berjamaah di rumah terlebih dahulu. Kita tahu, beberapa hari belakangan, sejak jumlah pengidap virus yang disebut Covid-19 ini semakin bertambah, di berbagai belahan dunia para pemuka agama telah memutuskan untuk menganjurkan untuk menghentikan sementara shalat jumat agar penularan tidak makin parah. Diantara negara yang melakukan hal ini lebih dahulu adalah Singapura. Sementara, Arab Saudi sudah hampir satu bulan menutup kedatangan jamaah umrah dan membatasi kegiatan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Terakhir, Arab Saudi ikut melakukan lockdown (penutupan jalur keluar masuk wilayah) negara sementara waktu. Begitu juga di Mesir dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya. Dewan Fatwa Mesir juga telah menfatwakan anjuran untuk melaksanakan shalat jumat di rumah bahkan larangan bagi yang sudah positif terinfeksi untuk datang ke tempat-tempat umum.

Prof. Quraish Shihab, selaku mufasir ternama di Indonesia ikut bersuara soal kebolehan tidak shalat jumat dalam kondisi seperti ini. Pernyataan sepanjang 1 menit ini disampaikan beliau dalam wawancara dengan putri beliau, Najwa Shihab yang diunggah di akun Instagram pribadinya. Najwa Shihab yang juga founder Narasi.tv menyebutkan dalam caption kalau video selengkapnya akan diunggah juga.

“Nah, sekarang virus Corona. Semua sepakat menyatakan bahwa ia membahayakan jiwa manusia. Maka, ulama-ulama berfatwa tidak dianjurkan untuk mendatangi shalat-shalat jamaah bahkan shalat jumat. Dulu, pada zaman sahabat-sahabat Nabi Saw. pernah terjadi hujan lebat sehingga jalanan menjadi becek. Azan ketika itu dirubah redaksinya, pada kalimat “Hayya ‘ala as-Shalah”, kemudian diganti menjadi “shalatlah di rumah-rumah kalian” (Shollu fii Rihaalikum). Itu tidak berkaitan dengan berbahaya, tapi berkaitan dengan kesehatan dan kemudahan. Itu pandangan agama.”

Sementara itu, ketua MUI Jakarta K.H. Munahar Muchtar ikut menyampaikan pendapat yang senada. « Menangguhkan shalat jumat sementara selama dua minggu sudah sesuai dengan Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020 ». Disampaikan bersama dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menyampaikan bahwa semua kegiatan rumah peribadatan ditunda selama dua pekan. Konsekuensinya bagi umat Islam, shalat Jumat ditiadakan selama dua pekan dan diganti dengan shalat zhuhur di rumah masing-masing. Keputusan ini diambil bersama dnegan Forkopimda dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Langkah ini diambil sebagai langkah bersama melindungi saudara sebangsa dengan meminimalisir semua kemungkinan penularan.

K.H. Munahar Muchtar menyampaikan, “atas nama MUI DKI Jakarta, pada umat Islam, pada para tokoh, para ulama agar supaya menunda setiap kegiatan yang sifatnya berjamaah baik di masjid, majlis taklim, dan tempat-tempat lainnya dalam rangka melindungi warga Jakarta”.

Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) DKI Jakarta H. Makmum Al-Ayyubi di tempat yang sama meminta agar seluruh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid untuk merujuk fatwa MUI tersebut dengan menunda dulu semua kegiatan yang bersifat berjamaah di masjid, majlis taklim dan tempat-tempat lainnya.

Mufti Singapura Kritik Muslim yang Bilang “Hanya Takut Allah, Tidak Perlu Takut Virus”

Di Singapura, Mufti Singapura Dr. Naziruddin Mohd Nasir menyampaikan pesan yang mengkritik pandangan sebagian muslim yang mengatakan tidak perlu takut dengan adanya Covid-19, sehingga tidak masalah kita tetap mengadakan kegiatan keagamaan. Ia mengatakan seperti disampaikan di unggahan akun Instagram resmi Kantor Kemuftian Singapura,

I hear that some foreign religion organisers say that fear God more than viruses and therefore they continue with gatherings. This is not the time to be senseless and irresponsible. I would like to be absolutely clear. We fear Gof by being responsible human beings. We fear God by not causing harm to others. We do not fear God by being reckless and by ignoring safety precautions.

“Saya mendengar beberapa pemuka agama di luar negeri ada yang bilang kalau takut kepada Tuhan lebih utama dibanding takut kepada virus, dan selanjutnya mereka tetap meneruskan acara keagamaannya. Ini bukan saatnya jadi tidak peka dan tidak bertanggung jawab. Saya harus bersikap yang tegas soal ini. Kami takut Allah dengan menjadi manusia yang bertanggung jawab. Kami takut Allah dengan tidak membahayakan orang lain. Kami jadi tidak takut Allah ketika tidak berpikir panjang dan malah tidak berjaga-jaga dari dampak buruk.”

Seminggu sebelumnya, Singapura telah lebih dahulu memutuskan untuk menghentikan shalat jumat sementara dua minggu kedepan. Ini merupakan respon atas munculnya dua pasien positif Corona yang sempat mengikuti kegiatan Jamaah Tabligh di Malaysia. beberapa hari sebelumnya.

BINCANG SYARIAH

MUI: Vaksin Covid-19 Sivonac Suci dan Halal

 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumumkan tentang hasil rapat tim auditor vaksin Covid-19 Sivonac untuk Virus Corona. Hasilnya menyatakan bahwa hukum vaksin Covid-19 buatan Sinovac China adalah suci dan halal.

Keputusan tersebut adalah hasil dari sidang pleno Komisi Fatwa MUI pada Jumat (8/1). Sidang tersebut membahas tentang aspek syar’i vaksin Sinovac. Sidang diawali dengan pemaparan Tim Auditor MUI dan dilanjutkan dengan diskusi untuk menentukan kehalalan vaksin tersebut.

Komisi Fatwa MUI kemudian menyatakan bahwa hukum vaksin Covid-19 yang diproduksi produsen asal China, Sinovac. Penyampaian disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa yakni Asrorun Niam Sholeh.

Ia menjelaskan, “komisi Fatwa sepakat vaksin Covid-19 yang diproduksi Sinovac China hukumnya suci dan halal. Ini yang terkait aspek kehalalan.”

Untuk ketentuan penggunaan, Asrorun menyatakan bahwa MUI masih menunggu aspek keamanan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Maka, laporan yang dipaparkan MUI tentang produk vaksin Sinovac belum final sebab menunggu hasil final BPOM.

Fatwa utuhnya akan disampaikan setelah BPOM menyampaikan mengenai aspek keamanan untuk digunakan, apakah itu aman atau tidak, maka fatwa akan melihat aspek yang telah diuji oleh BPOM.

MUI menyatakan bahwa aspek halal dan thoyib adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Keamanan produk vaksin pun menentukan hukum boleh tidaknya untuk menggunakan.

Setelah dilakukan diskusi panjang, rapat Komisi Fatwa pun menyepakati bahwa vaksin Covid-19 produksi Sinovac hukumnya suci dan halal. (Baca: Dalil Kebolehan Menggunakan Vaksin Covid-19 Menurut Dewan Fatwa Uni Emirat Arab)

Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan terhadap suatu penyakit. Pemberian vaksin (imunisasi) dilakukan untuk mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi penyebab penyakit-penyakit tertentu.

Pemberian vaksin disebut vaksinasi. Vaksinasi merupakan metode paling efektif untuk mencegah penyakit menular. Kekebalan karena vaksinasi terjadi menyeluruh di dunia sebagian besar bertanggung jawab atas pemberantasan cacar dan pembatasan penyakit seperti polio, campak, dan tetanus.

Efektivitas vaksinasi telah dipelajari dan diverifikasi secara luas, misalnya vaksin terbukti efektif termasuk vaksin influenza, vaksin HPV, dan vaksin cacar air. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa vaksin berizin saat ini tersedia untuk dua puluh lima infeksi yang dapat dicegah.[]

BINCANG SYARIAH

Kapan Pandemi Ini Berakhir?

Pertanyaan “kapan pandemi berakhir” mungkin salah satu hal yang selalu terngiang dalam benak kita. Sejak awal pandemi, seringkali kami mendapatkan pertanyaan semacam ini, entah itu ibu-ibu yang khawatir bagaimanakah anaknya bersekolah; atau para pekerja (pelaku usaha) sektor ekonomi yang khawatir dengan dampak pandemi; atau bahkan rekan sejawat yang juga mempertanyakan sampai kapan kita berada dalam kondisi semacam ini (memakai APD lengkap yang sangat merepotkan).

Berbagai analisis dan prediksi dikemukakan oleh para ahli di bidang ini. Berbagai macam upaya dilakukan untuk menghentikan pandemi ini. Meskipun demikian, sampai hampir tujuh bulan kita melewati hari demi hari pandemi ini, tampaknya belum ada tanda-tanda kapan pandemi ini berakhir.

Bahkan sebaliknya, kita dapati jumlah kasus yang semakin meningkat, jumlah kematian yang semakin bertambah dari hari ke hari, termasuk kematian para tenaga medis, baik itu dokter umum, dokter spesialis, guru besar (profesor), perawat, dan yang lainnya. 

Sebagai seorang muslim, yang beriman kepada Allah Ta’ala, sudah selayaknya kita selalu introspeksi diri, mengapa musibah ini terus berlangsung? Setidaknya, ada dua hal yang patut kita jadikan sebagai bahan renungan dalam kesempatan kali ini:

Setiap musibah adalah karena dosa dan kesalahan kita, seberapa sungguh-sungguh kita istighfar dan taubat?

Allah Ta’ala berfirman,

وَما أَصابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِما كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ

“Dan segala musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syuuraa: 30)

Betul, ilmu pengetahuan (sains) menjelaskan pandemi ini disebabkan oleh virus (SARS-CoV-2) dengan karakter tertentu yang muncul secara alamiah (natural evolution). Kemudian menular dengan cara tertentu pula (droplet, airborne, dan seterusnya). Ini adalah penjelasan dari sisi sains (biologi).

Akan tetapi, kita sebagai orang yang beriman, harus merenungi musibah ini berdasarkan firman Allah Ta’ala di atas. Bahwa setiap musibah yang Allah Ta’ala turunkan, disebabkan oleh dosa dan kesalahan kita sendiri. Sejak awal pandemi, seberapa kesungguhan kita untuk istighfar dan taubat atas dosa dan kesalahan kita sebelumnya? Atau justru kita semakin menambah maksiat kepada Allah Ta’ala di tengah-tengah situasi pandemi ini? 

Oleh karena itu, satu nasihat penting yang hendaknya kita selalu ingat adalah ungkapan,

ما نزل بلاء إلا بذنب ولارفع إلا بتوبة

“Tidaklah musibah itu turun (terjadi), kecuali karena dosa. Dan tidaklah akan diangkat, kecuali dengan taubat.”  

Mengapa kita menunda-nunda taubat di tengah musibah semacam ini, padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk segera bertaubat? Allah Ta’ala mengatakan,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nuur [24]: 31)

Sekali lagi, hendaknya kita renungkan dengan sungguh-sungguh, seberapa serius kita bertaubat kepada Allah Ta’ala sejak awal pandemi?

Jangan-jangan kita lebih bertawakkal kepada sebab (usaha lahiriyyah), bukan kepada Allah Ta’ala?

Hal lain yang juga patut kita renungkan adalah, jangan-jangan selama ini kita lebih bersandar kepada sebab (usaha) yang kita lakukan secara lahiriyyah? Dan kita melupakan pencipta sebab sesungguhnya, yaitu Allah Ta’ala? 

Kita lebih bersandar kepada usaha kita sendiri, semisal cuci tangan, memakai masker, menjaga jarak (social dan physical distancing), dan usaha-usaha sejenis itu. Lalu kita pun merasa aman, kemudian lupa menyandarkan hati kita kepada Allah Ta’ala. 

Padahal, Allah adalah Dzat Yang Maha kuasa, Allah-lah yang mentakdirkan apakah sebab atau usaha kita itu akan bisa mendatangkan manfaat yang kita inginkan? Inilah dua unsur tawakkal, yaitu (1) melakukan usaha lahiriyyah dan (2) menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala. Jika dia hanya melakukan nomor 1, tanpa nomor 2, berarti ada cacat dalam tauhidnya. Adapun jika hanya melakukan nomor 2, tanpa nomor 1, berarti dia telah kehilangan akal sehat.

Ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya, lalu tawakkal kepada Allah ataukah saya lepas saja sambil bertawakkal kepada-Nya?” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

“Ikatlah dulu untamu itu, baru Engkau bertawakal!” (HR. At-Tirmidzi no. 2517, hasan)

Cuci tangan, jaga jarak, dan memakai masker itu bagaikan “mengikat unta” dalam hadits di atas. Namun, jangan lupakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikutnya, yaitu,

وَتَوَكَّلْ

“Dan bertawakkal-lah!”

Artinya, sandarkanlah dirimu kepada Allah Ta’ala.

Orang yang hanya bersandar sebab (usaha lahiriyyah), kemudian lupa menyerahkan dirinya kepada Allah Ta’ala, adalah orang-orang yang kurang sempurna tauhidnya. Tauhidnya telah ternoda, karena dia lebih bersandar kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah Ta’ala. 

Sekali lagi, di tengah-tengah pandemi ini, kita pun merenungkan kembali, sudah benarkah tawakkal kita kepada Allah Ta’ala?

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Tetap Perhatikan Protokol Kesehatan Covid19

Wabah covid19 memang membuat beberapa pejabat pusing, memilih antara kesehatan atau ekonomi. Beberapa pejabat ada yang “defense mechanisms” nya dengan menolak fakta-fakta covid19, seperti presiden brazil yang tidak mau memakai masker, akhrinya presiden brazil positif covid19

Demikian juga keadaan rakyatnya sekarang yang angka kematian sudah di atas 100.000

Beberapa pejabat bisa berpikir jernih dan bijak, tetap menggerakkan ekonomi dengan memperhatikan protokol kesehatan

Silahkan anda beraktifitas terutama untuk mencari nafkah utama dan tetap memperhatikan protokol kesehatan

Jangan layani debat dan pedulikan pecinta konspriasi yang ujung-ujungnya meremehkan protokol kesehatan bahkan menghina dan menuduh tenaga kesehatan dengan tuduhan membisniskan covid19 dll

Fakta dan kenyataan covid19 semakin nyata dengan bertambahnya kasus, banyak korban meninggal dari pejabat, artis bahkan keluarga ustadz dll

Semoga Indonesia baik-baik saja. Aamiin

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen (Petugas Lab Covid19)

Artikel www.muslimafiyah.com

Jamaah Haji tak Ada yang Terpapar Covid-19

 Departemen Kesehatan Arab Saudi mengumumkan pada hari Jumat kemarin bahwa tidak ada penyakit yang mempengaruhi kesehatan masyarakat telah dicatat di antara jamaah haji. Kondisi kesehatan mereka secara keseluruhan baik-baik saja.

Kementerian kesehatan juga menekankan bahwa tidak ada kasus infeksi coronavirus yang dilaporkan di antara para peziarah, seperti dilansir Saudi Press Agency.

Kementerian tersebut juga menyatakan telah mengerahkan sebanyak 8.000 petugasp, termasuk praktisi kesehatan dan staf pendukung untuk melayani para peziarah. Mereka pun telah menyiapkan enam rumah sakit, 51 klinik kesehatan dan 200 ambulan untuk menyediakan layanan kesehatan bagi para peziarah di Mekah dan tempat-tempat suci.

Dan dii lapangan ada 62 tim yang bekerja untuk melakukan pemeriksaan kesehatan, tindak lanjut, dan pengawasan medis preventif kesehaatan jamaah sepanjang waktu.

IHRAM

Menyegerakan Zakat Mal di Tengah Pandemi Corona (Bag. 2)

Baca penjelasan sebelumnya Menyegerakan Zakat Mal di Tengah Pandemi Corona (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Bagaimana jika muzakki (orang yang menunaikan zakat) yang menyegerakan zakat malnya berubah menjadi miskin sebelum tiba waktu wajib zakat mal (haul)? [1]

Misalnya, waktu wajib zakatnya (haul) bulan Muharram, lalu disegerakan zakatnya pada bulan Syawwal. Saat Syawwal, muzakki tersebut kaya sehingga ia menjadi orang yang wajib berzakat dan hartanya telah mencapai nishob. Oleh karena itu, ia menyegerakan zakat malnya. Lalu usahanya bangkrut sehingga ia berubah menjadi miskin sebelum tiba waktu wajib zakat mal (Muharram).

Dalam kasus ini, pendapat terkuat adalah ia tidak boleh mengambil kembali zakat yang disegerakan dari tangan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) dan telah menerimanya, meskipun ia berubah jadi miskin dan sangat membutuhkan harta. Hal ini karena ia menyegerakan zakat malnya atas kehendak sendiri tanpa paksaan dan zakatnya telah berpindah kepemilikan kepada mustahiq penerimanya.  [2]

Ulama Syafi’iyyah rahimahullahu ta’ala menjelaskan bahwa pada kasus di atas, harta yang telah dikeluarkan dengan niat zakat mal yang disegerakan tersebut bukanlah dihitung sebagai zakat mal [3], namun termasuk sedekah sunnah yang diberi pahala pelakunya . [4]

Bagaimana jika seorang mustahiq yang telah menerima zakat mal yang disegerakan itu berubah jadi bukan mustahiq lagi sebelum tiba saat haul? [5]

Contohnya setahun sebelum haul tiba, seseorang berstatus berhak menerima zakat mal (mustahiq) telah menerima zakat mal yang disegerakan. Lalu saat tiba masa haul, ia berubah menjadi bukan mustahiq lagi, karena murtad -na’udzu billah-, mati atau jadi kaya. Maka bagaimana status zakat yang disegerakan tersebut?

Jawaban:

Zakatnya sah, karena muzakki menunaikan zakat pada waktu yang diizinkan dalam syari’at dan diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat ketika itu. Maka tidak boleh dinyatakan batal kecuali dengan dalil, dan tidak ada dalil yang menyatakan batalnya. Jadi, yang dijadikan sebagai patokan adalah kondisi penerima zakat yang disegerakan pada saat penunaian.

Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dijadikan patokan pada kasus di atas adalah kondisi penerima zakat saat akhir haul (tibanya waktu wajib zakat). Sehingga pada kasus di atas, zakat tersebut tidaklah sah, dan muzakki wajib menunaikan zakat malnya kembali. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam kitab Al-Fiqih Al-Manhaji ‘ala Madzhabiil Imam Asy-Syafi’I, 2: 56.

Namun, pendapat terkuat adalah yang dijadikan patokan adalah kondisi penerima zakat saat penunaian zakat yang disegerakan, dan bukan saat akhir haul (tibanya waktu wajib zakat). Oleh karena itu, pada kasus di atas, zakat tersebut hukumnya sah.

Hukum menunaikan zakat mal dengan bertahap dan tidak sekaligus [6]

Terkadang seorang muzakki (orang yang menunaikan zakat) terdorong menunaikan zakat malnya tidak dalam satu kali penunaian sekaligus, namun secara bertahap. Hal ini karena tuntutan maslahat syar’i, misalnya kondisi faqir miskin di tempatnya menuntut zakat malnya dikeluarkan secara bertahap.

Hukum menunaikan zakat mal dengan bertahap ada dua keadaan, yaitu:

Keadaan Pertama:

Menunaikan zakat mal dengan bertahap sebelum waktu wajibnya (sebelum tiba haulnya), maka ini diperbolehkan menurut jumhur ulama.

Hakikatnya adalah menyegerakan zakat sebelum sempurna haul nya [7] , misal :

Muzakki memberikan zakat mal kepada sebuah keluarga miskin 10 juta per bulan dari awal tahun (awal haul) selama setahun.

Dan pada akhir tahun Qomariyyah/Hijriyyah (akhir haul), jika total zakatnya lebih dari 120 juta, maka muzakki masih ada kewajiban menunaikan zakat mal yang menjadi kekurangannya, karena 10 juta x 12 bulan hanya 120 juta.

Namun jika ternyata total zakatnya adalah kurang dari 120 juta, maka ia hitung kelebihannya sebagai shadaqah.

Keadaan Kedua:

Menunaikan zakat mal dengan bertahap setelah waktu wajibnya (setelah tiba haulnya), ini termasuk menunda penunaian zakat mal dan hukumnya tidak diperbolehkan kecuali jika ada udzur Syar’i atau ada maslahat. Hal ini karena harta zakat itu bukan lagi menjadi milik muzakki semenjak tibanya waktu wajib mengeluarkan zakat (haul).

Perlu diketahui bahwa hukum asal penunaian zakat mal adalah wajib segera ditunaikan menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama rahimahumullah), meski Imam Abu Hanifah rahimahullah tidak sependapat. [8]

Ulama rahimahumullah mengecualikan tiga keadaan, yang dalam tiga keadaan [9] tersebut, penunaian zakat mal boleh ditunda, yaitu :

  1. Saat ada halangan dalam penunaian, misal: belum adanya harta di tangan orang yang mengeluarkan zakat mal (muzakki), atau benar-benar tidak ada orang yang berhak menerima zakat mal (mustahiq) saat hendak disalurkan.

Oleh karena itulah ulama menjelaskan bahwa jika masih bisa mendapatkan info adanya mustahiq dari orang/lembaga terpercaya dan amanah, maka tidak dibolehkan bermudah-mudahan beralasan tidak didapatkannya orang yang berhak menerima zakat mal (mustahiq).

  1. Penunaian zakat mal menimbulkan bahaya yang menimpa muzakki, misal: khawatir jika ditunaikan sendiri, lalu datang petugas zakat resmi dari pihak pemerintah untuk mengambil zakat mal, sehingga ia harus mengeluarkan zakat mal dua kali. Atau dia khawatirkan dirinya atau hartanya, karena ulah penjahat yang mengetahui banyaknya hartanya (karena jumlah harta zakat yang dia keluarkan).
  1. Adanya kebutuhan atau maslahat untuk ditundanya penunaian zakat mal, misal: untuk diberikan kepada famili yang miskin, atau orang miskin yang shalih, atau orang miskin yang menjadi tetangganya, atau kepada orang yang lebih membutuhkan dari penerima zakat mal lainnya,

Ulama mempersyaratkan penundaan karena udzur/alasan yang bisa diterima tersebut dalam jangka waktu yang pendek, misalnya disebabkan udzur yang bisa diterima, zakat mal boleh ditunda sehari atau dua hari. [9]

Oleh karena itu ulama menjelaskan bahwa menunda penunaian zakat mal karena alasan menunggu datangnya bulan Ramadhan yang akan datang 4 bulan lagi demi mendapatkan keutamaan beramal di bulan tersebut, maka hal ini tidak diperbolehkan . [10]

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

MUSLIMorid

MUI Bahas Pola Ibadah Masa Pemberlakuan New Normal

Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah membahas pola penyelenggaraan ibadah maupun aktivitas keagamaan di era new normal nanti.

MUI juga melakukan evaluasi terhadap efektivitas aturan pemerintah di masa pandemi selama ini. Setelah itu MUI akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. “Kita tidak mau terburu-buru,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang fatwa, KH Sholahuddin Al Aiyub, di Jakarta, Rabu (27/5).

Menurut dia, keselamatan jiwa masyarakat harus diutamakan daripada kepentingan-kepentingan yang lain, bahkan kepentingan masalah keagamaan sekalipun. Ia juga mengingatkan, dalam hal masalah keagamaan itu ada alternatif lain yaitu alternatif rukhsoh.

“Sementara kalau untuk menjaga jiwa masyarakat atau umat Islam itu tidak ada alternatif lain. Maka dalam hal ini, MUI ingin mendahulukan itu (perlindungan jiwa masyarakat). Kesimpulan seperti apa, saat ini masih digodok,” katanya.

Menurut Sholahuddin, perlu pendekatan yang lebih mikro dan bukan secara nasional untuk memastikan apakah suatu daerah bisa melaksanakan aktivitas keagamaan di rumah ibadah pada era new normal nanti. “Kondisi daerahnya seperti apa, tingkat penyebarannya seperti apa, karena ini variabel yang penting,” tuturnya.

Lebih lanjut, dia mengaku heran dengan kurva kasus Covid-19 yang masih menunjukkan tingginya penularan. Padahal menurutnya tingkat kepatuhan dan pemahaman masyarakat terhadap protokol medis sudah cukup bagus.

Contohnya pada saat melaksanakan sholat Idul Fitri akhir pekan lalu. “Kita mendapat laporan, aspek protokol kesehatan menjadi pertimbangan utama para jamaah untuk melakukan sholat Id,” ujar dia.

Sholahuddin menjelaskan, banyak kalangan Muslim saat itu yang tidak menggelar sholat Id dalam kapasitas yang besar. Mereka menggelar shalat Id di lingkup yang kecil seperti di area perumahan dengan membagi per blok atau klaster.

Dalam kondisi demikian, Sholahuddin mengakui, memang seharusnya ada dampak terhadap kurva kasus Covid-19. Tetapi nyatanya, masih belum berdampak pada penurunan grafik penularan Covid-19. Bahkan masih tinggi. Karena itu dia mengatakan, MUI ingin mengkajinya secara mendalam.

Menurut dia, variabel kepatuhan protokol medis sudah bagus tetapi kok penularan masih tinggi, ini sebenarnya karena apa. Informasi-informasi ini akan menjadi pertimbangan yang penting untuk merumuskan rekomendasi MUI kepada pemerintah. (Azhar/ Nashih)

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Menerapkan Cek-Ricek dalam Menyikapi Konspirasi Wabah Covid 19

Seorang Muslim sebaiknya mendahulukan sikap cek-ricek dan yaitu mencari informasi kebenaran suatu berita sebelum mengomentari atau bertindak. Belakangan ini negara kita tercinta dihebohkan dengan berita bahwa wabah korona ini adalah konspirasi yaitu wabah ini tidak ada dan hanya settingan. Kalaupun ada itu hanya wabah flu biasa. Atau berita bahwa wabah covid19 ini adalah konspirasi tenaga medis yang bersandiwara dan membisniskan wabah ini.

Bagaimana cara kita mengetahui apakah berita ini benar? Caranya adalah dengan tabayyun dan meneliti terlebih dahulu. Sebagaimana firman Allah,

فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian. [al-Hujurat/49:6].

Apakah covid19 itu konspirasi atau tidak? cara paling mudah untuk melakukan cek-ricek atau tabayun adalah datang ke RS, terutama RS rujukan covid19. Miisalnya RS Persahabatan di Jakarta atau umumnya setiap daerah pasti memiliki rumah sakit rujukan covid19. Perlu dibedakan dengan tepat isolasi pasien covid19 yang bergejala ringan atau OTB semisal wisma atlit di jakarta. Umumnya pasien isolasi di wisma atlit gejala mereka ringan.

Ketika berada di rumah sakit rujukan covid19, silahkan melihat langsung bagaimanan penanganan pasien covid di RS rujukan. Keluarga pasien covid19 masih ada di sana menjaga dan menunggu pasien yang terkena covid19, bisa ditanyakan dan cek-ricek kepada mereka.

Atau silahkan bertanya kepada tenaga medis dari keluarga anda. Kami rasa setiap orang di keluarga besarnya umumnya ada tenaga medis. Tenaga medis adalah pelaku langsung dan orang yang langsung terjun ke lapangan, mereka akan tahu hal ini. Tenaga medis di dunia ini Indonesia jumlahnya sangat banyak mencapai jutaan, apakah mereka benar-benar sepakat untuk sandiwara melakukan konspirasi atau tidak. Silahkan ditanyakan.

Hal ini lebih baik daripada menerima informasi dari internet dan sosial media atau bahkan hanya berdebat di sosial media saja

Selain itu, mengatakan bahwa wabah covid19 ini adalah konspirasi dan merupakan sandiwara para tenaga medis adalah bentuk tuduhan. Kaidah dalam islam adalah apabila ada yang menuduh, maka ia perlu mendatangkan bukti atas tuduhan tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

البَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي, وَالْيَمِيْنُ عَلَى الْمُنْكِرِ

Bukti itu harus didatangkan oleh orang yang menuduh, dan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari tunduhan itu. [HR. Baihaqi]

Imam An-Nawawi menjelaskan hadits ini, beliau berkata,

ففيه أنه لا يُقبَل قول إنسان فيما يدعيه بمجرد دعواه، بل يحتاج إلى بينة، أو تصديق المدَّعَى عليه

“Hadits ini menjelaskan bahwa tidak semua perkataan manusia itu diterima hanya karena sekedar mengklaim/menuduh, tetapi butuh terhadap bukti atau pembenaran dari yang dituduh.” [Syarh Muslim 4/12]

Mendatangkan bukti adalah sikap bijak, karena apabila semua tuduhan dibenarkan, maka manusia akan mudah menuduh orang lain bahkan mengklaim harta dan darah orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لو يُعْطَى الناسُ بدعواهُم لادّعَى قومٌ دماءَ قومٍ وأموالهُم ، ولكنّ البيّنَة على المُدّعِي ، واليمينُ على من أنكرَ حديث حسن رواه البيهقي وغيره هكذا وبعضه في الصحيحين

“Jika semua orang diberi hak (hanya) dengan dakwaan (klaim) mereka (semata), niscaya (akan) banyak orang yang mendakwakan (mengklaim) harta orang lain dan darah-darah mereka. Namun, bukti wajib didatangkan oleh pendakwa (pengklaim), dan sumpah harus diucapkan oleh orang yang mengingkari (tidak mengaku)”. [HR. Al-Baihaqi]

Semoga kita bisa lebih bijak menyikapi

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57037-menerapkan-cek-ricek-dalam-menyikapi-konspirasi-wabah-covid-19.html

Tidak Akan Nyambung Dilayani Diskusi, Yuk Fokus Edukasi Covid 19

Hari ini kami pulang dari lab covid 19 malam,  shalat dijamak takhir isya & magrib karena baru keluar lab setelah isya. Kami pakai  APD lengkap level 3 memeriksakan sampel swab, melakukan ekstraksi RNA virus covid, lalu dilanjutkan pemeriksaan RT-PCR

Lalu tiba-tiba ada yang menuduh pemeriksaan yang kami lakukan ini dengan tuduhan:

1. Hanya settingan

(respon kami: padahal jelas kami periksa virus, BUKAN bakteri ya, sebagaimana hoax WA yang menyebar, mau lihat bakteri dengan mikroskop sederhana juga bisa, jadi bisa jauh beda bakteri dan virus)

2. Pemeriksaan swab ini maen-maen saja, pepaya dan kambing diswab hasilnya positif

(Respon kami: Di lab kami banyak yang negatif juga, jelas bisa dibedakan antara negatif dan positif dengan RT-PCR & genome sequencing )

3. Pemeriksaan di lab tidak dimurnikan dulu genomenya

(Respon kami: genomenya harus dimurnikan dulu dong, baru diperiksa, kita juga kritis berpikir, langkah-langkah pemurnian ada beberapa langkah dan prinsip, kit-nya juga berbagai merk dan berbagai prinsip kerja, kami sudah coba beberapa merk kit)

Untuk paham itu semua harus belajar dahulu atau boleh deh datang ke lab pemeriksaan sampel covid kami atau yang terdekat

Kalau belum pernah belajar lalu dijelaskan, tentu gak akan paham

Contoh nih, ada yang ngotot, coba-coba memancing debat kami, anggap si A:

Si A: Itu semua settingan, menurut fulan (sumber dari youtube), genomenya tidak dimurnikan dulu)

Kami: Jelas kami murnikan, ada beberapa kit ekstraksi RNA yang pernah kami coba. Caranya bermacam-macam. Misalnya kit A, langkahnya dengan beberapa buffer AW 1, AW1, RNA buffer, lalu ada yang diinkubasi

Si A: Saya tetap percaya fulan yang di youtube (nampaknya binggung dijelaskan dan tidak paham penjelasannya atau mengalihkan pembicaraan menuju bahan debat lainnya)

Contoh lain:

Di salah satu postingan, ada yang komentar: “Dari mana anda tahu itu bukan konspirasi? Saya lebih percaya fulan dan ada di youtube”

Lalu kita kasi jurnal-jurnal ilmiah yang menunjukan bahwa wabah itu bukan buatan (by design) dan silahkan baca

Komentator: “Saya tetap percaya fulan dan sumber channel youtube itu”

Nah, gak ada ketemu diskusinya kan, antara:

Yang sumbernya jurnal ilmiah, BEBERAPA pakar ahli dan yang terjun langsung ke lapangan VS sumbernya youtube dan portal berita saja

Lebih baik tidak dilayani dan fokus edukasi ke masyakarat

Ini prinsip kami dalam edukasi tentang wabah covid terkait konspirasi dll

Salam

dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK (Petugas Lab Covid19)

Solusi Shalat Jumat di Masa “New Normal” Hingga Jumatan Gelombang Kedua

Bagaimana cara shalat Jumat di masa “new normal” karena keadaan masjid yang dibatasi? Apakah mungkin sampai diadakan Jumatan gelombang kedua?

Kita ketahui bersama bahwa shalat Jumat itu wajib dan dihukumi wajib ain selama terpenuhi syarat-syaratnya. Hal ini berdasarkan firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Juga wajibnya shalat Jumat didukung dalil-dalil berikut ini.

Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Shalat Jumat itu wajib bagi setiap muslim secara berjamaah selain empat orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit” (HR. Abu Daud, no. 1067. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berdua mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas tiang-tiang mimbarnya,

لَيَنْتَهِيَنَّ أقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونَنَّ مِنَ الغَافِلِينَ

Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan Jumat atau Allah pasti akan menutupi hati mereka kemudian mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim, no. 865)

Dalam hadits lain disebutkan,

مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali karena lalai terhadap shalat tersebut, Allah akan tutupi hatinya.” (HR. Abu Daud, no. 1052; An-Nasai, no. 1369; dan Ahmad 3:424. Kata Syaikh Al-Albani hadits ini hasan sahih).

SYARAT SHALAT JUMAT

Dalam madzhab Syafii sendiri disebutkan syarat-syarat pendirian shalat Jumat sebagai berikut.

  1. Harus dikerjakan di waktu shalat Zhuhur.
  2. Dikerjakan di kota.
  3. Dikerjakan secara berjamaah.
  4. Dikerjakan oleh empat puluh orang laki-laki merdeka, baligh, dan berdomisili di tempat tersebut (mustawthin).
  5. Tidak didahului atau dibarengi shalat Jumat yang lain di kota yang sama.
  6. Diawali dengan dua khutbah.

Syarat-syarat di atas disebutkan dalam kitab Safinah An-Najah (kitab dasar fikih Syafii), walaupun dari sisi jumlah 40 dipersilihkan oleh para ulama.

Hukum asalnya, shalat Jum’at hanya dilakukan satu kali di satu tempat dalam satu kota, agar terjadi ijtimak (pertemuan) kaum muslimin sebanyak mungkin, karena hal tersebut merupakan salah satu tujuan utama shalat Jumat itu sendiri. Inilah praktik shalat Jum’at yang telah berlangsung sejak hijrahnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah (622 M) hingga dibangunnya kota Baghdad sebagai ibukota Daulah Abbasiyah sekitar satu setengah abad kemudian (762-767 M).

PERMASALAHAN SHALAT JUMAT DI MASA “NEW NORMAL”

Di masa pandemi seperti ini, pelaksanaan ibadah atau aktivitas dengan shaf rapat di masjid ataupun lainnya sangat berpotensi dan bahkan terbukti menjadi penyebab penularan. Ini jelaslah merupakan kemudharatan besar yang wajib dicegah, apalagi jika tidak mengindahkan protokol lainnya, tentu semakin besar potensi penularan penyakit yang tergolong mematikan ini. Di samping itu, terjadinya penularan saat pelaksanaan ibadah jumatan atau shalat berjamaah dapat merusak citra masjid dan kaum muslimin, karena akan dituding sebagai sumber masalah.

Akan tetapi bila kita menerapkan physical distancing dalam masjid, maka daya tampung masjid akan berkurang dratis hingga menjadi sekitar 40% saja. Ini tentunya menimbulkan masalah baru yaitu tidak tertampungnya jamaah.

Dalam kondisi seperti ini, kita dihadapkan kepada empat pilihan yang masing-masing memiliki mudharat di satu sisi dan manfaat di sisi lain, yaitu:

Opsi A: Tetap melaksanakan shalat Jumat di masjid dengan shaf rapat.

Opsi B: Melaksanakan shalat Jumat satu kali di masjid dengan shaf renggang tanpa menambah tempat alternatif.

Opsi C: Menyediakan tempat alternatif sebagai masjid darurat khusus untuk shalat Jum’at, semisal aula, ruang pertemuan, ruang futsal atau yang lainnya.

Opsi D: Melakukan shalat Jumat dalam dua gelombang di satu masjid.

Tentunya, opsi C adalah yang paling sesuai dengan kaidah syariat, karena paling kecil mudharatnya dan paling besar manfaatnya, kemudian disusul dengan opsi D. Sebab, opsi C lah yang paling aman bagi kesehatan jamaah, sedangkan ibadah hanya dapat ditunaikan sesuai tuntunan (sempurna) bilamana seseorang dalam kondisi sehat dan aman. Adapun bila ia jatuh sakit atau terancam keselamatan dirinya, maka akan sulit melakukan ibadah dengan sempurna.

Oleh karenanya, menjaga kesehatan masyarakat secara umum lebih didahulukan daripada menjaga kesempurnaan suatu ibadah. Sebab bila masyarakat jatuh sakit, niscaya bukan hanya shalat jum‟atnya yang tidak dapat dilakukan dengan sempurna, namun ibadah-ibadah lainnya juga terpengaruh.

Adapun opsi D (mengadakan shalat Jumat dua gelombang di satu masjid), maka tidak boleh dilakukan selagi masih dapat dicarikan tempat alternatif, karena inilah yang lebih kecil mudharatnya dan lebih besar manfaatnya. Demikian pula opsi A (mengadakan shalat Jum‟at satu kali dengan shaf rapat), jelas tidak sesuai dengan kaidah-kaidah syariat yang lebih mengutamakan keselamatan jiwa daripada kesempurnaan ibadah. Sedangkan opsi B tidak memberikan solusi apa-apa bagi jamaah yang tidak tertampung.

Namun bila pihak DKM atau pihak terkait tidak mendapatkan tempat alternatif untuk menampung jamaah dan para jamaah juga kesulitan untuk melaksanakan shalat Jumat di tempat lain; maka dalam kondisi darurat seperti ini, opsi D dapat dipilih.

KAIDAH-KAIDAH YANG MENDASARI HAL DI ATAS

Pertama:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَحْظُوْرَاتِ وَتُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

“Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang pada dasarnya terlarang, tapi harus ditentukan kadar daruratnya secara proporsional.”

Kedua:

لاَ وَاجِبَ مَعَ العَجْزِ

“Tidak ada kewajiban saat tidak mampu melakukannya.”

Ketiga:

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

“Kondisi yang sulit mengundang datangnya kemudahan.”

Keempat:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh membiarkan maupun melakukan kemudharatan.”

Kelima:

اِرْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ

“Memilih perbuatan yang paling kecil kemudaratannya.”

Keenam:

الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ

“Adanya kebutuhan umum dapat dianggap seperti kondisi darurat.”

HIMBAUAN DARI DEWAN FATWA PERHIMPUNAN AL-IRSYAD

  1. Bagi kaum muslimin yang hendak melaksanakan shalat berjamaah di masjid, maka wajib mengikuti protokol penggunaan masjid yang ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, termasuk merenggangkan shaf dan memakai masker.
  2. Bagi orang tertentu yang dianjurkan oleh dokter untuk tidak berangkat ke masjid, maka ia tidak boleh berangkat ke masjid.
  3. Orang yang sedang sakit batuk, flu, dan demam tidak boleh ke masjid selama pandemi belum berakhir.
  4. Bagi yang masih merasa belum aman untuk shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid, maka secara syari masih diberi udzur untuk shalat di rumah.
  5. Jika dengan protokol New Normal masjid jami’ tidak bisa menampung jamaah, maka shalat Jumat dapat dilakukan di masjid lain, mushalla, gedung, lapangan dan sebagainya untuk menampung jamaah yang tidak tertampung oleh masjid jami’.
  6. Bila poin kelima tidak dapat diwujudkan, maka shalat Jumat boleh dilakukan dalam dua gelombang di masjid yang sama. Dalam hal ini, hendaknya diupayakan menyiapkan imam dan khatib yang berbeda pada masing-masing gelombang, namun jika kesulitan maka boleh dilakukan oleh imam dan khatib yang sama.
  7. Panduan ini hanya berlaku untuk daerah yang memenuhi syarat penerapan aturan New Normal menurut disiplin ilmu kesehatan.

Dua masalah yang sering ditanyakan terkait shalat saat “new normal”:

  1. Shalat dengan Shaf Renggang, Apakah Sah?
  2. Shalat dengan Mengenakan Masker?

REFERENSI

Semoga bermanfaat.


Diselesaikan di Darush Sholihin, Kamis sore, 12 Syawal 1441 H, 4 Juni 2020

Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24695-solusi-shalat-jumat-di-masa-new-normal-hingga-jumatan-gelombang-kedua.html