Abdullah bin Umar Memberikan Daging Kurban untuk Tetangganya Beragama Yahudi

Relasi Islam dan non muslim telah ada sejak dahulu. Para sahabat Nabi berdampingan dengan penuh toleransi dengan kalangan non muslim. Bahkan sahabat Nabi, sekaligus anak Umar bin Khattab,  Abdullah bin Umar saban Idul Adha memberikan daging kurban untuk tetangganya beragama Yahudi.

Syahdan, manusia hakikatnya hidup dalam keberagaman. Kemajemukan merupakan realitas kehidupan. Tak dapat tidak, manusia terdiri dari suku, budaya, etnik, keyakinan, bahasa, maupun agama.

Pluralitas manusia itu buka barang baru. Ia sudah ada sejak dahulu. Keberagaman agama misalnya,  merupakan suatu keniscayaan pada era awal Islam. Yahudi, Kristen, Bahai, pagan dan Zoroaster terlebih dahulu hidup dan berkembang dalam masyarakat Arab.

Ketika Islam datang dibawa Nabi Muhammad pluralitas agama itu tetap hidup. Ada di tengah masyarakat yang dipimpin Nabi. Mereka hidup harmonis. Saling menjaga satu sama lain. Ketika pun ada gesekan, itu bukan sebab perbedaan teologis agama. Lebih dari itu, konflik dan perang itu didasari oleh pengkhianatan terhadap perjanjian dan tanah air.

Pun setelah baginda Nabi telah wafat, Islam pun semakin berkembang, relasi antar Islam dan non muslim tetap terjalin harmonis. Hidup dan saling menjaga satu sama lain. Ada kewajiban yang harus ditunaikan, dan ada pula hak yang wajib diperoleh.

Kaum non muslim dilindungi harta, martabat, dan marwahnya dijaga oleh kaum muslimin. Hidup dalam kedamaian, tak boleh disakiti, apalagi dihalangi dalam beribadah. Mun’im Sirry dalam Disertasi berjudul Reformis Muslim Approaches to the Polemics of the Qur’an against Other Religions, menerangkan, dalam masyarakat Islam klasik hubungan erat antara muslim dan non muslim didasarkan pada konsep dzimmah.

Adapun konsep dzimmah berarti kontrak, keamanan, perlindungan, dan kewajiban. Dalam pengertiannya, adanya perjanjian permanen antara kaum non muslim dengan penguasa Islam untuk mendapatkan perlindungan, keamanan, dan hak sebagai warga negara yang sah. Tetapi kaum non muslim itu dikenakan bayar jizzah (pajak).

Kewajiban bayar pajak ini, kata Mun’im Sirry sebagai ganti bela negara. Kaum non muslim yang tinggal di negara muslim ini disebut sebagai ahl al dzimmah atau dzimmiyun. Praktik politik ini muncul dalam praktik politik kaum Muslim paling awal.  

Terkait pembayaran pajak (jizyah) oleh non muslim, Fazlur Rahman dalam buku Non Muslim Minorities in Islamic State, mencatat kewajiban itu sebagai ganti wajib miletr bagi kalangan non muslim. Pasalnya, kaum non muslim tak bisa diharapkan ikut serta dalam jihad bersama orang muslim lainnya. Dengan begitu mereka membayar pajak, sebagai gantinya. Yang juga sebagai jaminan keamanan diri, harta, dan keluarga mereka.

Kaum non muslim itu sangat istimewa di hadapan baginda Nabi Muhammad. Sebagai pembawa risalah Islam, Nabi dalam pelbagai hadis menegaskan larangan tegas untuk menyakiti non Muslim. Pasalnya, itu perbuatan yang tercela.

Lebih dari itu, rasul mengatakan orang yang menyakiti non muslim, maka sama saja ia menyakiti Nabi. Hadis ini menegaskan tentang keistimewaan non muslim  dihadapan Nabi. Dalam hadis riwayat Imam Abu Daud, Nabi Saw bersabda;

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya: Ketahuilah, bahwa  siapa yang menzalimi seorang mu’ahad (non-Muslim yang berkomitmen untuk hidup damai dengan umat Muslim), merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.

Dalam hadis lain riwayat Imam Thabrani disebutkan bahwa Nabi Saw pernah bersabda;

مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ

Artinya: Barang siapa menyakiti seorang zimmi (non Muslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.

Daging Kurban Disalurkan pada Non Muslim

Para sahabat Nabi di masa awal Islam memuliakan kaum non muslim. Meskipun bukan saudara dalam akidah, tetapi saudara dalam kemanusiaan. Praktik kemanusiaan ini dipraktikan oleh Abullah bin Umar. Seorang sahabat Nabi yang alim dan kaya ilmu pengetahuan. Anak dari khalifah Umar bin Khattab.

Dalam kitab Goiru al Muslim fi almujtama’ al Islamikarya Dr. Yusuf Qardhawi termaktub wasiat Ibn Umar pada anaknya. Wasiat itu selalu diulang-ulang oleh Abdullah bin Umar setiap saat. Sehingga anaknya, sudah hafal betul. Apa isi wasiat itu?

Isi wasiat itu adalah saban hari Raya Qurban (Idul Adha), agar anaknya jangan lupa memberikan sebagian hewan kurban itu pada tetangga mereka yang beragama Yahudi. Ternyata Abdullah bin Umar memiliki tetangga yang beragam Yahudi. Ia sangat menyayangi Yahudi tersebut.

Suatu waktu Abdullah bin Umar ditanya anaknya, terkait alasan ia begitu menyayangi Yahudi tersebut. Padahal tetangga itu seorang Yahudi. “Kenapa ayah begitu menyayangi Yahudi itu?” tanya anaknya. “Apakah rahasia dari pertolongannya terhadap Yahudi tersebut?,” lanjut anaknya tak sabar.

Ibn Umar menjawab, “Memuliakan tetangga merupakan perintah Rasul. Sekalipun terhadap Yahudi,” katanya.  Ibn  lants membacakan Hadis Nabi;

قال ابن عمرو: إن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه

Artinya: Ibn Umar berkata, sesungguhnya Nabi bersabda; Senantiasa Jibril memberikan wasiat kepada ku tentang tetangga ku, sehingga aku menyangka (tetangga ku) adalah keluarga ku.

Kata Yusuf Qardhawi, kisah itu termaktub dalam riwayat Imam Abu Daud, Imam turmidzi, dan juga terdapat dalam riwayat Imam Bukhari. Status hadis ini adalah hadis marfu. Dalam ilmu musthalah hadis, status marfu adalah muttafun alaihi. (Baca: Definisi dan Pembagian Hadis Marfu’). Qardhawi berkata;

القصة رواها أبو داود في كتاب الأدب من سننه، والترمذي في البر والصلة، والبخاري في الأدب المفرد. أما الحديث المرفوع فهو متفق عليه

Artinya:  Kisah ini riwayatnya Abu Daud, terdapat dalam kitab Sunan Abu Daud pembahasan Kitabil adab, Riwayat Imam Turmidzi dalam pembahasan al bir dan silah, dan Imam Bukhari dalam pembahasan adab dan mufrad. Adapun hadis ini tergolong hadis marfu, maka status hadis marfu, adalah hadis muttafakun alaih.

Tak hanya memuliakan non muslim yang masih hidup, para sahabat Nabi juga konsisten memuliakan non muslim yang telah meninggal. Meski mereka berbeda keyakinan. Tetapi para sahabat tetap mengunjunginya ketika telah meninggal.

Dalam kitab Fiqh Zakat, Qardhawi memuatkan kisah seorang nasrani meninggal dunia dunia. Ia bernama Ummu Haris bin Abi Rabiah. Seorang Kristen tulen sejak lahir. Mendengar si Umum Harisah wafat, para sahabat kemudian berbondong-bondong untuk mentakziahi dan mengantarkannya pada peristirahatan terakhir.

وماتت أم الحارث بن أبي ربيعة وهي نصرانية، فشيَّعها أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم

Artinya; Meninggal dunia Ummu Haris bin Rabiah—seorang Nasrani—, maka mengantarkannya sahabat-sahabat Rasulullah SAW.

Demikian kisah Abdullah bin Umar yang memberikan daging kurban pada tetangganya beragam Yahudi. Dan juga kisah, sahabat Nabi yang menjenguk seorang Kristen yang meninggal dunia. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Jika Ragu Akan Kehalalan Sembelihan, Apa Hukumnya?

Halal atau Haram?

Apakah hukum asal sembelihan yang meragukan, halal atau haram?

Maksud pertanyaan di atas adalah jika kita meragukan status suatu sembelihan, apakah telah disembelih sesuai ketentuan agama atau tidak, maka apa status sembelihan itu, halal atau haram?

Status sembelihan yang meragukan = haram!

Ketentuan yang termaktub dalam hadits shahih adalah kaidah yang berbunyi “hukum asal sembelihan adalah haram” (الأصل في الذبائح التحريم), sehingga apabila status suatu sembelihan diragukan, apakah telah memenuhi syarat sembelihan yang benar atau tidak, maka haram mengonsumsinya.

Adanya kesepakatan akan hal tersebut disampaikan oleh an-Nawawi rahimahullah,

فيه بيان قاعدة مهمة وهي أنه إذا حصل الشك في الذكاة المبيحة للحيوان : لم يحل؛ لأن الأصل تحريمه، وهذا لا خلاف فيه

“Ada penjelasan terhadap kaidah penting yang termuat dalam hadits di atas, yaitu apabila muncul keraguan terhadap keabsahan proses penyembelihan, maka status sembelihan tidaklah halal karena hukum asal sembelihan adalah haram. Tidak ada yang menyelisihi ketentuan ini.” [Syarh Shahih Muslim, 13/116].

Ibnu al-Qayyim rahimahullah menuturkan,

لمَّا كان الأصل في الذبائح : التحريم ، وشك : هل وجد الشرط المبيح أم لا ؟ بقي الصيد على أصله في التحريم

“Mengingat hukum asal sembelihan adalah haram, dan diragukan apakah sembelihan telah memenuhi syarat ataukah tidak, maka status binatang buruan tetap pada hukum asalnya, yaitu haram.” [I’lam al-Muwaqqi’in, 1/340]

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,

وما أصله الحظر، كالأبضاع ولحوم الحيوان: فلا يحل إلا بيقين حله من التذكية والعقد، فإن تردد في شيء من ذلك لظهور سبب آخر: رجع إلى الأصل، فبنى عليه

“Segala sesuatu yang asalnya haram dikonsumsi seperti anggota tubuh dan daging hewan, maka tidaklah halal dikonsumsi kecuali telah kehalalannya telah diyakini dengan penyembelihan dan akad yang tepat. Apabila diragukan karena adanya sebab yang lain, maka statusnya kembali pada hukum asal dan itulah yang berlaku.” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam hlm. 93]

Ini Dalilnya!

Dalil ketentuan di atas adalah sebagai berikut:

  • Perihal hewan buruan yang terkena anak panah dalam hadits ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنْ وَجَدْتَ مَعَ كَلْبِكَ كَلْبًا غَيْرَهُ وَقَدْ قَتَلَ فَلَا تَأْكُلْ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَيُّهُمَا قَتَلَهُ

“Apabila ada anjing lain yang menyertai anjingmu, lalu hewan buruan tersebut kamu temukan dalam keadaan terbunuh, maka janganlah kamu memakannya. Karena kamu tidak tahu apakah anjingmu atau ataukah anjing lain tersebut yang membunuhnya.” [HR. al-Bukhari: 5484 dan Muslim: 1929].

dalam riwayat yang lain tercantum redaksi,

إذا أرسلتَ كلبَكَ فوجدتَ معهُ غيرَهُ فلا تأكُلْ، فإنكَ إنما سمَّيتَ على كلبِكَ ولم تُسمِّ على غيرِهِ

“Apabila engkau melepas anjing pemburumu, kemudian ternyata engkau menjumpai anjing lain bersama anjingmu di samping hewan buruan, maka janganlah kamu memakannya. Karena engkau hanya menyebutkan nama Allah pada anjing buruanmu dan bukan pada anjing lain.” [Shahih Sunan an-Nasaai : 4283]

  • Dalam hadits yang sama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنْ رَمَيْتَ سَهْمَكَ فَاذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ فَإِنْ غَابَ عَنْكَ يَوْمًا فَلَمْ تَجِدْ فِيهِ إِلَّا أَثَرَ سَهْمِكَ فَكُلْ إِنْ شِئْتَ وَإِنْ وَجَدْتَهُ غَرِيقًا فِي الْمَاءِ فَلَا تَأْكُلْ

“Apabila kamu membidikkan panah, maka sebutlah nama Allah. Jika hewan yang telah kamu panah tersebut baru kamu temukan setelah satu hari sedangkan di tubuhnnya tidak ada luka lain kecuali luka akibat anak panahmu, maka makanlah. Apabila kamu menemukan tenggelam di dalam air, maka jangan kamu makan.” [HR. al-Bukhari : 5484 dan Muslim : 1929]

Hadits-hadits di atas secara tegas menyatakan bahwa jika kita meragukan apakah syarat penyembelihan telah terpenuhi atau tidak pada hewan, maka status hewan itu tidak halal dikonsumsi.

Impor sembelihan dari negara non-muslim

Berdasarkan uraian di atas maka ketetapan yang telah disepakati di atas menunjukkan bahwa daging sembelihan yang diimpor dari negara non-muslim tidaklah halal karena proses penyembelihannya diragukan. Itu alasan minimalnya, apatah lagi jika sebagian orang yakin bahwa sembelihan dari negara non-muslim tersebut memang tidak disembelih dengan proses yang benar berdasarkan fakta. Ketentuan yang bisa disimpulkan dari uraian sebelumnya adalah jika kita meragukan keberadaan syarat penyembelihan yang benar pada suatu sembelihan, maka sembelihan itu tidak boleh dikonsumsi.

Bagaimana dengan sembelihan ahli kitab, bukankah dihalalkan?

Hal ini dijawab oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah,

إن باب الذبائح على التحريم، إلا ما أباحه الله ورسوله، فلو قدر تعارض دليلي الحظر والإباحة، لكان العمل بدليل الحظر أولى لثلاثة أوجه:

أحدها: تأييده الأصل الحاظر.

الثاني: أنه أحوط.

الثالث: أن الدليلين إذا تعارضا تساقطا ورجعا إلى أصل التحريم” انتهى من أحكام أهل الذمة

“Bab sembelihan terbangun di atas hukum asal haram kecuali yang diperbolehkan Allah dan rasul-Nya. apabila ternyata terdapat dua dalil bertentangan, antara yang melarang dan yang membolehkan, maka yang menjadi pilihan adalah mengamalkan dalil yang melarang karena tiga alasan berikut:

Pertama, dalil yang melarang menguatkan hukum asal yang mengharamkan.

Kedua, mengamalkan dalil yang melarang termasuk tindakan yang lebih hati-hati.

Ketiga, apabila terdapat dua dalil yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka keduanya dikembalikan pada hukum asal, yaitu haram.” [Ahkam Ahli adz-Dzimmah 1/538, 539]

Ucapan Ibnu al-Qayyim di atas terdapat dalam uraian beliau yang menetapkan hukum asal sembelihan adalah haram hingga terbukti halal.

Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha

Aisyah radhiallahu ‘anha menyampaikan,

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

“Wahai Rasulullah, ada suatu kaum yang mendatangi kami dengan daging yang kami tidak tahu apakah mereka menyebutkan nama Allah ketika menyembelihnya atau tidak”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebutlah nama Allah, lalu makanlah”.” [HR. al-Bukhari : 2057]

Bagaimana dengan hadits ‘Aisyah ini?

Hadist ‘Aisyah di atas berlaku apabila seorang tidak mengetahui apakah penyembelih mengucapkan nama Allah atau tidak ketika menyembelih. Maka dalam kasus tersebut sembelihannya diperbolehkan untuk dikonsumsi karena hukum asal sembelihan muslim dan ahli kitab adalah sah dan halal. Dengan demikian tidak perlu memastikan apakah syarat penyembelihan telah dilakukan dengan benar atau tidak. Hal ini berbeda dengan kasus yang ditunjukkan dalam hadits-hadits di atas, dimana muncul keraguan karena adanya sebab. Itulah maksud dari perkataan Ibnu Rajab rahimahullah,

فإن تردد في شيء من ذلك لظهور سبب آخر: رجع إلى الأصل، فبنى عليه

“Apabila diragukan karena adanya sebab yang lain, maka statusnya kembali pada hukum asal dan itulah yang berlaku.” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam hlm. 93]

Terkait hadits hewan buruan yang statusnya diragukan, Ibnu al-Qayyim mengomentari,

وأما تحريم أكل الصيد إذا شك صاحبه: هل مات بالجرح أو بالماء؟ وتحريم أكله إذا خالط كلابه كلبا من غيره، فهو الذى أمر به رسول الله صلى الله تعالى عليه وآله وسلم، لأنه قد شك فى سبب الحل، والأصل فى الحيوان التحريم. فلا يستباح بالشك فى شرط حله، بخلاف ما إذا كان الأصل فيه الحل. فإنه لا يحرم بالشك فى سبب تحريمه كما لو اشترى ماء أو طعاماً، أو ثوباً لا يعلم حاله، جاز شربه وأكله ولبسه

“Apabila pemburu meragukan status hewan buruannya, apakah ia mati karena luka gigitan anjing buruannya atau tenggelam dalam air. Atau apakah ia mati karena gigitan anjing buruannya atau gigitan anjing yang lain, maka haram mengonsumsi daging hewan buruan itu. Itulah yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pemilik anjing buruan tidak bisa memastikan (ragu) terhadap sebab kehalalan hewan buruan. Hukum asal hewan sembelihan adalah haram dikonsumsi, adanya keraguan terhadap sebab kehalalan hewan buruan tidak lantas membolehkannya untuk dikonsumsi. Berbeda halnya dengan sesuatu yang hukum asalnya halal, adanya keraguan terhadap sebab pengharamannya tidak lantas menjadikannya haram. Hal ini seperti orang yang membeli air, makanan, atau pakaian yang tidak diketahui kehalalannya, dalam hal ini ia boleh meminum, memakan, dan memakainya.” [Ighatsah al-Lahafan 1/180]

Perhatikan pembedaan yang dilakukan beliau antara keraguan terhadap sesuatu yang hukum asalnya haram dan keraguan terhadap sesuatu yang hukum asalnya halal.

Kesimpulan

Uraian di atas memberikan kesimpulan berikut:

  1. Apabila muslim tidak mengetahui pasti proses penyembelihan hewan dengan sempurna, maka ia tidak berkewajiban memastikan dan mencari tahu kehalalan proses penyembelihan hewan tersebut, karena hukum asalnya sembelihan itu halal dikonsumsi.
  2. Apabila muslim mengetahui syarat penyembelihan pada hewan tidak terpenuhi atau ia ragu yang didasari fakta, maka hukum asalnya adalah syarat penyembelihan pada hewan itu tidak terpenuhi sehingga haram dikonsumsi.

Demikianlah yang bisa disampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Ketentuan Syariat Daging Kurban Boleh Diawetkan

Dewan Pengawas Syariah Rumah Zakat KH Kardita Kintabuana memastikan program Superqurban tidak bertentangan dengan syariat. Superqurban Rumah Zakat ini adalah mengolah daging kurban yang diolah menjadi berbagai macam produk salah satunya kornet.

KH Kardita mengatakan, dasar hukum dibolehkannya daging kurban diawetkan, untuk diasinkan menjadi beberapa olahan adalah seperti disampaikan hadits riwayat Imam Bukhari yang diterima dari Aisyah Radhiyallahu Anha.

”Dahulu kami biasa mengasinkan daging udhhiyah (kurban) sehingga kami bawa ke Madinah, tiba-tiba Nabi saw bersabda: “Janganlah kalian menghabiskan daging kurban kecuali dalam waktu tiga hari” (HR. Bukhari dan Muslim). Namun,  setelah itu Rasulullah saw memperbolehkan untuk menyimpan atau mengawetkan daging kurban.

Larangan ini bukan untuk mengharamkan, melainkan agar banyak orang miskin yang mendapat bagian darinya dalam rangka membantu kelangsungan hidup mereka akibat paceklik, hal ini sebagaimana dijelaskan pada hadits Salamah bin al-Akwa, berkata: Nabi SAW bersabda, ”Siapa yang menyembelih kurban maka jangan ada sisanya sesudah tiga hari di rumahnya walaupun sedikit. Tahun berikutnya orang-orang bertanya: Ya Rasulullah apa kami harus berbuat seperti tahun lalu?  Nabi saw menjawab, ”Makanlah dan berikan kepada orang-orang dan simpanlah sisanya. Sebenarnya, tahun lalu banyak orang yang menderita kekurangan akibat paceklik, maka aku ingin kalian membantu mereka.”

Artinya Rasulullah pada saat itu melarang daging kurban disimpan jangan lebih dari tiga hari itu ada alasannya yang ketika itu musim paceklik. Di mana orang membutuhkan makanan oleh karena itu daging kurban harus langsung dibagikan dan daging kurban harus habis hari itu juga.

“Akan tetapi tahun berikutnya karena memang keadaan sudah berangsur baik akhirnya diperboleh untuk disimpan, untuk diawetkan,” katanya.

Hadits lain dari Jabir bin Abdillah sesungguhnya Dulu kami tak makan daging kurban lebih dari tiga hari di Mina, kemudian Nabi saw mengizinkan dalam sabdanya, ”Makanlah dan bekalilah dari daging kurban.” Maka kami pun makan dan berbekal. (HR. Bukhari dan Muslim).

Tentang larangan memakan daging kurban yang telah disimpan lebih dari tiga hari dan sekarang membolehkan daging kurban disimpan berdasarkan HR Muslim, Rasulullah bersabda, “Aku dahulu pernah melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah kalian.”

Bahkan mayoritas ulama itu di antaranya seperti disampaikan Imam Nawawi dalam Syarah Muslimbeliau mengatakan yang benar adalah menghapuskan hadis hadits yang melarang penyimpanan daging kurban melewati tiga hari tasyrik secara mutlak. Artinya membolehkan daging kurban disimpan dan dimakan sesuai waktu yang dikehendaki.

Begitu juga kata KH Dirta menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalaniy dalam kitabnya Fathul Bari Juz 10 jl 29 menjelaskan hal yang serupa, beliau berkata yang tepat adalah menghapuskan larangan secara mutlak maka menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari dan memakannya kapan saja hukumnya mubah atau boleh.

“Demikian juga  menurut Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni menyampaikan hal yang serupa,” katanya.

Untuk itu masyarakat yang ingin berkurban tidak perlu ragu berkurban di Rumah Zakat yang nanti daging kurbannya akan diawetkan atau diolah menjadi beberapa produk olahan seperti kornet, rendang dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan demi kemaslahatan masyarakat yang lebih luas.

IHRAM

Pembagian Hewan Kurban sesuai Hadis

JUMHUR ulama menyampaikan bahwa pembagian kurban sebaiknya adalah sebagai berikut:

1/3 untuk dimakan yang melakukan kurban.
1/3 untuk disedekahkan.
1/3 untuk disimpan oleh yang melakukan kurban.

Dasarnya dari hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam sahih beliau.

“Makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah.” (HR Muslim No.1562)

Panitia Kurban bisa saja dimasukkan sebagai penerima sedekah walaupun penerima sedekah diutamakan fakir miskin di lingkungan dipotongnya hewan kurban.

Wallahua’lam. [Ustadz Noorahmat]

INILAHMOZAIK