Dampak Makanan

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib dipanggil oleh Nabi Muhammad SAW dan diberi nasehat berikut.

Wahai Ali, orang yang mengonsumsi makanan halal, agamanya akan bersih, hatinya menjadi lembut, dan doanya tidak ada penghalang (pasti diterima oleh Allah). Barang siapa yang mengonsumsi makanan syubhat (tidak jelas), agamanya menjadi samar-samar, dan hatinya menjadi kelam. Dan barang siapa yang mengonsumsi makanan haram, maka hatinya akan mati, agamanya menjadi goyah (tidak kokoh), keyakinannya melemah, dan ibadahnya semakin berkurang.”

Wahai Ali, Allah SWT tidak akan menerima shalat seseorang tanpa sedekah; Allah juga tidak menerima sedekah yang berasal dari harta haram. Selama tidak makan harta haram, Mukmin akan senantiasa dapat meningkatkan keberagamaannya. Siapa yang menjauhi ulama, maka hatinya akan mati, hatinya juga menjadi buta dari taat kepada Allah SWT.” (HR. Ahmad).

Wasiat Nabi SAW tersebut sarat dengan pesan dan pendidikan moral. Pertama, setiap Muslim hendaknya memperhatikan apa yang dimakannya, baik status kehalalannya maupun kualitas gizinya.

Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS. ‘Abasa/80:24). Kehalalan dan keharaman makanan yang dikonsumsi berdampak langsung pada fungsi hati manusia.

Hati menjadi sehat, hidup, dan memantulkan cahaya Ilahi jika dinutrisi dengan yang halal. Hati menjadi sakit, kelam, dan mati jika diasupi makanan syubhat dan haram.

Oleh karena itu, Nabi SAW menempatkan fungsi hati sangat sentral dalam kehidupan manusia. “Dalam diri manusia ada sekepal daging. Apabila ia baik, maka seluruh tampilan kinerjanya pun menjadi baik. Sebaliknya, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tampilan perbutannya. Ketahuilah, sekepal daging itu adalah hati (al-qalbu)” (HR. Muslim).

Kedua, makanan memengaruhi tingkat keberagamaan Muslim. Jika yang dimakan halal, kesalehannya akan meningkat. Sebaliknya, jika yang dikonsumsi haram, maka spiritualitasnya menjadi gersang.

Karena itu, Allah menyuruh kita untuk mengonsumsi makanan yang halalan thayyiban (boleh dikonsumsi, bernutrisi dan bergizi baik).

Makanlah yang halal lagi baik (bergizi) dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya beribadah kepada-Nya.” (QS. Al-Nahl [16]: 114).

Ketiga, makanan yang diperoleh secara halal pada dasarnya tidak boleh dihabiskan untuk dikonsumsi sendiri, tetapi sebagiannya harus disedekahkan kepada orang lain.

Sedekah (kesalehan sosial) menentukan diterima tidaknya salat (kesalehan personal) Muslim. Ibadah individual dan ibadah sosial harus berjalan seimbang.

Orang yang mendustakan agama adalah orang yang hanya mementingkan ibadah individual, sementara ia melupakan ibadah sosial (QS. Al-Ma’un [107]: 1-7). Menutrisi hati sendiri melalui shalat dan zikir harus diimbangi dengan menutrisi hati orang lain dengan sedekah, infaq, wakaf, dan sebagainya.

Keempat, kemitraan dengan ulama dan ilmuwan  itu dapat menutrisi hati dengan ilmu, sehingga dapat meningkatkan kualitas keberagamaan Muslim. Karena, beribadah menjadi berkualitas jika dilandasi oleh ilmu yang benar, mendalam, dan luas.

Ilmu para ulama dan ilmuwan harus diamalkan dan disosialisasikan kepada orang lain agar masyarakat menjadi lebih mendekatkan diri dan bertaqwa kepada Allah.

Jika Allah menyatakan, “Yang takut kepada Allah hanyalah para ulama/ilmuwan di kalangan hamba-hamba-Nya” (QS.  Fathir/35: 70), maka berarti keberagamaan Muslim perlu dinutrisi dengan vitamin ilmu, ilmu agama maupun ilmu umum secara integratif.

Dengan demikian, pendekatan diri dan ketaatan kepada Allah, harus dibarengi dengan pendekatan diri kepada sesama, terutama para ulama.

Dan semua itu mengharuskan kita untuk peduli terhadap apa yang kita makan. Allah berfirman: “Maka hendaklah manusia  itu memperhatikan makanannya.” (QS. ‘Abasa/80: 24).

Pertanyaannya, sudahkah kita semua memperhatikan halal dan thayyib (sehat, bergizi, dan cocok untuk kebutuhan tubuh kita) tidaknya makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari?

Kedua kriteria (halal dan thayyib) tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat peduli terhadap isi perut manusia berikut dampak yang ditimbulkannya.

Bukankah makanan yang minuman itu sumber energi dan kekuatan fisik dan psikis, sekaligus sumber segala penyakit jika tidak diperhatikan?

 

Oleh Muhbib Abdul Wahab

REPUBLIKA