MUI Sayangkan Film Beauty and the Beast Lolos Sensor

Film Beauty and the Beast yang telah tayang serentak pada 17 Maret 2017 di Indonesia, masih menuai kontroversi. Pasalnya, film arahan sutradara Bill Condon dianggap telah mempropagandakan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Beauty and the Beast memuat adegan seksual tentang salah satu aktor laki-laki bernama Le Fou. Yang digambarkan memiliki ketertarikan pada atasan sekaligus kawannya, Gaston.

“Tidak terlihat ada adegan, dialog yang menunjukkan gay. Fakta dan kontennya yang kita lihat, tidak menyampaikan aktivitas gay,” kata Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Ahmad Yani Basuki saat dihubungi Republika.co.id, Senin (20/3) sore.

Yani memaparkan, regulasi film untuk bisa mendapatkan surat keterangan lolos sensor dari LSF. Pertama, dilarang mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, penyalahagunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Selanjutnya, menonjolkan pornografi, memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, suku, ras, dan golongan serta menistakan, melecehkan, dan atau menodai agama.

“Mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum. Dan terakhir, merendahkan harkat dan martabat manusia,” kata Yani.

Menurut dia, regulasi penyensoran suatu film itu harus adil serta pasti ketentuannya. Dan film Beauty and the Beast, kata Yani, tidak menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada tindakan homoseksual seperti yang sempat heboh diberitakan.

Salah satu tokoh agama Islam, Ustaz Erick Yusuf mengutarakan, kekecewaanya pada LSF yang telah meloloskan film Beauty and the Beast dari sensor. ”Saya kira jelas harus menjaga agar propaganda ini tidak menyebar. Hindari apa yang bisa mempengaruhi perilaku LGBT,” katanya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (20/3) sore.

Erick menyebutkan, seharusnya jangan sampai ada keteledoran sedikit pun. Karena apabila nilai film tersebut sudah mengarah ke perilaku menyimpang, lebih baik dihentikan saja pemutaran filmnya.

Ketua Komisi Seni dan Budaya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Habbiburrahman El-Shirazi atau biasa disapa Kang Abik, juga menguratakan hal yang sama. Menurut Kang Abik, film yang dinilai memiliki nilai menyimpang lebih baik disensor. “Semestinya pas adegan itu disensor,” katanya.

LSF Indonesia, bersikukuh pihaknya telah melakukan penyensoran sesuai undang-undang dan norma yang berlaku di masyarakat. LSF, kata Yani, akan tetap menjunjung prinsip melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film.

 

REPUBLIKA ONLINE