Daulah Abbasiyah: Azh-Zhahir Biamrillah, Pewaris Dua Umar

Khalifah Azh-Zhahir dilahirkan pada 571 H. Nama aslinya Muhammad bin An-Nashir Lidinillah, Azh-Zhahir Biamrillah, Abu Nashr. Semasa hidupnya, sang ayah melantiknya sebagai putra mahkota. Khalifah Azh-Zhahir dilantik sebagai khalifah Bani Abbasiyah ke-35 (1225-1226 M) pada usia 52 tahun.

Pemerintahan Azh-Zhahir sangat berpihak kepada kepentingan rakyat. Dia menghapuskan bea cukai dan mengembalikan harta yang diambil paksa oleh aparat pemerintah dengan cara yang tidak benar.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, menurut penulis kitab Al-Kamil, Azh-Zhahir melakukan apa yang pernah dilakukan oleh dua orang Umar sebelumnya, yakni Umar bin Al-Khathab dan Umar bin Abdul Azis. Dia selalu berkata jujur dan benar serta bertindak adil dalam menjalankan pemerintahannya. Ia mengembalikan harta rakyat yang pernah dirampas pada masa pemerintahan ayahnya dan menghapuskan semua pajak yang memberatkan rakyat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ayahnya.

Azh-Zhahir sangat teliti dalam masalah pengambilan zakat. Misalnya zakat tanaman, hanya diambil dari tanaman yang tumbuh sehat dan subur. Sedangkan tanaman yang kering dan tidak banyak berbuah, tidak diambil zakatnya.

Keadilannya dalam memerhatikan timbangan juga sangat ketat. Dia mengetahui bahwa pada masa pemerintahan sebelumnya, ayahnya menganjurkan rakyat menggunakan timbangan lebih berat setengah mistqal dari timbangan biasa. Azh-Zhahir memerintahkan kepada semua bawahannya untuk mengubah semua itu dan menggunakan timbangan yang biasa sambil mengawali setiap surat yang dikirimnya dengan surat Al-Muthaffifin ayat 1, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.”

Tindakan khalifah ternyata mendapat penolakan dari para bawahannya. Menurut mereka, jika timbangan yang dipakai oleh rakyat dikembalikan pada ukuran yang sebenarnya akan mengurangi pendapatan negara sebesar 350.000 dinar.

Mendengar hal itu, khalifah berkata, “Batalkan semua itu dan kembalikan kepada aslinya walaupun keuntungan yang akan didapat hanya sebanyak 35.000 dinar.”

Khalifah juga sangat memerhatikan kehidupan para ulama dan cendikiawan Muslim dengan cara banyak membantu kesulitan hidup mereka. Ia juga selalu meminta saran dan nasihat dari mereka serta berpesan agar apa yang telah diberikan tidak memengaruhi sikap mereka.

Suatu ketika pernah datang kepada khalifah seorang penjaga pos keuangan dari Wasith dengan membawa uang sebanyak 100.000 dinar yang didapatkan dengan cara merampas secara paksa dari pemiliknya. Mengetahui hal itu, khalifah mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya.

Khalifah Azh-Zhahir juga membebaskan tawanan yang ditahan dengan tuduhan-tuduhan palsu ketika mereka melakukan perlawanan terhadap penguasa sebelumnya. Dia juga mengirimkan uang sebanyak 10.000 dinar kepada seorang hakim dan memerintahkannya untuk membagi-bagikan uang tersebut kepada rakyat yang membutuhkan. Azh-Zhahir juga selalu tampil di hadapan rakyatnya, satu hal yang jarang dilakukan oleh para khalifah sebelumnya.

Suatu ketika khalifah meninjau kas negara. Salah seorang pegawai di tempat itu berkata, “Gudang ini di masa pemerintahan orang-orang sebelummu penuh dengan harta benda dan simpanan uang yang banyak. Saat ini di masa pemerintahanmu, isi gudang ini hampir habis karena engkau bagi-bagikan kepada rakyat.”

Azh-Zhahir menjawab, “Sesungguhnya gudang negara dibuat bukan untuk dipenuhi. Sebaliknya, dia harus dikosongkan dan diinfakkan di jalan Allah. Karena sesungguhnya menghimpun harta itu adalah pekerjaan para pedagang, dan bukan pekerjaan seorang khalifah.”

Khalifah Azh-Zhahir juga meriwayatkan banyak hadits berdasarkan rekomendasi dari syekhnya. Orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya antara lain Abu Shahih bin Abdur Razzaq bin Syekh Abdul Qadir Al-Jili.

Azh-Zhahir meninggal dunia pada 13 Rajab 623 H. Masa pemerintahannya hanya sembilan bulan 24 hari.

Daulah Abbasiyah: Al-Amin, Khalifah Dua Daulah

Ketika berhasil mematahkan perlawanan Kaisar Nicephorus dari Imperium Byzantium di wilayah Asia Kecil, Khalifah Harun Ar-Rasyid kembali ke wilayah Bagian Timur.

Di sana terjadi pergolakan yang dipimpin Rafi’ bin Al-Laits bin Nashar. Mereka sudah berhasil menduduki Samarkand dan kota-kota sekitarnya. Ketika memasuki kota Thus yang terletak antara kota Nishapur dan Merv, Khalifah Harun Ar-Rasyid jatuh sakit. Beberapa saat kemudian ia meninggal dunia.

Putra termuda sang Khalifah, Shalih bin Harun, segera mengambil baiat dari seluruh pasukan di tempat itu untuk saudara tertuanya, Muhammad bin Harun di Baghdad. Selanjutnya, ia mengirimkan utusan ke Baghdad untuk menyampaikan berita kemangkatan sang Khalifah dan mengirimkan Al-Khatim (stempel kebesaran) dan Al-Qadhib (tongkat kebesaran), serta Al-Burdah (jubah kebesaran) pada Muhammad bin Harun.

Begitu mendengar berita wafatnya sang ayah, Muhammad bin Harun yang menjabat gubernur Baghdad segera menuju Masjid Agung Baghdad. Berlangsunglah baiat secara umum. Muhammad bin Harun Ar-Rasyid menjabat khalifah keenam Daulah Abbasiyah pada usia 24 tahun. Dalam sejarah, ia dikenal sebagai Khalifah Al-Amin (809-813 M).

Meninggalnya Harun Ar-Rasyid, dianggap sebagai peluang emas bagi Kaisar Nicephorus untuk membatalkan kembali perjanjian damai dengan Daulah Abbasiyah. Ia segera menggerakkan pasukannya untuk menyerang perbatasan bagian utara Syria dan bagian utara Irak. Khalifah Al-Amin segera mengirimkan pasukan untuk menghalau serangan itu. Berlangsung pertempuran cukup lama yang berujung pada tewasnya sang kaisar.

Di kota Hims juga terjadi pergolakan. Karena tak mampu memadamkan pemberontakan, Khalifah Al-Amin memecat Gubernur Ishak bin Sulaiman dan menggantinya dengan Abdullah bin Said Al-Harsy. Keamanan pun pulih kembali di bawah kendali gubernur baru itu.

Pada 195 H muncul seorang tokoh berpengaruh di Damaskus. Ia adalah Ali bin Abdullah bin Khalid bin Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Karenanya, ia dikenal sebutan As-Sufyani. Tokoh ini menjadi lebih berpengaruh karena tak hanya merupakan keturunan Bani Umayyah, tetapi juga Bani Hasyim. Ibunya adalah putri Abdullah bin Abbas bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Berdasarkan silsilah keturunannya ini, ia sering berkata, “Saya adalah putra dua tokoh yang pernah bertentangan di Shiffin—maksudnya Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Ia menyatakan berdirinya khilafah baru di Damaskus. Namun masa pemerintahannya tidak berlangsung lama. Panglima Ibnu Baihas segera mengepung Damaskus dan menaklukkan penduduk kota itu. Sedangkan tokoh As-Sufyani melenyapkan diri entah kemana.

Di antara seluruh Khalifah Abasiyah, hanya Khalifah Al-Amin yang ayah dan ibunya keturunan Bani Hasyim (Arab). Ayahnya Harun Ar-Rasyid dan ibunya Zubaidah binti Ja’far bin Manshur masih keturunan Bani hasyim. Sedangkan Al-Makmun sendiri yang direncanakan kelak akan menjadi khalifah setelah Al-Amin, masih keturunan Iran.

Oleh sebab itu, beberapa pihak membujuk Khalifah Al-Amin untuk membatalkan hak khilafah Al-Makmun, dan menggantinya dengan putranya sendiri, Musa bin Muhammad Al-Amin. Semula Khalifah Al-Amin menolak. Tetapi karena terus didesak dan dibujuk, ia pun melakukan pembatalan itu dan mengangkat putranya sebagai calon khalifah dengan gelar An-Nathiq bil Haq.

Tentu saja tindakan ini memancing amarah Al-Makmun. Saat itu ia berada di Khurasan di tengah keluarga besarnya. Permintaan sang Khalifah yang mengundangnya kembali ke Baghdad tak ia penuhi. Bahkan ia pun dibaiat dan dinyatakan sebagai khalifah.

Mendengar kejadian tersebut, Khalifah Al-Amin segera mengirimkan pasukan ke Khurasan di bawah pimpinan Panglima Ali bin Isa bin Mahan. Al-Makmun pun segera menyiapkan pasukannya di bawah komando Thahir bin Hasan.

Kedua pasukan bertemu di kota Ray, yang saat ini dikenal dengan nama Teheran, ibukota Iran. Pertempuran pun tidak berlangsung lama. Panglima Ali bin Isa Tewas. Berita kekalahan itu sangat mengejutkan Khalifah Al-Amin. Ia pun segera mengirimkan pasukan bantuan di bawah komando Panglima Ahmad bin Mursyid dan Panglima Abdullah bin Humaid. Dalam perjalanan menuju Khurasan, terjadi perselisihan sengit antara dua panglima. Pasukan itu pun kembali ke Baghdad sebelum berhadapan dengan musuh.

Al-Makmun segera memerintahkan pasukan Thahir bin Hasan untuk terus maju ke Baghdad. Ia menambah pasukannya di bawah pimpinan Hartsamad bin Ain. Hampir satu tahun Baghdad dikepung. Karena kekurangan persediaan makanan, akhirnya pertahanan Baghdad pun runtuh.

Khalifah Al-Amin bertahan di Qashrul Manshur yang terletak di pusat kota. Setelah berlangsung penyerbuan cukup lama, istana yang dibangun oleh Al-Manshur itu pun bisa ditaklukkan. Khalifah Al-Amin tewas di tangan pasukan saudaranya sendiri. Ia meninggal pada usia 28 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama empat tahun delapan bulan.

Sumber : Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni/Republika Online

Daulah Abbasiyah: Al-Makmun, Khalifah Pengembang Sains

Abdullah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid (813-833 M) mulai memerintah Bani Abbasiyah pada 198-218 H/813-833 M. Ia adalah khalifah ketujuh Bani Abbasiyah yang melanjutkan kepemimpinan saudaranya, Al-Amin.

Untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Khalifah Al-Makmun memperluas Baitul Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan.

Lembaga lain yang didirikan pada masa Al-Makmun adalah Majalis Al-Munazharah sebagai lembaga pengkajian keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, masjid-masjid, dan istana khalifah. Lembaga ini menjadi tanda kekuatan penuh kebangkitan Timur, di mana Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan dan puncak keemasan Islam.

Sayangnya, pemerintahan Al-Makmun sedikit tercemar lantaran ia melibatkan diri sepenuhnya dalam pemikiran-pemikiran teologi liberal, yaitu Muktazilah. Akibatnya, paham ini mendapat tempat dan berkembang cukup pesat di kalangan masyarakat.

Kemauan Al-Makmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak mengenal lelah. Ia ingin menunjukkan kemauan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat tradisi Yunani. Ia menyediakan biaya dan dorongan yang kuat untuk mencapai kemajuan besar di bidang ilmu. Salah satunya adalah gerakan penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat alam secara umum.

Ahli-ahli penerjemah yang diberi tugas Khalifah Al-Makmun diberi imbalan yang layak. Para penerjemah tersebut antara lain Yahya bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin Ishaq yang digelari Abu Zaid Al-Ibadi.

Hunain bin Ishaq adalah ilmuwan Nasrani yang mendapat kehormatan dari Al-Makmun untuk menerjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles. Al-Makmun juga pernah mengirim utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Selain para pakar ilmu pengetahuan dan politik, pada Khalifah Al-Makmun muncul pula sarjana Muslim di bidang musik, yaitu Al-Kindi. Khalifah Al-Makmun menjadikan Baghdad sebagai kota metropolis dunia Islam sekaligus pusat ilmu pengetahuan, pusat kebudayaan, peradaban Islam, dan pusat perdagangan terbesar di dunia selama berabad-abad lamanya.

Namun demikian, selain pemikiran Muktazilah, Khalifah Al-Makmun juga tercemari oleh paham yang menganggap Al-Qur’an itu makhluk. Paham ini melekat dan menjadi prinsip pemerintah. Orang yang tidak setuju dengan pendapat ini akan dihukum. Inilah yang menimpa beberapa ulama yang istiqamah seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Sajjadat, Al-Qawariri, dan Muhammad Nuh.

Namun belakangan Imam Sajjadat dan Al-Qawariri mengakui juga Al-Qur’an sebagai makhluk. Ketika ditelusuri, keduanya mengaku karena terpaksa. Mereka berpendapat, dalam agama, kondisi terpaksa membolehkan seseorang untuk mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keimanannya.

Kendati demikian, Imam Ahmad dan Muhammad Nuh tetap tidak mau mengakui bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Sejarah mencatat ungkapan Imam Ahmad kala itu, “Saya tidak mau pengakuan saya menjadi dalil orang-orang setelahku.” Ia juga pernah diminta oleh pamannya, Ishaq bin Hanbal untuk melakukan taqiyyah (pura-pura), namun Imam Ahmad tidak mau.

Kedua tokoh itu segera dikirim kepada Khalifah Al-Makmun yang sedang berada di medan pertempuran di Asia Kecil. Dalam perjalanan dan ketika tiba di benteng Rakka, mereka mendapat kabar bahwa sang Khalifah wafat. Jenazahnya dibawa ke Tarsus dan dimakamkan di tempat itu.

Gubernur benteng Rakka segera mengembalikan Imam Ahmad dan Muhammad Nuh ke Baghdad. Dalam perjalanan, Muhammad Nuh sakit lalu meninggal dunia. Sedangkan Imam Ahmad dibawa ke Baghdad.

Sumber : Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni / Republika Online