Miftahul Jannah, Kaulah Juara “Bela Diri” Sesungguhnya!

Perempuan difabel ini sempat menangis. Sesaat setelah dilarang mengenakan hijab.

Miftahul Jannah, nama perempuan itu. Ia enggan mengikuti instruksi wasit agar bertanding tanpa penutup kepala. Penggunaan hijab dinilai panitia melanggar aturan keselamatan olahraga para judo.

Miftah mengambil keputusan “jantan”. Ia memilih mundur dan akhirnya, dia diskualifikasi.

Gadis Aceh itu dianggap kalah dan lawan tandingnya wakil Mongolia, Oyun Gantulga berhasil jadi pahlawan di balik hijab.

Meski ada desas-desus peraturan bahwa memang “diperbolehkan” menggunakan hijab tapi harus berupa “turban”, hanya menutup kepala tapi leher masih jelas tampak.

Produsen pakaian olahraga Nike sendiri pernah mengeluarkan produk serupa turban. Namun produk tersebut dikecam habis-habisan oleh kaum feminis.

Miftahul Jannah bukan yang pertama. Aulia, siswi SMPIT Harapan Umat, Ngawi, Jawa Timur, memilih mengundurkan diri dari kejuaraan karate se-Jawa Timur. Setali tiga uang, ia tak mau melepas dan mengganti jilbabnya.

Kembali ke Miftah. Jika memang dilarang mengapa sedari awal panitia pada saat technical meeting tidak memberi tahu bahwa ia dilarang melapang di laga judo?

Miftahul Jannah. Barangkali dia seperti namanya; kunci surga. Keputusannya mudah-mudahan menjadi jalan menuju surga.

Ia telah berhasil bertanding dengan diri sendiri dan menaklukkan diri dengan keputusan-keputusan yang tak ringan.

“Saya bangga karena sudah bisa melawan diri sendiri, melawan ego sendiri. Saya punya prinsip tak mau dipandang terbaik di mata dunia, tapi di mata Allah,” tuturnya.

Miftah, kaulah juara bela diri itu!

 

BersamaDakwah

Islam Memuliakan Difabel

Islam memandang para difabel sebagai entitas yang wajib diperhatikan karena beberapa alasan kuat. Paling mendasar ialah atas nama kemanusiaan. Satu fakta yang tak bisa dimungkiri bahwa mereka sama-sama makhluk Allah SWT yang wajib dihormati.

Apalagi, para penyandang tersebut juga manusia yang dimuliakan oleh Allah. Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (QS al-Israa’ [17] : 70). Pentingnya kasih sayang dan memuliakan sesama ini juga ditekankan oleh Rasulullah.

Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, Nabi menegaskan bahwa mereka yang saling mengasihi akan disayang oleh Allah. Karenanya, hendaknya saling menebar kasih sayang untuk segenap penduduk bumi agar para penghuni kahyangan berbalik mengasihi mereka.

Dari sisi persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyyah), mereka juga pada hakikatnya adalah saudara dari satu garis keturunan, yaitu Adam. Persaudaraan ini akan semakin bermakna jika diperkuat dengan tolong menolong.

Di sisi lain, bila yang bersangkutan adalah Muslim maka penekanannya akan bertambah. Sebab, ia juga merupakan saudara seiman. Maka, iman tersebut akan semakin sempurna dengan saling cinta-mencintai dan kasih-mengasih. Perwujudannya lewat tolong menolong. (HR Muslim).

Menurut guru besar Fakultas Syariah Universitas Afrika Internasional, Sudan, Prof Ismail Muhammad Hanafi, para difabel tersebut—termasuk para lansia dan jompo—memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Karena itu, dalam makalah yang berjudul Daur ad-Daulah fi Ri’ayat Dzawi al-Hajat al-Khassah fi al-Islam, negara memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk memperhatikan dan mengurus mereka.

Di satu sisi, katanya, perhatian pemerintah juga mesti diprioritaskan untuk mereka. Suatu saat, Abu Maryam al-Azdi pernah berpesan satu hadis kepada Mua’wiyah. Hadis itu berisi ancaman bagi pemimpin yang lalai memenuhi kebutuhan para difabel. Riwayat ini dinukilkan dari Abu Dawud dan at-Tirmidzi.

Seperti apakah bentuk perhatian yang mesti diberikan pemerintah kepada mereka?

Kembali, Prof Ismail memaparkan, perintah dituntut aktif melakukan upaya sosialiasi dan langkah penyadaran masyarakat untuk berinteraksi dengan baik terhadap difabel. Rendahnya kesadaran dinilai menjadi penghambat bagi upaya pemberdayaan mereka. Ini sesuai dengan kaidah fikih, mencegah lebih baik daripada mengobati (ad-daf’u ‘aqwa min ar-raf’i).

Pemerintah berkewajiban pula membuka akses pendidikan bagi para penyandang cacat. Pendidikan adalah salah satu instrumen penting untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka. Sulit meningkatkan kesejahteraan mereka tanpa memberikan pendidikan yang laik.

Prof Ismail menambahkan, pemerintah hendaknya mendirikan lembaga atau instansi khusus yang melayani mereka. Umar bin Abdul Aziz pernah menulis instruksi kepada pejabat Syam. Ia memerintahkan agar para tunanetra, pensiunan, atau sakit, dan para jompo didata sedemikian rupa guna memperoleh tunjangan. Instruksi ini dijalankan dengan baik.

Bahkan, konon sejumlah tunanetra memiliki pelayan yang menemani setiap waktu. Kebijakan yang sama juga ditempuh oleh al-Walid bin Abdul Malik. Sementara, Abu Ja’far al-Manshur mendirikan rumah sakit khusus untuk penyandang cacat di Baghdad. 

 

sumber:RepublikaOnline