Sudahkah Kita Mengukir Langit dengan Doa Kita?

JANGAN kosongkan langit dari doa kita. Sungguh rugi jika langit yang begitu luas dan siap menampung segala pinta ternyata sepi dari doa kita. Allah akan memberikan apa yang kita pinta seukur kesiapan pangkalan hati untuk menerima pemberianNya. Hanya pangkalan besar yang bisa menerima pendaratan pesawat besar. Hanya hati yang besar yang akan menerima amanah yang besar.

Melabuhkan harapan kepadaNya adalah awal yang tepat yang akan menjadikan hati tenang dan terus termotivasi. Melabuhkan harapan kepada selainNya adalah langkah awal yang salah yang seringkali mengantarkan pada kecewa dan sakit hati. Seringkali kita punya pengalaman berharap dan berharap kepada selainNya, terus menunggu sampai akhirnya dibosankan dengan kecemasan, dan akhirnya harapan itu tak kunjung menjadi nyata.

Yang memiliki kepastian tak ingkar janji hanyalah Allah, Rasulullah dan orang-orang yang cinta serta takut kepada Allah. Jumlahnya tak sebanyak jumlah manusia. Karena itu maka sangat terbuka peluang bagi kita untuk menjadi korban PHP (pemberi harapan palsu) jika berharap pada janji dari selain yang disebut di atas. Pastikanlah sejak saat ini bahwa kita percaya pada janji-janji Allah, percaya pada testimoni dan petuah para utusan Allah serta orang-orang yang dekat kepada Allah.

Selamat menikmati hidup saudaraku dan sahabatku. Buanglah segala keterikatan hati kepada duniawi, mulailah keterikatan hati dengan yang bersifat ukhrawi. Ulama pertanian berkata: “Menanam padi akan tumbuh disampingnya beragam rumput. Menanam rumput tak pernah ada kasus tumbuh menjadi padi.” dahulukan akhirat, dunia pasti ikut. Namun jangan letakkan dunia itu di hati kita, letakkan saja di tangan kita agar mudah untuk berbagi dan tak harus sakit hati jika semuanya pergi. Salam, AIM@Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Doa dan Tingkatan Iman

MENURUT Imam al-Ghazali, tingkatan iman itu ada enam. Pertama, keyakinan yang cuma berdasar pada kecenderungan hati. Ibaratnya seseorang yang mendengar sebuah ceramah tentang Allah yang menyukai orang meminta kepada-Nya. Orang itu percaya karena kecenderungan hatinya yang memang sedang menginginkan sesuatu, dan berharap pertolongan.

Iman pada tingkatan ini, dapat terasa dari doa yang ia panjatkan. Yang biasanya cuma meminta duniawi saja. Seperti, “Ya Allah saya ingin motor, yang baru, dan kalau bisa yang 1000 cc.” Dan terkadang cenderung mengatur Allah dalam doanya. Namun tidak masalah, asalkan orang tersebut sadar bahwa semua diinginkan adalah milik Allah. Itu sudah lumayan bagus.

Kedua, iman berdasarkan sebuah dalih yang lemah, tapi bukan dalil. Misalkan orang tadi meminta bukti jika Allah akan mengabulkan doanya, maka ia akan percaya saat ada yang bercerita padanya tentang tukang bubur yang rajin salat, lalu dikabulkan doanya sehingga bisa membeli motor keluaran terbaru dan tercanggih.

Pada tingkat ini, ia biasanya masih memohon yang duniawi, namun sudah mulai tidak mengatur Allah dalam doanya. “Ya Allah, terserah Engkau ingin memberi motor yang mana, saya terima asalkan dapat saya beli dengan uang halal, bisa membuat saya makin dekat kepada-Mu, dan tidak membuat saya sombong.” Ia sudah mulai ingin diatur Allah.

Ketiga, iman yang berdasar pada prasangka baik dan kepercayaan terhadap sang pembawa kabar. Misalkan orang tadi mendengar langsung dari sesosok ulama yang menyampaikan tentang kehidupan dunia. Keyakinannya atas apa yang disampaikan berdasar pada sosok yang menurutnya bukanlah seorang pembohong, sombong maupun pendengki.

Pada tingkat ini, doanya sudah berbeda. “Ya Allah, saya serahkan sepenuhnya kepada-Mu, Engkau ingin memberi saya motor atau tidak, yang saya mohonkan adalah agar ketika saya hendak bepergian, saya selamat sampai di tujuan.” Sudah tidak mengatur Allah sesuai keinginan, pakai motor sendiri misalnya. Tetapi terpenting adalah yang menyelamatkan dan terbaik menurut-Nya.

Keempat, iman berdasar dalil yang dipakai orang banyak, meski dalil tersebut masih bisa menimbulkan keraguan. Misal, kalau Allah SWT menciptakan manusia satu macam saja, yang sama-sama punya motor dan semua motornya mirip, maka hidup ini pasti membosankan, tak bisa saling mengenal. Namun dengan dalil itu masih bisa membuatnya agak diragukan dengan pernyataan, misalnya, “Harusnya Allah memberi sama agar tidak ada pencuri motor.” Pada tingkat ini, pikiran, amal dan doa yang dipanjatkan sudah berfokus pada pahala semata. Ketika misalnya, ia bisa menabung, maka tujuan menabungnya sudah bukan untuk membeli motor baru, tapi untuk berangkat ke Mekah. Karena salat di sana pahalanya sangat dahsyat.

Kelima, iman dengan dalil-dalil yang kuat dan sudah terbukti secara ilmiah. Ia akan merasa aneh jika masih terselip ragu, karena banyak dalil-dalil kuat yang sudah diakui. Nah, pada tingkatan ini, amal, doa dan dalam hati seseorang sudah tidak menghitung-hitung pahala, melainkan hanya surga semata. Dan tingkatan ini termasuk yang tertinggi.

Ketika kehilangan kesempatan bersedekah untuk pembangunan masjid, ia akan sangat sedih. Kesedihannya bukan karena kehilangan kesempatan memperoleh pahala. Namun kesedihan akibat kehilangan sepotong langkah menuju surga. Ia berdoa untuk kebahagiaan, dan kebahagiaan baginya adalah surga.

Keenam, iman sepenuh hati berdasar seluruh dalil yang teruji, baik kata demi katanya maupun kalimat demi kalimatnya, dan sudah tidak mungkin lagi digoyahkan oleh apapun. Tingkatan ini adalah puncaknya.

Sepenuh hati, segenap amal perbuatan, dan sedalam kemampuannya berdoa, maka permintaan dan upaya yang ditujunya sudah melampaui surga. Yang diinginkannya adalah dicintai dan diridhai Allah, dan bisa bertemu dengan-Nya. Harap, takut, sabar, syukur, ikhlas, dan seluruhnya hanyalah supaya bisa berjumpa dengan Allah. Di sinilah puncak kebahagiaan yang sesungguhnya.

Memang menurut Imam al-Ghazali, dalam suatu zaman, amat jarang orang yang sanggup mencapai tingkatan keenam yang puncak itu. Tetapi, pastinya yang paling baik bagi kita adalah terus-menerus meningkatkan keimanan kita.

Nah, saudaraku, dari enam tingkatan tersebut, masing-masing kita dapat mengevaluasi sudah sampai tingkatan manakah iman kita. Bertanya pada diri sendiri, dan bukan menilai orang lain. Dan dari sini, kita mulai melatih diri sendiri, terus dan tanpa putus supaya naik tingkat. Karena tidak mungkin, misalnya, cuma dengan sekali membaca tulisan ini, iman saudara langsung naik ke tingkatan tertinggi. [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Doa dan Tingkatan Iman

MENURUT Imam al-Ghazali, tingkatan iman itu ada enam. Pertama, keyakinan yang cuma berdasar pada kecenderungan hati. Ibaratnya seseorang yang mendengar sebuah ceramah tentang Allah yang menyukai orang meminta kepada-Nya. Orang itu percaya karena kecenderungan hatinya yang memang sedang menginginkan sesuatu, dan berharap pertolongan.

Iman pada tingkatan ini, dapat terasa dari doa yang ia panjatkan. Yang biasanya cuma meminta duniawi saja. Seperti, “Ya Allah saya ingin motor, yang baru, dan kalau bisa yang 1000 cc.” Dan terkadang cenderung mengatur Allah dalam doanya. Namun tidak masalah, asalkan orang tersebut sadar bahwa semua diinginkan adalah milik Allah. Itu sudah lumayan bagus.

Kedua, iman berdasarkan sebuah dalih yang lemah, tapi bukan dalil. Misalkan orang tadi meminta bukti jika Allah akan mengabulkan doanya, maka ia akan percaya saat ada yang bercerita padanya tentang tukang bubur yang rajin salat, lalu dikabulkan doanya sehingga bisa membeli motor keluaran terbaru dan tercanggih.

Pada tingkat ini, ia biasanya masih memohon yang duniawi, namun sudah mulai tidak mengatur Allah dalam doanya. “Ya Allah, terserah Engkau ingin memberi motor yang mana, saya terima asalkan dapat saya beli dengan uang halal, bisa membuat saya makin dekat kepada-Mu, dan tidak membuat saya sombong.” Ia sudah mulai ingin diatur Allah.

Ketiga, iman yang berdasar pada prasangka baik dan kepercayaan terhadap sang pembawa kabar. Misalkan orang tadi mendengar langsung dari sesosok ulama yang menyampaikan tentang kehidupan dunia. Keyakinannya atas apa yang disampaikan berdasar pada sosok yang menurutnya bukanlah seorang pembohong, sombong maupun pendengki.

Pada tingkat ini, doanya sudah berbeda. “Ya Allah, saya serahkan sepenuhnya kepada-Mu, Engkau ingin memberi saya motor atau tidak, yang saya mohonkan adalah agar ketika saya hendak bepergian, saya selamat sampai di tujuan.” Sudah tidak mengatur Allah sesuai keinginan, pakai motor sendiri misalnya. Tetapi terpenting adalah yang menyelamatkan dan terbaik menurut-Nya.

Keempat, iman berdasar dalil yang dipakai orang banyak, meski dalil tersebut masih bisa menimbulkan keraguan. Misal, kalau Allah SWT menciptakan manusia satu macam saja, yang sama-sama punya motor dan semua motornya mirip, maka hidup ini pasti membosankan, tak bisa saling mengenal. Namun dengan dalil itu masih bisa membuatnya agak diragukan dengan pernyataan, misalnya, “Harusnya Allah memberi sama agar tidak ada pencuri motor.” Pada tingkat ini, pikiran, amal dan doa yang dipanjatkan sudah berfokus pada pahala semata. Ketika misalnya, ia bisa menabung, maka tujuan menabungnya sudah bukan untuk membeli motor baru, tapi untuk berangkat ke Mekah. Karena salat di sana pahalanya sangat dahsyat.

TASAWUF SASTRA FIQIHMOZAIKKamis 18 Juni 2020

waspada virus corona, kenali dan pahami pencegahannya - inilah.com
  1. Home
  2.  Mozaik
  3.  Tasawuf

Doa dan Tingkatan Iman

KAOleh KH Abdullah GymnastiarKamis 18 Juni 2020 

MENURUT Imam al-Ghazali, tingkatan iman itu ada enam. Pertama, keyakinan yang cuma berdasar pada kecenderungan hati. Ibaratnya seseorang yang mendengar sebuah ceramah tentang Allah yang menyukai orang meminta kepada-Nya. Orang itu percaya karena kecenderungan hatinya yang memang sedang menginginkan sesuatu, dan berharap pertolongan.

Iman pada tingkatan ini, dapat terasa dari doa yang ia panjatkan. Yang biasanya cuma meminta duniawi saja. Seperti, “Ya Allah saya ingin motor, yang baru, dan kalau bisa yang 1000 cc.” Dan terkadang cenderung mengatur Allah dalam doanya. Namun tidak masalah, asalkan orang tersebut sadar bahwa semua diinginkan adalah milik Allah. Itu sudah lumayan bagus.

Kedua, iman berdasarkan sebuah dalih yang lemah, tapi bukan dalil. Misalkan orang tadi meminta bukti jika Allah akan mengabulkan doanya, maka ia akan percaya saat ada yang bercerita padanya tentang tukang bubur yang rajin salat, lalu dikabulkan doanya sehingga bisa membeli motor keluaran terbaru dan tercanggih.

Pada tingkat ini, ia biasanya masih memohon yang duniawi, namun sudah mulai tidak mengatur Allah dalam doanya. “Ya Allah, terserah Engkau ingin memberi motor yang mana, saya terima asalkan dapat saya beli dengan uang halal, bisa membuat saya makin dekat kepada-Mu, dan tidak membuat saya sombong.” Ia sudah mulai ingin diatur Allah.

Ketiga, iman yang berdasar pada prasangka baik dan kepercayaan terhadap sang pembawa kabar. Misalkan orang tadi mendengar langsung dari sesosok ulama yang menyampaikan tentang kehidupan dunia. Keyakinannya atas apa yang disampaikan berdasar pada sosok yang menurutnya bukanlah seorang pembohong, sombong maupun pendengki.

Pada tingkat ini, doanya sudah berbeda. “Ya Allah, saya serahkan sepenuhnya kepada-Mu, Engkau ingin memberi saya motor atau tidak, yang saya mohonkan adalah agar ketika saya hendak bepergian, saya selamat sampai di tujuan.” Sudah tidak mengatur Allah sesuai keinginan, pakai motor sendiri misalnya. Tetapi terpenting adalah yang menyelamatkan dan terbaik menurut-Nya.

Keempat, iman berdasar dalil yang dipakai orang banyak, meski dalil tersebut masih bisa menimbulkan keraguan. Misal, kalau Allah SWT menciptakan manusia satu macam saja, yang sama-sama punya motor dan semua motornya mirip, maka hidup ini pasti membosankan, tak bisa saling mengenal. Namun dengan dalil itu masih bisa membuatnya agak diragukan dengan pernyataan, misalnya, “Harusnya Allah memberi sama agar tidak ada pencuri motor.” Pada tingkat ini, pikiran, amal dan doa yang dipanjatkan sudah berfokus pada pahala semata. Ketika misalnya, ia bisa menabung, maka tujuan menabungnya sudah bukan untuk membeli motor baru, tapi untuk berangkat ke Mekah. Karena salat di sana pahalanya sangat dahsyat.Baca jugaAntara Doa dan Pemberian Allah


Menyehatkan Kembali Pola Hidup yang Lama Sakit


Antara Doa dan Pemberian Allah

Kelima, iman dengan dalil-dalil yang kuat dan sudah terbukti secara ilmiah. Ia akan merasa aneh jika masih terselip ragu, karena banyak dalil-dalil kuat yang sudah diakui. Nah, pada tingkatan ini, amal, doa dan dalam hati seseorang sudah tidak menghitung-hitung pahala, melainkan hanya surga semata. Dan tingkatan ini termasuk yang tertinggi.

Ketika kehilangan kesempatan bersedekah untuk pembangunan masjid, ia akan sangat sedih. Kesedihannya bukan karena kehilangan kesempatan memperoleh pahala. Namun kesedihan akibat kehilangan sepotong langkah menuju surga. Ia berdoa untuk kebahagiaan, dan kebahagiaan baginya adalah surga.

Keenam, iman sepenuh hati berdasar seluruh dalil yang teruji, baik kata demi katanya maupun kalimat demi kalimatnya, dan sudah tidak mungkin lagi digoyahkan oleh apapun. Tingkatan ini adalah puncaknya.

Sepenuh hati, segenap amal perbuatan, dan sedalam kemampuannya berdoa, maka permintaan dan upaya yang ditujunya sudah melampaui surga. Yang diinginkannya adalah dicintai dan diridhai Allah, dan bisa bertemu dengan-Nya. Harap, takut, sabar, syukur, ikhlas, dan seluruhnya hanyalah supaya bisa berjumpa dengan Allah. Di sinilah puncak kebahagiaan yang sesungguhnya.

Memang menurut Imam al-Ghazali, dalam suatu zaman, amat jarang orang yang sanggup mencapai tingkatan keenam yang puncak itu. Tetapi, pastinya yang paling baik bagi kita adalah terus-menerus meningkatkan keimanan kita.

Nah, saudaraku, dari enam tingkatan tersebut, masing-masing kita dapat mengevaluasi sudah sampai tingkatan manakah iman kita. Bertanya pada diri sendiri, dan bukan menilai orang lain. Dan dari sini, kita mulai melatih diri sendiri, terus dan tanpa putus supaya naik tingkat. Karena tidak mungkin, misalnya, cuma dengan sekali membaca tulisan ini, iman saudara langsung naik ke tingkatan tertinggi. [*]

INILAH MOZAIK

Doa yang Diajarkan Rasulullah pada Malam Lailatul Qadar dan Kandungannya

Bagaimana doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Lailatul Qadar? Bagaimana kandungan doa tersebut?

Doa yang diajarkan Rasulullah pada malam lailatul qadar

Hadits yang membicarakan doa ini adalah sebagai berikut.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ  قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jika saja aku tahu bahwa suatu malam adalah malam lailatul qadar, lantas apa doa yang mesti kuucapkan?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdoalah: ALLAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ’ANNII (artinya: Ya Allah, Engkau Maha Memberikan Maaf dan Engkau suka memberikan maaf—menghapus kesalahan–, karenanya maafkanlah aku—hapuslah dosa-dosaku–).” (HR. Tirmidzi, no. 3513 dan Ibnu Majah, no. 3850. Abu ‘Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Perbedaan Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah

Keduanya kalau mau diterjemahkan hampir sama, yaitu ampunan.

Al-‘afwu ini ada dalam doa:

ALLAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU’ANNI (artinya: Ya Allah, Engkau Maha Memberikan Maaf dan Engkau suka memberikan maaf—menghapus kesalahan–, karenanya maafkanlah aku—hapuslah dosa-dosaku–)

Al-maghfirah itu ada dalam kalimat:

ASTAGH-FIRULLAH (artinya: Aku memohon ampunan kepada Allah).

Imam Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullah mengatakan,

الْعَفوّ : هُوَ الَّذِي يمحو السَّيِّئَات ، ويتجاوز عَن الْمعاصِي ، وَهُوَ قريب من الغفور ، وَلكنه أبلغ مِنْهُ، فَإِن الغفران يُنبئ عَن السّتْر، وَالْعَفو يُنبئ عَن المحو، والمحو أبلغ من السّتْر

“Al-‘afuwwu (Maha Memberikan Maaf) artinya Allah itu menghapuskan kesalahan-kesalahan dan memaafkan maksiat yang diperbuat. Kata al-‘afuwwu (Maha Memberikan Maaf) dengan kata al-ghafur (Maha Pengampun) hamper semakna, namun makna al-‘afuwwu lebih luar biasa kandungannya. Karena al-ghufraan (pengampunan dosa) yang dimaksud adalah menutupi dosa, sedangkan al-‘afwu yang dimaksud adalah menghapus dosa. Menghapus dosa tentu saja lebih luar biasa kandungan maknanya dibanding dengan menutupi dosa.” (Al-Maqshad Al-Asna, hlm. 140)

Akan tetapi, ada pendapat lainnya yang menyatakan bahwa makna al-maghfirah (mengampuni) lebih luar biasa dibanding al-‘afwu (memaafkan, menghapus). Al-maghfirah bermakna menutupi, menggugurkan hukuman, dan meraih pahala. Sedangkan al-‘afwu tidak berakibat menutupi dosa dan meraih pahala.

Adapun menyatakan bahwa maghfirah (mengampuni) itu berarti memaafkan dosa, namun dosa tersebut masih ada dalam catatan amal; sedangkan ‘afwu (memaafkan, menghapus dosa) berarti memaafkan dosa dan membuat dosa itu terhapus dari catatan amal; pendapat ini tidak berdalil.

Lihat bahasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 236863.

Amalan kita masih serba kurang walau kita merasa sudah maksimal dalam beribadah

Ibnu Rajab rahimahullah memberi penjelasan menarik,

و إنما أمر بسؤال العفو في ليلة القدر بعد الإجتهاد في الأعمال فيها و في ليالي العشر لأن العارفين يجتهدون في الأعمال ثم لا يرون لأنفسهم عملا صالحا و لا حالا و لا مقالا فيرجعون إلى سؤال العفو كحال المذنب المقصر

“Sesungguhnya perintah memohon al-‘afwu (pemaafan, penghapusan dosa) pada malam lailatul qadar setelah kita bersungguh-sungguh beramal di dalamnya dan di sepuluh hari terakhir Ramadhan, ini semua agar kita tahu bahwa orang yang arif (cerdas) ketika sungguh-sungguh dalam beramal, ia tidak melihat amalan yang ia lakukan itu sempurna dari sisi amalan, keadaan, maupun ucapan. Karenanya ia meminta kepada Allah al-‘afwu (pemaafan) seperti keadaan seseorang yang berbuat dosa dan merasa penuh kekurangan.”

Yahya bin Mu’adz pernah berkata,

ليس بعارف من لم يكن غاية أمله من الله العفو

“Bukanlah orang yang arif (bijak) jika ia tidak pernah mengharap pemaafan (penghapusan dosa) dari Allah.” (Dinukil dari Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 362-363)

Semoga Allah memberikan kita pengampunan dan pemaafan.

Referensi:

Latha-if Al-Ma’arif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islamy. hlm. 362-363.

Fatawa Al-Islam Sual wa Jawabno. 236863. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid.


Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24407-doa-yang-diajarkan-rasulullah-pada-malam-lailatul-qadar-dan-kandungannya.html

Keutamaan Mendoakan Orang Lain di Tengah Wabah Corona

Doa diberikan kepada siapa saja yang sakit, baik dikenal maupun tidak.

Salah satu cara yang dianjurkan untuk mengurangi wabah Covid-19 adalah melakukan social distancing measure (SDM), yaitu jaga jarak antarmanusia. Hindari perkumpulan manusia selagi bisa dilakukan. 

Bahkan, kegiatan seperti arisan, majlis taklim, dan shalat Jumat di beberapa negara pun tidak dilaksanakan. Ini semua dilakukan agar virus tidak merebak dengan cepat dan eksponensial.

Ikhtiar seperti ini wajib dilakukan oleh setiap individu demi menjaga keselamatan dirinya, lingkungan, dan orang-orang yang ia cintai.

Meski sudah melakukan SDM, terkadang hal-hal yang tak terduga juga kerap terjadi. Misalnya, kita sering temui orang yang bersin ataupun batuk di sekeliling kita. 

Jika tindakan preventif seperti menggunakan masker dan cuci tangan kita lakukan, hal-hal eksternal seperti ini membuat hati kita menjadi ketar-ketir.

Maka, cara ini bisa kita coba; doakan orang yang bersin, batuk, atau sakit di sekeliling kita. Jika ia bersin dan mengucap hamdalah, balaslah dengan mendoakannya seraya berkata yarhamukallah. Atau, jika orang itu bersin atau batuk, doakanlah dalam hati. Minta kepada Allah Ta’ala kesembuhan untuknya. Maka, doamu akan diaminkan oleh malaikat, dan dirimu akan terlindungi berkat doa ikhlasmu untuk saudaramu!

Sebagaimana hadis dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang Muslim untuk saudaranya–yang ia sendiri tidak mengetahui bahwa ia didoakan–akan dikabulkan oleh Allah. Di atas kepala orang Muslim yang berdoa tersebut terdapat seorang malaikat yang ditugasi menjaganya. Setiap kali orang Muslim itu mendoakan kebaikan bagi saudaranya, niscaya malaikat yang menjaganya berkata, ‘Amin (semoga Allah mengabulkan) dan bagimu hal yang serupa.'” (HR Muslim)

Cobalah doakan setiap orang yang sakit, baik engkau kenal maupun tidak. Maka, dengan cara ini, Allah akan kabulkan doamu untuknya, dan bagimu yang berdoa juga akan Allah kabulkan.

Seorang ustaz pembimbing haji pernah ditanya oleh jamaahnya, mengapa ustaz terlihat bugar, padahal hampir semua jamaah terkena batuk saat di Tanah Suci. Sang ustaz membocorkan rahasianya seraya berkata, “Setiap kali saya mendengar ada orang yang batuk, baik di masjid ataupun di mana pun, saya selalu berdoa kepada Allah agar ia diberi kesembuhan!”

Semoga cara ini bisa kita lakukan dalam mengantisipasi Covid-19.

Oleh Ustadz Bobby Herwibowo

KHAZANAH REPUBLIKA


Lamanya Sujud Nabi dalam Shalat Malam

Bagaimana lamanya sujud Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat malam?

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail

  1. Bab Keutamaan Qiyamul Lail

Hadits #1171

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُصَلِّي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً – تَعْنِي فِي اللَّيلِ – يَسْجُدُ السَّجْدَةَ مِنْ ذَلِكَ قَدْرَ مَا يَقْرَأُ أحَدُكُمْ خَمْسِينَ آيَةً قَبْلَ أنْ يَرْفَعَ رَأسَهُ ، وَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الفَجْرِ ، ثُمَّ يَضْطَجِعُ عَلَى شِقِّهِ الأيْمَنِ حَتَّى يَأتِيَهُ المُنَادِي للصَلاَةِ . رَوَاهُ البُخَارِي .

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sebelas rakaat (yaitu shalat malam). Beliau sujud satu kali sujud untuk shalat tersebut seukuran dengan salah seorang dari kalian membaca Alquran lima puluh ayat, sebelum beliau mengangkat kepalanya. Dan beliau melakukan shalat dua rakaat sebelum shalat Shubuh. Kemudian beliau berbaring di atas sisi tubuhnya yang sebelah kanan sampai datang muazin kepada beliau. (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 994]

Faedah Hadits

  1. Disunnahkan memperlama sujud dalam shalat malam.
  2. Dianjurkan menjaga dua rakaat shalat Sunnah qabliyah Shubuh.
  3. Dibolehkan berbaring sejenak selepas melaksanakan dua rakaat shalat sunnah Fajar.
  4. Dianjurkan berbaring ke sebelah kanan.
  5. Muazin harus mengetahui imam hadir, barulah mengumandangkan iqamah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْمُؤَذِّنُ أَمْلَكُ بِالْأَذَانِ , وَالْإِمَامُ أَمْلَكُ بِالْإِقَامَةِ

Muazin adalah yang paling berhak menentukan azan dan imam adalah orang yang paling berhak menentukan iqamah.” (HR. Ibnu ‘Adi dan ia mendhaifkannya. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata bahwa hadits ini dhaif karena adanya Syarik bin ‘Abdullah Al-Qadhi, hafalannya jelek). Al-Baihaqi juga meriwayatkan hadits yang senada dari ucapan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. (Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan sanadnya kuat, perawinya tsiqqah).

Baca Juga:

  • Setan Terus Mengganggu Sehingga Kita Tidak Bangun Shalat Malam
  • Jadi Hamba yang Bersyukur dengan Tahajud

Referensi:

  1. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  2. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Kedua.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23133-lamanya-sujud-nabi-dalam-shalat-malam.html

Inilah Sebab Lemahnya Kekuatan Doa

DOA adalah sebab terkuat dalam menolak perkara-perkara yang tidak disukai (seperti musibah dan bencana), dan doa juga merupakan sebab terkuat dalam usaha meraih cita-cita. Namun pengaruh yang dihasilkan dari kekuatan doa setiap hamba, berbeda-beda.

Berikut ini adalah beberapa perkara yang sepatutnya diilmui oleh setiap mukmin dalam berdoa kepada Allah, agar doa yang dipanjatkannya memberikan pengaruh yang luar biasa ampuhnya baik di kehidupan dunia maupun di akhirat.

Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda:

“Berdoalah kepada Allah, disertai keyakinan kalian akan ijabah (terkabulnya doa), dan ketahuilah oleh kalian, bahwa Allah tidak menerima doa dari hati yang lupa lagi lalai” (Hadits Hasan, lihat ash-Shahihah: 596)

Doa yang dipanjatkan seorang hamba tidak akan memberikan pengaruh apa-apa baginya, selama hatinya hampa dari mengingat Allah. Lalai dari Allah (sebagai Dzat yang menjadi tujuan doanya), justru akan membatalkan dan melemahkan kekuatan doanya. [al-Hujjah]

INILAH MOZAIK

Baca Dua Ayat Al-Baqarah Hidup Akan Kecukupan

SIAPA yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada waktu malam, maka ia akan diberi kecukupan. Sebagian ulama ada yang mengatakan, ia dijauhkan dari gangguan setan.

Ada juga yang mengatakan, ia dijauhkan dari penyakit. Ada juga ulama yang menyatakan bahwa dua ayat tersebut sudah mencukupi dari salat malam. Benarkah?

Dua ayat tersebut, Allah Taala berfirman,

“Rasul telah beriman kepada Alquran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286)

Disebutkan dalam hadis dari Abu Masud Al-Badri radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka ia akan diberi kecukupan.” (HR. Bukhari no. 5009 dan Muslim no. 808)

Hadis di atas menunjukkan tentang keutamaan dua ayat terakhir surat Al-Baqarah.

Para ulama menyebutkan bahwa siapa yang membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, maka Allah akan memberikan kecukupan baginya untuk urusan dunia dan akhiratnya, juga ia akan dijauhkan dari kejelekan. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa dengan membaca ayat tersebut imannya akan diperbaharui karena di dalam ayat tersebut ada sikap pasrah kepada Allah Taala. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ayat tersebut bisa sebagai pengganti dari berbagai dzikir karena di dalamnya sudah terdapat doa untuk meminta kebaikan dunia dan akhirat. Lihat bahasan Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dalam Nuzhah Al-Muttaqin, hal. 400-401.

Al-Qadhi Iyadh menyatakan bahwa makna hadits bisa jadi dengan membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah akan mencukupkan dari shalat malam. Atau orang yang membacanya dinilai menggantungkan hatinya pada Alquran.

Atau bisa pula maknanya terlindungi dari gangguan setan dengan membaca ayat tersebut. Atau bisa jadi dengan membaca dua ayat tersebut akan mendapatkan pahala yang besar karena di dalamnya ada pelajaran tentang keimanan, kepasrahan diri, penghambaan pada Allah dan berisi pula doa kebaikan dunia dan akhirat. (Ikmal Al-Muallim, 3: 176, dinukil dari Kunuz Riyadhis Sholihin, 13: 83).

Imam Nawawi sendiri menyatakan bahwa maksud dari memberi kecukupan padanya menurut sebagian ulama- adalah ia sudah dicukupkan dari shalat malam. Maksudnya, itu sudah pengganti shalat malam. Ada juga ulama yang menyampaikan makna bahwa ia dijauhkan dari gangguan setan atau dijauhkan dari segala macam penyakit. Semua makna tersebut kata Imam Nawawi bisa memaknai maksud hadits. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 83-84.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan dua ayat tersebut ketika dibaca di malam hari, “Ketahuilah para ikhwan sekalian, kedua ayat ini jika dibaca di malam hari, maka akan diberi kecukupan. Yang dimaksud diberi kecukupan di sini adalah dijaga dan diperintahkan oleh Allah, juga diperhatikan dalam doa karena dalam ayat tersebut terdapat doa untuk maslahat dunia dan akhirat.” (Ahkam Al-Quran Al-Karim, 2: 540-541).

Semoga bisa mengamalkan untuk membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah ini mulai dari malam ini. Semoga kita meraih kebaikan dan keberkahan. Semoga Allah memberi taufik. [rumaysho]

INILAH MOZAIK

Jumat Ini, Sudah Berdoa Belum?

Hari Jumat merupakan waktu mustajabnya doa. Yuk belajar dari Riyadhus Sholihin siang ini.

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail

  1. Bab Keutamaan Hari Jumat, Kewajiban Shalat Jumat, Mandi untuk Shalat Jumat, Mengenakan Wewangian, Datang Lebih Dulu untuk Shalat Jumat, Berdoa pada Hari Jumat, Shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penjelasan tentang Waktu Dikabulkannya Doa (pada Hari Jumat), dan Sunnahnya Memperbanyak Dzikir kepada Allah Setelah Shalat Jumat

Hadits #1156

وَعَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ذَكَرَ يَوْمَ الجُمُعَةِ ، فَقَالَ : (( فِيهَا سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْألُ اللهَ شَيْئاً ، إِلاَّ أعْطَاهُ إيّاهُ )) وَأشَارَ بيَدِهِ يُقَلِّلُهَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jumat. Beliau bersabda, “Di dalamnya terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba yang muslim tepat pada saat itu berdiri shalat meminta sesuatu kepada Allah, melainkan Allah pasti memberikan kepadanya.” Beliau pun mengisyaratkan dengan tangannya untuk menggambarkan sedikitnya (sebentarnya) waktu tersebut. (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 935 dan Muslim, no. 852]

Faedah Hadits

  1. Ada anjuran untuk menyesuaikan waktu pada hari Jumat ini untuk berdoa.
  2. Hari Jumat dikhususkan untuk waktu terkabulnya doa menunjukkan akan agungnya hari tersebut dibanding hari-hari lainnya dan haji Jumat adalah sayyidul ayyam, pemimpin hari-hari yang ada.
  3. Para ulama semangat menentukan waktu pada hari Jumat ini sehingga mereka berselisih dalam: (1) penentuan waktunya pada hari Jumat, (2) apakah pengabulan doa pada hari Jumat masih ada atau sudah diangkat, (3) apakah berpindah dalam beberapa waktu dalam sehari ataukah tidak.

Perselisihan hingga 40 pendapat

Ibnu Hajar rahimahullah sendiri menyebutkan ada 40 pendapat dalam masalah ini. Beliau rahimahullah mengatakan,

أَنَّ كُلّ رِوَايَة جَاءَ فِيهَا تَعْيِين وَقْت السَّاعَة الْمَذْكُورَة مَرْفُوعًا وَهْم ، وَاَللَّه أَعْلَم.

“Setiap riwayat yang menyebutkan penentuan waktu mustajab di hari Jum’at secara marfu’ (sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) memiliki wahm (kekeliruan). Wallahu a’lam.” (Fath Al-Bari, 11:199)

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafizhahullah berkata, “Sudah sepantasnya seorang muslim berusaha untuk memperbanyak doa di hari Jum’at di waktu-waktu yang ada secara umum.”

Referensi:

  1. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  2. Fiqh Ad-Du’a’. Cetakan pertama, Tahun 1422 H. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah. Hlm. 46-48.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21009-jumat-ini-sudah-berdoa-belum.html