Ketika Dunia Terlupa Pembantaian Muslim Bosnia

Apakah mereka dilupakan karena korbannya Muslim? Semoga anda tak ikut melupakannya.

‘’Mereka itu Nazi. Dia datang menembaki semua orang.’’ Fatma, perempuan setengah baya yang menjaga gerai di sebuah hotel di Sarajevo terlihat tercekat ketika menceritakan soal perang saudara yang pernah berkecamuk di negerinya. Dia berbicara lirih dan dingin seperti suara gesekan udara di akhir musim semi di ibu koa Bosnia.

’Are you Muslim,’ tanyanya. Saya pun menangguk. Perempuan dengan dua orang cucu  tersenyum manis. Dia bertanya lagi dari mana asal saya: Are you Malaysia? tukasnya. Begitu saya menyebut Indonesia, dia segera menyahut. “Ya, di sini ada Masjid Indonesia. Masjid Soeharto. Di pusat kota,’’ tukas Fatma lagi.Seperti warga Muslim Bosnia lainnya, memang masjid Indonesia yang dibangun Presiden Soeharto melekat di mata dan hati orang mereka.

Benar, tempat ibadah umat Islam yang di dalamnya terdapat  mimbar berukir sumbangan BJ Habibie, di pusat kota Sarajevo masjid karya aritek asal Bandung, Ahmad Nuqman, itu tampak  berdiri megah. Di sebelahnya ada lapangan sepakbola. Tak jauh dari masjid ada jalur trem yang membelah kota yang di dekatnya ada trotoar yang sangat enak untuk berjalan kaki. Masjid itu berada dicekungan bukit. Letaknya sebenarnya yak begitu jauh dari lapangan terbang Sarajevo. Para jejaka dan gadis berdandan modis lalu lalang di situ.

Kata warga setempat, dahulu semasa perang perbukitan di sekeliling masjid itu sangat berbahaya. Di sana bertebaran sniper dan senjata berat dari Serbia. Siapa pun yang berani masuk ke arah lapangan terbang yang searah dengan lokasi masjid tak ada yang bisa selamat. Sisa-sisa bekas perang di beberapa gedung pun masih terlihat. Meski begitu Sarajevo tetap kota yang cantik. Ciri sebuah kota megah yang pernah menjadi pusat Olimpida Musim dingin pada tahun 1982, masih terasa adanya.

Ya memang kota ini memang sekarang tentram. Tapi nun 23 tahun silam, tempat ini malah menjadi ajang konflik akibat runtuhnya Yugoslavia menjadi tujuh negara. Bekas kekuasan diktator Joseph Broz Tito hancur berkeping-keping. Celakanya tak hanya konflik, tapi perpecahan ini malah kemudian memantik perang dan pembantaian massal. Sisa konflik itu berbekas pada bekas taman di tengah kota yang menjadi tempat pekuburan masal. Taman bunga melati dan mawar sesuai perang berubah menjadi pemakaman massal. Lokasi memanjang serta meninggi ke arah sebuah bukit.

‘’Saudara saya banyak yang mati menjadi korban. Entah apa tiba-tiba Serbia datang menyerbu dan membantai seperti Nazi,’’ Fatma berulangkai mengulang kata ‘Nazi’. Tampak ada kepilaun yang mendalam di wajahnya ketika menyebut kata itu. Dan memang dari sejarahnya wilayah Bosnia atau Balkan banyak bersinggungan dengan ekspansi Hitler semasa perang dunia II.

‘’Mereka bantai kami karena Muslim,’’ ujarnya lagi. Bukan hanya itu, lanjut Fatma, tak cukup membunuh mereka juga memperkosa. Dan hasilnya setelah itu banyak perempuan Bosnia yang pikirannya terganggu dan mendapat anak hasil tindakan perkosaan.’’Mereka ingin menghilangkan darah dan keturunan asli orang Bosnia,’’ ujarnya lagi. Setelah berkata seperti itu dengan terbata Fatma membaca Alfatihah yang ternyata masih bisa diingatnya. Sesaat dia kemudian berhasil menguasai emosinya yang sempat bergejolak hebat.

Memang bekas pembantaian kini tak begitu terlihat di Sarajevo. Namun ketika pergi menuju sebuah kota kecil yang berada di sebelah timur, Srebenica, nuansa horor pembantaian dapat segera terlihat. Begitu masuk kota Srebrenica, sebuah pekuburan masal segera terlihat. Letaknya persis di pinggir jalan besar. Dalam pemakaman masal tercantum nama para korban. Semua Muslim dan ini bisa terlihat dari namanya yang memakai nama Islam meski dalam ejaan Bosnia yang agak mirip dengan bahasa Turki.

‘’Sampai kini sisa konflik masih tersisa. Orang Serbia yang melintas di dekat pemakaman masal itu kerap memancing keributan dengan membunyikan klakson mobil keras-keras. Akibatnya, warga Srebrenica banyak yang kesal dan membalas dengan melempari mobil itu,’’ kata seorang warga Bosnia yang menjadi mengelola sebuah restoran ala Turki di sebuah pinggir jalan sebelum masuk ke Srebrecina.

Tak hanya itu, dendam kesumat antara warga Serbia dan Bosnia bahkan sempat terjadi langsung di sebuah plaza. Entah mengapa tiba-tiba ada dua kelompok orang ribut sambil memakai. Tak jelas apa yang mereka pertengkarkan karena memakai bahasa lokal. Namun dari cerita orang-orang ada disekitarnya yang ikut menjaga toko, menyebutnya sebagai perterungan ‘Derbi’ (pertarungan orang sekota). Kedua kelompok itu bertengkar kata saling mengejek dan menantang. Yang satu menuduh orang Bosnia pengecut, yang satu menyebut orang Serbia penjajah dan pembantai. Perang kata-kata berlangsung cukup lama, meski tidak sampai kemudian terjadi keributan fisik.

‘’Orang Bosnia dan Serbia masih saling bertengkar ketika bertemu,’’ kata Nadeem pemandu wisata asal Belanda yang keturunan Turki. Kebetulan dia adalah saksi mata langsung tragedi pembantaian itu. Tak hanya itu Nadeem hadir sebagai relawan yang pertama pada hari-hari sesuai terjadi pembantaian dan pengungsian besar-besar Muslim Srebrenica.

’’Mengenang pembantaian itu saya pun masih emosi. Setiap datang ke sini saya sedih luar biasa,’’ ujarnya.

Pada 11 Juli 1995 atau 23 tahun silam atau sesudah tiga tahun Bosnia memasuki masa perang saudar,militer Serbia  menyerbu zona aman yang didirikan PBB di kota timur Sarajevo, yakni Srebrenica. Mereka memisahkan sekitar 8.000 pria dan anak laki-laki Muslim dari para wanita yang mencari perlindungan di daerah tersebut.

Setelah mengumpulkan para lelaki Musllim Bosnia, mereka membawanya ke ladang dan gudang di desa-desa sekitarnya. Di situlah tragedi terjadi. Para lelaki Serbia bersenjata ini membantai mereka selama tiga hari. Sebagian pengungsi ada yang berhasil lari, namun sebagian besar terbunuh.

Kekejaman itu terlihat jelas adanya usaha nyata yang berusaha melikuidasi penduduk Muslim Bosnia. Skenario ini sebagai bagian dari upaya untuk mengukir kebesaran Serbia setelah keluar dari reruntuhan Yugoslavia. Bosnia memilki memiliki populasi Muslim yang besar. Kroasia, dan Serbia pun begitu sebenarnya, namun dahulu tak menjadi masasalah ketika mereka masih bersatu dalam republik sosialias komunis Yugoslavia yang memang nyaris tanpa tanpa adanya mayoritas etnis. (lihat peta).

Militer Serbia di bawah komando Milosevic, Karadzic, dan para militan yang di bawah kepemimpinan Ratko Mladic, mereka  melakukan pembersihan etnis untuk membasmi sebanyak mungkin Bosnia dari bekas Yugoslavia itu. Tujuannya jelas, menguasai Bosnia dan mendirikan Serbia Raya.

Maka peristiwa pembantaian Srebrenica adalah hasil yang tak terelakkan. Tindakan pembunuhan massal ini menyampaikan pesan brutal bahwa umat Islam tidak aman di mana pun di dalam negeri itu. Bukan hanya itu saja, semenjak awal PBB dan masyarakat internasional sepertinya tidak dapat  dan tidak mau melindungi mereka.

 Padahal kala itu, yakni semenjak tahun 1993 PBB sebenarnya ya telah membentuk zona demiliterisasi di Srebrenica. Organisasi dunia ini berusaha menciptakan sebuah wilayah di mana Muslim yang dipaksa keluar dari rumah mereka di tempat lain di Bosnia dapat menemukan keamanan dari serangan Serbia bila tinggal di tempat itu.

Namun, orang-orang Serbia berniat mengambil wilayah ini yang juga menjadi kantong perlawanan para Muslim Bosnia.  Bagi Serbia, mengutip sebuah memo CIA yang tidak diklasifikasikan, kala itu menggambarkan Srebrenica sebagai sebuah zona yang menyedak lehernya. Zona aman di timur Bosnia ini dipandang layaknya ‘tulang ikan di tenggorokan orang Serbia.’

Maka Serbia akhirnya nekad melakukan penyerbuan ke Srebrenica.  Mereka juga sebenarnya tahu bila penyerangan itu berisiko terjadinya pembantaian terhadap kaum Muslim Bosnia.

Nah, pada hari pekan pertama di awal Juni 1995 itulah kekejaman terjadi. Pasukan Serbia menyisir desa-desa sekitar, memaksa sekitar 20.000 Muslim Bosnia mengungsi dan keluar dari zona aman yang ada di dalam wilayah aman PBB tersebut.

Tak hanya menculik warga Bosnia, pasukan Serbia juga telah menculik 30 pasukan pemelihara perdamaian asal Belanda. Apalagi, kala itu pasukan perdamaian asal Belanda tak punya kekuatan senjata yang cukup. Selain kalah jumlah, mereka hanya dilengkai senjata seadanya sehingga tak mampu menjaga Serbenica yang dijadikan zona aman oleh PBB tersebut. Tak ayal lagi, tepat pada 6 Juli 1995 penyerbuan Srebrenica dimulai. Serbia dengan sangat jelas  tidak menghormati area aman PBB tersebut.

Pada jam-jam menjelang pembunuhan, Jendral Serbia Ratzko Mladic –yang menghadapi kini tuduhan kejahatan perang– dalam sebuah video tertawa-tawa dan membagi-bagikan permen kepada pasukannya. Seorang wartawan veteran CNN, Christiane Amanpour, sempat merekam momen itu. Hasilnya, salah satu potongan video yang dibuatnya menjadi momentum hidup Amanpour yang  paling tidak bisa dihilangkan dari ingatannya,”Gambar itu menjadi sebuah tanyangan yang paling mengerikan yang pernah saya lihat dalam hidup saya.”

Ironinya, petualangan dan kekejaman pasukan Serbia tak mendapat soroton yang layak. Komunitas internasional seakan tidak peduli. Pasukan PBB hanya sedikit sekali di Serbenica. Tempat itu yang seharusnya dijaga oleh 6.000 pasukan perdamaian, kala penyerbuan Serbia datang hanya dijaga sekitar 600 orang saja. Mereka tak berarti apa-apa karena hanya dilengkapi senjata ringan. Sedangkan pasukan Serbia menyerbu dengan senjata lengkap dan dilengkapi dengan tank serta senjata berat lainnya.

Memang ketika pasukan Mladic dan tentara Serbia Bosnia (kemudian ditulis Serbia saja, red) memasuki Srebrenica, pasukan penjaga perdamaian memasang melakukan sedikit perlawanan dan bahkan membatalkan serangan udara ketika orang-orang Serbia mengancam akan membunuh sandera Belanda mereka. Tapi mereka tak berdaya banyak. Bahkan, di kemudian hari, penjaga perdamaian ini dituduh merusak bukti video yang menandai aksi kelambanan mereka untuk menyelematkan warga Muslim Bosnida di Srebrenica.

Sebuah catatan seorang warga Bosnia, Armin Rosen, menceritakan kekejaman itu.  Katanya, “Mereka culik warga dari pengungsian serta di tembaki di sekitar wilayah Srebrenica yang berbukit-bukit.

 Pasukan Serbia menahan hampir semua pria Muslim yang ada di daerah itu untuk ‘interogasi’. Lebih dari 8.000 orang mereka bunuh pada hari-hari berikutnya,’’ kata Armin dalam tulisannya.

Akhirnya, dunia internasional pun tak tahan terhadap aksi kejam itu. Pembantaian itu menggugah opini internasional dan menyebabkan intervensi Amerika Serikat. NATO terpaksa masuk ke dalam perang sipil Bosnia. Alhasil, tak lama setelah penyerbuan dan pembantaian itu, bom NATO mulai dijatuhkan pada posisi Serbia.

Alhasil, fajar perdamaian mulai muncul. Pada November 1995, Milosevic dan Presiden Bosnia Alija Izetbegovic menandatangani Kesepakatan Dayton yang ditengahi AS. Kesepakatan inilah yang menjadikan Bosnia sebagai satu negara sekaligus menciptakan sebuah ‘republik’ di belakang garis depan Serbia.

Menurut The New York Times, 6.930 mayat telah diidentifikasi dari 17.000 bagian tubuh yang ditemukan di lusinan kuburan massal Srebrenica. Seorang direktur jenderal Komisi Internasional untuk Orang Hilang, menulis dalam editorial di The Guardian sempat mengatakan: “Mereka yang tewas di Srebrenica pada Juli 1995 percaya mereka bisa lolos dari pembunuhan. Mereka pikir mereka bisa menghapus identitas korban mereka secara permanen. Sayangnya anggapan mereka salah!”

Dan ini terbukti lima belas tahun kemudian, yakni pada 26 Mei 2011, Jendral Ratko Mladic ditangkap dan ditahan di Serbia sebagai tersangka dalam pembantaian di Srebrenica itu. Kemudian pada Maret lalu 2017, delapan tentara Serbia lainnya ditangkap karena dicurigai ikut serta dalam pembunuhan.

Ya itulah tragedi pembantaian baru atau genosida di abad moderen ini. Apakah orang masih peduli dan ingat? Apakah mereka dibiarkan saja karena mereka Muslim? Kalau benar celaka sekaligus ironis memang!

 

REPUBLIKA

Tantangan Dakwah Islam di Mozambik

Islam menghadapi tantangan serius di Mozambik selama era kolonial. Sepanjang periode Estado Novo atau Portugal (1926-1974), Roman Katolik menjadi agama dominan yang dimungkinkan oleh aliansi resmi antara gereja dan pemerintah. Baru pada permulaan Perang Pembebasan, negara menurunkan level penentangnya pada Islam. Hal itu dilakukan untuk menghindarkan aliansi antara Muslim dan gerakan pembangkang.

Lalu, alih-alih menjadi alasan bersuka cita, kemerdekaan Mozambik pada 1975 justru berbuntut kondisi yang menyedihkan bagi umat beragama di sana. Hal itu disebabkan oleh partai pemenang yang berkuasa sejak Mozambik merdeka, dikenal dengan Frelimo, menerapkan konsep-konsep Marxis sepanjang Perang Pembebasan.

Setelah merdeka, pemerintah menyatakan Mozambik sebagai negara sekuler. Penetapan itu dibarengi dengan nasionalisasi seluruh sekolah dan fasilitas kesehatan. Pemerintah bahkan kemudian mengambil alih dan menjalankan sekolah-sekolah tersebut melalui institusi-institusi agama.

Menerima resistensi dari masyarakat yang berontak, negara baru itu berang. Mereka memenjarakan beberapa pendeta pada 1975 dan 1976 serta mengusir seluruh saksi Yehuwa ke sebuah distrik di Zambezia pada 1977. Semua itu menjadi bagian dari kampanye antiagama yang berlangsung hingga 1982 dan menyerang semua agama yang ada di Mozambik. Islam kala itu menjadi pihak yang paling menderita, dikarenakan Frelimo menyebarkan prasangka dan tuduhan tentang Islam.

Kampanye antiagama tersebut baru berakhir secara resmi saat partai berkuasa mengadakan pertemuan dengan seluruh insitusi agama. Pada kesempatan itu, mereka mengatakan, kesalahan telah terjadi dan kesatuan nasional harus diberlakukan. Meski kontrol negara terhadap institusi agama tetap berlanjut setelah 1982, penyerangan negara terhadap kepercayaan warganya berakhir pada waktu itu.

Von Sicard berkesimpulan, meski Islam memiliki sejarah yang panjang dan prestisius di Mozambik, perkembangannya dihancurkan oleh ketiga periode tersebut. Yakni, periode koloni, perjuangan mencapai kemerdekaan dan bahkan oleh periode kemerdekaan.

Pada akhir periode sosialis-yang dimulai 1989-barulah Muslim lebih leluasa dan membangun masjid-masjid baru. Mereka juga merintis jalan menuju perlemen sejak itu. Beberapa badan Muslim Afrika Selatan, Kuwait dan lainnya, mulai aktif, termasuk satu di antara yang terpenting, yakni Badan Muslim Afrika.

Sebuah universitas Islam dibangun di Nampula. Dan, kini negara yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia itu aktif sebagai anggota Organisasi Kerja Sama Islam (Organisation of Islamic Cooperation/OIC).

 

REPUBLIKA

Muslim Mozambik Jaga Persatuan dan Persaudaraan

Islam adalah agama terbesar kedua di Mozambik. Menurut laman africa.com, Islam telah mengalami perkembangan yang signifikan. Populasi Muslim telah mencapai 27,8 persen dari total populasi. Katolik Roma adalah agama terbesar dengan jumlah pemeluk mencapai 32,8 persen dari total populasi. Penganut Protestan jumlahnya mencapai 17,5 persen, sedangkan ateis hanya 5,1 persen.

Muslim Mozambik terdiri atas keturunan penduduk Asia Selatan serta sejumlah kecil imigran dari Afrika Utara dan Timur Tengah. Mayoritas utama merupakan Muslim Sunni. Sedangkan, kelompok etnis Macua diperkirakan mencapai empat juta jiwa dan mendominasi penduduk di bagian selatan negara itu.

Belajar dari keterpurukannya pada masa lalu, Muslim Mozambik memfokuskan diri pada persatuan dan persaudaraan. George O Ndege (2007) dalam Culture and Customs in Mozambik menyebutkan, mereka tampil sebagai sekte yang tidak monolitik. Hal itu mereka tunjukkan dengan menjadi bagian dari bermacam organisasi persaudaraan yang dikenal dengan ‘tariqa.’

Dua tariqa utama di antaranya dari golongan Sufi, yakni Shadhiliyyah dan Qadiriyyah yang muncul di Mozambik pada awal abad ke-20. Keduanya tertanam kuat di Pulau Mozambik (sebuah pulau di utara Mozambik) dan selanjutnya menjadi poin ekspansi ke wilayah-wilayah dan komunitas di sekitarnya.

Ada pula dua organisasi nasional, yakni Conselho Islamico de Mocambique (beranggotakan para reformis Islam) dan Congresso Islamico de Mocambique (pro-Sufi). Komunitas-komunitas Ismaili dan Syiah di luar itu juga menjadi asosiasi Indo-Pakistan yang penting di negara tersebut.

Sebagai bukti tumbuhnya kepercayaan Muslim kala itu, pada kurun waktu yang sangat awal pada abad yang sama telah terdapat 15 masjid dan 10 sekolah Alquran di kawasan Angoche. George O Ndege menulis, kebanyakan dari mereka yang masuk Islam konon telah mengetahui bagaimana menulis bahasa mereka dengan aksara Arab.

Peran anggota Qadiriyyah di Pulau Mozambik menjadikan pulau tersebut pusat kebangkitan intelektual Islam. Kemajuan itu menandai perkembangan di pantai timur Afrika sepanjang awal abad 20. Dari sana, lahir banyak tokoh berpendidikan Muslim yang sangat membantu penyebaran cabang-cabang Qadiriyyah ke Malawi, Zanzibar, dan Kepulauan Komoro. Dan, sebagai imbalan, Pulau Mozambik menerima banyak ulama

 

REPUBLIKA