Enam Hal yang Tidak Membatalkan I’tikaf Meski Keluar dari Masjid

Tinggal di masjid selama bulan Ramadhan adalah bagian dari tata cara i’tikaf yang benar, menurut ulama ada enam hal yang yang tidak membatalkan i’tikaf meski keluar dari masjid.

Pada dasarnya bagi siapa saja yang melakukan i’tikaf tidak boleh baginya keluar dari masjid. Jika ia keluar dari masjid tanpa ada keperluan, maka batal lah itikafnya. Karena i’tikaf adalah diam di masjid dalam waktu tertentu, jika ia meninggalkan masjid sebelum selesai waktunya maka ia telah melakukan perkara yang menafikan itikaf itu. (Lihat, Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 6/477)

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي المَسْجِدِ، فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ البَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا» (رواه البخاري)

Artinya: Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, ”Dan jika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam benar-benar memasukkan kepala beliau kepadaku sedangkan beliau tetap di masjid, maka aku pun meyisir rambut beliau. Dan beliau tidak memasuki rumah kecuali untuk keperluan jika beliau melakukan itikaf.” (Riwayat Al Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bahwa siapa yang melakukan i’tikaf tidak menyibukkan diri kecuali berdiam diri di masjid, baik untuk melaksanakan shalat-shalat, membaca Al Quran maupun berdzikir. Dan tidak keluar kecuali bagi siapa yang memiliki keperluan. (Syarh Shahih Al Bukhari li Ibni Baththal, 4/165)

Nah, apa saja hal-hal yang membolehkan seorang yang beriitikaf untuk keluar dari masjid dan hal itu tidak membatalkan itikafnya?

Buang Hajat

Dibolehkan bagi siapa saja yang beritikaf untuk keluar dari masjid dalam rangka membuang air besar maupun air kecil. Perkara ini merupakan ijma seluruh umat Islam. Demikian juga boleh untuk mandi wajib. Membuang hajat di rumah tetap dibolehkan meski di masjid tersedia tempat untuk itu. Tidak disyaratkan pula untuk boleh keluar dalam rangka membuang hajat jika hajatnya sangat mendesak, karena hal itu bisa menimbulkan madharat. Dan tidak pula diharuskan cepat-cepat dalam membuang hajatnya itu. Namun jika harus berkali-kali membuang hajat dikarenakan diare, menurut mayoritas ulama madzhab Syafii tidak merusak i’tikaf. (Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/490,491)

Makan dan Minum

Dalam madzhab Syafii dibolehkan seseorang keluar dari masjid menuju rumah ketika ia melakukan itikaf jika itu dilakukan untuk makan. Perkara itu dibolehkan meskipun ia bisa melakukannya di masjid. Demikian menurut pendapat mayoritas dan pendapat ini merupakan pendapat shahih.

Adapun minum jika seseorang merasa haus sedangkan di masjid tidak tersedia air minum, maka ia boleh pulang ke rumahnya. Namun jika tersedia air minum di masjid, maka ada perbedaan para ulama mengenai hukumnya, yang paling shahih adalah tidak boleh keluar dari masjid. (Al Majmu` fi Syarh Al Muhadzdzab, 6/434)

Shalat Jenazah

Dalam madzhab Syafii ada perbedaan antara itikaf yang hukumnya wajib seperti itikaf karena nadzar dengan i’tikaf yang hukumnya sunnah. Untuk itikaf yang hukumnya wajib tidak boleh ditinggalkan meski untuk melaksanakan shalat jenazah. Namun jika itikaf sunnah, boleh keluar untuk melaksanakan shalat jenazah. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/497)

Menjenguk Orang Sakit

Siapa saja yang melaksanakan itikaf boleh menjenguk orang yang sakit tatkala ia melaksanakan itikaf sunnah, hal itu karena masing-masing, baik itikaf maupun menjenguk orang sakit sama-sama sunnah, maka ia bisa memilih. Namun jika itikaf yang dikerjakan adalah itikah wajib, maka tidak boleh baginya meninggalkan masjid untuk menjenguk orang sakit. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 498, 499)

Sakit

Jenis sakit ada dua, yakni sakit yang ringan dan sakit yang berat. Jika seorang menderita sakit ringan seperti batuk, demam ringan dan lainnya, maka tidak diperkenankan baginya untuk keluar dari masjid. Namun untuk penderita sakit berat di mana perlu tempat tidur dan pemeriksaan dokter, maka diperbolehkan keluar dari masjid. Namun apakah i’tikafnya terputus? Pendapat yang paling shahih menyatakan bahwa itikafnya tidak terputus. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/504)

Lupa

Jika seseorang keluar dari masjid karena lupa tatkala ia melakukan itikaf, maka I’tikafnya tidak batal. Dan pendangan ini adalah pendapat madzhab menurut mayoritas. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdab, 6/508)

Meski dibolehkan bagi siapa yang melakukan i’tikaf untuk keluar karena udzur, maka ketika ia memungkinkan untuk kembali ke masjid akan tetap ia memilih tidak kembali maka batallah itikafnya, hukumnya seperti orang yang keluar dari masjid tanpa ada udzur. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/510)*

HIDAYATULLAH