Eric Hensel: Ada Alasan Islam Melarang Daging Babi dan Alkohol

Erick Hensel rutin berkomunikasi dengan temannya di Dubai. Setiap kali bertemu mereka, ia akan melontarkan pelbagai pertanyaan. Persoalan keislaman pun tak luput ditanyakan hingga teman-temannya jengah.

Mereka mengatakan, “Berhentilah bertanya. Kalau kamu bertanya, mengapa perempuan mengenakan penutup wajah, itu pertanyaan negatif. Tidak perlu ditanyakan. Mengapa perempuan menutup wajah seperti itu? Atau, mengapa perempuan tampak alami bila terlihat seperti ini? Jangan terus-menerus bertanya tentang sesuatu yang aneh tentang Islam. Dan, jangan bertanya soal ini lagi dan lagi!”

Hensel yang dibesarkan di keluarga Kristiani ini tak menyerah. Kendati tidak digubris, dia mencari sendiri jawaban untuk menutup rasa ingin tahunya. Baginya, manusia tidak selalu bisa mengandalkan opini orang lain. Agama adalah soal `kamu’ dan `pencarianmu’. Pencarian untuk menemukan sesuatu yang bermakna dan menuntunnya pada hidup yang lebih baik.

Saat itu, Hensel masih tinggal di Timur Tengah. Dia mulai banyak belajar mengenai Islam. Kadang-kadang, dia membaca sesuatu sampai gemetar dan berkeringat. Hensel tidak tahu dari mana tekanan itu berasal. Akan tetapi, pria Amerika itu mulai menemukan sebentuk kebenaran.

Hensel kemudian juga membeli sajadah, meminjam buku agama berbahasa Inggris, dan mencari referensi via internet. Dia menjelajah mulai dari Wikipedia sampai situs-situs keislaman untuk mendapat informasi pembanding yang lebih gamblang.

Hingga pada beberapa kesempatan, Hensel yakin tidak mungkin dia bisa belajar semua itu. Dia hampir-hampir menyerah. Tidak ada cara untuk mempelajari itu semua.

“Setiap kita memiliki sebuah kesempatan. Pilihannya, akan kita ambil atau kita lewatkan. Saya bisa jadi meninggal besok. Saya mungkin akan melewatkan kesempatan itu dan tidak akan pernah mendapatkannya kembali,” ucapnya mengenang.

Butuh waktu sekitar sepekan untuk meyakinkan diri atas keputusan itu. Ada juga hal-hal kecil yang masuk ke pikiran Hensel, seperti larangan makan daging babi atau minum bir, tapi dia merasa dorongan berislam jauh lebih kuat. Hensel meyakinkan diri. Islam memang sesuatu yang baru, tapi tidak akan membuatnya berbeda.

Dia yang dulu hidup tanpa makna dan sekadar bersenang-senang, kini memiliki tujuan hidup. Dengan keyakinan itu, Hensel mantap mengikrarkan syahadat. Waktu itu dia sendirian, di kamar. Dia itu kemudian belajar shalat dan berdoa. Karena selalu bepergian, dia tidak pernah tinggal di satu tempat cukup lama dan memiliki keluarga dekat. Dia cukup beruntung memiliki lingkungan yang mendukung. Relawan itu mendapat tempat untuk belajar Islam dan bahasa Arab.

“Keluargaku di AS adalah keluarga yang sangat baik. Mereka mendukung sepanjang perjalanan hidupku. Tapi, memiliki keluarga Muslim yang mendukungmu sangat penting,” ujarnya.

 

sumber: Republika Online