Fikih Haji (8): Kesalahan-Kesalahan Seputar Haji

Dalam pelaksanaan ibadah haji, ternyata masih banyak ditemukan kesalahan. Berikut kesalahan seputar ibadah haji yang sering dilakukan.

Kesalahan ketika ihram

  1. Melewati miqot tanpa berihram seperti yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji Indonesia dan baru berihram ketika di Jeddah.
  2. Keyakinan bahwa disebut ihram jika telah mengenakan kain ihram. Padahal sebenarnya ihram adalah berniat dalam hati untuk masuk melakukan manasik.
  3. Wanita yang dalam keadaan haidh atau nifas meninggalkan ihram karena menganggap ihram itu harus suci terlebih dahulu. Padahal itu keliru. Yang tepat, wanita haidh atau nifas boleh berihram dan melakukan manasik haji lainnya selain thawaf. Setelah ia suci barulah ia berthawaf tanpa harus keluar menuju Tan’im atau miqot untuk memulai ihram karena tadi sejak awal ia sudah berihram.

Kesalahan dalam thawaf

  1. Membaca doa khusus yang berbeda pada setiap putaran thawaf dan membacanya secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang pemandu. Ini jelas amalan yang tidak pernah diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Melakukan thawaf di dalam Hijr Isma’il. Padahal thawaf harus dilakukan di luar Ka’bah, sedangkan Hijr Isma’il itu berada dalam Ka’bah.
  3. Melakukan roml pada semua putaran. Padahal roml hanya ada pada tiga putaran pertama dan hanya ada pada thawaf qudum dan thawaf umrah.
  4. Menyakiti orang lain dengan saling mendorong dan desak-desakan ketika mencium hajar Aswad. Padahal menyium hajar Aswad itu sunnah (bukan wajib) dan bukan termasuk syarat thawaf.
  5. Mencium setiap pojok atau rukun Ka’bah. Padahal yang diperintahkan untuk dicium atau disentuh hanyalah hajar Aswad dan rukun Yamani.
  6. Berdesak-desakkan untuk shalat di belakang makam Ibrahim setelah thawaf. Padahal jika berdesak-desakkan boleh saja melaksanakan shalat di tempat mana saja di Masjidil Haram.
  7. Sebagian wanita berdesak-desakkan dengan laki-laki agar bisa mencium hajar Aswad. Padahal ini adalah suatu kerusakan dan dapat menimbulkan fitnah.

Kesalahan ketika sa’i

  1. Sebagian orang ada yang meyakini bahwa sa’i tidaklah sempurna sampai naik ke puncak bukit Shafa atau Marwah. Padahal cukup naik ke bukitnya saja, sudah dibolehkan.
  2. Ada yang melakukan sa’i sebanyak 14 kali putaran. Padahal jalan dari Shafa ke Marwah disebut satu putaran dan jalan dari Marwah ke Shafa adalah putaran kedua. Dan sa’i akan berakhir di Marwah.
  3. Ketika naik ke bukit Shafa dan Marwah sambil bertakbir seperti ketika shalat. Padahal yang disunnahkan adalah berdoa dengan memuji Allah dan bertakbir sambil menghadap kiblat.
  4. Shalat dua raka’at setelah sa’i. Padahal seperti ini tidak diajarkan dalam Islam.
  5. Tetap melanjutkan sa’i ketika shalat ditegakkan. Padahal seharusnya yang dilakukan adalah melaksanakan shalat jama’ah terlebih dahulu.

Kesalahan di Arafah

  1. Sebagian jamaah haji tidak memperhatikan batasan daerah Arafah sehingga ia pun wukuf di luar Arafah.
  2. Sebagian jamaah keluar dari Arafah sebelum matahari tenggelam. Yang wajib bagi yang wukuf sejak siang hari, ia diam di daerah Arafah sampai matahari tenggelam, ini wajib. Jika keluar sebelum matahari tenggelam, maka ada kewajiban menunaikan dam karena tidak melakukan yang wajib.
  3. Berdesak-desakkan menaiki bukit di Arafah yang disebut Jabal Rahmah dan menganggap wukuf di sana lebih afdhol. Padahal tidaklah demikian. Apalagi mengkhususkan shalat di bukit tersebut, juga tidak ada dalam ajaran Islam.
  4. Menghadap Jabal Rahmah ketika berdo’a. Padahal yang sesuai sunnah adalah menghadap kiblat.
  5. Berusaha mengumpulkan batu atau pasir di Arafah di tempat-tempat tertentu. Seperti ini adalah amalan bid’ah yang tidak pernah diajarkan.
  6. Berdesak-desakkan dan sambil mendorong ketika keluar dari Arafah.

Kesalahan di Muzdalifah

  1. Mengumpulkan batu untuk melempar jumroh ketika sampai di Muzdalifah sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’. Dan diyakini hal ini adalah suatu anjuran.  Padahal mengumpulkan batu boleh ketika perjalanan dari Muzdalifah ke Mina, bahkan boleh mengumpulkan di tempat mana saja di tanah Haram.
  2. Sebagian jama’ah haji keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam. Seperti ini tidak disebut mabit. Padahal yang diberi keringanan keluar dari Muzdalifah adalah orang-orang yang lemah dan itu hanya dibolehkan keluar setelah pertengahan malam. Siapa yang keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam tanpa adanya uzur, maka ia telah meninggalkan yang wajib.

Kesalahan ketika melempar jumroh

  1. Saling berdesak-desakkan ketika melempar jumroh. Padahal untuk saat ini lempar jumroh akan semakin mudah karena kita dapat memilih melempar dari lantai dua atau tiga sehingga tidak perlu berdesak-desakkan.
  2. Melempar jumroh sekaligus dengan tujuh batu. Yang benar adalah melempar jumroh sebanyak tujuh kali, setiap kali lemparan membaca takbir “Allahu akbar”.
  3. Di pertengahan melempar jumroh, sebagian jama’ah meyakini bahwa ia melempar setan. Karena meyakini demikian sampai-sampai ada yang melempar jumroh dengan batu besar bahkan dengan sendal. Padahal maksud melempar jumroh adalah untuk menegakkan dzikir pada Allah, sama halnya dengan thawaf dan sa’i.
  4. Mewakilkan melempar jumroh pada yang lain karena khawatir dan merasa berat jika mesti berdesak-desakkan. Yang benar, tidak boleh mewakilkan melempar jumroh kecuali jika dalam keadaan tidak mampu seperti sakit.
  5. Sebagian jama’ah haji dan biasa ditemukan adalah jama’ah haji Indonesia, ada yang melempar jumrah di tengah malam pada hari-hari tasyrik bahkan dijamak untuk dua hari sekaligus (hari ke-11 dan hari ke-12).
  6. Pada hari tasyrik, memulai melempar jumroh aqobah, lalu wustho, kemudian ula. Padahal seharusnya dimulai dari ula, wustho lalu aqobah.
  7. Lemparan jumroh tidak mengarah ke jumroh dan tidak jatuh ke kolam. Seperti ini mesti diulang.

Kesalahan di Mina

  1. Melakukan thawaf wada’ dahulu lalu melempar jumrah, kemudian meninggalkan Makkah. Padahal seharusnya thawaf wada menjadi amalan terkahir manasik haji.
  2. Menyangka bahwa yang dimaksud barangsiapa yang terburu-buru maka hanya dua hari yang ia ambil untuk melempar jumrah yaitu hari ke-10 dan ke-11. Padahal itu keliru.  Yang benar, yang dimaksud dua hari adalah hari ke-11 dan ke-12. Jadi yang terburu-buru untuk pulang pada hari ke-12 lalu ia ia melempar tiga jumrah setelah matahari tergelincir dan sebelum matahari tenggelam, maka tidak ada dosa untuknya.

Kesalahan ketika Thawaf Wada’

  1. Setelah melakukan thawaf wada’, ada yang masih berlama-lama di Mekkah bahkan satu atau dua hari. Padahal thawaf wada’ adalah akhir amalan dan tidak terlalu lama dari meninggalkan Mekkah kecuali jika ada uzur seperti diharuskan menunggu teman.
  2. Berjalan mundur dari Ka’bah ketika selesai melaksanakan thawaf wada’ dan diyakini hal ini dianjurkan. Padahal amalan ini termasuk bid’ah.

Demikian beberapa penjelasan haji yang bisa kami ulas dalam tulisan yang sederhana ini.

Wallahu Ta’ala a’lam. Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Selesai disusun di Ummul Hamam, Riyadh KSA

5 Dzulhijjah 1432 H (1 hari sebelum safar ke Mina)

Referensi Kitab

  1. Al Hajj Al Muyassar, Sholeh bin Muhammad bin Ibrahim As Sulthon, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan keempat, 1430 H.
  2. Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, sumber dari Mawqi’ Ya’sub (nomor halaman sesuai cetakan).
  3. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama dan Urusan Islam Kuwait.
  4. Al Minhaj li Muriidil Hajj wal ‘Umroh, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Muassasah Al Amiyah Al ‘Anud.
  5. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi-Beirut, cetakan kedua, 1392 H.
  6. Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, terbitan Darul Fikr-Beirut, cetakan pertama, 1405 H.
  7. An Nawazil fil Hajj, ‘Ali bin Nashir Asy Syal’an, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, 1431 H.
  8. Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, Majalah Al Bayan, terbitan 1429 H.
  9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.
  10. Mursyid Al Mu’tamir wal Haaj waz Zaair fii Dhouil Kitab was Sunnah, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qohthoni, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan ketiga, 1418 H.
  11. Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As Suyuthi, terbitan Darus Salam, cetakan kedua, 1422 H.
  12. Taisirul Fiqh, Prof. Dr. Sholeh bin Ghonim As Sadlan, terbitan Dar Blansia, cetakan pertama, 1424 H.
  13. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Maktabah At Taufiqiyah.
  14. Shifatul Hajj wal ‘Umrah, terbitan bagi pengurusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, cetakan keduabelas, 1432 H.
  15. Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1424 H.

Referensi Buku Indonesia

  1. Meneladani Manasik Haji dan Umrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Mubarak bin Mahfudh Bamuallim, Lc, terbitan Pustaka Imam Asy Syafi’i, cetakan ketiga, 1429 H.

Referensi Mawqi’

  1. Mawqi’ Islam Web: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=58685
  2. Mawqi’ resmi Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz : http://www.binbaz.org.sa/mat/3737
  3. Mawqi’ Dorar.net: http://www.dorar.net/art/379

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10209-fikih-haji-8-kesalahan-kesalahan-seputar-haji.html

Fikih Haji (7): Amalan-Amalan Haji

Apa saja amalan haji yang harus dilakukan dari tanggal 8-13 Dzulhijjah? Simak penjelasannya di artikel berikut ini.

Amalan Haji

Setelah berihram, lalu melakukan thawaf qudum bagi yang berhaji ifrod dan qiron. Sedangkan bagi yang berhaji tamattu’, setelah berihram, ia melakukan thawaf umrah dan sa’i umrah, kemudian tahallul dan boleh melakukan larangan-larangan ihram. Sampai datang tanggal 8 Dzulhijjah (hari tarwiyah) barulah melakukan amalan haji berikut ini.

Tanggal 8 Dzulhijjah (Hari Tarwiyah)

  1. Pada waktu Dhuha, jamaah haji berihram dari tempat tinggalnya dengan niat akan melaksanakan ibadah haji, ini bagi yang berniat haji tamattu’. Sedangkan bagi yang berniat haji ifrad dan qiron, ia tetap berihram dari awal.
  2. Setelah berihram, wajib menjauhi segala larangan ihram.
  3. Memperbanyak talbiyah.
  4. Bertolak menuju Mina sambil bertalbiyah.
  5. Melaksanakan shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya’ dan Shubuh di Mina. Shalat-shalat tersebut dikerjakan di waktunya masing-masing (tanpa dijamak) dan shalat empat raka’at (Zhuhur, Ashar dan Isya) diqoshor.
  6. Mabit (bermalam) di Mina dan hukumnya sunnah.
  7. Memperbanyak dzikir kala itu seperti dzikir pagi dan dzikir petang, juga dzikir lainnya.

Tanggal 9 Dzulhijjah (Hari Arafah)

  1. Sesudah shalat Shubuh di Mina dan setelah matahari terbit, bertolak menuju Arafah sambil bertalbiyah dan bertakbir.
  2. Pada hari Arafah, yang disunnahkan bagi jama’ah haji adalah tidak berpuasa sebagaimana contoh dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  3. Jika memungkinkan, sebelum wukuf di Arafah, turun sebentar di masjid Namirah hingga masuk waktu Zhuhur.
  4. Jika memungkinkan, mendengarkan khutbah di masjid Namirah, lalu mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak taqdim dan diqashar dengan satu adzan dan dua iqamah.
  5. Setelah shalat Zhuhur, memasuki padang Arafah untuk melaksanakan wukuf.
  6. Ketika wukuf, berupaya semaksimal mungkin untuk berkonsentrasi dalam do’a, dzikir dan merendahkan diri kepada Allah.
  7. Menghadap ke arah kiblat ketika berdo’a sambil mengangkat kedua tangan dengan penuh kekhusyu’an.
  8. Saat wukuf, memperbanyak bacaan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir” dan bacaan shalawat.
  9. Tidak keluar meninggalkan Arafah kecuali setelah matahari tenggelam.
  10. Setelah matahari terbenam, bertolak menuju Muzdalifah dengan penuh ketenangan.
  11. Sampai di Muzdalifah, lakukan terlebih dahulu shalat Maghrib dan Isya’ dengan dijamak dan diqashar (shalat Maghrib 3 rakaat, sedangkan shalat Isya’ 2 raka’at) dengan satu adzan dan dua iqamah.
  12. Mabit di Muzdalifah dilakukan hingga terbit fajar. Adapun bagi kaum lemah dan para wanita dibolehkan untuk berangkat ke Mina setelah pertengahan malam.

Tanggal 10 Dzulhijjah (Hari Nahr atau Idul Adha)

  1. Para jamaah haji harus shalat Shubuh di Muzdalifah, kecuali kaum lemah dan para wanita yang telah bertolak dari Muzdalifah setelah pertengahan malam.
  2. Setelah shalat Shubuh, menghadap ke arah kiblat, memuji Allah, bertakbir, bertahlil, serta  berdo’a kepada Allah hingga langit kelihatan terang benderang.
  3. Berangkat menuju Mina sebelum matahari terbit dengan penuh ketenangan sambil bertalbiyah/ bertakbir.
  4. Ketika tiba di lembah Muhasir, langkah dipercepat bila memungkinkan.
  5. Menyiapkan batu untuk melempar jumroh yang diambil dari Muzdalifah atau dari Mina.
  6. Melempar jumroh ‘aqobah dengan tujuh batu kecil sambil membaca “Allahu Akbar” pada setiap lemparan.
  7. Setelah melempar jumroh ‘Aqobah berhenti bertalbiyah.
  8. Bagi yang berhaji tamattu’ dan qiran, menyembelih hadyu setelah itu. Yang tidak mampu menyembelih hadyu, maka diwajibkan berpuasa selama 10 hari: 3 hari pada masa haji dan 7 hari setelah kembali ke kampung halaman. Puasa pada tiga hari saat masa haji boleh dilakukan pada hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).
  9. Mencukur rambut atau memendekkannya. Namun mencukur (gundul) itu lebih utama. Bagi wanita, cukup menggunting rambutnya sepanjang satu ruas jari.
  10. Jika telah melempar jumroh dan mencukur rambut, maka berarti telah tahallul awwal. Ketika itu, halal segala larangan ihram kecuali yang berkaitan dengan wanita. Setelah tahallul awwal boleh memakai pakaian bebas.
  11. Menuju Makkah dan melaksanakan thawaf ifadhoh.
  12. Melaksanakan sa’i haji antara Shafa dan Marwah bagi haji tamattu’ dan bagi haji qiron dan ifrod yang belum melaksanakan sa’i haji. Namun jika sa’i haji telah dilaksanakan setelah thawaf qudum, maka tidak perlu lagi melakukan sa’i setelah thawaf ifadhoh.
  13. Dengan selesai thawaf ifadhoh berarti telah bertahallul secara sempurna (tahalluts tsani) dan dibolehkan melaksanakan segala larangan ihram termasuk jima’ (hubungan intim dengan istri).

Tanggal 11 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)

  1. Mabit di Mina pada sebagian besar malam.
  2. Menjaga shalat lima waktu dengan diqashar (bagi shalat yang empat raka’at) dan dikerjakan di waktunya masing-masing (tanpa dijamak).
  3. Memperbanyak takbir pada setiap kondisi dan waktu.
  4. Melempar jumroh yang tiga setelah matahari tergelincir, mulai dari jumroh ula (shugro), jumroh wustho, dan jumroh kubro (aqobah).
  5. Melempar setiap jumroh dengan tujuh batu kecil sambil membaca “Allahu Akbar” pada setiap lemparan.
  6. Termasuk yang disunnahkan ketika melempar adalah menjadikan posisi Makkah berada di sebelah kiri dan Mina di sebelah kanan.
  7. Setelah melempar jumroh ula dan wustho disunnahkan untuk berdoa dengan menghadap ke arah kiblat. Namun, setelah melempar jumroh aqobah tidak disunnahkan untuk berdo’a.
  8. Mabit di Mina.

Tanggal 12 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)

  1. Melakukan amalan seperti hari ke-11.
  2. Jika selesai melempar ketiga jumroh lalu ingin pulang ke negerinya, maka dibolehkan, namun harus keluar Mina sebelum matahari tenggelam. Kemudian setelah itu melakukan thawaf wada’. Keluar dari Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah disebut nafar awwal.
  3. Bagi yang ingin menetap sampai tanggal 13 Dzulhijjah, berarti di malamnya ia melakukan mabit seperti hari sebelumnya.

Tanggal 13 Dzulhijjah (Hari Tasyrik)

  1. Melakukan amalan seperti hari ke-11 dan ke-12.
  2. Setelah melempar jumroh sesudah matahari tergelincir, kemudian bertolak meninggalkan Mina. Ini dinamakan nafar tsani.
  3. Jika hendak kembali ke negeri asal, maka lakukanlah thawaf wada’ untuk meninggalkan Baitullah. Bagi wanita haidh dan nifas, mereka diberi keringanan tidak melakukan thawaf wada’. Thawaf wada’ adalah manasik terakhir setelah manasik lainnya selesai. (Sebagian besar diambil dari Meneladani Manasik Haji dan Umrah, 131-144)

Itulah amalan haji dari tanggal 8-13 Dzulhijjah. Allahu a’lam.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10207-fikih-haji-7-amalan-amalan-haji.html

Fikih Haji (6): Tentang Miqot

Sudah tahukah anda jenis miqot dalam ibadah haji? Simak pembahasannya di artikel berikut ini. Barakallahu fiikum.

Jenis Miqot

  1. Miqot zamaniyah yaitu bulan-bulan haji, mulai dari bulan Syawwal, Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah.
  2. Miqot makaniyah yaitu tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau umroh. Ada lima tempat:
    • Dzulhulaifah (Bir ‘Ali) untuk penduduk Madinah
    • Al Juhfah untuk penduduk Syam
    • Qornul Manazil (As Sailul Kabiir) untuk penduduk Najed
    • Yalamlam (As Sa’diyah) untuk penduduk Yaman
    • Dzat ‘Irqin (Adh Dhoribah) untuk pendudk Irak

Itulah miqot bagi penduduk daerah tersebut dan yang melewati miqot itu.

Catatan:

  1. Penduduk Mekkah yang ingin berihram haji atau umrah, maka hendaklah ia ke tanah halal, yaitu di luar tanah haram dari arah mana saja.
  2. Tidak boleh bagi seseorang yang berhaji atau berumroh melewati miqot tanpa ihram. Jika melewatinya tanpa ihram, maka wajib kembali ke miqot untuk berihram. Jika tidak kembali, maka wajib baginya menunaikan dam (fidyah), namun haji dan umrahnya sah. Jika ia berihram sebelum miqot, maka haji dan umrahnya sah, namun dinilai makruh.

Miqot dari Jeddah

Sebagian jama’ah haji dari negeri kita, meyakini bahwa Jeddah adalah tempat awal ihram. Mereka belumlah berniat ihram ketika di pesawat saat melewati miqot. Padahal Jeddah sudah ada sejak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak menetapkannya sebagai miqot. Inilah pendapat mayoritas ulama yang menganggap Jeddah bukanlah miqot. Ditambah lagi jika dari Indonesia yang berada di timur Saudi Arabia, berarti akan melewati miqot terlebih dahulu sebelum masuk Jeddah, bisa jadi mereka melewati Qornul Manazil, Dzat ‘Irqin atau Yalamlam. Dalil penguat bahwa yang melewati daerah miqot, maka harus berihram dari tempat tersebut dan tidak boleh melampauinya adalah hadits,

هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181) (Lihat An Nawazil fil Hajj, 116-138 dan bahasan dorar.net).

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10200-fikih-haji-6-tentang-miqot.html

Fikih Haji (5): Larangan Ketika Ihram

Larangan ihram yang seandainya dilakukan oleh orang yang berhaji atau berumroh, maka wajib baginya menunaikan fidyah, puasa, atau memberi makan. Yang dilarang bagi orang yang berihram adalah sebagai berikut:

  1. Mencukur rambut dari seluruh badan (seperti rambut kepala, bulu ketiak, bulu kemaluan, kumis dan jenggot).
  2. Menggunting kuku.
  3. Menutup kepala dan menutup wajah bagi perempuan kecuali jika lewat laki-laki yang bukan mahrom di hadapannya.
  4. Mengenakan pakaian berjahit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh bagi laki-laki seperti baju, celana dan sepatu.
  5. Menggunakan harum-haruman.
  6. Memburu hewan darat yang halal dimakan. Yang tidak termasuk dalam larangan adalah: (1) hewan ternak (seperti kambing, sapi, unta, dan ayam), (2) hasil tangkapan di air, (3) hewan yang haram dimakan (seperti hewan buas, hewan yang bertaring dan burung yang bercakar), (4) hewan yang diperintahkan untuk dibunuh (seperti kalajengking, tikus dan anjing), (5) hewan yang mengamuk (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 210-211)
  7. Melakukan khitbah dan akad nikah.
  8. Jima’ (hubungan intim). Jika dilakukan sebelum tahallul awwal (sebelum melempar jumroh Aqobah), maka ibadah hajinya batal. Hanya saja ibadah tersebut wajib disempurnakan dan pelakunya wajib menyembelih seekor unta untuk dibagikan kepada orang miskin di tanah suci. Apabila tidak mampu, maka ia wajib berpuasa selama sepuluh hari, tiga hari pada masa haji dan tujuh hari ketika telah kembali ke negerinya. Jika dilakukan setelah tahallul awwal, maka ibadah hajinya tidak batal. Hanya saja ia wajib keluar ke tanah halal dan berihram kembali lalu melakukan thowaf ifadhoh lagi karena ia telah membatalkan ihramnya dan wajib memperbaharuinya. Dan ia wajib menyembelih seekor kambing.
  9. Mencumbu istri di selain kemaluan. Jika keluar mani, maka wajib menyembelih seekor unta. Jika tidak keluar mani, maka wajib menyembelih seekor kambing. Hajinya tidaklah batal dalam dua keadaan tersebut (Taisirul Fiqh, 358-359).

Tiga keadaan seseorang melakukan larangan ihram

  1. Dalam keadaan lupa, tidak tahu, atau dipaksa, maka tidak ada dosa dan tidak ada fidyah.
  2. Jika melakukannya dengan sengaja, namun karena ada uzur dan kebutuhan mendesak, maka ia dikenakan fidyah. Seperti terpaksa ingin mencukur rambut (baik rambut kepala atau ketiaknya), atau ingin mengenakan pakaian berjahit karena mungkin ada penyakit dan faktor pendorong lainnya.
  3. Jika melakukannya dengan sengaja dan tanpa adanya uzur atau tidak ada kebutuhan mendesak, maka ia dikenakan fidyah ditambah dan terkena dosa sehingga wajib bertaubat dengan taubat yang nashuhah (tulus).

Pembagian larangan ihram berdasarkan hukum fidyah yang dikenakan

  1. Yang tidak ada fidyah, yaitu akad nikah.
  2. Fidyah dengan seekor unta, yaitu jima’ (hubungan intim) sebelum tahallul awwal, ditambah ibadah hajinya tidak sah.
  3. Fidyah jaza’ atau yang semisalnya, yaitu ketika berburu hewan darat. Caranya adalah ia menyembelih hewan yang semisal, lalu ia memberi makan kepada orang miskin di tanah haram. Atau bisa pula ia membeli makanan (dengan harga semisal hewan tadi), lalu ia memberi makan setiap orang  miskin dengan satu mud, atau ia berpuasa selama beberapa hari sesuai dengan jumlah mud makanan yang harus ia beli.
  4. Selain tiga larangan di atas, maka fidyahnya adalah memilih: [1]  berpuasa tiga hari, [2] memberi makan kepada 6 orang miskin, setiap orang miskin diberi 1 mud dari burr (gandum) atau beras, [3] menyembelih seekor kambing. (Al Hajj Al Muyassar, 68-71)

Catatan:

  1. Jika wanita yang berniat tamattu’ mengalami haidh sebelum thowaf dan takut luput dari amalan haji, maka ia berihram dan meniatkannya menjadi qiron. Wanita haidh dan nifas melakukan seluruh manasik selain thowaf di Ka’bah.
  2. Wanita adalah seperti laki-laki dalam hal larangan-larangan saat ihram kecuali dalam beberapa keadaan: (1) mengenakan pakaian berjahit, wanita tetap boleh mengenakannya selama tidak bertabarruj (memamerkan kecantikan dirinya), (2) menutup kepala, (3) tidak menutup wajah kecuali jika terdapat laki-laki non mahram.
  3. Orang yang berihram maupun tidak berihram diharamkan memotong pepohonan dan rerumputan yang ada di tanah haram. Hal ini serupa dengan memburu hewan, jika dilakukan, maka ada fidyah. Begitu pula dilarang membunuh hewan buruan dan menebang pepohonan di Madinah, namun tidak ada fidyah jika melanggar hal itu.

Kaedah dalam masalah menggunakan harum-haruman ketika ihram

  1. Boleh menghirup bau tanaman yang memiliki aroma yang harum. Hal ini disepakati oleh para ulama.
  2. Boleh menghirup bau sesuatu yang memiliki aroma harum dan mengkonsumsinya seperti buah-buahan yang dimakan atau digunakan sebagai obat. Hal ini juga disepakati oleh para ulama.
  3. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum (harum-haruman) dan memang digunakan untuk maksud tersebut seperti minyak misik, kapur barus, minyak ambar, dan za’faron, maka ada fidyah jika digunakan ketika berihram.
  4. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum, namun digunakan untuk maksud lain, maka hal ini pun terkena fidyah (An Nawazil fil Hajj, 198).

Hal-hal yang dibolehkan ketika ihram

  1. Mandi dengan air dan sabun yang tidak berbau harum.
  2. Mencuci pakaian ihram dan mengganti dengan lainnya.
  3. Mengikat izar (pakaian bawah atau sarung ihram).
  4. Berbekam.
  5. Menutupi badan dengan pakaian berjahit asal tidak dipakai.
  6. Menyembelih hewan ternak (bukan hewan buruan).
  7. Bersiwak atau menggosok gigi walau ada bau harum dalam pasta giginya selama bukan maksud digunakan untuk parfum.
  8. Memakai kacamata.
  9. Berdagang.
  10. Menyisir rambut.

Tahallul

Tahallul artinya keluar dari keadaan ihram. Tahallul ada dua macam: (1) tahallul awwal (tahallul shugro), dan (2) tahalluts tsani (tahallul kubro).

Tahallul awwal ketika telah melakukan: (1) lempar jumroh pada hari Nahr (10 Dzulhijjah), (2) mencukur atau memendekkan rambut. Jika telah tahallul awwal, maka sudah boleh melakukan seluruh larangan ihram (seperti memakai minyak wangi), memakai pakaian berjahit dan yang masih tidak dibolehkan adalah yang berkaitan dengan istri.

Tahalluts tsani ditambah dengan melakukan thowaf ifadhoh (yang termasuk thowaf rukun). Ketika telah tahalluts tsani, maka telah halal segala sesuatu termasuk jima’ (hubungan intim) dengan istri (Fiqhus Sunah, 1: 500).

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10165-fikih-haji-5-larangan-ketika-ihram.html

Fikih Haji (4): Wajib Haji

Wajib Haji

Ada beberapa wajib haji:

  1. Ihram dari miqot.
  2. Wukuf di Arafah hingga Maghrib bagi yang wukuf di siang hari.
  3. Mabit di malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah) di Muzdalifah pada sebagian besar malam yang ada.
  4. Mabit di Mina pada hari-hari tasyriq.
  5. Melempar jumroh secara berurutan.
  6. Mencukur habis atau memendekkan rambut.
  7. Thowaf wada’.

Jika wajib haji ditinggalkan, maka harus menunaikan dam.

Wajib pertama: Ihram dari miqot

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat-tempat miqot, beliau bersabda,

هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181)

Wajib kedua: Wukuf di Arafah hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di siang hari

Karena dalam hadits Jabir yang menceritakan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu Maghrib.

Wajib ketiga: Mabit di Muzdalifah

Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ

Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لَيْلَةَ الْمُزْدَلِفَةِ فِى ضَعَفَةِ أَهْلِهِ

Aku adalah di antara orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)

Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur, maka ada kewajiban dam. Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam. Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib menunaikan dam bagi yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di sana adalah wajib. Dam di sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang disepakati ulama Syafi’iyah.”

Jadi barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari (keesokan harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga tidak ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam karena adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).

Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat An Nawazil fil Hajj, 409-410).

Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat An Nawazil fil Hajj, 416-417).

Wajib keempat: Melempar Jumroh

Yang dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10 Dzulhijah, melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau 13 jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (hari tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 203).

Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika melempar jumroh (Tafsir Al Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).

Wajib kelima: Mabit di Mina pada Hari-Hari Tasyriq

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam (mabit) di Mina selama hari-hari tasyriq. Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq (ke-11, 12, dan 13 bagi yang masih ingin tetap di Mina). Yang disebut mabit adalah dilakukan pada sebagian besar malam baik dimulai dari awal malam atau dari tengah malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh, 133).

Wajib keenam: Mencukur atau Memendekkah Rambut

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini dalam sabdanya,

وَلْيُقَصِّرْ ، وَلْيَحْلِلْ

Pendekkanlah rambut dan bertahallul-lah.” (HR. Bukhari no. 1691 dan Muslim no. 1227)

Mencukur atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat orang yang berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut di sini adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan rambut yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,

مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ

Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath: 27). Mencukur (halq) adalah menggunakan silet (muws), sedangkan menggunakan alat cukur selain itu berarti hanya memendekkan (taqshir). Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10 Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan seperti itu akan terkena dam (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).

Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut, bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan dinamakan halq (mencukur) atau qoshr (memendekkan) (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).

Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).

Wajib ketujuh: Thowaf Wada’

Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak ada roml di dalamnya (Fiqih Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ

Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari ibadah hajinya adalah thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ

Orang-orang diperintah agar akhir urusan ibadah hajinya adalah dengan thowaf di Ka’bah kecuali ada keringanan bagi wanita haidh.”(HR. Muslim no. 1328).

Sebagian ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17).

Namun yang lebih hati-hati dalam hal ini adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri. Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai, sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’ Islam Web, fatwa no. 58685).

Thowaf wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519).

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10163-fikih-haji-4-wajib-haji.html

Fikih Haji (1): Hukum dan Syarat Haji

Sudah tahukah anda tentang hukum dan syarat haji? Simak penjelasannya di artikel berikut ini. Barakallahu fiikum.

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Bahasan ini sengaja kami susun bagi kaum muslimin yang akan menunaikan haji, barangkali tahun ini atau tahun-tahun akan datang. Materi ini amatlah ringkas, yang kami sarikan dari beberapa buku haji. Semoga kami pun bisa mengambil manfaat dari apa yang kami susun. Bahasan ini dibagi menjadi delapan pembahasan:

  1. Hukum dan syarat haji
  2. Tiga cara manasik haji
  3. Rukun haji
  4. Wajib haji
  5. Larangan ketika ihram
  6. Miqot
  7. Amalan-amalan haji
  8. Kesalahan-kesalahan ketika haji

Mari kita bahas bagian pertama yaitu hukum dan syarat haji.

Hukum Haji

Hukum haji adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya sekali seumur hidup. Haji merupakan bagian dari rukun Islam. Mengenai wajibnya haji telah disebutkan dalam Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ (kesepakatan para ulama).

1. Dalil Al Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron: 97).

Ayat ini adalah dalil tentang wajibnya haji. Kalimat dalam ayat tersebut menggunakan kalimat perintah yang berarti wajib. Kewajiban ini dikuatkan lagi pada akhir ayat (yang artinya), “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. Di sini, Allah menjadikan lawan dari kewajiban dengan kekufuran. Artinya, meninggalkan haji bukanlah perilaku muslim, namun perilaku non muslim.

2. Dalil As Sunnah

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengaku Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16).

Hadits ini menunjukkan bahwa haji adalah bagian dari rukun Islam. Ini berarti menunjukkan wajibnya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

« أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا ». فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di tengah-tengah kami. Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji bagi kalian, maka berhajilah.” Lantas ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun (kami mesti berhaji)?” Beliau lantas diam, sampai orang tadi bertanya hingga tiga kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Seandainya aku mengatakan ‘iya’, maka tentu haji akan diwajibkan bagi kalian setiap tahun, dan belum tentu kalian sanggup.” (HR. Muslim no. 1337).

Sungguh banyak sekali hadits yang menyebutkan wajibnya haji hingga mencapai derajat mutawatir (jalur yang amat banyak) sehingga kita dapat memastikan hukum haji itu wajib.

3. Dalil Ijma’ (Konsensus Ulama)

Para ulama pun sepakat bahwa hukum haji itu wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu. Bahkan kewajiban haji termasuk perkara al ma’lum minad diini bidh dhoruroh (dengan sendirinya sudah diketahui wajibnya) dan yang mengingkari kewajibannya dinyatakan kafir.

Syarat Wajib Haji

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Baligh
  4. Merdeka
  5. Mampu

Kelima syarat di atas adalah syarat yang disepakati oleh para ulama. Sampai-sampai Ibnu Qudamah dalam Al Mughni berkata, “Saya tidak mengetahui ada khilaf (perselisihan) dalam penetapan syarat-syarat ini.” (Al Mughni, 3:164)

Catatan:

  1. Seandainya anak kecil berhaji, maka hajinya sah. Namun hajinya tersebut dianggap haji tathowwu’ (sunnah). Jika sudah baligh, ia masih tetap terkena kewajiban haji. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’).
  2. Syarat mampu bagi laki-laki dan perempuan adalah: (a) mampu dari sisi bekal dan kendaraan, (b) sehat badan, (c) jalan penuh rasa aman, (d) mampu melakukan perjalanan.
  3. Mampu dari sisi bekal mencakup kelebihan dari tiga kebutuhan: (1) nafkah bagi keluarga yang ditinggal dan yang diberi nafkah, (2) kebutuhan keluarga berupa tempat tinggal dan pakaian, (3) penunaian utang.
  4.  Syarat mampu yang khusus bagi perempuan adalah: (1) ditemani suami atau mahrom, (2) tidak berada dalam masa ‘iddah.

Syarat Sah Haji

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Miqot zamani, artinya haji dilakukan di waktu tertentu (pada bulan-bulan haji), tidak di waktu lainnya. ‘Abullah bin ‘Umar, mayoritas sahabat dan ulama sesudahnya berkata bahwa waktu tersebut adalah bulan Syawwal, Dzulqo’dah, dan sepuluh hari (pertama) dari bulan Dzulhijjah.
  4. Miqot makani, artinya haji (penunaian rukun dan wajib haji) dilakukan di tempat tertentu yang telah ditetapkan, tidak sah dilakukan tempat lainnya. Wukuf dilakukan di daerah Arafah. Thowaf dilakukan di sekeliling Ka’bah. Sa’i dilakukan di jalan antara Shofa dan Marwah. Dan seterusnya.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10091-fiqih-haji-1-hukum-dan-syarat-haji.html

Belajar Dahulu Fikih Haji, Semoga Dimudahkan Segera

Sebagian orang sangat ingin bisa segera naik haji, akan tetapi sebagian lagi berpikir “nanti saja” belajar fikh haji yaitu setelah sudah mendaftar haji atau menjelang keberangkatan haji saja. Hendaknya seorang muslim segera belajar fikh haji, tidak harus menunggu sudah mendaftar dulu haji dahulu atau menjelang keberangkatan. 

Haji dan umrah adalah salah satu dari rukun Islam yang mana seorang muslim harus mengetahuinya dan mempelajarinya. Ini termasuk ilmu yang hendaknya dipelajari sebagaimana hadits tentang menuntut ilmu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” [HR. Ibnu Majah]

Suatu fakta dan tidak sedikit kami temui bahwa orang yang belajar fikh haji terlebih dahulu dengan niat ikhlas menunaikan perintah Allah, lalu diberi kemudahan untuk bersegera naik haji atau umrah. Padahal secara logika saat itu, orang tersebut sulit untuk bisa segera menunaikan ibadah haji dan umrah baik dilihat dari sisi ekonomi, usia, kesehatan dan kesempatan waktu.

Demikianlah Allah lebih tahu apa yang menjadi niat utama dan usaha seorang hamba. Apabila seorang hamba sangat ingin naik haji dan benar-benar tulus dari hati yang paling dalam, tentu ia berusaha dari awal dengan mempelajari fikh ibadah haji meskipun belum mendaftar haji atau umrah.

Allah mengetahui apa yang disembunyikan hati sebagaimana firman Allah,

وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ

Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan. [An-Nahl/16: 19]

Allah juga berfirman,

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” [Ghafir: 19]

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah tahu apa yang ada dalam hatinya, yaitu keinginan yang sangat kuat untuk segera naik haji, maka bisa jadi Allah memudahkan jalannya menunju baitullah. Ibnu Katsir berkata,

ويعلم ما تنطوي عليه خبايا الصدور من الضمائر والسرائر .

“Allah mengetahui apa yang menjadi keinginan hati dan rahasia serta yang tependam di dalam hati.” [Tafsir Ibnu Katsir 7/137]

Sebagian orang juga memang sengaja menunda haji, mereka berpikir bahwa haji itu adalah ibadah yang bisa ditunda, padahal mereka sudah mampu dan wajib. Mereka menunggu ketika sudah tua dahulu baru berangkat pergi haji. Hal ini tidaklah tepat, ibadah haji itu dilakukan sesegra mungkin apabila telah  mampu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ – يَعْنِي : الْفَرِيضَةَ – فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ

“Bersegeralah kalian berhaji-yaitu haji yang wajib-karena salah seorang diantara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya” [HR.Ahmad, dihasankan oleh Al-Albany]

Beliau juga bersabda,

مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ

“Barangsiapa yang ingin pergi haji maka hendaklah ia bersegera, karena sesungguhnya kadang datang penyakit, atau kadang hilang hewan tunggangan atau terkadang ada keperluan lain (mendesak)”. [HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Albani]

Semoga kita dimudahkan untuk segera mempelajari fikh ibadah haji dan Allah pun memudahkan kita untuk segera naik haji memenuhi panggilan Allah.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47771-belajar-dahulu-fikih-haji-semoga-dimudahkan-segera.html