Fikih Nikah (Bag. 11)

Hukum-Hukum terkait Hak Asuh Anak

Pengertian pengasuhan dan hukumnya

Di dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu disebutkan,

Secara bahasa, Al-Hadhanah berasal dari Alhidhanu yang bermakna “sisi”. Sehingga makna secara bahasa adalah “bergabung bersama” atau “menggabungkan seseorang bersama kita”.

Adapun secara istilah, maka maknanya adalah “mendidik anak yang memiliki hak asuh, atau mendidik dan menjaga siapa yang tidak bisa mengurusi dirinya sendiri dari hal-hal yang dapat mengganggunya dikarenakan ia belum bisa berpikir, baik itu anak yang masih kecil atau pun orang yang sudah dewasa tetapi tidak waras. Yaitu dengan cara mengawasi segala urusannya, memberi makan, baju, tempat tidur yang layak, bahkan membersihkan dirinya dan mencucikan pakaiannya”.

Hadhanah/pengasuhan merupakan salah satu bentuk hak perwalian. Akan tetapi, perempuan lebih layak akan hal tersebut (berbeda dengan perwalian yang lain, sering kali laki-lakilah yang lebih tepat). Hal itu dikarenakan perempuan cenderung lebih memiliki kasih sayang dan telaten ketika mendidik, sabar di dalam menjalaninya, serta lebih dekat dengan anak-anak. Akan tetapi, jika anak tersebut sudah mencapai usia tertentu, maka laki-laki lebih berhak atas pengasuhannya, karena ia lebih mampu untuk menjaga dan membentuk karakter seorang anak daripada perempuan.

Hukum mengasuh adalah wajib. Karena anak yang butuh pengasuhan tersebut akan rusak dan tidak terurus jika tidak ada yang mau mengasuhnya. Maka, wajib hukumnya untuk menjaga anak tersebut dari kerusakan. Dan hukumnya menjadi fardhu kifayah apabila yang memiliki hak pengasuhan tidak hanya satu. Namun, jika yang memiliki hak pengasuhan hanya satu orang, maka hukumnya menjadi fardhu ‘ain, atau ketika ada beberapa orang, hanya saja anak tersebut tidak menghendaki, kecuali kepada salah satu dari mereka.

Siapa yang paling berhak atas pengasuhan tersebut?

Jika sebuah keluarga masih sempurna dan lengkap, maka kewajiban mengasuh jatuh kepada bapak dan ibunya. Adapun jika bapak dan ibunya telah berpisah, baik karena meninggalnya sang bapak ataupun karena perceraian, maka ibulah yang berhak atas pengasuhan sang anak. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Amru’ bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya,

 أن امرأة قالت: يا رسول الله إن ابني هذا كانت بطني له وعاء، وثديي له سقاء، وحجري له حواء، وإن أباه طلقني وأراد أن ينتزعه مني، فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: “أنت أحق به ما لم تنكحي”

“Seorang wanita berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini dahulu perutku adalah tempatnya, puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikanku, dan ingin merampasnya dariku.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Engkau lebih berhak terhadapnya selama Engkau belum menikah.’” (HR. Abu Dawud no. 2276 dan Ahmad no. 6707, lafaz hadis ini adalah yang sesuai riwayat Ahmad)

Adapun jika sang ibu terhalang dan tidak mampu untuk mengasuh anaknya, ataupun telah menikah lagi, ataupun telah wafat, maka hak pengasuhan tersebut beralih ke yang lain. Para ulama berselisih pendapat terkait urutan orang yang berhak atas pengasuhan setelah ibu. Akan tetapi, kebanyakan mereka mengutamakan perempuan dari laki-laki, dikarenakan perempuan cenderung lebih ramah dan kasih sayang dan lebih baik di dalam mendidik anak kecil balita. Mayoritas ulama setelah urutan ibu kandung, maka mereka mendahulukan nenek (pihak ibu) dari yang lainnya.

Di dalam mazhab Syafi’i, urutan siapa yang berhak mengasuh dirinci menjadi beberapa bagian:

Pertama: Jika yang berhak mengasuh hanya ada perempuan saja, maka yang paling utama adalah nenek pihak ibu ke atas, didahulukan yang paling dekat. Kemudian barulah nenek dari pihak bapak, kemudian nenek dari pihak ibu yang tersambung melalui pihak perempuan, kemudian neneknya bapak yang tersambung dari pihak laki-laki ke atas, kemudian barulah saudari-saudari si anak yang butuh pengasuhan tersebut, kemudian bibi dari pihak ibu (saudari perempuan ibu). Inilah pendapat baru (qaul jadid) dari mazhab Syafi’i. Kemudian setelahnya adalah anak-anak perempuan saudari perempuan si anak (keponakan) dan anak-anak laki saudara laki-laki si anak. Kemudian yang terakhir barulah bibi dari pihak bapak.

Kedua: Jika yang berhak mengasuh hanya ada pihak laki yang merupakan mahram si anak dan juga pewarisnya, maka urutannya sebagaimana di dalam pembagian waris. Yang paling didahulukan adalah bapak, baru kemudian kakek, kemudian barulah saudara laki-laki si anak.

Ketiga: Adapun jika yang berhak mengasuh terkumpul adanya pihak laki-laki dan perempuan, maka yang pertama adalah ibu, kemudian nenek dari pihak ibu (ke atas), kemudian bapak. Ada yang mengatakan bahwa bibi dari pihak ibu ataupun saudari si anak lebih didahulukan sebelum bapak.

Keempat: Prinsipnya pihak asl (hubungan nasab dari arah atas), baik laki-laki maupun perempuan (bapak, ibu, kakek, nenek ke atas) lebih didahulukan daripada hawasyi (hubungan nasab dari arah menyamping), seperti saudari perempuan atau bibi, karena hubungan nasab ke atas itu lebih erat dan kuat.

Kelima: Barulah kalau sudah tidak ada saudara dengan hubungan nasab ke atas, akan tetapi masih ada hawasyi, maka yang benar didahulukan yang hubungannya paling dekat dengan si anak, baik laki-laki maupun perempuan. Ketika hubungannya sama dekatnya (seperti antara saudara laki-laki dan saudari perempuan), maka didahulukan pihak perempuan.

Syarat-syarat mengasuh

Mereka yang berhak atas pengasuhan seorang anak kecil yang belum dewasa, maka harus memenuhi beberapa persyaratan. Para ulama berbeda pendapat terkait syarat-syaratnya. Adapun di dalam mazhab Syafi’i, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu, maka syaratnya ada tujuh:

Pertama, berakal. Maka orang yang gila atau mengalami gangguan akal tidak boleh mengasuh, kecuali jika gangguan ‘gila’-nya tersebut jarang terjadi, seperti hanya sehari saja dalam setahun.

Kedua, merdeka. Oleh karena itu, budak tidak diperbolehkan untuk memiliki hak asuh.

Ketiga, orang yang mengasuh beragama Islam. Maka, tidak ada hak asuh untuk orang kafir atas seorang anak muslim. Adapun pengasuhan orang kafir untuk anak yang kafir ataupun pengasuhan orang muslim atas seorang anak yang kafir, maka itu tidaklah mengapa. Berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari no. 1358  dan Muslim no. 2658)

Keempat, menjaga agamanya. Maksudnya dia memiliki kesalehan dan tidak fasik. Bahkan, meninggalkan salat pun sudah terhitung sebagai kefasikan.

Kelima, amanah dan terpercaya. Maka, orang yang terbiasa berkhianat dan tidak amanah, tidak boleh dijadikan sebagai pengasuh.

Keenam, tinggal menetap di daerah anak yang diasuh.

Ketujuh, wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yang bukan kerabat dari sang anak (bukan mahram sang anak). Apabila sang wanita pengasuh tersebut baik ibu atau yang lainnya menikah dengan kerabat sang anak, maka hak kepengasuhannya tidak gugur. Seorang ibu akan gugur hak kepengasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi lelaki lainnya.

Sampai umur berapa seorang anak wajib diasuh?

Para ulama berbeda pendapat terkait kapan selesainya masa pengasuhan ini. Di dalam mazhab Syafi’i, masa pengasuhan ini berlangsung hingga mencapai usia tamyiz, yaitu 7 tahun, baik yang sedang diasuh tersebut laki-laki maupun perempuan. Jika seorang anak telah mencapai usia tersebut, ia diberi pilihan antara ikut dengan bapaknya atau ibunya, atau antara bapak dengan perempuan yang menggantikan posisi ibu dalam mengasuh. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ خيَّرَ غلامًا بين أبيهِ وأمِّهِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi seorang anak (laki-laki) hak untuk memilih antara (ikut) ibu dan bapaknya.” (Hadis hasan sahih riwayat Tirmidzi no. 1357)

Para ulama’ juga berdalil dengan kejadian yang terdapat di dalam hadis,

عن أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ إِنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ فِدَاكَ أَبِي وَأُمِّي إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي وَقَدْ نَفَعَنِي وَسَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ فَجَاءَ زَوْجُهَا وَقَالَ مَنْ يُخَاصِمُنِي فِي ابْنِي فَقَالَ يَا غُلَامُ هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ بِهِ

“Dari Abu Hurairah bahwa- seorang wanita mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan berkata, “Aku tebus Engkau dengan ayah dan ibuku. Sesungguhnya suamiku ingin mengambil anakku, padahal ia sangat bermanfaat bagiku dan mengambilkan air bagiku dari sumur Abî Inabah.” Kemudian suami wanita itu datang dan berkata, “Siapa yang akan menentang hakku atas anakku?” Rasulullah bertanya kepada anak (yang disengketakan), “Hai anak. Ini ayahmu dan ini ibumu. Pilihlah siapa yang Engkau kehendaki.” Maka anak itupun dilepaskan (kepada Ibunya)”. (HR. An-Nasa’i no. 3439).

Adapun anak perempuan, maka pendapat yang lebih rajih dan lebih kuat insyaAllah adalah pendapat madzhab Hambali. Apabila ia telah mencapai usia tamyiz, maka tidak diberi pilihan, namun otomatis wajib berada di bawah pengasuhan bapaknya sampai ia baligh (dewasa) kemudian menikah. Karena tujuan pengasuhan adalah penjagaan, dan bapak pasti lebih menjaga anak perempuannya. Saat ada yang melamar putrinya tersebut, maka pelamar tersebut harus mendapat restu si bapak.

Seorang bapak wajib menjaga dan menjamin keselamatan anak perempuannya dari hal-hal yang dapat merusaknya. Seorang perempuan hakikatnya cenderung lebih mudah terkena dampak buruk dan kerusakan dan mudah tertipu karena kepolosannya. Oleh karenanya Nabi kita pernah bersabda terkait keutamaan khusus yang didapatkan oleh mereka yang berhasil mendidik anak perempuan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ

“Barangsiapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa, maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku” (Anas bin Malik berkata, “Nabi menggabungkan jari-jari jemari beliau”) (HR Muslim 2631).

Biaya pengasuhan, siapa yang menanggung?

Ulama Syafi’i mengatakan, “Setiap pengasuh berhak atas biaya pengasuhan, walaupun yang mengasuh adalah ibunya sendiri. Biaya pengasuhan tersebut berbeda dengan biaya menyusui. Maka apabila ada seorang ibu yang menyusui sendiri anaknya, kemudian ia meminta biaya penyusuan dan pengasuhan, wajib hukumnya untuk memenuhi biaya yang ia minta.”

Lalu, siapakah yang dibebani pembiayaan pengasuhan tersebut?

Jika anak kecil tersebut memiliki harta, maka biaya pengasuhannya diambil dari hartanya tersebut. Jika tidak memiliki, maka dibebankan ke ayahnya ataupun orang yang wajib menafkahi si anak tersebut (walinya misalnya), dan besaran jumlahnya disesuaikan dengan keadaan si pembayarnya.

Wallahu A’lam Bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/74821-fikih-nikah-bag-11.html

Fikih Nikah (Bag. 10)

Baca pembahasan sebelumnya Fikih Nikah (Bag. 9)

Hukum-hukum terkait iddah

Pendahuluan

Setiap hubungan suami istri pasti berakhir, baik itu karena talak (cerai) ataupun karena meninggalnya salah satu dari mereka. Dalam kondisi seperti ini, syariat Islam mengharuskan seorang wanita untuk menunggu beberapa waktu terlebih dahulu (iddah). Jangka waktunya berbeda-beda tergantung sebab perpisahannya.

Al-‘Iddah berasal dari bahasa Arab yang artinya sama dengan Al-Hisab dan Al-Ihsha, yaitu bilangan dan hitungan. Dinamakan iddah karena dia mencakup bilangan hari yang pada umumnya dihitung oleh istri dengan quru’ (masa suci dari haid atau masa haid) atau dengan bilangan beberapa bulan.

Adapun secara istilah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Wajiiz, “Iddah ialah masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak, setelah cerai atau kematian suami, baik dengan lahirnya anak, dengan quru’, atau dengan hitungan bilangan beberapa bulan.”

Dalil pensyariatan dan hukum iddah

Pertama, firman Allah Ta’ala,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga masa quru’” (QS. Al-Baqarah: 228).

Kedua, firman Allah Ta’ala,

وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. Ath-Thalaq: 4).

Ketiga, firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234).

Keempat, hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

لا تحد امرأة على ميت فوق ثلاث إلا على زوج أربعة أشهر وعشرا

“Seorang wanita tidak boleh berkabung atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas suaminya, yaitu (ia boleh berkabung) selama empat bulan sepuluh hari” (HR. Muslim no. 938).

Kelima, diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أمرت بريرة أن تعتد بثلاث حيض

“Barirah diperintahkan untuk menjalani masa iddah sebanyak tiga kali haid.” (HR. Ibnu Majah no. 2077).

Adapun hukumnya, setelah pemaparan ayat-ayat dan hadis di atas dapat diketahui bahwa iddah ini wajib dijalankan bagi setiap wanita yang dicerai ataupun ditinggal mati suaminya dengan ketentuan-ketentuan yang akan kita bahas setelah ini. Kewajiban iddah ini juga merupakan ijma’ (kesepakatan ulama) dan tidak ada satupun dari mereka yang mengingkarinya.

Macam-macam iddah

Iddah dari segi orang yang ditinggalkan maka terbagi menjadi beberapa macam, yakni:

Pertama, iddah bagi yang sedang hamil

Hukumnya wajib ber-iddah (menunggu) baik karena kematian suaminya ataupun karena diceraikan. Masa tunggunya selesai ketika dia melahirkan (menurut kesepakatan para ulama), berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَ

“Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah (menunggu) mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya(QS. At-Talaq: 4).

Bersihnya rahim dari perempuan yang hamil tidak dapat diketahui kecuali setelah melahirkan. Oleh karena itu, jika ada seorang wanita yang hamil kemudian dia diceraikan atau ditinggal mati suaminya, maka iddah (masa tunggu) nya sampai melahirkan, walaupun jangka waktu di antara keduanya hanya beberapa saat saja.

Imam Bukhari Rahimahullah meriwayatkan,

“Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas sementara Abu Hurairah sedang duduk. Laki-laki itu berkata, ‘Berilah fatwa kepadaku, terhadap seorang wanita yang melahirkan setelah kematian suaminya selang empat puluh malam.’ Maka Ibnu Abbas berkata, ‘Masa iddahnya adalah batasan yang paling terakhir (maksudnya empat bulan sepuluh hari, meskipun ia melahirkan sebelum itu).’ Abu Hurairah berkata, ‘Kalau aku, maka aku sependapat dengan anak saudaraku, yakni Abu Salamah.’

Lalu Ibnu Abbas mengutus pembantunya, Kuraib, kepada Ummu Salamah untuk bertanya kepadanya. Ummu Salamah menjawab, ‘Ketika suami Subai’ah Al-Aslamiyyah meninggal sementara ia dalam keadaan hamil, lalu melahirkan setelah kematian suaminya selang empat puluh malam. Ia kemudian dikhithbah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya. Abu As-Sanabil adalah termasuk salah seorang yang mengkhithbahnya’” (HR. Bukhari no. 4529).

Kedua, iddah bagi yang ditinggal mati suaminya namun sedang tidak hamil

Iddah bagi wanita dalam keadaan seperti ini adalah empat bulan dan sepuluh hari beserta malamnya, dihitung dari tanggal meninggal suaminya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-iddah) empat bulan sepuluh hari” (QS. Al-Baqarah: 234).

Hukumnya sama, baik suaminya sudah menggaulinya atau pun belum. Hukumnya juga sama, baik ia masih kecil dan belum balig maupun sudah dewasa. Hal ini karena ayat di atas bersifat umum.

Ketiga, iddah seorang istri yang diceraikan suaminya

Pertama, dalam kondisi hamil, maka iddah-nya sampai ia melahirkan, sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya.

Kedua, tidak dalam kondisi hamil tetapi masih mengalami menstruasi, maka iddahnya tiga quru’. Menurut pendapat yang rajih (pendapat mazhab Hambali dan Hanafi) quru’ bermakna haid (menstruasi). Dengan haid seorang wanita bisa diketahui bahwa ia tidak hamil dan rahimnya tidak mengandung janin. Dalil lainnya,kata quru’ di dalam syariat digunakan untuk makna haid (menstruasi).

Diriwayatkan dari sahabat Urwah bin Zubair, bahwasannya Fatimah bin Abi Khubaisy bercerita kepadanya,

أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ الله ﷺ فَشَكَتْ إِلَيْهِ الدَّمَ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ الله ﷺ: إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ، فَانْظُرِي إِذَا أَتَى قَرْؤُكِ فَلَا تُصَلِّي، فَإِذَا مَرَّ قَرْؤُكِ فَتَطَهَّرِي ثُمَّ صَلِّي مَا بَيْنَ الْقَرْءِ إِلَى الْقَرْءِ

“Bahwasanya ia pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluhkan tentang darah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, ‘Itu hanyalah penyakit, maka tunggulah. Jika tiba waktu qar` (haid)mu, maka janganlah Engkau salat. Jika haid itu telah usai maka bersucilah, kemudian salatlah antara haid hingga berikutnya’ (Shahih Abu Dawud, no. 280).

Ketiga, perempuan yang sudah tidak haid (menopause) atau mereka yang belum mengalaminya (belum dewasa), maka iddah-nya 3 bulan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddah-nya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid(QS. At-Talaq: 4).

Keempat, iddah bagi istri yang suaminya mafquud

Mafquud adalah kondisi dimana seorang laki-laki tidak diketahui apakah dia masih hidup atau tidak, namun masih ada harapan ia muncul dan kembali. Contohnya adalah orang yang hilang karena sebab peperangan atau karena insiden tenggelam dan lain sebagainya.

Dalam keadaan ini, maka iddah-nya tergantung keadaannya. Para fuqaha’ (ahli fikih) berbeda pendapat dalam permasalahan ini, di antaranya:

Pertama, dalam mazhab Hanafi dan Syafi’i (baru) laki-laki tersebut dianggap masih hidup. Oleh karena itu, hartanya tidak bisa dibagi sebagai waris. Istrinya tidak dihukumi cerai atau pisah. Istrinya tidak melakukan iddah kecuali telah jelas suaminya meninggal. Dalilnya adalah mengambil hukum asal sebelumnya (istishab), yaitu hidupnya suami. Sehingga ketika ia mendapatkan informasi dari orang yang dipercaya bahwa suaminya ternyata telah meninggal, atau ternyata dirinya telah dicerai sebanyak tiga kali, atau datang kepadanya surat dari tangan orang yang dia percaya, yang berisi keterangan bahwa ia telah ditalak, maka barulah ia dibolehkan untuk menjalani masa iddah. Dan ketika selesai masa iddah, maka ia boleh menikah kembali.

Kedua, adapun dalam mazahb Maliki dan Hambali  mereka berpendapat bahwa seorang istri dalam kondisi seperti ini menunggu terlebih dahulu selama empat tahun, baru kemudian ia diperbolehkan untuk menjalani masa iddah (iddah-nya wanita yang ditinggal suaminya, yaitu 4 bulan dan 10 hari). Kemudian setelah itu barulah ia diperbolehkan untuk menikah kembali.

Hikmah pensyariatan iddah (masa tunggu)

Pertama, untuk mengetahui kosongnya rahim dari janin dan memastikan adanya kehamilan atau tidaknya pada istri yang diceraikan atau ditinggal meninggal suaminya. Agar nantinya ketika jelas adanya kehamilan, maka dapat diketahui siapa ayah dari bayi tersebut.

Kedua, menunjukkan agungnya sebuah ikatan pernikahan. Hal ini karena selepas suaminya meninggal, seorang wanita tidak bisa begitu saja menikah lagi kecuali setelah melewati masa waktu tertentu (iddah).

Ketiga, dalam kasus cerai hidup, maka masa iddah memberikan kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangganya apabila masih melihat adanya maslahat dan kebaikan di dalam perkara tersebut.

Keempat, dalam kasus cerai mati, iddah merupakan bentuk penghormatan dan rasa bakti istri terhadap suami yang telah meninggal. Dengan demikian, istri yang ditinggalkan ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suami dan anak-anaknya.

Kelima, selain hikmah-hikmah yang telah kita sebutkan, pelaksanaan iddah juga merupakan bentuk realisasi ketaatan seorang manusia kepada aturan Allah Ta’ala. Hal ini termasuk kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang wanita muslimah. Masa iddah bernilai ketaatan di sisi Allah Ta’ala. Sehingga ketika seorang wanita menaatinya dan mengamalkannya, tentu saja pasti akan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Ta’ala. Sedangkan apabila seorang wanita melanggarnya dan meninggalkannya, maka akan mendapatkan dosa yang setimpal.

Wallahu a’lam bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/73781-fikih-nikah-bag-10.html

Fikih Nikah (Bag. 8)

HUKUM-HUKUM TERKAIT PERCERAIAN

Di dalam syariat Islam, saat hubungan antara suami istri sudah tidak dapat dipertahankan kembali, maka sebagai jalan terakhir ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar hubungan pernikahan ini terselesaikan dengan baik dan tidak menimbulkan permasalahan lainnya. Di dalam ilmu fikih perkara ini kita kenal dengan talak/ perceraian.

Talak menurut bahasa Arab adalah “melepaskan ikatan”. Adapun pengertian talak menurut istilah agama yaitu melepas ikatan perkawinan (nikah). Pengertian talak yang lain adalah melepaskan ikatan nikah dengan lafaz. Hal ini akan disebutkan kemudian. Kata talak sebenarnya sudah ada semenjak zaman jahiliah (sebelum datangnya Islam). Akan tetapi, syariat menyetujuinya dan menggunakannya.

Kemudian talak ini tidak akan sah, kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya. Yang terpenting adalah harus menggunakan lafaz. Oleh karena itu, talak tidak terjadi dan tidak dihitung jika masih berbentuk niat di dalam hati. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الله تجاوز عن أمتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم

“Sesungguhya Allah memaafkan bisikan hati dalam diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapkan.” (HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 127)

Oleh karena itu, jika ada orang yang mengatakan dalam hatinya, “Aku akan menulis surat cerai untuk istriku sekarang.” Kemudian dia mengambil kertas dan pena, akan tetapi dia tidak jadi melakukannya. Maka, talak belum jatuh kepada istrinya. Hal ini dikarenakan yang ia lakukan masih berupa niat dan belum terucap lafaznya.

Baca Juga: Janji Allah Akan Menolong Orang yang Menikah Untuk Menjaga Kehormatan

Hukum Asal Cerai Adalah Dilarang

Hukum perceraian dalam Islam bisa beragam. Hal ini berdasarkan pada masalah, proses mediasi, dan lain sebagainya. Beberapa ulama berpendapat bahwa hukum asal bercerai adalah haram dan dilarang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,

إنَّ الأصل في الطلاق الحظر، وإنما أُبيح منه قدر الحاجة

“Sesungguhnya hukum asal perceraian/ talak adalah dilarang. Sesungguhnya dibolehkan hanya sesuai kadar kebutuhan.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 32/293)

Beliau juga menyebutkan, “Kalau saja bukan karena kebutuhan terhadap perceraian, dalil-dalil menunjukkan akan keharamannya sebagaimana atsar-atsar dan pokok-pokok ajaran Islam yang menunjukkan hal tersebut. Akan tetapi, Allah Ta’ala membolehkan hal tersebut sebagai rasa kasih sayang terhadap hamba-Nya. Karena mereka terkadang butuh kepada perceraian tersebut.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 3/74).

Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarh Al-Mumti’, “Talak, hukum asalnya adalah makruh. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala tentang orang-orang yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya selamanya atau lebih dari empat bulan (ila’),

لِّلَّذِينَ يُؤۡلُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ تَرَبُّصُ أَرۡبَعَةِ أَشۡهُرٍۖ فَإِن فَآءُو فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ٢٢٦ وَإِنۡ عَزَمُواْ ٱلطَّلَٰقَ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٢٧

 “Orang-orang meng-ila’ istri-istri mereka wajib menunggu selama empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Jika mereka bertekad untuk menalaknya, sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahatahu.” (QS. Al-Baqarah: 226—227)

Dalam masalah talak, Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa diri-Nya Mahamendengar lagi Mahatahu, dan ini mengandung ancaman. Sementara itu, jika dia kembali (kepada istrinya), Allah subhanahu wata’ala memberitakan bahwa diri-Nya Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Semua ini menunjukkan bahwa talak tidak disukai oleh Allah subhanahu wata’ala dan pada asalnya adalah makruh. Memang demikianlah hukumnya.”

Hal ini semakin kuat ditinjau dari segi makna bahwa perceraian akan mengakibatkan  tercerai berainya anak-anak, terlantarnya wanita yang dicerai, dan boleh jadi lelaki yang menceraikan akan telantar juga dan tidak mendapatkan istri lain sebagai gantinya, dan alasan-alasan lainnya.

Perceraian juga bisa bernilai wajib, sunah, makruh, mubah, hingga haram. Tergantung berdasarkan keadaan kedua pasangan, menjadi sunah jika demi kemaslahatan istri serta mencegah kemudaratan dari dirinya akibat kebersamaannya dengan suami. Meskipun, sesungguhnya suaminya sendiri masih mencintainya. Talak disukai untuk dilakukan meski suami pada keadaan ini dan terhitung sebagai kebaikan terhadap istri.

Hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah subhanahu wata’ala,

وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ 

 “Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Macam-Macam Lafaz Talak

Dilihat dari shighat atau lafaznya, talak bisa dibagi menjadi dua macam. Yaitu talak sharih (tegas) dan talak kinayah (sindiran).

Pertama, talak sharih (tegas) yaitu ucapan talak yang dapat dipahami dengan jelas sebagai kata-kata cerai, seperti “Kau aku ceraikan!” atau “Kita cerai!”

Dalam mazhab Syafi’i, lafaz-lafaz talak yang tergolong dalam talak sharih (tegas) ada tiga, yaitu الطلاق، الفراق، السراح  (cerai, pisah dan lepas) yang semua itu tercantum dalam Al-Qur’an Al-Karim. Allah Ta’la berfirman,

اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Allah juga berfirman,

أَوْ فَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ

“Atau lepaskanlah mereka dengan baik.” (QS. At-Talaq: 2)

فَتَعَالَيۡنَ أُمَتِّعۡكُنَّ وَأُسَرِّحۡكُنَّ سَرَاحٗا جَمِيلٗا

“Maka, marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab:28)

Kedua, talak kinayah (sindiran) yaitu talak dengan menggunakan kata-kata yang tujuan aslinya tidak berarti menceraikan, tetapi juga bisa berarti cerai. Dan agar dinilai sah sebagai kalimat perceraian maka harus disertai niat. Contoh: “Kamu lain ya.” Kata-kata ini bisa berarti “Kamu bukan istriku lagi.”, tetapi juga bisa berarti “Kamu berbeda dari biasanya.”

Contoh lain: “Kau haram untukku.” Ini bisa berarti “haram aku setubuhi” dan bisa juga berarti “haram aku aniaya.”

Talak kinayah atau sindiran tidak bisa mengakibatkan jatuhnya talak, kecuali dengan keterangan yang jelas. Jadi, apabila ada orang yang mengucapkan talak sharih, tetapi dia mengaku tidak bermaksud menceraikannya, maka alasan tersebut tidak bisa diterima dan talak pun benar-benar jatuh. Dan sebaliknya, apabila orang tersebut mengucapkan talak kinayah (sindiran), sedangkan ia mengaku tidak bermaksud menceraikan istrinya, maka alasan tersebut bisa diterima dan talak pun tidak jatuh.

Hukum Talak Saat Istri Haid

Dilihat dari kondisi suci dari haid atau tidaknya istri, talak terbagi menjadi dua, yaitu talak sunni dan talak bid’i.

Pertama, talak sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang telah dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan sejak masa haid terakhir istrinya berakhir dia belum mencampurinya lagi. Allah Ta’ala berfirman,

يَـأَيُّـهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْـتُـمُ النِّسَـآءَ فَطَلِّقُو هُنَّ لِعِدَّ تِهِنَّ 

“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu ‘iddah mereka (waktu yang wajar).” (QS. At-Thalaq: 1)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haid. Kemudian Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda,

“Perintahkan agar ia kembali kepada (istri)nya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu, bila ia menghendaki, ia boleh tetap menahannya menjadi istri. Atau bila ia menghendaki, ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa ‘iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.” (Hadis sahih. Riwayat Bukhari no. 5332, Muslim no. 1471)

Kedua, talak bid’i yaitu talak yang menyelisihi ketentuan syariat. Sehingga hukum talak ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa. Keadaan ini berlaku manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haid atau dalam masa suci setelah ia mencampuri istrinya.

Hikmahnya, talak di masa haid akan memperpanjang masa ‘iddah-nya, karena masa haid yang tersisa tidak dihitung sebagai masa ‘iddah. Hal ini tentu saja membahayakan wanita tersebut, sehingga dilarang. Adapun talak di dalam masa suci, namun ia telah mencampurinya, bisa jadi ia akan menyesali talaknya setelah tahu istrinya hamil, menyesal karena telah meninggalkan calon ibu anaknya. Lebih-lebih kalau talak tiga yang mana suami tidak bisa merujuk, kecuali dengan akad baru sesuai syarat-syaratnya.

Mayoritas ulama berpendapat, talak bid’i statusnya sah, dan dihitung sebagai satu talak. Namun, suami diperintahkan untuk merujuk istrinya dan menahannya sampai suci dari haid, kemudian haid lagi yang kedua, sampai suci. Selanjutnya terserah suami, apakah dia mau menceraikan ataukah mempertahankannya. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadis Umar radhiyallahu ’anhu di atas, “Perintahkanlah kepada Ibnu Umar untuk merujuk istrinya.” menunjukkan bahwa talak tersebut jatuh, karena kata muraja’ah (merujuk) dalam syariat maknanya adalah kembalinya suami kepada istrinya setelah terjadi (jatuh) talak yang diperhitungkan.

Wallahu a’lam.

Semoga Allah senantiasa menjaga keluarga kita dan memberkahinya dengan kebaikan.

Bersambung.

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72590-fikih-nikah-bag-8.html

Fikih Nikah (Bag. 6)

SIKAP ISLAM TERHADAP ISTRI YANG DURHAKA

Di antara salah satu permasalahan yang dibahas oleh para ulama ketika mengkaji fikih nikah adalah nusyuz atau kedurhakaan dan ketidak-taatan istri kepada suami, yang mana hal ini merupakan salah satu bentuk ujian rumah tangga yang harus dihadapi suami. Lalu apa batasannya sehingga seorang istri dikatakan nasyiz/ durhaka? Dan apa yang mesti dilakukan suami ketika istri tidak lagi taat/patuh padanya?

Nusyuz secara bahasa berarti “tinggi”. Dikatakan seperti itu karena ketika istri sedang berbuat nusyuz, dia merasa tinggi sehingga tidak menaati suaminya, serta merasa sombong (tinggi) terhadap apa yang Allah Ta’ala wajibkan kepadanya. Oleh karena itu, istri yang tidak taat kepada suaminya dikatakan nasyiz.

Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menyebutkan,

المرأة الناشز هي المرأة المرتفعة على زوجها ، التاركة لأمره ، المعرضة عنه ، المبغضة له

“Seorang perempuan yang An-Naasyiz adalah seorang perempuan yang merasa tinggi (durhaka) terhadap suaminya, meninggalkan perintahnya, berpaling darinya, serta membencinya.”

Kapan Seorang Istri Dikatakan Nasyiz?

Adapun kapan seorang wanita dikatakan nasyiz, maka para ulama berbeda pendapat. Adapun menurut mazhab Syafi’iyyah, istri yang durhaka adalah istri yang tidak mau menaati suaminya. Di antara contohnya adalah keluar dari rumah tanpa seizin suami, menolak ajakan suami ke kasur, ataupun istri tersebut menutup pintu di depan muka suaminya. Di dalam mazhab Syafi’iyyah, tidak dibedakan antara tidak menaati perkara yang sudah menjadi kewajibannya ataupun perkara yang bukan menjadi kewajibannya. Hal ini karena keduanya sama-sama merupakan bentuk meremehkan dan menyepelekan suami. Dan hal ini berlaku juga baik itu kedurhakaan yang bisa diselesaikan oleh suami dengan pemaksaan ataupun tidak.

Hukum Durhaka terhadap Suami

Tidak diragukan lagi bahwa durhakanya istri kepada suami hukumnya haram, karena dua hal:

Pertama: karena di dalamnya terdapat pembangkangan dan tidak taatnya istri kepada suami. Padahal menaati suami telah diperintahkan baik di dalam Qur’an maupun hadis, dan mentaati suami hukumnya wajib. Maka, meninggalkan kewajiban hukumnya haram, bahkan Adz-Dzahabi rahimahullah menjadikan kedurhakaan istri sebagai salah satu dosa besar yang tidak akan diampuni, kecuali dengan bertobat. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan istri kepada suami adalah:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)

Di dalam hadis lain disebutkan:

فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Perhatikanlah di mana posisimu darinya. Maka, sesungguhnys suamimu (merupakan) surgamu dan nerakamu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, An-Nasa’i, dan Ahmad)

Hadis ini menggambarkan perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk memperhatikan hak suami yang harus dipenuhi istrinya karena suami adalah surga dan neraka bagi istri. Apabila istri taat kepada suami, maka ia akan masuk surga. Akan tetapi, jika ia mengabaikan hak suami, tidak taat kepada suami, maka dapat menyebabkan istri terjatuh ke dalam jurang neraka. Nasalullaahas salaamah wal ‘aafiyah.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa menunaikan hak suami juga merupakan kunci agar diri kita bisa menunaikan hak Allah Ta’ala,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّى الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّها حَتَّى تُؤَدِّى حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ

“Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Seorang wanita tidak akan bisa menunaikan hak Allah sampai ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (istri) tetap tidak boleh menolak.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

Kedua: Allah Ta’ala mengancam dengan hukuman bagi mereka yang mendurhakai suaminya, apabila ia tidak bisa dinasihati dan tidak mempan pula dengan hajr. Dan Allah Ta’ala tidaklah memberi hukuman, kecuali perbuatan tersebut adalah perbuatan haram ataupun meninggalkan perkara wajib. Allah Ta’ala berfirman,

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)

Bahkan, dalam masalah berhubungan suami istri pun, jika sang istri menolak ajakan suaminya, maka ia akan dilaknat oleh Malaikat sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ (فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا) لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur (untuk jima’/bersetubuh) dan si istri menolaknya [sehingga malam itu suaminya murka], maka si istri akan dilaknat oleh malaikat hingga (waktu) subuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan telah kita ketahui bersama bahwa jika amalan/ perbuatan yang diancam dengan sebuah hukuman ataupun pelakunya mendapatkan laknat, maka itu merupakan pertanda bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa besar. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa kedurhakaan istri terhadap suami merupakan salah satu dosa besar. Semoga Allah Ta’ala menghindarkan kita darinya.

Bagaimana Menyikapi Istri yang Nasyiz (Durhaka)?

Agama Islam merupakan agama yang sempurna. Tidak ada suatu permasalahan di dalam kehidupan, kecuali sudah Allah Ta’ala ajarkan solusinya, tidak terkecuali di dalam pernikahan. Islam telah menunjukkan untuk mereka yang sedang diuji dengan durhakanya istri dengan beberapa jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisa’: 34)

Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, urutannya dimulai dari hal berikut ini:

Pertama, Memberi Nasihat

Menasihati istri dengan nasihat yang baik, menunjukkan mereka dengan rasa kasih sayang dan penuh ketulusan, mengingatkan mereka terkait akibat dan hukuman dari perbuatan durhakanya, serta mengingatkan istri akan kewajiban yang harus dilakukan istri untuk suaminya.

Jika istri telah menerima nasihat tersebut dan telah berubah, maka suami tidak boleh menempuh langkah selanjutnya. Karena Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)

Namun, jika nasihat belum mendapatkan hasil, maka suami menempuh langkah berikutnya yaitu hajr (boikot).

Kedua, Hajr (Boikot)

Hajr (memboikot istri) memiliki berbagai macam bentuk, di antaranya adalah pisah ranjang, ataupun tidak menyapanya, bisa juga dengan tidak mengajak bicara dengan durasi tidak boleh lebih dari 3 hari. Tujuan dari perlakuan kita tersebut adalah agar istri kita menjadi belajar dan mengetahui bahwa yang ia lakukan terhadap suaminya itu merupakan perkara yang besar dan berbahaya, bukan sebagai ajang menghinakannya ataupun balas dendam.

Di antara yang harus diperhatikan dalam masalah Hajr adalah:

  • Tidak melakukannya di depan anak-anak kita, sehingga akan mempengaruhi psikis mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak serta menjadikan mereka anak yang broken home.
  • Tidak boleh memboikot istri, kecuali di rumahnya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

Dan janganlah Engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya, serta jangan melakukan hajr, selain di rumah” (HR. Abu Daud)

Namun, jika terdapat maslahat melakukan hajr di luar rumah, maka boleh untuk dilakukan. Karena Nabi pernah melakukan hajr terhadap istri-istri beliau di luar rumah selama sebulan.

  • Lama masa hajr yang lebih tepat adalah pendapat jumhur ulama’, yaitu sampai waktu istri kembali taat dan sudah tidak nusyuuz, karena dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak, maka kita mengamalkannya secara mutlak tanpa pembatasan.

Ketiga, Memukul Istri

Saat kita sudah tidak dapat memperbaiki nusyuuz istri dengan teguran ataupun boikot, maka kita bisa mengambil jalan keluar dengan memukulnya dengan pukulan yang tidak dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan ataupun melecehkan ataupun menyiksa.

Disyaratkan juga agar pukulan tersebut tidak dilakukan dengan cara brutal dan tidak melukai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas.” (HR. Muslim)

Dan juga tidak diperbolehkan memukulnya di bagian wajah, serta yakin bahwa memukulnya tersebut akan bermanfaat untuk membuat istri tidak berbuat nusyuuz kembali.

Jatuhnya Kewajiban Menafkahi Istri bagi Suami Jika Istri Nasyiz/ Durhaka

Mengenai hal ini, Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah pernah ditanya, lalu beliau menjawab,

“Tidak diragukan lagi bahwa istri yang durhaka tidak memiliki hak nafkah atas suaminya hingga ia kembali taat kepada suaminya jika durhakanya tersebut tidak memiliki alasan yang benar. Sedangkan batasan waktunya, maka ini dikembalikan kepada hakim. Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian hakim di mana mereka menjatuhkan kewajiban nafkah untuk istri dan menahan istri dalam jaminan suami bertahun-tahun, maka aku tidak pernah mengetahui ada dalilnya. Dan pada perkara tersebut terdapat kezaliman terhadap istri, dan bisa jadi durhakanya istri itu salah satunya karena perlakuan buruk suami terhadap dirinya. Maka, yang sudah sepantasnya dilakukan dalam perkara seperti ini adalah meneliti dan melihat sebab-sebab kedurhakaan istri sehingga bisa adil di dalam menyelesaikan pertikaian tersebut.” Wallahu Ta’ala a’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72260-fikih-nikah-bag-6.html

Fikih Nikah (Bag. 5)

BEBERAPA HUKUM TERKAIT POLIGAMI

Agama Islam bukanlah agama yang pertama kali membolehkan poligami. Poligami sudah ada sejak umat-umat sebelumnya, bahkan telah ada sejak peradaban Babilonia. Agama Yahudi bahkan membolehkan poligami tanpa batas. Seluruh nabi yang tercantum dalam kitab Taurat, tanpa terkecuali memiliki istri yang jumlahnya banyak. Profesor Abbas Mahmud AL-Uqqad berkata dalam kitabnya Haqaiqul Islam wa Abaatilu Khusuumihi, “Tidak ada larangan poligami di dalam kitab Taurat maupun Injil, namun hal tersebut dibolehkan dan ada riwayatnya dari para nabi, dari zaman nabi Ibrahim hingga nabi Isa…”

Adapun agama Islam ketika mensyariatkan poligami, tentu karena hikmah dan tujuan yang sangat mulia dan demi kemaslahatan bersama. Di antara faedah poligami dari sisi kemasyarakatan adalah jumlah pertambahan wanita yang lebih banyak dari laki-laki, serta berkurangnya jumlah laki-laki yang pesat akibat peperangan.

Poligami di dalam syariat Islam dilandasi dengan akhlak dan kemanusiaan, berbeda dengan poligami yang dilakukan oleh nonmuslim yang mana mereka lakukan tanpa ajaran agama dan tanpa undang-undang. Dari sisi akhlak, agama Islam melarang seorang laki-laki untuk melakukan kontak dengan wanita, kecuali itu adalah istrinya dan dengan syarat jumlah istrinya tidak lebih dari 4. Dari sisi kemanusiaan, poligami di dalam Islam meringankan problem dan permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat yang mana poligami menolong para wanita yang tidak bersuami dan merubah status mereka menjadi istri yang terjaga kehormatannya. Sehingga, dengan pernikahan ini, anak-anak yang lahir darinya mendapatkan pengakuan dan suaminyalah yang akan memenuhi hak-hak anaknya serta menjaga mereka. Dan jika ada seorang laki-laki yang menikahinya, maka tentu saja ia diwajibkan membayar mahar, memberikan tempat tinggal yang layak, dan menafkahinya, bukan dibiarkan begitu saja.

Hukum Berpoligami

Allah Ta’ala berfirman,

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa: 3)

Para ulama menjelaskan bahwasannya perintah pada (فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ) adalah untuk menunjukkan kebolehan bukan mewajibkan. Jika demikian, maka seorang laki-laki memilih antara mencukupkan hanya menikahi satu orang wanita saja atau berpoligami. Hal ini merupakan ijma’ dan kesepakatan para ulama sepanjang zaman, tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya.

Di dalam poligami seorang laki-laki dilarang menikahi lebih dari 4 wanita dalam waktu bersamaan. Hal ini berdasarkan ayat yang sudah kita sebutkan dan juga berdasarkan hadis nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَنَّ غَيْلاَنَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِىَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ

“Bahwasanya Ghoylan bin Salamah Ats-Tsaqofiy baru masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri di masa Jahiliyyah. Istri-istrinya tadi masuk Islam bersamanya, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar ia memilih empat saja dari istri-istrinya.” (HR. Tirmidzi)

Sehingga, bisa kita ketahui bahwa hukum asal poligami dalam syariat Islam adalah mubah (dibolehkan) dan bisa berubah menjadi wajib, sunah, atau bahkan haram tergantung keadaan setiap individunya. Batas maksimal jumlahnya adalah 4. Dan tentu saja agar seorang muslim bisa melakukannya, haruslah memenuhi syarat-syaratnya terlebih dahulu. wallahu a’lam.

Syarat-Syarat Poligami

Pertama: Adil terhadap Seluruh Istri

Allah Ta’ala berfirman,

فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

“Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa: 3)

Maka, apabila ia tidak merasa yakin untuk berbuat adil terhadap semua istrinya, syariat ini tentu saja tidak memperbolehkannya untuk menikah lebih dari satu. Adapun apabila ia melaksanakan akad, maka akadnya tersebut sah namun ia berdosa. Hal ini berdasarkan sabda nabi,

مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Barangsiapa yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, maka pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud)

Rasulullah juga bersabda,

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil di sisi Allah berada di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar-Rahman ‘Azza Wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, adalah orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga, dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka.” (HR. Muslim)

Para ulama telah bersepakat bahwa adil yang dimaksud di sini adalah di dalam perkara harta benda dan sesuatu yang nampak, baik itu tempat tinggal, pakaian, makanan, minuman, dan menggilir malam, serta apa-apa yang berkaitan dengan mempergauli istri-istri yang mana keadilan bisa terealisasi di dalamnya.

Kedua: Kemampuan Finansial

Beberapa ulama yang kita percayai termasuk di antaranya Imam Syafi’i menyaratkan hal ini jika seorang laki-laki hendak berpoligami. Karena Allah Ta’ala telah menggantungkan dan mengaitkan perkara nikah dengan hal ini. Terlebih ketika seseorang melakukan poligami, yang mana hal tersebut berpotensi terjadinya masalah dalam hubungan rumah tangga yang bersumber dari kurangnya kemampuan finansial. Allah Ta’ala berfirman,

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ

Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. (QS. An-Nur: 33)

Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah!”

Perintah di dalam hadis ini dikaitkan dengan kemampuan. Al-Ba’ah di dalam hadis maksudnya adalah kemampuan di dalam berhubungan badan dan di dalam pembiayaan nikah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar di dalam kitab Al-Fath.

Beberapa Nasihat Bagi Yang Menghendaki Poligami

Nasihat pertama

Pernikahan poligami apabila tidak dilandasi keadilan, maka akan menjerumuskan suami ke dalam berbagai problematika kehidupan berkeluarga, yang mana sangat berpotensi munculnya keributan, permusuhan, dan pertikaian di antara keluarga. Permusuhan ini terkadang akan berlanjut di antara anak-anak, istri-istrinya, membuat hubungan persaudaraan mereka tumbuh di dalam rasa marah dan dendam, dan berujung pada perpecahan, saling mendiamkan, dan tidak tenangnya kehidupan. Padahal, nabi melarang semua hal itu. Di antaranya adalah

لايحلّ لمسلم ان يهجر اخاه فوق ثلاث

“Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Malik, Bukhari, dan Muslim)

Bahkan, terdapat larangan khusus dari memutus tali persaudaraan. Rasulullah bersabda,

لا يدخل الجنة قاطع

“Tidak masuk surga orang-orang yang memutuskan tali persaudaraan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nasihat kedua

Ketahuilah bahwasanya adil di dalam rasa cinta terhadap para istri itu tidak akan bisa kita lakukan. Karena hal itu bukanlah kemampuan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Annisa: 129)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memahami bahwa yang dimaksud ayat ini adalah adil di dalam masalah kecondongan dan kecintaan, yang mana hal ini di luar kemampuan manusia, sehingga telah kita ketahui bahwa rasa cintanya terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anha lebih besar dari cintanya terhadap istri-istri beliau yang lain.

Lalu bagaimana? Yang harus dilakukan seorang suami sebagaimana yang diajarkan ayat di atas adalah tidak terlalu cenderung dan condong terhadap istri yang paling ia cintai, sehingga tidak membiarkan yang lainnya terkatung-katung, dan mengusahakan agar adil di dalam masalah harta benda, yang mana hal ini masih menjadi kemampuannya.

Hendaklah seorang mukmin bertakwa kepada Allah Ta’ala, berhati-hati di dalam mengambil keputusan dan tidak menjadikan poligami hanya sebatas pemenuhan hawa nafsu saja, sehingga hal tersebut akan menimbulkan madharat/ bahaya untuk dirinya dan keluarganya. Wabillahi Attaufiiq.

Sumber:

  1. Kitab Ta’addudu Az-Zaujaat Wa Hikmatu Ta’adudi Zaujaati An-Nabi karya Al-Ustadz Abdullah Naasih Ulwaan
  2. Sumber-sumber lain.

Penulis: Muhammad Idris

Sumber: https://muslim.or.id/72128-fikih-nikah-bag-5.html

Fikih Nikah (Bag. 4)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Fikih Nikah (Bag. 3).

Pengertian walimah dan hikmah diadakannya

Walimah (وليمة) dalam bahasa Arab artinya “perjamuan/ perkumpulan” untuk makan. Biasanya, jamuan dalam pesta pernikahan lebih dikenal dengan istilah walimah al-‘urs(jamuan pernikahan).

Sebagian ulama fikih berpendapat bahwa istilah “walimah” itu digunakan untuk acara makan-makan karena perkara yang menggembirakan, baik itu kegembiraan karena kelahiran anak, khitan, atau pun hal lainnya. Namun apabila disebutkan kata-kata “walimah” saja tanpa ada embel-embel (tambahan keterangan) lain, maka yang dimaksud adalah walimah pernikahan.

Tujuan diadakannya walimah adalah sebagai upaya mengumumkan pernikahan. Hal ini diperintahkan oleh nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau,

أَعلِنوا النِّكاحَ

“Umumkanlah pernikahan!” (HR. Ahmad).

Dalam kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Maraam, Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani Rahimahullah menyebutkan bahwa makna acara walimah adalah mengumumkan pernikahan yang menghalalkan hubungan suami istri dan berpindahnya status kepemilikan. Sementara mazhab Ahmad menyatakan bahwa acara walimah merupakan jamuan makan yang diadakan untuk merayakan pernikahan pasangan pengantin.

Selain itu, walimah juga bertujuan untuk memohon doa dari para tamu undangan agar pernikahan tersebut mendapat keberkahan, dan menjadi keluarga yang dibangun di atas keimanan dan kebaikan. Sebagai satu rangkaian yang menyertai ibadah berupa akad nikah, walimah juga dapat dianggap sebagai wasilah (sarana) untuk mensyiarkan hukum-hukum Allah Ta’ala.

Sahkah menikah tanpa mengadakan walimah?

Apakah sah pernikahan seorang pria dan wanita yang tidak mengadakan walimah karena tidak memiliki harta? Apakah berdosa menikah tanpa mengadakan walimah?

Sebelumnya menjawabnya, kita perlu mengetahui hukum mengadakan walimah.

Al-Mawardi Rahimahullah, salah satu ulama besar syafi’iyyah dalam kitabnya Al-Hawii Al-Kabiir menyebutkan bahwa ulama Syafi’i berbeda pendapat mengenai hal ini ke dalam dua pendapat:

Pendapat pertama, walimah pernikahan hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan hadis tentang kisah pernikahan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu dengan seorang wanita Anshar.

فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَلَيْهِ أَثَرُ صُفْرَةٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ وَمَنْ قَالَ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ كَمْ سُقْتَ قَالَ زِنَةَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ نَوَاةً مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Abdurrahman bin Auf datang dengan mengenakan pakaian yang bagus dan penuh aroma wewangian. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Apakah Engkau sudah menikah?’ Dia menjawab, ‘Ya, sudah.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, ‘Dengan siapa?’ Dia menjawab, ‘Dengan seorang wanita Anshar.’ Beliau bertanya lagi, ‘Dengan mahar apa Engkau melakukan akad nikah?’ Dia menjawab, ‘Dengan perhiasan setara sebiji emas, atau sebiji emas.’ Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Adakanlah walimah (resepsi) walau hanya dengan seekor kambing’” (HR. Bukhari).

Hadis ini menunjukkan wajibnya mengadakan walimah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menikahkan seseorang kecuali akan mengadakan walimah untuknya. Beliau tidak melihat apakah orang tersebut sedang dalam kondisi susah ataupun lapang. Bahkan dalam salah satu riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merayakan pernikahan Shafiyyah hanya dengan memasak gandum dan kurma.

Pendapat lain yang menguatkan pendapat wajibnya mengadakan walimah dilihat dari sisi wajibnya menghadiri walimah. Kita telah mengetahui bahwa hukum menjawab undangan untuk menghadiri walimah itu wajib. Hal tersebut menunjukkan akan wajibnya mengadakan walimah. Sebagaimana pula menerima peringatan itu hukumnya wajib, maka memberi peringatan hukumnya juga wajib.

Pendapat kedua, walimah pernikahan hukumnya sunah. Insyaallah pendapat ini yang lebih sahih dan rajih (lebih kuat). Dalilnya berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,

ليس في المال حق سوى الزكاة

“Tidak ada hak wajib pada harta kecuali mengeluarkan zakat” (HR. Ibnu Majah).

Hadis yang dipakai pada pendapat pertama pun tidak menyebutkan kadar yang harus dikeluarkan untuk walimah. Tidak sebagaimana zakat dan kafarat (denda), yang mana keduanya memiliki takaran dan jumlah yang harus dipenuhi. Apabila walimah ini hukumnya wajib, maka tentu juga akan disebutkan penggantinya apabila kita tidak mampu melakukannya. Sebagaimana orang yang dibebani kafarat, apabila tidak mampu membayarnya, maka diganti dengan puasa. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa ketiadaan kadar dan takaran, dan ketiadaan penggantinya menunjukkan tidak berlakunya hukum wajib dari mengadakan walimah.

Syekh bin Baz Rahimahullah pernah ditanya mengenai masalah ini. Beliau menjawab dengan jawaban yang sangat hikmah yang patut untuk kita simak. Beliau Rahimahullah berkata,

“Hukum walimah adalah sunah muakkadah (sunah yang sangat ditekankan), walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing. Sebagaimana hadis nabi kepada Abdurrahman Bin Auf, ‘Langsungkan lah walimah walau hanya dengan seekor kambing.’ Walimah ini tidak mempengaruhi sahnya akad nikah. Nikah akan tetap sah walaupun tidak melangsungkan walimah, jika pernikahan tersebut sudah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya.

Akan tetapi, melangsungkan walimah sesuai kemampuan merupakan sunah nabi yang selayaknya kita lakukan. Pendapat yang mengatakan hukum walimah adalah wajib merupakan pendapat yang kuat, karena Rasulullah memerintahkan hal tersebut. Walau bentuknya hanya dengan sesuatu yang ringan sesuai kemampuan kita. Tidak melangsungkan walimah berarti kita berlawanan dengan sunah. Akan tetapi, hal tersebut tidak mempengaruhi sahnya pernikahan kita dan tidak membatalkannya. Hal yang menjadi tolak ukur sah atau tidaknya pernikahan kita adalah memenuhi semua syarat dan rukunnya.”

Dari sini bisa kita ketahui, bahwa melangsungkan walimah hukumnya adalah sunah muakkadah. Sehingga akad tetap sah walaupun tidak melakukan walimah. Namun, yang harus diperhatikan bahwa walimah merupakan salah satu sunah nabi kita Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah selayaknya kita tiru. Tentu saja sesuai kemampuan kita. Bahkan nabi pun sudah mencontohkan walimah yang sederhana ketika menikahi Shafiyyah, yaitu hanya dengan kurma dan gandum. Wallahu a’lam.

Hukum menghadiri walimah dan syarat-syaratnya

Lalu apa hukum menghadiri undangan walimah? Jumhur ulama berpendapat bahwa mendatangi undangan walimah hukumnya adalah wajib. Sehingga orang yang tidak menghadirinya berdosa. Hal ini berdasarkan hadis yang datang dari sahabat Albarra’ bin Aazib Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ: «أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ الْجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْقَسَمِ، أَوِ الْمُقْسِمِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ”

“Rasulullah memerintahkan kami melakukan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara juga. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang yang bersin, menunaikan sumpah, menolong orang yang terzalimi, memenuhi undangan, dan menebarkan salam” (HR. Muslim).

An-Nawawi Rahimahullah dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim memberikan penjelasan,

“Memenuhi undangan maksudnya adalah undangan untuk menghadiri walimah dan yang semisalnya, dimana undangan tersebut adalah undangan makan, dan hukum menjawabnya adalah wajib menurut kesepakatan para ulama. Adapun yang menjadi perselisihan adalah hukum menghadiri undangan selain undangan makan.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda di dalam hadis yang lain,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا وَمَنْ لَمْ يُجِبْ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah yang dilarang dimakan oleh orang yang mendatanginya (fakir miskin), namun orang yang enggan memakannya (orang kaya) justru diundang menghadirinya. Dan siapa yang tidak memenuhi undangan, berarti telah bermaksiat kepada Rasulullah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, untuk menghadiri sebuah undangan, syariat kita telah memberikan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka hukum menghadirinya tidak lagi wajib. Bahkan, bisa berubah menjadi haram. Syekh Utsaimin Rahimahullah meringkas syarat-syarat tersebut sebagai berikut:

Pertama, tidak ada kemungkaran di dalamnya. Jika kita mengetahui adanya kemungkaran dan berkemampuan untuk mengingatkan, maka wajib hukumnya untuk kita hadiri. Alasannya karena kita dapat menggabungkan antara mengingkari kemungkaran dan menjawab undangan sekaligus. Adapun jika kita tidak dapat mengingkarinya, maka haram hukumnya menghadiri walimah tersebut.

Kedua, pengundangnya bukanlah orang yang wajib dijauhi atau dianjurkan untuk dijauhi. Baik dijauhi disebabkan karena kefasikannya yang terang-terangan atau dijauhi karena statusnya sebagai tokoh ahli bidah. Bisa jadi memboikotnya dengan tidak menghadiri undangannya menjadi salah satu sebab taubatnya.

Ketiga, pengundangnya adalah muslim.

Keempat, makanan yang disajikan dalam undangan tersebut termasuk makanan yang halal dimakan.

Kelima, memenuhi undangan tersebut tidak boleh mengakibatkan kewajiban lain atau sesuatu yang lebih wajib menjadi tidak terlaksana. Sehingga menghadiri undangan hukumnya haram jika kewajiban lain menjadi terbengkalai.

Keenam, undangan tersebut tidak menyebabkan orang yang diundang mendapatkan madarat. Seperti harus melakukan safar meninggalkan keluarganya, sedangkan keluarganya sedang membutuhkan keberadaannya di waktu yang sama.

Ketujuh, wajib jika undangannya bersifat khusus (pribadi dengan menyebut nama orangnya atau menunjuknya secara langsung), bukan undangan yang bersifat terbuka untuk umum.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris

Sumber: https://muslim.or.id/71940-fikih-nikah-bag-4.html

Fikih Nikah (Bag. 3)

Baca seri sebelumnya: Fikih Nikah (Bag. 2)

BERAPAKAH MAHAR YANG LAYAK UNTUK MEMINANG SEORANG WANITA?

Definisi Mahar dan Hukumnya dalam Agama Islam

Secara bahasa, mahar adalah sesuatu yang menjadi wajib karena adanya pernikahan. Adapun secara syar’i, mahar adalah sesuatu yang menjadi wajib, baik berupa harta maupun manfaat, dikarenakan adanya akad pernikahan ataupun jima’/ senggama (yaitu ketika terdapat syubhat dalam akad, namun sudah terlanjur dukhul/ senggama, ataupun terdapat syubhat tafwidh, ataupun akadnya rusak, baik itu dukhul melalui kemaluan depan ataupun dubur).

Adapum hukumnya adalah mahar merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh mempelai pria ketika hendak meminang seorang wanita. Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk memberikan mahar kepada wanita yang hendak dinikahi. Dan hal tersebut menunjukkan bahwa mahar merupakan syarat sah pernikahan yang wajib dipenuhi oleh mempelai pria. Pernikahan tanpa mahar berarti pernikahan tersebut tidak sah, meskipun pihak wanita telah rida untuk tidak mendapatkan mahar.

Syekh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya Manhajus Salikiin menjelaskan, “Jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah, maka pihak wanita berhak mendapatkan mahar yang sesuai dengan wanita semisal dirinya.”

Batasan Mahar

Disebutkan di dalam matan Al-Yaquut An-Nafis, “…yaitu adalah apa saja yang dibolehkan untuk dijadikan sebagai barang dagangan, ataupun memiliki nilai tukar. Maka, semua itu sah dijadikan mahar. Dan apa yang tidak bisa menjadi alat tukar, maka tidak bisa dijadikan mahar.”

Sehingga, kita bisa simpulkan bahwa mahar bisa berupa:

Pertama, harta (materi) dengan berbagai macam bentuknya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَٱلۡمُحۡصَنَـٰتُ مِنَ ٱلنِّسَاۤءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۖ كِتَـٰبَ ٱللَّهِ عَلَیۡكُمۡۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاۤءَ ذَ ٰ⁠لِكُمۡ أَن تَبۡتَغُوا۟ بِأَمۡوَ ٰ⁠لِكُم مُّحۡصِنِینَ غَیۡرَ مُسَـٰفِحِینَۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِیضَةࣰۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَیۡكُمۡ فِیمَا تَرَ ٰ⁠ضَیۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِیضَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِیمًا حَكِیمࣰا

“Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka, isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban. Dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa’: 24)

Kedua, sesuatu yang dapat diambil upahnya ( jasa).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قَالَ اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هٰتَيْنِ عَلٰٓى اَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِيَ حِجَجٍۚ فَاِنْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَۚ وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ عَلَيْكَۗ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Berkatalah dia (Syu’aib), ‘Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun. Dan jika kamu genapkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu. Maka aku tidak hendak memberatkanmu. Dan kamu insyaallah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al-Qashash: 27)

Ketiga, manfaat yang akan kembali kepada sang wanita, seperti:

Kemerdekaan dari perbudakan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعتق صفية وجعل عتقها صداقها

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerdekakan Shafiyah binti Huyayin (kemudian menikahinya) dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar.” (HR. Bukhari no. 4696)

Keislaman seseorang. Hal ini sebagaimana kisah Abu Thalhah yang menikahi Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhuma dengan mahar keislaman Abu Thalhah. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bekata,

تزوَّج أبو طلحةَ ، أمَّ سُلَيمٍ ، فكان صَداقُ ما بينهما : الإسلامَ ، أسلمتْ أمُّ سُلَيمٍ ، قبل أبي طلحةَ فخطَبها ، فقالت : إنِّي قد أسلمتُ ، فإن أسلمتَ نكحتُك ، فأسلم ، فكان صَداقَ ما بينهما

 “Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Maharnya keislaman Abu Thalhah. Ummu Sulaim telah masuk Islam sebelum Abu Thalhah, kemudian Abu Thalhah melamarnya. Ummu Sulaim mengatakan, ’Saya telah masuk Islam. Jika kamu masuk Islam, aku akan menikah denganmu.’ Maka Abu Thalhah masuk Islam dan menikah dengan Ummu Sulaim dan keislamannya menjadi maharnya.” (HR. An-Nasa’i no. 3288)

Hafalan Al-Qur’an yang akan diajarkannya. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menikahkan salah seorang sahabat dengan beberapa surah Al-Qur’an dari hafalannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Mahar Hanya dengan Seperangkat Alat Salat, Bolehkah?

Seorang wanita bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang diinginkannya karena tidak ada batasan mahar dalam syariat Islam. Namun, Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ

“Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan, “Hadis ini sahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim.”)

Dan di dalam fikih mazhab Syafi’i pun tidak ada batasan minimal untuk mahar. Sehingga, tidak mengapa bila mahar hanya berupa seperangkat alat salat dengan syarat calon mempelai wanita dan walinya meridai hal tersebut. Dan tentu saja hal ini menjadi kebaikan tersendiri serta tabungan pahala untuk mempelai wanita dan keluarganya.

Hikmah di balik anjuran untuk meringankan mahar adalah mempermudah proses pernikahan. Berapa banyak laki-laki yang mundur dan tidak jadi menikahi seorang wanita hanya karena adanya permintaan mahar yang tinggi?! Tentu hal ini akan mendatangkan madharat dan kerusakan yang lebih besar. Menghadapi hal semacam ini, hendaknya pihak wanita bersikap bijak. Tidak masalah jika pihak laki-laki memiliki kemampuan untuk membayar mahar tersebut. Namun, jika ternyata yang datang adalah laki-laki sederhana yang memiliki kemampuan materi yang biasa-biasa saja, maka tidaklah layak menolaknya hanya karena ketidakmampuannya membayar mahar. Terutama jika yang datang adalah laki-laki yang sudah tidak diragukan lagi kesalehannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan menyebutkan bahwa pernikahan terbaik adalah yang sederhana dan mudah. Termasuk di dalamnya memudahkan mahar yang akan diberikan oleh pihak laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ

“Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Ath-Thabrani. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jaami’.)

Hukum Mengakhirkan Mahar Setelah Akad

Diperbolehkan bagi seseorang untuk mendahulukan pembayaran mahar ataupun mengakhirkannya secara keseluruhan, atau mendahulukan pembayaran sebagian mahar dan mengakhirkan sebagian lainnya.

Apabila sang suami telah menggauli istri, sedangkan ia belum membayar mahar, maka hal itu sah-sah saja. Akan tetapi, ia wajib membayar mahar mitsil (mahar senilai yang biasa diberikan kepada wanita kerabat wanita itu) apabila dalam akad nikah ia tidak menyebutkan maskawin apa yang akan ia berikan. Namun, jika ia telah menyebutnya, maka ia harus membayar maskawin sebesar apa yang telah ia sebutkan.

Dan berhati-hatilah, jangan sampai seseorang tidak memenuhi hak wanita yang telah disyaratkan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

أَحَقُّ مَا أَوْفَيْتُمْ مِنَ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوفُواْ بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوْجَ

“Sesungguhnya suatu syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah syarat yang dengannya dihalalkan bagi kalian kemaluan (wanita).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apabila sang suami meninggal setelah akad dan belum menggauli, maka istri berhak mendapatkan mahar seluruhnya. Dari ‘Alqamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Telah didatangkan kepada ‘Abdullah bin Mas’ud seorang wanita yang telah dinikahi oleh seorang lelaki, kemudian lelaki tersebut meninggal. Ia belum menentukan maskawin dan menggaulinya. ‘Alqamah berkata, ‘Mereka berselisih tentang hal tersebut dan menanyakannya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, kemudian ia menjawab, ‘Aku berpendapat ia berhak mendapat maskawin semisal mahar yang didapat oleh wanita kerabatnya, ia berhak mendapatkan harta warisan dan ia juga wajib ber‘iddah.’ Kemudian Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i bersaksi bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menetapkan kepada Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang telah ditetapkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa’i)

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Referensi:

Kitab Al-Yaquut An-Nafiis Fii Mazhab ibn Idris karya Syekh Ahmad Bin Umar As-Syatiri dengan beberapa penyesuaian.

Kitab Al-Wajiz fii Fiqhi As-Sunnah Wa Al-Kitab Al-‘Azizi karya Syekh Abdul Adzim Bin Badawi.

Sumber: https://muslim.or.id/71852-fikih-nikah-bag-3.html

Fikih Nikah (Bag. 2)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Fikih Nikah (Bag. 1).

Siapakah yang berhak menjadi wali nikah seorang wanita?

Keberadaan wali merupakan satu dari lima rukun nikah. Wali adalah sebutan pihak laki-laki dalam keluarga atau lainnya, yang bertugas untuk mengawasi keadaan atau kondisi seorang perempuan, khususnya berkenaan dengan menikah. Hal ini secara jelas ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha sebagai berikut,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

“Wanita yang menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal. Pernikahannya batal. Pernikahannya batal” (HR. Imam yang lima, kecuali Nasa’i).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda di dalam hadis lain, yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,

لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا

“Hendaklah perempuan tidak menikahkan perempuan, dan hendaklah perempuan tidak menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni).

Wali/wilayah secara bahasa Arab artinya, “menolong” dan “berkuasa” atau pun “mencintai”. Sedangkan di dalam istilah syar’i atau fikih, wali/wilayah artinya, “kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang terhadap manusia ataupun benda, untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri, tanpa harus bergantung (terikat) atas izin orang lain.”

Mengenai siapa saja yang diprioritaskan menjadi wali, Abu Syuja’ dalam rahimahullah Matan al-Ghâyah wa Taqrîb menjelaskannya sebagai berikut,

أولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات ف…الحاكم

“Wali paling utama ialah ayah, kemudian kakek (ayahnya ayah), kemudian saudara laki-laki seayah seibu (kandung), kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu (kandung), kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, kemudian paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka hakim.”

Dari penjelasan di atas, bisa kita pahami bahwa yang berhak menjadi wali nasab adalah para pewaris ‘ashabah dari calon mempelai wanita. Urutan penyebutan dalam keterangan Abu Syuja’ rahimahullah itu merupakan urutan prioritas yang berhak menjadi wali nikah. Urutannya adalah:

1. Ayah;

2. Kakek yang dimaksud dalam hal ini adalah kakek dari pihak ayah;

3. Saudara laki-laki kandung. Maksudnya adalah saudara laki-laki mempelai wanita se-bapak dan se-ibu, baik kakak maupun adik;

4. Saudara laki-laki seayah. Maksudnya adalah saudara laki-laki mempelai wanita dari ayah yang sama, namun beda ibu;

5. Anak saudara laki-laki seayah dan seibu (keponakan);

6. Anak saudara laki-laki seayah;

7. Paman yang dimaksud di sini adalah saudara laki-laki ayah. Baik yang lebih tua dari ayah (Bahasa Jawa: pakde), ataupun lebih muda (Bahasa Jawa: paklik), dengan memprioritaskan yang paling tertua di antara mereka;

8. Anak laki-laki paman dari pihak ayah (sepupu);

9. Jika ternyata semua pihak keluarga (wali nasab) di atas tidak ada, maka alternatif terakhir yang menjadi wali adalah wali hakim.

Apa itu wali hakim dan kapan perwalian itu berpindah dari wali nasab ke wali hakim?

Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh menteri agama, atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها ، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له .

“Wanita manapun yang melakukan akad nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika dalam pernikahannya (yang batal itu) terjadi dukhul (hubungan seksual, yaitu dengan (maaf) masuknya kemaluan pria ke kemaluan wanita), maka wanita itu berhak mendapat mahar karena penghalalan faraj-nya (kemaluannya). Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan, maka pemerintah (wali hakim) menjadi wali wanita yang tidak mempunyai wali” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah, hadis ini juga disahihkan oleh Syekh Albani dalam Shahih Tirmidzi).

Lalu kapan boleh berpindah pada wali hakim?

Syekh Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya mengenai hal ini, dan beliau menjawab,

فإذا لم يوجد لها عصبة أو كان عصبتها في مكان بعيد لا يمكن الاتصال بهم، أو كان عصبتها قد امتنعوا من تزويجها بمن هو كفء، زوجها قاضي المحكمة.

“Maka apabila tidak ada ashabah untuk seorang wanita, atau ashabah-nya berada di tempat yang jauh sehingga ia tidak dapat dihubungi, atau ashabah-nya melarang wanita tersebut menikah dengan seseorang yang cocok dan layak untuk wanita tersebut, maka yang menjadi wali nikahnya adalah hakim pengadilan.”

Dari jawaban syekh mengenai permasalahan ini, dapat kita simpulkan bahwa wali nasab boleh berpindah pada wali hakim apabila:

1. Sudah tidak ada garis wali nasab;

2. Walinya mafqud (hilang);

3. Walinya baid (tinggal di tempat yang jauh dan tidak bisa datang ataupun tidak bisa dihubungi);

4. Walinya sedang sakit yang tidak memungkinkan dirinya untuk menjadi wali;

5. Walinya sedang ihram (haji/umroh), karena salah satu syarat wali adalah sedang tidak dalam kondisi ihram;

6. Walinya adhol (mogok), maksudnya tidak merestui dan tidak mengizinkan wanita untuk menikahi laki-laki yang layak dan pantas untuknya (berdasarkan keputusan Pengadilan Agama).

Lalu bagaimana dengan wanita yang terlahir dari hasil zina, siapakah walinya?

Pendapat yang kuat dan rajih, anak yang terlahir dari perbuatan zina, maka ia tidak dinisbatkan kecuali kepada ibunya saja, dan ia bukanlah anak untuk bapaknya. Sehingga nasabnya pun terputus dengan bapaknya. Hal tersebut sejalan dengan keumuman hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

الولد للفراش وللعاهر الحجر

“Anak itu menjadi hak pemilik firasy (suami yang menikah dengan sah). Sedangkan untuk pezina, baginya adalah batu (dirajam)” (HR. Bukhari dan Muslim).

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Ketika seorang wanita menikah dengan laki-laki, atau seorang budak wanita menikah dengan seorang laki-laki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si laki-laki. Selanjutnya laki-laki ini disebut “pemilik firasy”. Selama sang wanita menjadi firasy laki-laki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil selingkuh yang dilakukan istri dengan laki-laki lain. Sedangkan, laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian. Artinya, tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain” (Syarh Shahih Muslim, 10: 37).

Dari hadis ini bisa kita ketahui bahwa anak hasil zina tidak dinisbatkan kepada bapak (pezina laki-lakinya). Sehingga tentu saja anak perempuan ini tidak memiliki ashabah yang bisa menjadi walinya, karena nasabnya terputus dari bapaknya. Oleh karena itu, ia termasuk kategori wanita yang sudah tidak memiliki ashabah dari garis nasab, sehingga yang menjadi walinya saat ia menikah adalah wali hakim.

Hikmah adanya wali dalam akad nikah

Syariat adanya wali sebagai salah satu rukun pernikahan ini tentu saja memiliki hikmah yang patut kita ketahui. Seorang wanita Allah Ta’ala ciptakan pada dasarnya memiliki sifat lemah dibandingkan pria. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengistilahkan dengan naqishat ‘aql wa din (kurangnya akal dan agama). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم – فِى أَضْحًى – أَوْ فِطْرٍ – إِلَى الْمُصَلَّى، فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ ، فَإِنِّى أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ . فَقُلْنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ : تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ . قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ . قُلْنَ: بَلَى . قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا ، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ بَلَى . قَالَ  فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا . متفق عليه

“Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju masjid pada Idul Adha atau Idul Fitri (nampaknya Abu Sa’id al-Khudri tidak yakin). Beliau melewati kaum wanita, dan bersabda, ‘Wahai kaum wanita, hendaknya kalian bersedekah. Sungguh aku melihat kalian akan menjadi mayoritas penduduk neraka.’ Mereka bertanya, ‘Mengapa demikian, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Kalian banyak mencaci dan kurang bersyukur kepada suami. Aku perhatikan kalian memang kurang akal dan kurang agama.’ Mereka bertanya, ‘Apa bukti bahwa kami kurang akal, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Bukankah kesaksian wanita adalah separuh dari kesaksiah pria?’ Mereka bertanya, ‘Benar.’ Beliau bersabda, ‘Itulah bukti wanita itu kurang akal. Bukankah wanita biasa itu haid, lalu tidak salat, dan tidak puasa?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Beliau bersabda, ‘Itulah bukti wanita itu kurang agamanya.’” (Muttafaq ‘alaih).

Namun demikian, bukan berarti Islam telah mendiskreditkan kaum wanita. Hadis ini hanya menunjukkan apa yang sudah menjadi fitrah penciptaan dan kodrat seorang wanita. Seperti yang kita ketahui, seorang wanita dalam syariat Islam tidak memikul tanggung jawab yang sama berat dengan pria, karena sifat wainta yang lemah. Seluruh kebutuhan hidupnya pun menjadi tanggung jawab wali. Sampai ketika seorang wanita menikah, tanggung jawab kepada dirinya berpindah kepada sang suami. Akad nikah ini layaknya pelimpahan tanggung jawab pada diri wanita itu, yang semula ada pada pundak walinya, kemudian pindah kepada suaminya.

Sejatinya seorang wali memiliki kedudukan yang tetap sebagai pelindung wanita itu. Maka apabila dalam pernikahan ada masalah dengan suaminya, seorang wali berfungsi sebagai penengah dan pelindung wanita. Walinya berhak menanyakan dan menuntut hak-hak wanita tersebut dari suaminya. Ini juga merupakan salah satu hikmah adanya seorang wali. Wallahu a’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

Kitab Matan al-Ghâyah wa Taqrîb karya Imam Abi Syuja’ Rahimahullah dengan beberapa penyesuaian.

Sumber: https://muslim.or.id/71774-fikih-nikah-bag-2.html

Fikih Nikah (Bag. 1)

KEDUDUKAN PERNIKAHAN DI DALAM ISLAM, PENGERTIAN, DAN RUKUNNYA.

Salah satu ujian yang Allah berikan untuk mereka yang hidup di akhir zaman adalah tersebarnya fitnah syahwat, di mana manusia begitu mudahnya mengumbar aurat, baik itu berpakaian minim ataupun berpakaia namun membentuk lekuk tubuh. Belum lagi betapa mudahnya kita menemukan dan mendapati foto maupun video yang menampilkan hal-hal yang tidak pantas untuk kita lihat. Ini semua sejalan dengan hadis nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Dua (jenis manusia) dari ahli neraka yang aku belum melihatnya sekarang, yaitu: kaum yang membawa cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang mereka memukul manusia dengannya dan perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang yang berjalan berlenggak lenggok yang kepala mereka seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapat wanginya padahal sesungguhnya wangi surga itu telah tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Harus kita ketahui, tidaklah Allah Ta’ala menurunkan cobaan dan fitnah, kecuali pasti Allah Ta’ala menurunkan penangkalnya serta memberikan penggantinya. Fitnah syahwat ini sudah Allah Ta’ala takdirkan terjadi di zaman kita, namun tentu saja Allah sudah memberikan solusinya. Apa itu?

Menikah. Rasulullah sangat menganjurkan umatnya untuk menikah terutama untuk para pemudanya,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah. Karena sesunguhnya nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Karena sesungguhnya puasa itu dapat membentengi dirinya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya)

Pernikahan merupakan salah satu kenikmatan terbesar yang Allah Ta’ala berikan kepada kita serta merupakan salah satu ibadah yang paling agung. Dengannya kita akan meraih ketenangan hati, ketentraman jiwa, serta menjaga kehormatan diri kita. Allah Ta’ala berfirman,

ومِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum:21)

Yang tak kalah penting, pernikahan merupakan pintu untuk kebaikan-kebakaran lainnya. Salah satunya adalah ia merupakan wasilah keselamatan dan ladang pahala jika kita sudah meninggal dunia. Bagaimana bisa? Ya, ketika dengan pernikahan ini kita dikaruniai anak-anak saleh yang selalu mendoakan kita, dan memintakan ampunan untuk kita kelak ketika kita meninggal di mana diri kita sudah tidak mampu melakukan semua hal. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali 3 (perkara), yaitu : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Definisi Pernikahan dan Hukumnya di dalam Islam

Kata pernikahan berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘An-nikah’ yang memiliki beberapa makna. Menurut bahasa, kata nikah berarti berkumpul, bersatu, dan berhubungan. Sedangkan menurut istilah fikih sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab fikih-fikih mazhab Syafi’i, pernikahan adalah “akad yang membolehkan hubungan seksual dengan lafaz nikah, tazwij, atau lafadz lain dengan makna serupa”.

Sedangkan hukum pernikahan, maka itu tergantung berdasarkan kondisi yang terjadi pada kedua calon pasangan pengantin. Hukum pernikahan dalam Islam dibagi ke dalam beberapa jenis, yakni:

  • Wajib, jika baik pihak laki-laki dan perempuan sudah memasuki usia wajib nikah, tidak ada halangan, mampu membayar mahar dan menafkahi, serta ia yakin akan terjatuh ke dalam zina jika tidak menikah dan itu tidak bisa dibendung walau dengan berpuasa. Kita ketahui bersama bahwa seorang muslim dituntut dan diwajibkan untuk menjaga kesucian dan kehormatan dirinya dari terjatuh kepada hal-hal yang Allah Ta’ala haramkan, sedangkan ada kaidah yang berbunyi “sesuatu yang menjadi syarat bagi sebuah kewajiban, maka hukumnya juga menjadi wajib”. Sehingga, menikah pun dihukumi wajib karena kita tidak dapat terhindar dari perbuatan haram, kecuali dengan melaksanakannya.
  • Sunah. Menurut pendapat para ulama, sunah adalah kondisi di mana seseorang memiliki kemauan dan kemampuan untuk menikah, namun belum juga melaksanakannya. Orang ini juga masih dalam kondisi terhindar atau terlindung dari perbuatan zina. Sehingga, meskipun belum menikah, tidak khawatir terjadi zina.
  • Haram, ketika pernikahan dilaksanakan saat seseorang tidak memiliki keinginan dan kemampuan untuk menikah, namun dipaksakan. Nantinya dalam menjalani kehidupan rumah tangga, dikhawatirkan istri dan anaknya ditelantarkan.
  • Makruh, apabila seseorang memiliki kemampuan untuk menahan diri dari perbuatan zina. Akan tetapi, belum berkeinginan untuk melaksanakan pernikahan dan memenuhi kewajiban sebagai suami.
  • Mubah, jika pernikahan dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan dan keinginan. Akan tetapi, jika tidak menikah pun dia bisa menahan diri dari zina. Jika pernikahan dilakukan, orang tersebut juga tidak akan menelantarkan istrinya.

Rukun Nikah dan Syarat-Syaratnya

Sebagaimana akad dan ibadah lainnya, agar menjadi akad yang sah dan diterima tentu harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun nikah adalah semua perkara yang wajib dilaksanakan untuk menentukan sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Rukun pernikahan dalam Islam ada 5 hal, yaitu:

  1. Calon Pengantin Pria, yang memiliki persyaratan seperti: beragama islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin).
  2. Calon Pengantin Perempuan, yang memenuhi persyaratan seperti tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa iddah dari pernikahannya dengan orang lain.
  3. Wali, rukun ini disebutkan di dalam hadis sahih:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ

“Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558)

Sedangkan syarat-syaratnya adalah: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asobah) untuk seorang perempuan.

  1. 2 Orang saksi, di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahan sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi).
  2. Ijab dan Qabul, yaitu akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan. Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan qabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apapun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu).

Bersambung.

Sumber: Kitab Al-Yaquut An-Nafiis Fii Mazhab Ibn Idris karya Syekh Ahmad bin Umar As-Syatiri dengan beberapa penyesuaian.

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/71772-fikih-nikah-bag-1.html