Serial Fiqh Zakat (Bag. 10): Penggunaan Kalender Masehi dalam Penetapan Haul Zakat

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fiqh Zakat (Bag. 9): Zakat Uang Kartal

Mayoritas ulama berpendapat bahwa tercapainya haul merupakan syarat yang wajib terpenuhi bagi obyek zakat yang berupa emas dan perak, hewan ternak, dan barang perdagangan.

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan,

السَّائمةُ من بهيمةِ الأنعامِ، والأثمانُ؛ وهي الذهب والفضَّة، وقِيَمُ عُروضِ التِّجارة، وهذه الثلاثة الحَوْلُ شرطٌ في وجوبِ زكاتِها. لا نعلم فيه خلافًا). ((المغني)) (2/467).

“(Untuk) hewan ternak yang berkategori saa-imah; emas dan perak; dan nilai barang perdagangan, haul merupakan syarat wajib zakat bagi ketiganya. Kami tidak mengetahui ada pendapat yang berbeda dalam hal ini.” (al-Mughni, 2: 467)

Dalam Bidayatul Mujtahid (1: 270), Ibnu Rusyd Rahimahullah menginformasikan bahwa syarat haul tersebut merupakan kesepakatan al-Khulafa ar-Rasyidin dan telah luas dipraktikkan di masa sahabat Radhiallahu ‘anhum. Keterangan Ibnu Rusyd tersebut didukung oleh riwayat Malik dari Abu Bakr ash-Shiddiq dan Utsman bin ‘Affan dalam al-Muwaththa’ no. 638, yang menetapkan pensyaratan haul.

Di masa ini, timbul persoalan baru terkait pensyaratan haul untuk kewajiban zakat, yaitu penggunaan kalender solar (kalender surya) dalam penentuan haul zakat. Hal ini karena dalam berbagai interaksi, mayoritas masyarakat telah bergantung pada penanggalan Masehi yang berpatokan pada kalender solar.

Apakah penentuan haul zakat diperbolehkan berpatokan pada kalender solar ataukah tetap wajib berpatokan pada kalender lunar yang terwujud dalam penanggalan Hijriyah?

Sekilas tentang kalender olar dan kalender lunar

Kalender solar adalah sistem penanggalan yang didasarkan atas revolusi bumi mengelilingi matahari [Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_surya].

Hal ini mengakibatkan tahun dalam kalender solar terbagi ke dalam empat musim, yaitu musim panas, musim dingin, musin semi, dan musim gugur, dimana dalam setahun terdiri dari sekitar 365,2422 hari. Adapun pembagian tahun dalam kalender solar menjadi beberapa bulan, hal itu merupakan kreasi sebagian bangsa yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Dari kalender solar inilah kemudian tercipta penanggalan Masehi. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 22)

Adapun kalender lunar (as-sanah al-qamariyah) yang juga dikenal dengan al-haul al-qamariy merupakan sistem penanggalan yang didasarkan pada revolusi bulan yang mengelilingi bumi dan itulah yang menjadi sebab penetapan bulan-bulan dalam setahun. Waktu total revolusi bulan mengelilingi bumi merepresentasikan satu bulan dalam kalender lunar yang membutuhkan waktu sekitar 29,52 hari. Jumlah bulan dalam kalender lunar ini sebanyak 12 bulan, yang dalam penanggalan Hijriyah dikenal dengan 12 bulan Arab yang terkenal, dimulai dari bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Berdasarkan hal itu, dalam kalender lunar, khususnya dalam penanggalan Hijriyah, terdapat 354,36 hari dalam setahun, yang jika dibandingkan dengan kalender solar terdapat selisih 10,88 hari. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 23)

Dapat diperhatikan dari uraian di atas bahwa kalender lunar berpatokan pada pergerakan dan perputaran bulan di sekitar bumi dan tidak berkaitan dengan pergerakan bumi di sekitar matahari.

Kalender lunar adalah patokan dasar dalam penentuan waktu

Penentuan waktu dalam Islam berpatokan pada kalender lunar atau penanggalan Hijriyah, bukan berpatokan pada kalender solar atau penanggalan Masehi. Ibnu Taimiyah Rahimahullah menuturkan,

فجعل اللهُ الأهلَّةَ مواقيتَ للناس في الأحكام الثابتة بالشرع ابتداءً، أو سببًا من العبادة، وللأحكامِ التي تثبُتُ بشروط العَبدِ. فما ثبت من المؤقتاتِ بشرع أو شرط فالهلالُ ميقاتٌ له، وهذا يدخُلُ فيه الصيام والحجُّ، ومدةُ الإيلاءِ والعدَّة، وصومُ الكفَّارة… وكذلك صوم النذر وغيره. وكذلك الشروط من الأعمال المتعلِّقة بالثَّمن ودَين السَّلَم، والزَّكاة، والجِزية، والعقل، والخيار، والأيمان، وأجَل الصَّداق، ونجومُ الكتابة، والصُّلح عن القِصاص، وسائر ما يُؤجَّلُ منِ دَين وعَقدٍ وغيرهما

“Maka Allah menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syariat, baik sebagai permulaan suatu ibadah atau sebagai sebab suatu ibadah. Juga sebagai tanda-tanda waktu bagi hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan persyaratan manusia. Dengan demikian, setiap ketentuan waktu yang ditetapkan oleh syariat atau syarat, maka yang menjadi patokan adalah hilal. Hal ini mencakup ibadah puasa; haji; jangka waktu ilaa dan ‘iddah; dan puasa kaffarah … termasuk puasa nadzar dan selainnya. Demikian pula syarat-syarat dari aktifitas yang berkaitan dengan uang, utang salam, zakat, jizyah, pembatalan, khiyar, sumpah, utang mahar, pembebasan status budak dengan tebusan, perdamaian dalam qishash, dan seluruh perkara lain yang ditunda, baik berupa utang, akad, dan selainnya” (Majmu’ al-Fatawa, 25: 133, 134).

Dalil yang mendasari penggunaan kalender lunar

Hal ini didasarkan pada sejumlah dalil berikut:

Dalil pertama

Dalil-dalil agama menunjukkan kewajiban menggunakan penentuan waktu yang berdasarkan kalender lunar yang direpresentasikan dalam penanggalan Hijriyah dan bukan menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi.

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji” (QS. al-Baqarah: 189).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjadikan hilal sebagai tanda awal dan akhir bulan, sehingga hal ini berarti hilal merupakan tanda waktu, sebagaimana hitungan bulan itu tepat bila berpatokan pada kalender lunar karena terkait dengan hilal yang merupakan salah satu fase bulan.

Asy-Syafi’i Rahimahullah mengatakan,

فـأعلم الله تعالى بالأهلة جمل المواقيت… ولم يـجعل علماً لأهل الإسلام إلا بها، فمن أعلم بغيرها، فبغير مـا أعلم الله أعلم

“Maka Allah Ta’ala menjadikan hilal sebagai tanda bagi berbagai ketentuan waktu … Dia tidak menjadikan hal lain sebagai tanda-tanda waktu bagi kaum muslimin. Maka setiap orang yang menjadikan hal selain hilal sebagai tanda waktu, maka ia telah menjadikan hal lain yang tidak digunakan Allah sebagai tanda waktu.” (al-Umm, 3: 118)

Allah Ta’ala juga berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS. Yunus: 5).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjadikan bilangan tahun dan perhitungan waktu berpatokan pada fase-fase bulan, dimana hal itu hanya bisa terwujud jika menggunakan bulan-bulan Hijriyah yang awal dan akhir bulannya diketahui berdasarkan pada rukyah hilal. (at-Tafsir al-Kabir, 16: 50)

Dalil kedua

Menghitung dan menggunakan kalender lunar sebagai patokan selaras dengan kelapangan, kemudahan, dan keuniversalan agama Islam. Karena penghitungan dan pengenalan terhadap hari dan bulan dalam kalender lunar (kalender Hijriyah) dapat dilakukan oleh setiap orang sehingga tidak membutuhkan bantuan seorang pakar.

Ibnu al-Qayyim Rahimahullah menuturkan,

ولذلك كان الحساب القمري أشهر وأعرف عند الأمم، وأبعد عن الغلط، وأصح للضبط من الحساب الشمسي، ويشترك فيه الناس دون الحساب الشمسي

“Oleh karena itu, penghitungan yang berpatokan pada kalender lunar lebih populer dan lebih terkenal di kalangan umat manusia; minim alat dan akurat daripada penghitungan yang berpatokan pada kalender solar. Setiap orang dapat menguasainya, berbeda dengan penghitungan kalender solar” (Miftaah Daar as-Sa’adah, 2: 272).

Dengan demikian, kalender lunar (kalender Hijriyah) sesuai untuk setiap orang, baik yang terpelajar maupun bodoh, penduduk kota maupun penduduk desa, di masa silam maupun masa modern, yang menegaskan berpatokan pada kalender lunar adalah sebuah keharusan, bukan berpatokan pada kalender solar. Hal ini dikarenakan kalender lunar memiliki karakteristik yang sesuai dengan karakteristik agama Islam, terlebih lagi kebutuhan masyarakat untuk berpatokan pada penghitungan yang bisa digunakan dalam kehidupan mereka dengan beragam tempat dan waktu hanya terwujud dengan menggunakan penanggalan Hijriyah yang berdasarkan kalender lunar. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 52)

Menggunakan penanggalan masehi dalam menunaikan zakat

Al-Lajnah ad-Daimah Kerajaan Arab Saudi memfatwakan bahwa penanggalan yang menjadi patokan dalam menunaikan zakat adalah penanggalan Hijriyah dan bulan-bulan Qamariyah, bukan menggunakan penanggalan Masehi (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta, 9: 200, Fatwa no. 9410).

Agak berbeda dengan al-Lajnah ad-Damimah, Bait az-Zakat di Kuwait memang berpandangan bahwa dalam menunaikan zakat hendaknya berpatokan pada penanggalan Hijriyah (kalender lunar). Namun, jika hal itu sulit dilakukan, semisal karena keterkaitan anggaran perusahaan atau yayasan dengan penanggalan Masehi (kalender solar), maka dalam kondisi tersebut boleh menggunakan penanggalan Masehi (kalender solar) dalam menunaikan zakat. Dengan catatan besaran zakat bertambah menjadi 2,575% akibat adanya selisih hari antara penanggalan Masehi dan penanggalan Hijriyah. (Ahkam wa Fatawa az-Zakah wa ash-Shadaqat wa an-Nudzur wa al-Kaffarat tahun 1423 H)

Empat alasan tidak menggunakan penanggalan masehi Sebagai patokan

Jika diteliti, perbedaan di atas hanyalah perbedaan dalam redaksi kata, karena keduanya sama-sama sepakat tetap menggunakan penanggalan Hijriyah (kalender lunar) dalam menunaikan zakat. Bait az-Zakat Kuwait memang membolehkan penghitungan haul zakat berdasarkan penanggalan Masehi, tetapi dengan tetap menyetarakannya dengan penanggalan Hijriyah. Yaitu adanya tambahan pada besaran zakat sebagai kompensasi atas selisih hari yang terjadi ketika menggunakan penanggalan Masehi.

Bait az-Zakat Kuwait juga membatasi penggunaan penanggalan Masehi dalam menunaikan zakat jika memang sulit menggunakan penanggalan Hijriyah. Dengan demikian, pada dasarnya yang disepakati adalah menghitung haul zakat sesuai dengan penanggalan Hijriyah dan bukan berpatokan pada penanggalan Masehi. Hal itu dikarenakan sejumlah alasan berikut:

Alasan pertama

Dalil-dalil agama dan kutipan ulama yang menunjukkan kewajiban menggunakan penanggalan Hijriyah sebagai patokan dalam menunaikan zakat. Apalagi penanggalan Masehi merupakan kreasi umat sebelum datangnya Islam, yang bisa ditambah ataupun dikurangi, sehingga penanggalan ini tidak berpijak pada standar yang baku.

Alasan kedua

Telah ditetapkan bahwa tidak boleh menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi. Demikian pula, tidak boleh menghitung tanda-tanda waktu berdasarkan penanggalan tersebut, sehingga tidak boleh berpatokan pada penanggalan Masehi dalam menghitung haul zakat.

Alasan ketiga

Menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi sebagai patokan justru akan menyebabkan penunaian zakat tertunda selama kurang lebih 11 hari. Sehingga dalam rentang waktu sekitar 30 tahun, hal ini bisa mengakibatkan seorang muslim tidak menunaikan kewajiban zakatnya selama satu tahun penuh. Artinya semasa hidup mereka, jutaan kaum muslimin bisa melewatkan kewajiban menunaikan zakat sebanyak satu atau dua kali. Tentu saja hal ini merugikan kepentingan umat secara umum dan merugikan delapan pihak yang berhak menerima zakat secara khusus.

Alasan keempat

Berpatokan pada kalender solar mengakibatkan hilangnya tanggung jawab wajib zakat (muzakki) ketika harta belum mencapai nisab atau ketika wajib zakat wafat setelah haul penanggalan Hijriyah terpenuhi, sementara haul penanggalan Masehi belum terpenuhi. Artinya, jika menggunakan penanggalan Masehi, tanggung jawab wajib zakat untuk menunaikan zakat menjadi tidak ada dalam rentang waktu sekitar 11 hari yang merupakan selisih antara penanggalan Masehi dan penanggalan Hijriyah. Hal ini menimbulkan kerugian yang nyata dan menyia-nyiakan hak Allah dan hak hamba-Nya.

Apabila dalam menghitung haul zakat berdasarkan penanggalan Hijriyah terdapat kesulitan karena alasan yang logis, maka boleh menghitung haul zakat berdasarkan penanggalan Masehi berdasarkan pendapat yang membolehkan penundaan zakat karena adanya kebutuhan. Misalnya, kondisi yang dialami sebagian perusahaan yang membangun anggaran keuangan berdasarkan penanggalan Masehi. Perusahaan tersebut berpatokan pada penanggalan Masehi karena memiliki cabang-cabang perusahaan di luar negeri yang menggunakan penanggalan Masehi, dimana penanggalan itulah yang menjadi standar internasional. Patut diperhatikan bahwa hal ini dibolehkan dengan tetap memperhatikan sejumlah batasan berikut:

Pertama, keterkaitan zakat dengan tanggung jawab wajib zakat (muzakki) tetap mengacu pada kesempurnaan haul yang berdasarkan penanggalan Hijriyah. Artinya, apabila wajib zakat wafat setelah haul penanggalan Hijriyah tercapai, ia tetap wajib menunaikan zakat meskipun haul berdasarkan penanggalan Masehi belum tercapai. Dengan demikian, besaran zakat itu menjadi utang yang wajib ditunaikan dan dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagikan kepada ahli waris.

Kedua, wajib memperhitungkan selisih yang timbul dari penundaan penunaian zakat akibat menggunakan penanggalan Masehi. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam fatwa Bait az-Zakat Kuwait sebelumnya.

Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Artikel ini disadur dari Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakat, karya Dr. ‘Abdullah ibn Manshur al-Ghufailiy hlm. 81-88.

Serial Fiqh Zakat (Bag. 5): Syarat Wajib Zakat (2)

Syarat yang berkaitan dengan pemberi zakat (muzakki)

Islam

Zakat diwajibkan kepada setiap muslim.

Dalil dari al-Qur’an

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” [QS. at-Taubah: 103]

Seruan (khithab) dalam perintah berzakat pada ayat di atas ditujukan kepada kaum muslimin, karena merekalah yang akan dibersihkan dan disucikan dengan mengeluarkan zakat. [Al-Muhalla, 4: 4; al-Jaami’ li Ahkaam al-Qur’an, 8: 124]

Dalil dari as-Sunnah

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz radhiallahu ‘anhu ke Yaman, beliau berkata, “Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19. Redaksi di atas adalah redaksi al-Bukhari.]

Nabi menjadikan perintah menunaikan zakat setelah menaati mereka untuk masuk ke dalam Islam. Demikian pula kata ganti (dhamir) pada frasa “أَغْنِيَائِهِمْ” yang berarti adalah orang-orang kaya yang telah menaati mereka dan masuk ke dalam Islam, di mana zakat juga akan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka (kaum muslimin). [Al-Muhalla, 4: 4]

Dalil ijmak

Sejumlah ulama seperti an-Nawawi dan Ibnu Rusyd mengutip adanya ijmak bahwa zakat diwajibkan kepada seorang muslim. [Al-Majmu’, 5: 326;  Bidayah al-Mujtahid, 1: 245]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kewajiban zakat atas setiap orang yang merdeka dan muslim adalah hal yang jelas (zhahih) berdasarkan keumuman dalil al-Quran, as-Sunnah, dan ijmak.” [Al-Majmu’, 5: 326]

Merdeka

Zakat diwajibkan kepada pemilik harta yang merdeka, bukan budak. Hal ini karena jika dia seorang budak, meski terkadang dapat memiliki harta (al-mukatab), kepemilikannya terhadap harta tidaklah sempurna.

Dalil ijmak

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kewajiban zakat atas setiap orang yang merdeka dan muslim adalah hal yang jelas (zhahir) berdasarkan keumuman dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan ijmak.” [Al-Majmu’, 5: 326]

Ibnu Rusyd mengatakan, “Adapun kepada siapa zakat itu diwajibkan, maka kaum muslimin bersepakat bahwa zakat diwajibkan kepada setiap muslim yang berakal, memiliki harta yang telah mencapai nishab dengan kepemilikan yang sempurna.” [Bidayah al-Mujtahid, 1: 245]

Hukum zakat atas budak

Tidak ada kewajiban zakat pada seorang budak. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan sebagian ulama mengklaim ijmak dalam hal ini. [Al-Mughni, 2: 464; Syarh Mukhtashar Khalil, 2: 181]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Zakat tidaklah wajib kecuali atas setiap orang yang merdeka, muslim, dan memiliki kepemilikan terhadap harta (obyek zakat) yang sempurna. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan kami tidak mengetahui ada yang menyelisihinya selain Atha’ dan Abu Tsaur. Mereka berdua mengatakan seorang budak tetap wajib mengeluarkan zakat hartanya.” [Al-Mughni, 2: 464]

Alasannya adalah:

  • Seorang budak tidak memiliki hak kepemilikan. [Hasyiyah Ibnu Abidin, 2: 259]
  • Zakat menuntut adanya pengalihan hak kepemilikan. Seorang yang tidak memiliki hak kepemilikan tidak mungkin mengalihkannya kepada orang lain. [Tabyin al-Haqaiq, 1: 253]

Hukum zakat atas harta al-mukatab

Al-Mukatab adalah budak yang pembebasan dirinya ditetapkan dengan suatu harga tertentu. Apabila budak tersebut bekerja dan menebus dirinya dengan harga tersebut, maka dia dibebaskan. [Aniis al-Fuqaha, 1: 61]

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “al-Mukatab adalah para budak yang membeli kebebasan diri dari pemilik mereka. Kata al-mukatab berasal dari kata al-kitabah, karena dalam perjanjian tercantum tulisan (al-kitabah) antara pemilik dan budak.” [asy-Syarh al-Mumti’, 6: 229]

Zakat tidaklah diwajibkan atas harta al-mukatab. Ulama madzhab yang empat bersepakat akan hal ini. Sebagian ulama mengklaim adanya ijmak. [Badai’ ash-Shanai’, 2: 6; Hasyiyah ad-Dasuqi, 1: 431; al-Majmu’, 5: 326; al-Inshaf, 3: 7; Al-Mughni, 10: 415]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Kesimpulan, tidak ada zakat yang diwajibkan kepada al-mukatab tanpa ada perselisihan pendapat sependek pengetahuan kami.” [Al-Mughni, 10: 415]

Alasan mengapa al-mukatab tidak diwajibkan mengeluarkan zakat adalah karena statusnya adalah budak, maka kepemilikannya terhadap harta tidak sempurna. Karena itu tidak ada kewajiban zakat atas dirinya hingga dibebaskan. [Al-Ijma’, hlm. 47; al-Mughni, 2: 464]

Apakah muzakki dipersyaratkan harus berakal dan dewasa (baligh)?

Berakal dan dewasa bukanlah syarat wajib zakat. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama. [Al-Kaafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah, 1: 284; Tuhfah al-Muhtaj, 3: 330; al-Mughni, 2: 464]

Dalil al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” [QS. at-Taubah: 103]

Firman Allah di atas berlaku umum kepada setiap anak kecil dan dewasa, berakal dan gila. [Al-Muhalla, 4: 4]

Dalil as-Sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19. Redaksi di atas adalah redaksi al-Bukhari.]

Frasa “أَغْنِيَائِهِمْ” mencakup anak kecil dan orang gila, sebagaimana hal yang sama berlaku pada lafadz “فُقَرَائِهِمْ”. Artinya, sebagaimana zakat itu dibagikan kepada kaum muslimin, baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa, demikian pula zakat diambil dari harta kaum muslimin, baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa. [Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 9: 411]

Dalil atsar

Dari al-Qasim bin Muhammad, dia berkata,

كانت عائشةُ رَضِيَ اللهُ عنْهَا تَلِيني أنا وأخًا لي يتيمينِ في حِجْرِها، فكانت تُخرِجُ مِن أموالِنا الزَّكاةَ

“Aku dan saudaraku adalah yatim, dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengasuh kami dan beliau mengeluarkan zakat dari harta kami.” [HR. Malik dalam al-Muwaththa’ 2: 353]

Dalil aqli

  • Zakat diserahkan agar pemberi zakat (muzakki) memperoleh pahala dan agar kalangan fakir memperoleh kenyamanan. Dan anak kecil maupun orang gila termasuk keduanya, yaitu kalangan yang membutuhkan pahala dan juga kenyamanan. Karena itulah, keduanya tetap diwajibkan untuk menafkahi keluarga dan kerabat; serta mereka wajib membebaskan sang ayah apabila misalnya dia  berstatus budak yang berada dalam kepemilikan mereka. dengan begitu, zakat tetap diwajibkan atas harta mereka. [Al-Majmu’, 5: 329]
  • Kewajiban zakat atas harta keduanya dianalogikan dengan status harta mereka yang tetap wajib dikeluarkan untuk menafkahi dan membayar ganti rugi (denda). [Al-Majmu’, 5: 330]
  • Zakat adalah hak fakir yang ada pada harta orang kaya, sehingga kewajiban untuk memenuhinya bersifat setara dan berlaku baik pada mukallaf maupun non-mukallaf (misal anak kecil dan orang gila). [Nihayah al-Muhtaj, 3: 128; asy-Syarh al-Mumti’, 6: 23]

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55163-serial-fiqh-zakat-bag-4-syarat-wajib-zakat-1.html

Serial Fiqh Zakat (Bag. 4): Syarat Wajib Zakat (1)

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fiqh Zakat (Bag. 3): Hukuman bagi Orang yang Tidak Menunaikan Zakat

Syarat yang berkaitan dengan pemberi zakat (muzakki)

Islam

Zakat diwajibkan kepada setiap muslim.

Dalil dari al-Qur’an

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” [QS. at-Taubah: 103]

Seruan (khithab) dalam perintah berzakat pada ayat di atas ditujukan kepada kaum muslimin, karena merekalah yang akan dibersihkan dan disucikan dengan mengeluarkan zakat. [Al-Muhalla, 4: 4; al-Jaami’ li Ahkaam al-Qur’an, 8: 124]

Dalil dari as-Sunnah

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz radhiallahu ‘anhu ke Yaman, beliau berkata, “Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19. Redaksi di atas adalah redaksi al-Bukhari.]

Nabi menjadikan perintah menunaikan zakat setelah menaati mereka untuk masuk ke dalam Islam. Demikian pula kata ganti (dhamir) pada frasa “أَغْنِيَائِهِمْ” yang berarti adalah orang-orang kaya yang telah menaati mereka dan masuk ke dalam Islam, di mana zakat juga akan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka (kaum muslimin). [Al-Muhalla, 4: 4]

Dalil ijmak

Sejumlah ulama seperti an-Nawawi dan Ibnu Rusyd mengutip adanya ijmak bahwa zakat diwajibkan kepada seorang muslim. [Al-Majmu’, 5: 326;  Bidayah al-Mujtahid, 1: 245]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kewajiban zakat atas setiap orang yang merdeka dan muslim adalah hal yang jelas (zhahih) berdasarkan keumuman dalil al-Quran, as-Sunnah, dan ijmak.” [Al-Majmu’, 5: 326]

Merdeka

Zakat diwajibkan kepada pemilik harta yang merdeka, bukan budak. Hal ini karena jika dia seorang budak, meski terkadang dapat memiliki harta (al-mukatab), kepemilikannya terhadap harta tidaklah sempurna.

Dalil ijmak

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kewajiban zakat atas setiap orang yang merdeka dan muslim adalah hal yang jelas (zhahir) berdasarkan keumuman dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan ijmak.” [Al-Majmu’, 5: 326]

Ibnu Rusyd mengatakan, “Adapun kepada siapa zakat itu diwajibkan, maka kaum muslimin bersepakat bahwa zakat diwajibkan kepada setiap muslim yang berakal, memiliki harta yang telah mencapai nishab dengan kepemilikan yang sempurna.” [Bidayah al-Mujtahid, 1: 245]

Hukum zakat atas budak

Tidak ada kewajiban zakat pada seorang budak. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan sebagian ulama mengklaim ijmak dalam hal ini. [Al-Mughni, 2: 464; Syarh Mukhtashar Khalil, 2: 181]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Zakat tidaklah wajib kecuali atas setiap orang yang merdeka, muslim, dan memiliki kepemilikan terhadap harta (obyek zakat) yang sempurna. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan kami tidak mengetahui ada yang menyelisihinya selain Atha’ dan Abu Tsaur. Mereka berdua mengatakan seorang budak tetap wajib mengeluarkan zakat hartanya.” [Al-Mughni, 2: 464]

Alasannya adalah:

  • Seorang budak tidak memiliki hak kepemilikan. [Hasyiyah Ibnu Abidin, 2: 259]
  • Zakat menuntut adanya pengalihan hak kepemilikan. Seorang yang tidak memiliki hak kepemilikan tidak mungkin mengalihkannya kepada orang lain. [Tabyin al-Haqaiq, 1: 253]

Hukum zakat atas harta al-mukatab

Al-Mukatab adalah budak yang pembebasan dirinya ditetapkan dengan suatu harga tertentu. Apabila budak tersebut bekerja dan menebus dirinya dengan harga tersebut, maka dia dibebaskan. [Aniis al-Fuqaha, 1: 61]

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “al-Mukatab adalah para budak yang membeli kebebasan diri dari pemilik mereka. Kata al-mukatab berasal dari kata al-kitabah, karena dalam perjanjian tercantum tulisan (al-kitabah) antara pemilik dan budak.” [asy-Syarh al-Mumti’, 6: 229]

Zakat tidaklah diwajibkan atas harta al-mukatab. Ulama madzhab yang empat bersepakat akan hal ini. Sebagian ulama mengklaim adanya ijmak. [Badai’ ash-Shanai’, 2: 6; Hasyiyah ad-Dasuqi, 1: 431; al-Majmu’, 5: 326; al-Inshaf, 3: 7; Al-Mughni, 10: 415]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Kesimpulan, tidak ada zakat yang diwajibkan kepada al-mukatab tanpa ada perselisihan pendapat sependek pengetahuan kami.” [Al-Mughni, 10: 415]

Alasan mengapa al-mukatab tidak diwajibkan mengeluarkan zakat adalah karena statusnya adalah budak, maka kepemilikannya terhadap harta tidak sempurna. Karena itu tidak ada kewajiban zakat atas dirinya hingga dibebaskan. [Al-Ijma’, hlm. 47; al-Mughni, 2: 464]

Apakah muzakki dipersyaratkan harus berakal dan dewasa (baligh)?

Berakal dan dewasa bukanlah syarat wajib zakat. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama. [Al-Kaafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah, 1: 284; Tuhfah al-Muhtaj, 3: 330; al-Mughni, 2: 464]

Dalil al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” [QS. at-Taubah: 103]

Firman Allah di atas berlaku umum kepada setiap anak kecil dan dewasa, berakal dan gila. [Al-Muhalla, 4: 4]

Dalil as-Sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19. Redaksi di atas adalah redaksi al-Bukhari.]

Frasa “أَغْنِيَائِهِمْ” mencakup anak kecil dan orang gila, sebagaimana hal yang sama berlaku pada lafadz “فُقَرَائِهِمْ”. Artinya, sebagaimana zakat itu dibagikan kepada kaum muslimin, baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa, demikian pula zakat diambil dari harta kaum muslimin, baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa. [Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 9: 411]

Dalil atsar

Dari al-Qasim bin Muhammad, dia berkata,

كانت عائشةُ رَضِيَ اللهُ عنْهَا تَلِيني أنا وأخًا لي يتيمينِ في حِجْرِها، فكانت تُخرِجُ مِن أموالِنا الزَّكاةَ

“Aku dan saudaraku adalah yatim, dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengasuh kami dan beliau mengeluarkan zakat dari harta kami.” [HR. Malik dalam al-Muwaththa’ 2: 353]

Dalil aqli

  • Zakat diserahkan agar pemberi zakat (muzakki) memperoleh pahala dan agar kalangan fakir memperoleh kenyamanan. Dan anak kecil maupun orang gila termasuk keduanya, yaitu kalangan yang membutuhkan pahala dan juga kenyamanan. Karena itulah, keduanya tetap diwajibkan untuk menafkahi keluarga dan kerabat; serta mereka wajib membebaskan sang ayah apabila misalnya dia  berstatus budak yang berada dalam kepemilikan mereka. dengan begitu, zakat tetap diwajibkan atas harta mereka. [Al-Majmu’, 5: 329]
  • Kewajiban zakat atas harta keduanya dianalogikan dengan status harta mereka yang tetap wajib dikeluarkan untuk menafkahi dan membayar ganti rugi (denda). [Al-Majmu’, 5: 330]
  • Zakat adalah hak fakir yang ada pada harta orang kaya, sehingga kewajiban untuk memenuhinya bersifat setara dan berlaku baik pada mukallaf maupun non-mukallaf (misal anak kecil dan orang gila). [Nihayah al-Muhtaj, 3: 128; asy-Syarh al-Mumti’, 6: 23]

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55163-serial-fiqh-zakat-bag-4-syarat-wajib-zakat-1.html

Serial Fiqh Zakat (Bag. 3): Hukuman bagi Orang yang Tidak Menunaikan Zakat

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fiqh Zakat (Bag. 2): Hukum Orang yang Tidak Menunaikan Zakat

Hukuman di Akhirat

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (QS. at-Taubah: 34-35)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن آتاه اللهُ مالًا، فلم يؤَدِّ زكاتَه، مُثِّلَ له ماله شُجاعًا أقرَعَ ، له زبيبتانِ ، يُطوِّقه يومَ القيامة، يأخُذُ بلِهْزِمَتَيهِ- يعني شِدْقَيه، ثم يقول: أنا مالُكَ، أنا كَنْزُك. ثم تلا: وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Barangsiapa yang diberikan harta oleh Allah, namun tidak mengeluarkan zakatnya, niscaya pada hari kiamat harta itu akan berubah wujud menjadi seekor ular jantan yang bertanduk dan memiliki dua taring lalu melilit orang itu pada hari kiamat. Lalu ular itu memakannya dengan kedua rahangnya, yaitu dengan mulutnya seraya berkata, ‘Aku inilah hartamu, akulah harta simpananmu”. Kemudian Beliau membaca firman Allah Ta’ala di surat Ali ‘Imran ayat 180 yang artinya,  ” Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (HR. al-Bukhari: 1405)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Siapa yang memiliki emas dan perak, tetapi dia tidak membayar zakatnya, niscaya di hari kiamat akan dibuatkan setrika api untuknya yang dinyalakan di dalam neraka, lalu disetrikakan ke perut, dahi dan punggungnya. Setiap setrika itu dingin, maka akan dipanaskan kembali lalu disetrikakan kembali kepadanya setiap hari –di mana sehari setara lima puluh tahun di dunia – hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu, barulah ia melihat jalannya keluar, adakalanya ke surga dan adakalanya ke neraka.” (HR. Muslim: 987)

Hukuman atau Sanksi di Dunia

Pembahasan pertama: Sanksi bagi orang yang tidak menunaikan zakat dan berada dalam kekuasaan pemerintah.

Setiap orang yang enggan menunaikan zakat dan dirinya masih berada dalam kekuasaan pemerintah atau penguasa, memperoleh sanksi berupa pengambilan zakat dari hartanya secara paksa. 

Dalil dari al-Quran:

Allah Ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. at-Taubah: 103)

Meskipun perintah untuk mengambil zakat pada ayat di atas ditujukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ulama sepakat bahwa setiap pemimpin dan penguasa menggantikan posisi beliau dalam urusan tersebut.

Ibnu Abdi al-Barr rahimahullah mengatakan, “Ulama bersepakat bahwa para khalifah dan penguasa menempati posisi beliau dalam perkara pengambilan zakat yang disebutkan dalam firman Allah di surat at-Taubah ayat 130.” (Al-Istidzkar, 2: 226)

Dalil dari as-Sunnah:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan pada Mu’adz radhiallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Yaman,

أعْلِمْهم أنَّ اللهَ افتَرَض عليهم صدقةً في أموالِهم، تُؤخَذُ مِن أغنيائِهم فتردُّ على فُقرائِهم

“Ajarkan mereka bahwa Allah mewajibkan mereka untuk menunaikan zakat pada harta mereka yang diambil dari kalangan yang kaya untuk dikembalikan kepada kalangan yang miskin.” (HR. al-Bukhari: 1395 dan Muslim: 19)

Hadits ini menunjukkan bahwa imam (penguasa) yang bertanggungjawab dalam pengambilan dan pendistribusian zakat, entah kegiatan tersebut dilakukan sendiri atau melalui perwakilan. Setiap orang yang enggan menunaikan zakat, maka diambil dari hartanya secara paksa. (Fath al-Bari, 3: 360)

Dalil ijma’

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Ulama bersepakat bahwa setiap orang yang tidak menunaikan zakat, maka zakat diambil dari hartanya secara paksa.” (Syarh Shahih al-Bukhari, 3: 391)

Apakah sanksi pengambilan paksa itu sebanding atau melebihi kadar zakat yang wajib dikeluarkan?

Ulama berselisih pendapat dalam hal ini.

Pendapat pertama: Sanksi hanya berupa pengambilan harta secara paksa sebanding dengan kadar zakat yang wajib dikeluarkan. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama [1].

Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Apabila seseorang enggan menunaikan zakat, namun masih meyakininya sebagai suatu kewajiban, dan imam (penguasa) telah menetapkan sanksi untuk mengambil zakat dari hartanya secara paksa, maka zakat bisa diambil secara paksa dan ta’zir juga dapat diterapkan, namun jangan mengambil hartanya melebihi kadar zakat yang diwajibkan. Hal ini menurut pendapat mayoritas ahli ilmu, di antaranya abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan murid-murid mereka.” (Al-Mughni, 2: 428)  

Dalil pendapat pertama adalah sebagai berikut:

Pada zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sebagian kalangan enggan menunaikan zakat, namun tidak ada satu pun riwayat yang dinukil dari sahabat bahwa mereka mengambil harta secara paksa melebihi kadar zakat yang diwajibkan. (Al-Mughni, 2: 428)

Selain itu, menunaikan zakat adalah ibadah, sehingga layaknya ibadah yang lain, meski tidak ditunaikan, tidak ada kelaziman untuk mengambil setengah harta orang yang tidak menunaikan zakat. (Al-Majmu’, 5: 332)

Seperti ketentuan yang berlaku pada hak yang lain, boleh mengambil hak dari pihak yang zalim, namun tanpa melebihi batas. (Kasyf al-Qana, 2: 257)

Pendapat kedua: Zakat diambil secara paksa dari orang yang tidak menunaikannya sekaligus diberi hukuman ta’zir, yaitu setengah hartanya disita [2].

Pendapat ini merupakan pendapat asy-Syafi’i terdahulu (Al-Majmu’, 5: 331) dan salah satu pendapat dalam madzhab Hanabilah (Al-Mughni, 2: 428). Pendapat ini juga merupakan pendapat al-Auza’i dan Ishaq bin Rahuyah (Hasyiyah Ibn al-Qayyim ma’a ‘Aun al-Ma’bud, 4: 318). Dan pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu al-Qayyim, Ibnu Utsaimin dan al-Lajnah ad-Daimah (I’lam al-Muwaqqi’in, 2: 129; asy-Syarh al-Mumti’, 6: 200-201; dan Fatawa az-Zakah: 780).

Dalil pendapat kedua ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فِي كُلِّ سَائِمَةِ إِبِلٍ: فِي أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ, لَا تُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا, مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا بِهَا فَلَهُ أَجْرُهُ, وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ, عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا, لَا يَحِلُّ لِآلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, وَعَلَّقَ اَلشَّافِعِيُّ اَلْقَوْلَ بِهِ عَلَى ثُبُوتِه ِ

“Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya memasuki tahun ketiga. Tidak boleh dipisahkan anak unta itu untuk mengurangi perhitungan zakat. Barangsiapa memberinya karena mengharap pahala, ia akan mendapat pahala. Barangsiapa menolak untuk mengeluarkannya, kami akan mengambilnya beserta setengah hartanya karena membayar zakat merupakan perintah yang keras dari Rabb kami. Keluarga Muhammad tidak halal mengambil zakat sedikit pun.” (HR. Abu Dawud: 1575. Dinilai hasan oleh al-Albani)

Pembahasan kedua: Sanksi bagi orang yang tidak menunaikan zakat dan tidak berada dalam kekuasaan pemerintah.

Kalangan yang menolak zakat dan mereka tidak berada dalam kekuasaan pemerintah, wajib diperangi hingga mereka mau menunaikan kewajiban tersebut.

Dalil al-Quran:

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. at-Taubah: 5)

Ayat di atas menunjukkan bahwa mereka (kaum musyrikin) tidak lagi diperangi dan dibiarkan beraktivitas di muka bumi apabila menunaikan tiga syarat, yaitu masuk Islam, menegakkan shalat dan membayar zakat. Jika tidak terpenuhi syarat tersebut, boleh memerangi mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 4: 111)

Dalil as-Sunnah:

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata,

لما توفى النبي صلى الله عليه وسلم واستُخلف أبو بكر وكفر من كفر من العرب قال عمر : يا أبا بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أمِرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله ، فمن قال لا إله إلا الله عصم مني ماله ونفسه إلا بحقه وحسابه على الله ؟ قال أبو بكر : والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة ، فإن الزكاة حق المال ، والله لو منعوني عناقا كانوا يؤدونها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم لقاتلتهم على منعها . قال عمر : فو الله ما هو إلا أن رأيت أن قد شرح الله صدر أبي بكر للقتال فعرفت أنه الحق

“Ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam wafat, dan Abu Bakar menggantikannya, banyak orang yang kafir dari bangsa Arab. Umar berkata, “Wahai Abu Bakar, bisa-bisanya engkau memerangi manusia padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah. Barangsiapa yang telah mengucapkannya telah haram darah dan jiwanya diganggu, kecuali dengan alasan yang hak (yang benar). Adapun hisabnya diserahkan kepada Allah?” Abu Bakar berkata, “Demi Allah akan kuperangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat. Karena zakat adalah hak harta. Demi Allah jika ada orang yang enggan membayar zakat di masaku, padahal mereka menunaikannya di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, niscaya akan tetap kuperangi dia”. Umar berkata, “Demi Allah, setelah itu tidaklah aku melihat kecuali Allah telah melapangkan dadanya untuk memerangi orang-orang tersebut, dan aku yakin ia di atas kebenaran.” (HR. al-Bukhari: 1399 dan Muslim: 20)

Dalil ijma’:

Sejumlah ulama seperti Ibnu Baththal, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah dan an-Nawawi menukil ijma’ para sahabat untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat hingga mereka bersedia untuk menunaikannya. (Syarh Shahih al-Bukhari, 3: 391; al-Istidzkar, 3: 214; al-Mughni, 2: 427; al-Majmu’, 5: 334)

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu pada ash-Shahihain yang menerangkan bahwa para sahabat radhiallahu ‘anhu berselisih pendapat perihal hukum memerangi kalangan yang menolak membayar zakat. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu berpandangan untuk memerangi mereka dan mengemukakan dalil kepada sahabat yang lain. Ketika dalil yang dikemukakan telah dipahami, mereka pun menyetujui pendapat Abu Bakar, sehingga memerangi orang yang menolak membayar zakat merupakan perkara yang disepakati oleh mereka.” (Al-Majmu’, 5: 334)

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54882-serial-fiqh-zakat-bag-3-hukuman-bagi-orang-yang-tidak-menunaikan-zakat.html

Serial Fiqh Zakat (Bag. 2): Hukum Orang yang Tidak Menunaikan Zakat

Baca pembahasan sebelumnya  Serial Fiqh Zakat (Bag. 1): Pengertian, Keutamaan dan Hukum Zakat

Tiga Kategori Orang yang Tidak Menunaikan Zakat

Kategori Pertama

Orang yang tidak menunaikan zakat karena menolak zakat sebagai suatu kewajiban.

Orang yang menolak kewajiban zakat dan dia mengetahui bahwa zakat wajib ditunaikan, maka dia telah kafir. 

Dalil akan hal ini adalah ijma’. 

Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Seorang yang menentang kewajiban zakat, maka perbuatannya tersebut adalah riddah (dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam) berdasarkan ijma’.” (Al-Istidzkar, 3:217)

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya status seorang yang mengingkari kewajiban zakat di saat ini adalah kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, 1: 205)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

يكفر إذا جحد الزكاة وهو يعلم أنها واجبة، وذلك لأن وجوب الزكاة مما يعلم بالضرورة من دين الإسلام، فكل مسلم يعلم أن الزكاة واجبة فإذا جحد ذلك كفر.

“Dia kafir jika menolak penunaian zakat dan dia mengetahui hukum zakat wajib ditunaikan. Kewajiban zakat termasuk perkara yang aksiomatis dalam agama Islam. Setiap muslim mengetahui bahwa zakat wajib ditunaikan dan seseorang kafir jika menentang kewajibannya.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 6: 191)

Kategori Kedua

Orang yang tidak menunaikan zakat karena tidak mengetahui hukumnya.

Orang yang tidak menunaikan zakat karena mengetahui zakat wajib ditunaikan tidaklah kafir., namun dia harus diberi edukasi. Kondisinya seperti seorang yang baru masuk ke dalam Islam. Mayoritas ahli fikih sepakat akan hal ini. (Al-Mabsuth, 2: 327; al-Fawakih ad-Diwani, 2: 742; al-Majmu’, 5: 334; al-Mughni, 2: 427-428)

Allah ta’ala berfirman,

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

” … dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” [al-Isra: 15].

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

فمن لم يبلغه أمر الرسول في شيء معين، لم يثبت حكم وجوبه عليه

“Setiap orang yang belum terjangkau perintah Rasulullah perihal suatu perkara tertentu, maka kewajiban hukum perkara itu belum ditetapkan pada dirinya.” (Majmu’ al-Fataawa, 22: 102) 

Kategori Ketiga

Orang yang tidak menunaikan zakat karena pelit.

Status orang yang tidak menunaikan zakat karena pelit, namun tetap meyakini kewajibannya, tidaklah kafir. Mayoritas ahli fikih sepakat akan hal ini. (al-Binayah Syarh al-Hidayah, 3: 291; Hasyiyah ad-Dasuqi, 1: 191; al-Majmu’, 5: 334, al-Mughni, 2: 428)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Siapa yang memiliki emas dan perak, tetapi dia tidak membayar zakatnya, niscaya di hari kiamat akan dibuatkan setrika api untuknya yang dinyalakan di dalam neraka, lalu disetrikakan ke perut, dahi dan punggungnya. Setiap setrika itu dingin, maka akan dipanaskan kembali lalu disetrikakan kembali kepadanya setiap hari –di mana sehari setara lima puluh tahun di dunia – hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu, barulah ia melihat jalannya keluar, adakalanya ke surga dan adakalanya ke neraka.” (HR. Muslim no. 987)

Seandainya dia kafir karena semata-mata tidak menunaikan zakat tentu tidak ada peluang menuju surga seperti yang disebutkan dalam hadits di atas dan setiap orang yang masih diberi peluang untuk masuk surga masih memiliki iman meski bermaksiat. (Ta’zhim qadr ash-Shalah, 2: 1012; asy-Syarh al-Mumti’, 2: 29)

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54828-serial-fiqh-zakat-bag-2-hukum-orang-yang-tidak-menunaikan-zakat.html

Serial Fiqh Zakat (Bag. 1): Pengertian, Keutamaan dan Hukum Zakat

Zakat adalah kewajiban agama yang wajib ditunaikan dan merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam. Dalil akan hal tersebut ditunjukkan dalam al-Quran, as-Sunnah (hadits) dan ijma’ kaum muslimin.

Definisi Zakat

Dalam terminologi bahasa, zakat berarti ath-thaharah (suci) dan an-nama (berkembang). [an-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar 2/307 dan Lisan al-Arab 14/358]

Sedangkan dalam terminologi syari’at, zakat berarti beribadah kepada Allah dengan mengeluarkan bagian harta tertentu yang wajib dikeluarkan untuk diserahkan pada kelompok atau peruntukan tertentu. [asy-Syarh al-Mumti’ 6/13]

Keutamaan Zakat

Zakat memiliki sejumlah keutamaan yang agung. Di antaranya adalah:

  • Zakat sering dikaitkan dengan ibadah shalat yang merupakan salah satu ibadah yang utama dalam al-Quran al-karim. Di antaranya adalah firman Allah ta’ala,

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْر تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan” [al-Baqarah: 110].

  • Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima  (tonggak), syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan” [HR. al-Bukhari: 8 dan Muslim: 16].

  • Menunaikan zakat merupakan indikasi ketakwaan dan sebab yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ. آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ ۚإِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ. كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ. وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian” [adz-Dzariyat: 15-19].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَمْسٌ مَنْ جَاءَ بِهِنَّ مَعَ إِيمَانٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مَنْ حَافَظَ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ عَلَى وُضُوئِهِنَّ وَرُكُوعِهِنَّ وَسُجُودِهِنَّ وَمَوَاقِيتِهِنَّ وَصَامَ رَمَضَانَ وَحَجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَأَعْطَى الزَّكَاةَ طَيِّبَةً بِهَا نَفْسُهُ وَأَدَّى الْأَمَانَةَ

“Lima perkara yang apabila dikerjakan oleh seseorang dengan keimanan, maka dia akan masuk surga; yaitu barangsiapa yang menjaga shalat lima waktu beserta wudhunya, rukuknya, sujudnya dan waktu-waktunya, melaksanakan puasa ramadhan, haji ke baitullah jika mampu menunaikannya, menunaikan zakat dengan kesadaran jiwa, serta menunaikan amanat” [HR. Abu Dawud: 429. Dinilai hasan oleh al-Albani].

  • Rutin mengeluarkan zakat merupakan salah satu sebab seorang hamba mampu mencapai derajat ash-shiddiqin dan syuhada. Dari ‘Amr bin Murrah al-Juhani radhiyallahu’anhu ia berkata,

جاء رجلٌ من قُضاعةَ إِلى رسولِ الله صلَّى الله عليه وسلَّم، فقال: إِنِّي شهدْتُ أنْ لا إلهَ إلَّا اللهُ وأنَّك رسولُ الله، وصليتُ الصلواتِ الخَمْسَ، وصُمتُ رمضانَ وقمتُه، وآتيتُ الزَّكاةَ، فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم: مَن مات على هذا كان من الصِّدِّيقينَ والشُّهداءِ

“Seseorang dari Qudha’ah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku telah bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan engkau adalah utusan Allah, aku telah shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan dan qiyamul lail di dalamnya, dan aku telah menunaikan zakat”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan melaksanakan hal-hal itu maka dia akan termasuk orang-orang yang jujur dan syahid” [HR. Ahmad” 39/522; Ibnu Khuzaimah: 2212; Ibnu Hibban: 3438. Dinilai shahih oleh al-Albani].

  • Setiap orang yang mengeluarkan zakat dengan penuh kesadaran, tanpa merasa terbebani, niscaya akan merasakan kelezatan iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثلاثٌ مَن فَعَلَهنَّ فقد طَعِمَ طعْمَ الإيمانِ: مَن عبَدَ الله وحْده، وعلِمَ أنْ لا إلهَ إلَّا اللهُ، وأعطى زكاةَ ماله طيِّبةً بها نفسُه، رافدةً عليه كلَّ عامٍ، ولم يُعطِ الهَرِمةَ ولا الدَّرِنةَ ولا المريضةَ ولا الشَّرَطَ اللَّئيمةَ، ولكنْ مِن وسَطِ أموالِكم؛ فإنَّ اللهَ لم يسألْكم خَيرَه ولم يأمُرْكم بشَرِّه

“Ada tiga hal yang barangsiapa mengerjakannya maka ia telah merasakan manisnya iman, yaitu orang yang menyembah Allah dan mengetahui bahwa tiada sembahan yang patut disembah kecuali Allah. Memberikan zakat hartanya dengan senang hati dan dengan hati yang mendorongnya untuk mengeluarkan yang terbaik di setiap tahunnya. Ia tidak memberikan hewan yang tua, yang kotor, yang sakit, dan yang hina, tetapi ia memberikan yang wajar. Karena sesungguhnya Allah telah meminta kepada kalian untuk menafkahkan yang terbaik di antara harta-harta kalian, dan Dia tidak memerintahkan untuk menafkahkan harta yang terjelek diantara kalian” [HR. Abu Dawud: 1580; ath Thabrani: 555 dalam al-Mu’jam ash-Shaghir; al-Baihaqi: 7525. Dinilai shahih oleh al-Albani].

Hukum Zakat

Zakat adalah kewajiban agama yang wajib ditunaikan dan merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam. Dalil akan hal tersebut ditunjukkan dalam al-Quran, as-Sunnah (hadits) dan ijma’ kaum muslimin.

  • Dalil al-Quran

Allah ta’ala berfirman,

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ

“…dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat” [al-Muzammil: 20].

  • Dalil as-Sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima  (tonggak), syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan” [HR. al-Bukhari: 8 dan Muslim: 16].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan pada Mu’adz radhiallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Yaman,

أعْلِمْهم أنَّ اللهَ افتَرَض عليهم صدقةً في أموالِهم، تُؤخَذُ مِن أغنيائِهم فتردُّ على فُقرائِهم

“Ajarkan mereka bahwa Allah mewajibkan mereka untuk menunaikan zakat pada harta mereka yang diambil dari kalangan yang kaya untuk dikembalikan kepada kalangan yang miskin” [HR. al-Bukhari: 1395 dan Muslim: 19].

  • Dalil ijma’

Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan, “Kewajiban zakat telah diketahui berdasarkan dalil dari al-Quran, as-Sunnah dan ijmak. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut.” [Bidayah al-Mujtahid 1/244].

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin di seluruh negeri bersepakat bahwa zakat itu wajib.” [al-Mughni 2/427].

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mengeluarkan zakat adalah wajib dan merupakan rukun Islam berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah dan ijma’ umat dengan jelas menyatakan hal tersebut.” [al-Majmu’ 5/326].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54784-pengertian-keutamaan-dan-hukum-zakat.html