Gaza, Blokade 17 Tahun, dan Satu dari Tiga Masjid Suci Kita

Tanyakan apa yang akan kita lakukan jika hal yang sama terjadi pada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Apakah kita akan diam? begitulah Gaza dan Masjidil Aqsha

SAAT INI perhatian dunia kembali tertuju pada Gaza, Baitul Maqdis, dan Masjidil Aqsha. Apa yang terjadi saat ini tidak bisa dilihat sebagai suatu peristiwa terpisah sebagai serangan dan reaksi balasan dari pihak rakyat Palestina dan penjajah Zionis ‘Israel’ saja.

Akan tetapi, ini adalah bagian dari lapisan konteks sejarah panjang, geopolitik, hukum internasional, kemanusiaan, termasuk juga bagian dari akidah.

Penting untuk dicatat bahwa jarak antar Gaza dan Masjidil Aqsha di kota Baitul Maqdis sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jarak antara Jakarta dan Bogor.

Akan tetapi, selama 17 tahun ini, rakyat Gaza hampir tidak mungkin memasuki Masjidil Aqsha karena Gaza dikepung ketat, menjadi penjara terbesar di dunia.

Hampir dua dekade, Zionis memblokade Gaza dari segala arah, baik dari darat, laut, maupun udara.

Namun, meski dalam kondisi seperti ini, Gaza adalah wujud sesungguhnya dari Murabith (penjaga) Masjidil Aqsha, tidak tunduk berlutut dengan makar-makar dari para penjajah, termasuk makar Deal of the Century yang bertujuan merubah fungsi Masjidil Aqsha sebagai tempat peribadatan antar umat beragama.

Gaza melanjutkan perjuangan Nabi kita, Nabi Muhammad ﷺ yang tidak tinggal diam saat Masjidil Aqsha dalam kondisi dijajah dan dinistakan.

Ketika Nabi Muhammad ﷺ mengemban amanah kenabian di Makkah, beliau baru mengenal dua masjid suci bagi Umat Islam. Masjid yang lokasinya di kota tempat beliau tinggal yaitu, Masjid Al-Haram. Serta masjid lain di tempat yang sangat jauh dari tempat kelahirannya, di sebelah utara Jazirah Arab yakni, Masjid Al-Aqsha.

Kemudian setelah berhijrah ke Madinah, beliau mendirikan masjid suci lainnya di kota Nabi yang dinamakan, Masjid Nabawi.

Rasulullah ﷺ terhubung dengan Masjid Al-Aqsha sejak awal periode kenabiannya, sebab merupakan kiblat shalat beliau. Inilah masjid suci yang menjadi kiblat pertama Nabi kita dan juga ummatnya. Jika kita menganalisis sejarah kehidupan beliau hingga wafatnya, mayoritas usia beliau shalat menghadap masjid di wilayah Baitul Maqdis ini.

Perintah pemindahan arah kiblat, yang tercantum pada QS. Al-Baqarah ayat 144, turun pada waktu Nabi Muhammad ﷺ sudah tinggal di Madinah. Bahkan, sebuah Hadis Shahih merinci informasinya, yaitu arah kiblat berubah setelah 16 atau 17 bulan beliau hijrah, atau bisa dihitung kurang lebih 1,5 tahun.

Apa maknanya?

Selama 13 tahun periode Makkah beliau terhubung secara spiritual ke Masjid Al-Aqsha. Kemudian ditambah lagi 1,5 tahun sesudah hijrah, baginda Nabi kita di Madinah tetap shalat menghadap kiblat pertamanya.

Maka, bisa kita hitung bersama bahwa Nabi shalat menghadap ke Masjid Al-Aqsha selama 14,5 tahun. Ini artinya sebagian besar dari 23 tahun periode kenabiannya, beliau shalat menghadap Masjid Al-Aqsha. Oleh karena itu, jelas betapa kuatnya ikatan keimanan antara Nabi kita dengan masjid lokasi peristiwa Isra Mi’raj ini.

Seorang Murabith di Masjidil Aqsha pernah berkata, “Ketika kita memiliki tiga orang anak, maka cinta kita sebagai orang tua akan merata kepada semuanya. Namun, ketika salah satu dari tiga anak kita ada yang sakit, maka kita akan mencurahkan perhatian kepada satu anak itu sampai dia sembuh. Alhamdulillah saat ini dua masjid suci Umat Islam, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dalam keadaan aman. Tetapi, sadarkah kita bahwa tahun ini Masjid Al-Aqsha sudah 106 tahun dalam kondisi terjajah dan dinistakan oleh Zionis?”

Jadi, sudah seharusnya saat ini kita mencurahkan perhatian ke Masjidi Al-Aqsha yang “sedang sakit” dan ikut berusaha untuk menyembuhkannya dengan apa pun yang kita mampu.

Tentunya dengan mengikuti apa yang dicontohkan oleh teladan utama kita Rasullullah ﷺ. Itulah pegangan kita, pegangan rakyat Gaza, pegangan pejuang Baitul Maqdis dalam melihat apa yang terjadi pada satu dari tiga masjid suci dalam Islam.

Tanyakan apa yang akan kita lakukan jika hal yang sama terjadi pada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Apakah kita akan diam? Lihatlah semua peristiwa dengan kacamata pemahaman ini, kacamata keimanan, kacamata kemanusiaan. Maka pendirian kita pun tidak akan goyah, meski media dan makar-makar mengatakan sebaliknya.*/Tim Peneliti ISA (Institut Al-Aqsha untuk Riset Perdamaian

HIDAYATULLAH

Para Perempuan Perkasa di Gaza

Kaum perempuan di Gaza sedang meningkat perannya sebagai pencari nafkah keluarga, melanggar norma-norma tradisional yang sebelumnya dipegang teguh masyarakat.

Konflik berkepanjangan membuat tingkat pengangguran di Gaza berada di posisi tertinggi di dunia dengan 42 persen. Proporsi perempuan dalam angkatan kerja hanya 15 persen, berbanding 71 persen laki-laki.

Kini makin banyak perempuan melanggar norma-norma sosial dan bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Dilansir dari Aljazirah, Jumat (10/3), para perempuan Gaza berkisah tentang pekerjaan mereka.

Sopir Bus

Salwa Srour memutuskan menjadi sopir bus. Anak-anak pertama memanggilnya Paman Salwa. “Anak-anak hanya memikirkan pria yang mengendarai mobil. Saya memecahkan tradisi. Saya wanita pertama di Jalur Gaza yang mengemudikan bus,” katanya.

Srour mulai mengemudikan minibus Volkswagen-nya setiap pagi pukul 06.30 untuk menjemput anak-anak berangkat ke sekolah TK yang dia buka pada 2005 bersama adiknya, Sajdah. Semula, Srour menyewa sopir laki-laki namun tidak cukup sabar menghadapi anak-anak dan sering terlambat.

Srour telah melakoni pekerjaannya selama lima tahun hingga kini. Kelas dimulai ketika anak-anak masuk bus, dengan mempelajari kosakata baru bahasa Inggris. Meski semula orang memandang aneh, lama kelamaan dia mendapat dukungan dari lingkungannya.

 

 

Nelayan Perempuan Gaza

Sudah hampir satu dekade, Madleen Kullab juga mengambil alih peran ayahnya sebagai nelayan di usia 22 tahun. Itu terjadi setelah ayahnya didiagnosis menderita radang sumsum tulang belakang hingga cacat.

Kullab dan dua saudaranya berangkat pagi pukul 03.00 atau saat matahari terbenam untuk melemparkan jala. Pekerjaannya kian berat karena Israel telah membatasi nelayan Gaza hanya dapat menangkap ikan dalam jarak maksimal enam mil, kurang dari sepertiga daerah penangkapan menurut perjanjian Oslo.

Tidak ada cukup ikan, area terbatas, bahkan seringkali Kullab tak dapat membawa pulang apa pun. Jumlah nelayan terus berkurang drastis, yang semula 10 ribu orang di 2000, tahun lalu hanya tinggal 4.000 orang. Tak jarang, desing mesiu Israel mengakhiri nyawa nelayan Gaza di tengah laut.

“Setiap hari Anda pergi keluar. Anda tidak yakin Anda akan kembali. Ini situasi yang sulit. Ketika kami mendekati mil kelima, kami mulai ditembaki. Ada banyak risiko, tapi saya melakukannya karena ini harus,” ujar Kullab.

 

sumber: Republika Online

Warga Gaza Impikan Ka’bah Meski Hidup Terkurung

Setiap 10 hari terakhir di buan Ramadhan selama dua dekade terakhir, Mouin Mushtaha selalu pergi umrah ke Makkah. Namun, kali ini –pada 2012- ada pengecualian. Meski Ramadhan telah tiba, dia hanya duduk murung sembari menonton tayangan televisi yang diputar di kantornya yang berada di Gazza City Palestna.

Perasaan dia bercampur aduk. Bagi Musthaha pengalaman spiritual pergi ke tanah suci kini lenyap. Tak hanya itu, peluang melakukan bisnis memberangkatkan jamaah melakukan ziarah Ramadhan ke Arab Saudi kini ikut terlepas dari genggaman. Kepergian ke Makkah kini tak mungkin bisa dilakukan karena kini pintu gerbang Raffah yang menuju Mesir tertutup rapat sebagai imbas adanya peristiwa serangan yang menewaskan 16 tentara Mesir.

“Saya, istri saya, dan 500 klien kami seharusnya berada di Makkah sekarang,” kata Mushtaha (64 tahun), sembari menunjuk televisi di kantor ber-AC dari agensinya, Perusahaan Mushtaha Pariwisata dan Travel, kepada The New York Times (17/8/2012).

“Apalagi istri saya mengucurkan air mata ketika ia melihat Ka’bah,” tambah dengan suara sedih karena mengingat kembali pada bangunan berbentuk kubus yang berada di tengah Masjidil Haram, Makkah.

Saat itu, sepekan setelah terjadinya serangan kepada para penjaga gerbang Rafah, para pejabat Mesir memutuskan menutup jalur itu secara penuh. Mereka melakukan hal itu karena menduga bila para pelaku penyerangan yang ditengarai dari warga yang datang dari Gurun Sinai, memiiki hubungan khusus dengan warga yang tinggal di Jalur Gaza.

Memang pintu perbatasan Rafah sempat dibuka kembali dalam beberapa hari sebelum pekan terakhir di bulan Ramadhan tiba. Namun, warga yang kemudian mendapat izin pergi ke luar negeri adalah bukan warga yang akan ke Saudi Arabia, melainkan hanya diberikan secara terbatas kepada mereka yang akan pergi ke berbagai negara Arab yang lain atau negara Eropa untuk kepentingan bantuan kemanusiaan. Alhasil Musthaha pun hanya bisa gigit jari.

Hamas sebenarnya selaku pengatur keamanan di Gaza sebenarnya telah membantanh tudingan Mesir bahwa ada warganya yang terlibat dalam serangan fatal kepada para tentara Mesir itu. Mereka saat itu juga telah menutup terowongan penyelundupan ke Mesir sebagai tanda bahwa Hamas bersedia melakukan kerja sama.

Bagi warga Gazza yang akan ke Makkah untuk umrah, pintu gerbang Rafah mempunya posisi yang sangat penting karena mereka tidak bisa melintas di pintu gerbang yang lain, misalnya melakukan perjalanan melalui Israel. Maka dengan ditutupnya pintu gerbang Rafah itu jelas menjadi pertanda buruk bahwa kepergian ke Makkah pada akhir Ramadhan ini tak bisa dilakukan. Ziarah umrah yang dianggap sebagai ‘haji kecil’ pun hanya menjadi impian. Padahal, bagi mereka banyak yang percaya bahwa melakukan umrah di akhir Ramadhan pahalanya setara dengan naik haji di bulan Dzulhijah.

Bagi Mushtaha dan juga bagi kebanyakan para agen perjalanan di Gaza yang menangani  binis ‘wisata religi’. Travel haji dan umrah, merupakan bisnis yang menggiurkan. Ini mengingat minat warga Gaza untuk melakun umrah ternyata begitu membeludak.

Seorang pemilik agen perjalanan haji dan umrah di Gazza, Awad Abu Mazkour, mengatakan setidaknya saat itu telah ada sekitar 3.000 warga Palestina yang akan melakukan perjalanan umrah pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Dan sebagai akibat penutupan gerang Rafah ini, maka bila ditaksir besaran angka kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan travel yang ada di Gaza bila ditotal jumlanya memang fantastis, mencapai lebih dari dua juta dolar AS.

Mushtaha mengakui bila setiap kliennya  yang akan pergi umrah ke Makkah dipungut biaya sekitar 1.000 dolar AS. Dana sebesar itu dipergunakan sebagai biaya sewa bus, tiket pesawat, dan sewa kamar hotel. Celakanya uang itu pun sudah lebih dahulu dibayarkan sebelum ke luar larangan melintas di gerbang Rafah. Nah, adanya kasus gagal berangkat ke Makkah ini tentu saja para calon jamaah umrah pun meminta pengembalian uang yang telah dibayarkan. Namun, untungnya pemerintah Hamas, kata Mushtaha, ikut merasa tak tega atas kejadian itu sehingga mereka ikut turun tangan menyelesaikannya.

“Bagian dari biaya tiket mungkin dikembalikan. Tapi pengembalian uang untuk pemesanan hotel susah dikembalikan karena waku pemesanan yang sudah mepet sehingga pihak hotel tak mau mengembalikan pesanan kamar yang mendadak dibatalkan,’’ katanya.

Dia mengatakan, apa yang terjadi pada saat ini adalah krisis terburuk yang dihadapi oleh perusahaan yang didirkan sejak ayahnya masih muda, yakni sekitar 46 tahun yang lalu. “Tidak pernah ada penutupan seperti ini selama acara-acara keagamaan,” kata Mushtaha. Ia pun berharap agar kerugian dapat ditanggung bersama di antara para pelanggan perusahaan. Bahkan dia meminta bila sebagian kerugian bisa ditutup oleh pemerintah Hamas.

Namun, meski sudah ada keputusan bila umrah di akhir Ramadhan kali ini tidak dapat dilakukan, panggilan telepon kepada Musthaha terus berlangsung. Para pelanggan travel-nya masih tetap mencari jaminan bahwa mereka masih bisa ke Makkah. Setiap kali ada panggilan telepon seperti itu, Musthaha selalu dengan tegas mengatakan: “Sudah tak ada lagi!”

Dalam pembicaraan melalui telepon, seorang pelanggan travel-nya, Subhia al-Masri, mengeluh seperti ini: “Saya telah menghabiskan tiga tahun menabung dan memimpikan saat ini bisa ke Makkah,” katanya.

Menurut dia kehilangan kesempatan ke Makkah adalah sangat menyedihkan, dan tak sebanding artinya dengan kehilangan uang.

“Kehilangan uang saya tidak seberapa dibandingkan dengan kehilangan kesempatan untuk mengunjungi Ka’bah,” lanjut Subhia lagi.

Alhasil, pergi umrah dan berhaji ke Makkah ternyata memang impian semua Muslim, termasuk warga Palestina yang kini masih hidup terkurung oleh tentara Israel di Jalur Gaza.

 

sumber:Ihram.Co.id