Jual Beli Gharar yang Barangkali Ada di Sekitar Kita

Berikut adalah keterangan mengenai macam-macam jual beli gharar yang barangkali ada di sekitar kita. Ini adalah bentuk-bentuk secara umum.

RUANG LINGKUP GHARAR DALAM AKAD JUAL BELI

Gharar bisa terjadi dalam akad, objek akad, dan waktu pelunasan kewajiban.

Gharar dalam akad jual beli

Jika seseorang membeli mobil atau selainnya dari orang lain, misalnya dengan harga 10.000 riyal secara tunai atau 12.000 riyal secara kredit kemudian berpisah dari majelis akad, tanpa ada kesepakatan dari dua akad tadi (mau tunai ataukah kredit), jual beli semacam ini mengandung gharar dalam akad.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi dalam satu akad” (HR. An-Nasai, no. 4632; Tirmidzi, no. 1231; dan Ahmad, 2:174. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih sebagaimana dalam Al-Jaami’ Ash-Shahih, no. 6943).

Lihat penjelasan di atas dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi), Pertanyaan 15-169, 15/6/1393 H.

Gharar dalam objek akad (barang atau harga)

  1. Fisik barang tidak jelas. Contoh: menjual barang dalam kotak dengan harga Rp.100.000,-.
  2. Sifat barang tidak jelas. Contoh: menjual mobil dengan harga Rp.50.000.000,-, di mana pembeli belum pernah melihat mobil dan belum dijelaskan spesifikasinya.
  3. Ukuran barang tidak jelas. Contoh: menjual tanah Rp.10.000.000,- tanpa menentukan ukuran batasannya.
  4. Barang bukan milik penjual. Contoh: seorang calo tanah membuat transaksi jual beli dengan pihak ketiga tanpa mendapatkan izin dari pemilik tanah sebelumnya.

Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud, no. 3503; An-Nasai, no. 4613; Tirmidzi, no. 1232; dan Ibnu Majah, no. 2187. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih).

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual beli. Tidak halal dua persyaratan dalam jual beli. Tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu. Tidak halal menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Daud, no. 3504 dan Tirmidzi, no. 1234. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

  1. Barang yang telah dibeli penjual namun belum diterima dari penjual pertama. Contoh: A membeli motor dari B. Sebelum A menerima motor dari B, A menjual kepada C. A menerima uang dari C dan meminta B untuk menyerahkan langsung motor ke C. Ini termasuk bai’ gharar karena motor tersebut bisa jadi lenyap dari B dan tidak bisa diserahterimakan kepada C.

Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنِّي أَشْتَرِي بُيُوعًا فَمَا يَحِلُّ لِي مِنْهَا ، وَمَا يُحَرَّمُ عَلَيَّ قَالَ : فَإِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعًا ، فَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ.

“Wahai Rasulullah, saya sering melakukan jual beli, apa jual beli yang halal dan yang haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai anak saudaraku! Bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima.’” (HR. Ahmad, 3:402. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih dilihat dari jalur lainnya, secara sanad hadits ini hasan).

  1. Barang tidak dapat diserahterimakan. Contoh: barang di luar negeri dan ia menjualnya di Indonesia. Ini termasuk jual beli gharar, karena barang tersebut kemungkinan tidak diizinkan masuk ke Indonesia.
  2. Gharar pada harga disebabkan penjual tidak menentukan harga. Contoh: Aku jual mobil dengan harga sesukamu. Namun masih boleh jual beli dengan penetapan harga pasar.

Gharar dalam jangka waktu pembayaran

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ ، وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883).

Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu.

Masalah: Bayar nanti ketika sudah mampu

Adapun menyatakan pembayaran dengan ucapan “dibayar kapan mampu”, seperti ini dibolehkan berdasarkan hadits yang disebutkan dalam Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah. Ada hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

قُلْت : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إنَّ فُلَانًا قَدِمَ لَهُ بِزٌّ مِنْ الشَّامِ ، فَلَوْ بَعَثْتَ إلَيْهِ ، فَأَخَذْت مِنْهُ ثَوْبَيْنِ نَسِيئَةً إلَى مَيْسَرَةٍ ؟ فَبَعَثَ إلَيْهِ .فَامْتَنَعَ } أَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ .

“Aku berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang telah datang pada si Fulan dari Syam. Seandainya baginda mengutus seseorang kepadanya, baginda akan dapat mengambil dua buah pakaian dengan pembayaran nanti pada saat kemudahan. Lalu beliau mengutus seseorang kepadanya, namun pemiliknya menolak.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi, perawinya tsiqqah). [HR. Tirmidzi, no. 1213; An-Nasai, 7:294; Ahmad, 42:70; Al-Hakim, 2:23, 24; Al-Baihaqi, 6:25. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih sesuai syarat Bukhari, tetapi tidak dikeluarkan oleh Bukhari – Muslim].

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram(6:261) berkata, “Jual beli secara tertunda itu boleh dan sah pula jika pembayaran sampai waktu yang dimudahkan.”

Referensi: 

Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cetakan ke-22, Juli 2019. Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Penerbit P.T. Berkat Mulia Insani.

Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.


Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24660-jual-beli-gharar-yang-barangkali-ada-di-sekitar-kita.html

Mengenal Gharar dalam Bai’ Musharah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pada kajian kali ini, kita akan mengkaji hadis tentang jual beli musharrah, berikut beberapa pelajaran terkait jual beli gharar.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُصَرُّوا الإِبِلَ وَالغَنَمَ، فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدُ فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا: إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ، وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعَ تَمْرٍ

Janganlah kalian melakukan tashriyah pada onta dan kambing. Siapa yang membeli hewan setelah dilakukan tashriyah, maka dia punya 2 hak pilih, setelah dia perah susunya: jika mau dia bisa memilikinya dan tidak perlu dikembalikan, dan jika mau, dia boleh mengembalikan hewan itu, dengan memberikan satu gantang kurma. (HR. Bukhari 2148)

Apa itu Tashriyah?

Melakukan Tashriyah : tindakan membiarkan hewan penghasil susu, seperti kambing, sapi, atau onta,  untuk tidak diperah beberapa hari, agar ambing susunya kelihatan besar sebelum dijual. Sehingga ketika dijual, pembeli menganggap, hewan yang dia beli susunya banyak.

Tindakan ini bisa menaikkan harga hewan atau mengundang perhatian pembeli. Namun ketika diperah, baru kelihatan bahwa ternyata susunya tidak banyak dan kondisi ambingnya yang kemarin ternyata tidak normal. Dan tentu saja, ini sangat merugikan pembeli.

Salah satu contoh praktek tashriyah yang sempat dilakukan sebagian pedagang nakal di tempat kita adalah sapi gelonggong. Seekor sapi digelonggong dengan air sehingga kelihatan gemuk dan lebih berat. Namun setelah disembelih, ternyata dagingnya berair.

Keterangan Hadis

Hadis ini berbicara tentang larangan menipu dan bersikap tidak jujur ketika jual beli. Terutama peniuan yang kerap dilakukan beberapa pedagang nakal. Mereka melakukan upaya kamuflase, agar barang yang dia jual kelihatan jauh lebih sempurna. Sementara itu tidak dilakukan secara normal. Diantaranya, praktek tashriyah. Membuat ambing susu hewan perah semakin besar, agar harga bisa ditingkatkan.

Karena syariat menghargai hak semua manusia, hak konsumen maupun pedagang, maka praktek yang merugikan sebagian pihak semacam ini, dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak hanya dilarang, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melindungi hak konsumen yang didzalimi, dengan memberikan hak pilih kepada mereka.

Beliau memberikan dua hak pilih,

Pertama, tidak mengembalikan hewan itu dan merelakan sebagian haknya karena upaya penipuan yang dilakukan penjual. Dengan demikian, jual beli sah, mengkat dan tidak bisa dibatalkan sepihak.

Kedua, membatalkan transaksi jual beli dengan mengembalikan hewan itu kepada penjual, setelah diperah susunya, dengan memberikan ganti rugi atas susu yang telah dia ambil sebelum dikembalikan.

Ini menunjukkan bagaimana pertian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhada hak konsumen, dan beliau sangat melindungi hak mereka.

Pelajaran Hadis:

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita simpulkan dari hadis di atas,

Pertama, larangan penipuan dan sikap tidak terbuka (tadlis) dalam jual beli. Salah satunya adalah penipuan dan sikap tidak terbuka ketika jual beli hewan. Meskipun semua bentuk penipuan dalam hal apapun, hukumnya terlarang. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

“Siapa yang menipu, dia bukan bagian dari kami.” (HR. Muslim 295).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang menipu dengan pernyataan, “bukan bagian dari kami.” Bukan maksudnya dia keluar dari islam. Namun maksudnya, dia telah meninggalkan sikap iitba’ dna tidak mengikutiku, tidak mengikuti jalanku, untuk bersikap baik kepada sesama. Karena semacam ini bukan termasuk akhlak dan kebiasaan kami. (Syarh as-Sunnah, 8/167 dan Majmu’ al-Fatawa, Ibn Taimiyah, 7/525).

Dalam riwayat lain, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الغَرَرِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar. (HR. Ahmad 8884, Abu Daud 3378 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Kedua, syafiiyah berpendapat bahwa berdasarkan tekstual hadis, tashriyah hukumnya haram secara mutlak. Baik untuk dijual maupun untuk kepentingan pribadi. Mereka memahami, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan tashriyah pada hewan, karena ini akan menyakiti hewan. Sementara kita diperintahkan untuk bersikap lembut kepada binatang.

Sementara mayoritas ulama mengatakan bahwa alasan larangan ini terkait unsur penipuan dalam jual beli hewan musharrah.

Berdasarkan riwayat lain, yang menyatakan,

لاَ تَصُرُّوا الإِبِلَ وَالْغَنَمَ لِلْبَيْعِ

Janganlah kalian melakukan tashriyah pada onta atau kambing yang hendak dijual. (HR. ad-Daruquthni 3119 dan al-Humaidi dalam Musnadnya 1076)

Sementara unsur penipuan, gharar, dan sikap tidak terbuka, hanya ada dalam jual beli. Sehingga boleh saja melakukan tashriyah untuk kepentingan pribadi, selama tidak membahayakan hewannya.

Al-Hafdiz Ibnu Hajar mengatakan,

وقُيِّد النهي بالبائع إشارةً إلى أنَّ المالك لو حفَّل، فجمع اللبنَ للولد أو لعياله أو لضيفه لم يحرم، وهذا هو الراجح

Larangan tashriyah dikaitkan dengan jual beli merupakan isyarat bahwa ketika pemilik hewan hendak mengumpulkan susu, lalu dia biarkan susu di kambing perahnya tidak diambil beberapa hari agar bisa diperah lebih banyak untuk anak-anaknya, keluarganya, atau tamunya, hukumnya tidak haram. Ini pendapat yang lebih kuat. (Fathul Bari, 4/361).

Sementara alasan Syafiiyah bahwa larangan itu berlaku karena ini menyakiti binatang, tidaklah tepat. Karena tashriyah hanya sementara, tidak selamanya. Sehingga ditoleransi, terutama jika di sana ada manfaatnya.

Ketiga, disebutkan onta dan kambing dalam hadis ini, bukan pembatasan. Sehingga berlaku untuk semua tindakan yang sama pada binatang yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak menyebutkan sapi, karena populasi sapi di wilayah arab sangat sedikit. Sehingga, mayoritas ternak mereka adalah kambing dan onta. Seperti di Indonesia, mayoritas ternaknya kambing dan sapi, sementara populasi onta sangat kecil.

Karena sekali lagi, illah (alasan) larangan dalam hadis ini kembali pada sikap tidak jujur.

Imam Bukhari ketika membawakan hadis ini, beliau mencantumkan judul bab,

باب النهي للبائع أن لا يحفِّل الإبلَ والبقر والغنم وكلَّ محفَّلة

Bab, larangan bagi penjual untuk mengumpulkan susu onta, sapi, maupun kambing. Larangan ini berlaku untuk semua hewan yang susunya bisa dikumpulkan. (Shahih Bukhari, 4/361).

Keempat, zahir (makna tekstual) hadis menunjukkan bahwa hak pilih untuk mengembalikan hewan itu berlaku jika sudah diperah. Karena dalam lanjutan hadis, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mensabdakan,

فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا

“dia punya dua hak pilih, setelah dia perah susunya”

Hanya saja, jumhur ulama menegaskan bahwa illah adanya hak khiyar adalah setelah diketahui ada unsur penipuan (al-Ghisy). Sehingga tidak harus diperah terlebih dahulu. . sementara hadis menyebutkan setelah diperah, karena itu diantara cara untuk mengetahui adanya penipuan. Sehingga ketika unsur penipuan itu diketahui dengan cara yang lain, seperti pengakuan penjual atau pengakuan saksi.

Intinya, selama diyakini ada unsur penipuan, ada hak khiyar bagi yang didzalimi.

Kelima, barangkali ini pelajaran sangat penting untuk dicatat.

Bahwa penipuan, sikap tidak jujur, tidak terbuka dalam jual beli, tidaklah serta-merta membatalkan akad. Akan tetapi status akad menggantung, dikembalikan kepada kerelaan pihak yang dirugikan. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hak pilih kepada pembeli sebagai pihak yang dirugikan,

فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا: إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ، وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعَ تَمْرٍ

“Dia punya 2 hak pilih, setelah dia perah susunya: jika mau dia bisa memilikinya dan tidak perlu dikembalikan, dan jika mau, dia boleh mengembalikan hewan itu, dengan memberikan satu gantang kurma. (HR. Bukhari 2148)

Adanya hak pilih menunjukkan bahwa jual beli itu sah. Artinya, jika pihak yang dirugikan memilih untuk merelakannya, maka uang yang diterima menjadi hak penjual dan barang halal untuk dimiliki pembeli.

An-Nawawi mengatakan,

واعلم أن التصرية حرام سواء تصرية الناقة والبقرة والشاة والجارية والفرس والأتان وغيرها لأنه غش وخداع وبيعها صحيح مع أنه حرام وللمشتري الخيار في إمساكها وردها

Pahami bahwa tashriyah hukumnya haram, baik untuk onta, sapi, kambing, budak, kuda, keledai, maupun yang lainnya. Karena ini penipuan. Hanya saja jual belinya sah, meskipun haram. Pembeli memiliki hak pilih antara mempertahankan barang atau mengembalikannya. (Syarh Shahih Muslim, 10/162)

Di tempat lain, beliau mengatakan,

أن التصرية حرام وأن في هذه الأحاديث مع تحريمها يصح البيع وأنه يثبت الخيار في سائر البيوع المشتملة على تدليس

Tashriyah hukumnya haram. Dalam hadis-hadis ini menunjukkan bahwa jual beli sah, meskipun haram. Dan berlaku hak khiyar untuk semua jual beli yang mengandung usur penipuan. (Syarh Shahih Muslim, 10/166)

Keenam, dari hadis ini, ulama memberikan kaidah bahwa larangan dalam muamalah yang hanya terkait hak makhluk, tidak menyebabkan jual beli itu batal.

Sebagian ulama  ushul menyatakan dalam kaidah,

أنَّ النهي عن الشيء إن كان لحقِّ الله تعالى فإنه يُفسد المنهيَّ عنه، وإن كان لحقِّ العبد فلا يُفسد المنهيَّ عنه

Larangan melakukan sesuatu, jika terkait hak Allah, maka membatalkan tindakan yang dilarang itu. Dan jika terkait hak hamba, tidak membatalkan tindakan yang dilarang. (Miftah al-Ushul ‘ala Bina al-Furu’ ala al-Ushul, at-Tilmisani, 421 – 422)

Contoh lebih jelas,

Allah melarang kita melakukan jual beli setelah adzan jumat, ketika khatib naik mimbar.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Jumuah: 9)

Adanya larangan ini, karena jual beli setelah khatib naik mimbar bisa menyebabkan telat jumatan, sehingga tidak kaitanya dengan hak makhluk. Berdasarkan kaidah di atas, jual beli setelah adzan jumat, ketika khatib naik mimbar, hukumnya batal.

Berbeda dengan larangan menipu dalam jual beli. Larangan ini terkait hak makhluk. Sehinga keabsahan jual belinya dikaitkan dengan kerelaan pihak yang dirugikan.

Ketujuh, kapan hak khiyar menyembalikan barang itu berlaku?

Sampai berapa lama hak khiyar ini berlaku?

Ada dua pendapat ulama di sana,

Pertama, hak khiyar tidak boleh ditunda, jika pihak yang dirugikan mengetahui adanya unsur penipuan dalam jual belinya. Jika ditunda, hak khiyar ini akan hangus.

Ini merupakan pendapat sebagian syafiiyah.

Mereka berdalil dengan hadis di atas, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyatakan,

فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدُ فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ

“Siapa yang membeli hewan setelah dilakukan tashriyah, maka dia punya dua hak pilih…”

Dalam hadis di atas, digunakan huruf fa’ [فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ] yang menunjukkan rentangnya sebentar, dan bukan kata tsumma [ثُـمَّ] yang memberi makna penundaan.

Dan ini diqiyaskan dengan semua khiyar aib (hak pilih karena ada cacat barang) dalam jual beli.

Kedua, tidak harus segera, namun boleh ditunda dan dibatasi selama 3 hari. Lebih dari  3 hari, hangus kesempatan hak khiyar.

Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Pendapat ini didukung dalil hadis dalam riwayat lain,

مَنِ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ رَدَّهَا رَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ طَعَامٍ

Siapa yang membeli kambing musharrah, maka dia punya hak khiyar selama 3 hari. Jika dia kembalikan, harus ditambah dengan ganti rugi segantang bahan makanan. (HR. Ahmad 10866, Muslim 3909 dan yang lainnya).

Jumhur berpegang dengan batasan 3 hari yang ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan pendapat inilah yang lebih kuat, karena lebih sesuai dalil.

Kedelapan, setelah kita memilih penndapat hak khiyar selama 3 hari, berikutnya, mulai kapankah perhitungan 3 hari itu?

Ulama berbeda pendapat kapan mulai rentang adanya hak khiyar.

Pendapat hambali menyatakan bahwa hak khiyar tidak hilang, selama pihak yang dirugikan belum mengetahui adanya unsur penipuan. Sehingga, kesempatan khiyar baru dibuka, ketika pembeli baru mengetahui adanya unsur penipuan itu. Sekalipun jual belinya telah lama dilakukan. Misalnya, setahun setelah jual beli baru diketahui ada penipuan. Dalam kondisi ini hak khiyar tetap berlaku.

Kita bisa simpulkan ini dari batasan hak khiyar yang disarankan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hewan tashriyah diperah. Artinya setelah diketahui adanya peniuan.

Sementara Syafiiyah menyatakan bahwa hak khiyar mulai berlaku dihitung sejak akad.

InsyaaAllah pendapat yang medekati adalah pendapat hambali. Karena hak khiyar ini dikaitkan dengan adanya unsur penipuan dalam jual beli. Sehingga kembali kepada batasan, sejak kapan pihak yang dirugikan mengetahui adanya penipuan itu.

Demikian, semoga bermanfaat

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits

 

sumber: Pengusaha Muslim