Apakah Pelaku Ghibah Perlu Minta Maaf kepada Korban?

Ghibah merupakan perbuatan berbahaya menyangkut hak orang lain

Ulama tak saling berbeda pendapat mengenai hukum ghibah dan gosip, semua sepakat bahwa Islam melarang hal demikian. Kemudian apakah perlu bagi pelaku ghibab untuk meminta maaf kepada korban?

Dilansir di Islam Web, Jumat (4/6), sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ghidza al-Bab fi Syarh Mandhumat Al-Adab karangan Imam As Safarayni Al Hanbali dijelaskan, Ibnu Hazm berkata bahwa para ulama memang bersepakat tentang larangan ghibah dan gosip. Beliau menjelaskan bahwa ghibah juga termasuk ke dalam dosa besar.

Dia berkata dalam kitab Al-Inshaaf bahwa para pelaku ghibah perlu bertaubat dan meminta maaf kepada korbannya. 

Sementara itu, Ibnu Al Qayyim dalam kitab Al-Kalim Ath-Thayyib mengutip hadits dari Rasulullah SAW  bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: 

إن من كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته تقول اللهم اغفر لنا وله “Inna min kaffaaratu al-ghibata an tastaghfira limanigtabtahu, taqulu: Allahummaghfirlana wa lahu.” (Al Baihaqi dalam Ad-Da’awat, haditsnya lemah).

“Sesungguhnya sebagian kafarat ghibah adalah hendaknya kamu mendoakan ampunan atas orang yang kamu ghibahi dengan mengucapkan: Ya Allah ampunilah kami dan dia.” 

Ibnul Qayyim berkata bahwa dalam masalah tersebut terdapat dua perkataan para ulama, yaitu dua riwayat dari Imam Ahmad, dan keduanya adalah apakah cukup taubat dari ghibah untuk meminta pengampunan atas ghibah atau harus diberitahu dan diselesaikan langsung terlebih dahulu.

Dia berkata bahwa pandangan yang benar adalah bahwa yang bersangkutan tidak perlu memberi tahu korbannya. Melainkan cukup baginya untuk meminta pengampunan untuknya dan mengingatkannya tentang manfaat dari meninggalkan serta bertaubat akan ghibah.

Perkara ghibah tidak seperti perkara mengenai hak keuangan. Karena dalam hak keuangan orang yang terzalimi mendapat manfaat dari pengembalian yang setara dengan keluhannya. Adapun ghibah, hal itu tidak mungkin dan tidak terjadi padanya dengan memberitahukannya kecuali kebalikan dari maksud pemberi hukum. 

Oleh karena itu dijelaskan bahwa syariat Islam tidak mewajibkan atau memerintahkan seseorang pelaku ghibah yang hendak bertaubat atas kesalahan-kesalahan terhadap korbannya.

Sumber: islamweb 

KHAZANAH REPUBLIKA

Apakah Ghibah Membatalkan Wudhu?

Dalam Islam, ghibah atau membicarakan keburukan orang lain termasuk perbuatan yang sangat dilarang. Kita tidak diperbolehkan membicarakan keburukan orang lain, baik karena sifatnya, perbuatannya, fisiknya atau pekerjaannya. Jika kita misalnya membicarakan keburukan orang lain atau ghibah, apakah ghibah itu membatalkan wudhu?

Para ulama berbeda pendapat terkait apakah ghibah membatalkan wudhu atau tidak. Setidaknya, ada dua pendapat ulama dalam masalah ini. (Baca: Doa Ketika Terlanjur Mendengarkan Ghibah)

Pertama, menurut satu pendapat yang bersumber dari Imam Ahmad, ghibah termasuk perkara yang membatalkan wudhu. Karena itu, jika seseorang menggunjing dan membicarakan keburukan orang lain, maka wudhunya batal dan dia harus melakukan wudhu kembali ketika hendak melakukan shalat.

Kedua, ghibah tidak termasuk bagian yang membatalkan wudhu. Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Syafiiyah. Hanya saja, meski wudhu tidak batal sebab ghibah, namun jika seseorang melakukan ghibah, maka dia disunnahkan untuk melakukan wudhu lagi. Begitu juga disunnahkan melakukan wudhu lagi jika dia berkata kotor dan jorok, seperti mengumpat dan lainnya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

الْغِيبَةُ وَالْكَلاَمُ الْقَبِيحُ: حُكِيَ عَنْ أَحْمَدَ رِوَايَةُ أَنَّ الْوُضُوءَ يَنْتَقِضُ بِالْغِيبَةِ. وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى اسْتِحْبَابِ الْوُضُوءِ الشَّرْعِيِّ مِنَ الْكَلاَمِ الْقَبِيحِ كَالْغِيبَةِ

Ghibah dan berkata kotor: Disebutkan satu riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad bahwa wudhu menjadi batal sebab ghibah. Sementara ulama Hanafiyah dan ulama Syafiiyah berpendapat mengenai anjuran melakukan wudhu secara syar’i setelah berkata-kata kotor, seperti ghibah.

Di antara dua pendapat di atas, pendapat kedua merupakan pendapat yang lebih kuat dan diikuti oleh kebanyakan para ulama. Dengan demikian, wudhu tidak batal sebab ghibah. Hanya saja, dianjurkan untuk wudhu kembali setelah ghibah agar dosa ghibah tersebut bisa gugur. Karena salah satu fungsi dari wudhu adalah menggugurkan dosa.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda;

إذَا تَوضَّأَ الْعبْدُ الْمُسْلِم، أَو الْمُؤْمِنُ فغَسلَ وجْههُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خطِيئةٍ نظر إِلَيْهَا بعينهِ مَعَ الْماءِ، أوْ مَعَ آخِر قَطْرِ الْماءِ، فَإِذَا غَسَل يديهِ خَرج مِنْ يديْهِ كُلُّ خَطِيْئَةٍ كانَ بطشتْهَا يداهُ مَعَ الْمَاءِ أَو مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْماءِ، فَإِذَا غسلَ رِجليْهِ خَرجَتْ كُلُّ خَطِيْئَةٍ مشَتْها رِجْلاُه مَعَ الْماءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ حَتَّى يخْرُج نقِياً مِنَ الذُّنُوبِ

Jika seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, kemudian membasuh wajahnya maka keluarlah dari wajahnya tersebut semua dosa yang dilakukan pandangan matanya bersamaan dengan tetesan air terakhir. Jika ia membasuh tangannya maka keluarlah dari tangannya semua dosa yang dilakukan tangannya bersamaan dengan tetesan air terakhir. Jika ia membasuh kedua kakinya maka keluar semua dosa yang berasal dari langkah kakinya, hinga dia keluar dalam keadaan bersih dari dosa.

BINCANG SYARIAH

Gulung Tikar di Akhirat

Kebangkrutan sesungguhnya terjadi setelah kehidupan di dunia berakhir.

Dalam benak kebanyakan orang, gulung tikar (bangkrut) sering dimaknai dengan kepailitan material atau harta saat berbisnis. Hal tersebut bisa disebabkan anjloknya harga mata uang di pasar, turunnya rate saham, bahkan terbatasnya perusahaan untuk berniaga. Apalagi kondisi pandemi seperti sekarang ini, telah menimbulkan kerugian yang besar. Banyak pengusaha yang  sampai merumahkan atau melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerjanya, sampai menjual aset perusahaan.

Pada hakikatnya, kondisi tersebut hanya bersifat temporary atau sementara. Mungkin saja dalam karun waktu tidak terlalu lama, seseorang atau sebuah perusahaan bisa bangkit dari keterpurukannya. Berapa banyak orang yang bangkrut atau gagal dalam berbisnis, setelah 2-3 tahun berusaha sekuat tenaga dan pikiran, dapat kembali menaikkan kondisi ekonomi, bahkan lebih baik dari sebelumnya.

Kenyataannya, tidak sedikit miliarder yang tutup usia tetap memiliki kekayaan yang melimpah. Namun, ada pula yang meninggalkan tumpukan utang dan kerugian di penghujung hidupnya.  Keduanya berhenti ketika ajal menjemput. Tagihan perusahaan tidak berlanjut sampai ke alam kubur dan profit saham tidak pula memberikan keistimewaan dalam kuburan. 

Lantas, bagaimana cara memaknai “gulung tikar” yang sebetulnya ? Dalam Al-Minhaj Syarh Shahih muslim, Imam An-Nawawi menguraikan kata muflis (orang yang bangkrut) dalam hadis Nabi SAW (No. 2581). Kebangkrutan yang sesungguhnya bukan dalam kehidupan dunia. Akan tetapi ada setelah kehidupan di dunia ini berakhir.

Rasul SAW. mengabarkan kepada kita bahwa kelak nanti di akhirat ada orang yang rajin shalat, puasa, sedekah, membaca Alquran, membawa segudang amal saleh dan pahala, tetapi tak disangka menyimpan hamparan “utang” disebabkan cacian, tuduhan, korupsi, tipuan kepada orang yang telah dizaliminya. Maka habislah semua amalnya, dan hanya tersisa dosanya. Bahkan ditumpuk lagi dengan dosa orang yang telah dizalimi karena ia tidak sanggup menggantinya. Lalu dicampakkanlah ia ke neraka.

Hadits ini merefleksikan bahwa tidak selamanya orang yang rajin ibadah, puasa, sedekah, hafal Quran 30 juz dan ribuan hadis, akan terbebas dari dusta, zalim, korupsi dan kemungkaran lain. Dalam buku  Menggapai Kesalehan Sosial, Dr  Hasan Basri Tanjung  MA meresapi makna hadits di atas, bahwa Rasul SAW  hendak mengajarkan kepada kita akan dua macam amal saleh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yakni kesalehan individual atau ritual dan kesalehan sosial. 

Sejatinya, orang yang baik ibadah ritualnya akan baik pula amal sosialnya. Karena mu’amalah adalah buah dari ibadah. Bukan berarti tidak pernah melakukan kesalahan, tapi ia segera menyadari, memohon ampunan dan tidak mengulanginya (QS. Ali ‘Imran : 135). 

Adapun orang yang beribadah sosial, peduli dengan anak yatim dan dhuafa, membantu korban bencana alam, menjalin hubungan sosial yang baik dengan masyarakat, namun tidak mendirikan shalat, puasa, zakat dan sedekah, merekalah orang yang tertipu. Bahkan, orang banyak menyebutnya orang baik atau dermawan, padahal tidak sedikit pun nilai perbuatannya di sisi Allah SWT. 

Syeikh Mutawalli Sya’rawi, dalam Tafsir As-Sya’rawi, ketika menjelaskan makna surat Al-Baqarah ayat 25 menyebutkan, bahwa Allah SWT  menginginkan hamba-Nya yang beriman untuk selalu beramal saleh (perintah yang selaras dengan manhaj/islam). Agar hati yang beriman dan suci, tidak ditopang dengan amal yang buruk atau hina. Maka dari itu Allah menyandingkan surga atau balasan yang baik dengan “alladzina aamanu” (orang-orang yang beriman) dan ‘amilus-sholihat (orang-orang yang beramal saleh).

Kerap kali kezaliman, cacian, hate speech, korupsi, maksiat merongrong pahala amal saleh tanpa kita sadari. Sepatutnya kita beristighfar kepada Allah SWT seraya memohon maaf kepada mereka yang kita rugikan dan hinakan. Jangan sampai di akhirat kelak, kita baru menyadari bahwa “utang” lebih banyak dari amal saleh. Karena itulah “gulung tikar” yang sesungguhnya. Na’udzubillahi min dzalik. 

Wallahu’alam bishowab.

Oleh  Ihza Aulia Sururi Tanjung

KHAZANAH REPUBLIKA

Benarkah Ghibah Membatalkan Puasa?

Assalamualaikum, izin bertanya ustadz.
Tadi dijelaskan bahwasanya dalam berpuasa kita harus meninggalkan hal-hal yang diharamkan seperti ghibah, namimah, dsb. Nah disitu dikatakan “diharamkan”, tetapi apabila dilanggar mengapa perbuatan tsb tidak termasuk dalam perbuatan membatalkan puasa?
Terimakasih

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Pertama, untuk menetapkan ghibah serta dosa lainnya sebagai pembatal puasa, harus berdasar dalil. Dalam hal ini, tidak ada dalil dalam Al-Qur’an maupun hadis, yang tegas menjelaskan bahwa maksiat dapat membatalkan puasa. Sementara hukum asal status sebuah ibadah adalah sah, sampai ada dalil yang menjelaskan kebatalannya. Kaidah fikih mengatakan,

الأصل بقاء ما كان على ما كان

Hukum asal sesuatu itu tetap berlaku sebagaimana keadaannya semula

Kedua, kaidah khusus yang berkaitan perkara ibadah :

والمحرم إذا كان محرماً في ذات العبادة أفسدها، وإن كان تحريمه عاماً لم يفسدها

Perbuatan haram jika berkaitan secara khusus dengan suatu ibadah, maka dapat membatalkan ibadah tersebut. Namun jika kaitannya dengan suatu ibadah, sifatnya umum, maka tidak membatalkan ibadah. (Sumber: Tarjihat Al-Hanabilah 1/522)

Kaidah yang sama juga disebutkan oleh Imam Ibnu Rojab al Hambali, dalam buku beliau; Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (jilid 1, hal.180),

أن المحرم إذا كان محرما لمعنى يختص بالعبادة يفسدها، وإن كان تحريمه عاما لم يفسدها

“Perbuatan haram yang berhubungan khusus dengan suatu ibadah, maka bila dilakukan larangan tersebut dapat membatalkan ibadah yang bersangkutan. Adapun perbuatan haram yang sifatnya umum (tidak ada hubungan khusus dengan suatu ibadah), maka bila dilakukan tidak membatalkan ibadah.”

Misal:

Makan dan minum berkaitan khusus dengan ibadah puasa. Sehingga dapat membatalkan puasa. Kita tahu berkaitan khusus, karena makan dan minum diharamkan hanya saat puasa saja.

Adapun ghibah serta maksiat lainnya, sifat keterakitannya dengan ibadah puasa, bersifat umum. Kita tahu umum karena dosa ini tidak hanya diharamkan di saat puasa saja. Namun diharamkan di setiap saat. Meskipun di saat puasa, lebih besar dosanya. Inilah sebabnya ghibah dan maksiat tidak membatalkan puasa.

Ketiga, Imam Ahmad saat ditanya apakah ghibah bisa membatalkan puasa?

Beliau menjawab:

لو كانت تفطر ما بقي لنا صيام

“Kalau saja ghibah membatalkan puasa, tak ada yang tersisa dari puasa kita.”
(Sumber: Tarjihat Al-Hanabilah 1/522)

Keempat, meskipun maksiat tidak membatalkan puasa, namun bisa merusak bahkan membatalkan pahala puasa. Sehingga bisa jadi puasa hanya berfungsi menggugurkan kewajiban saja. Tidak menghasilkan sedikitpun pahala. Na’dzubillah min dzalik.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan zur (perkataan dusta), mengamalkannya, atau tindakan bodoh, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga” (HR. Bukhori)

Beliau juga bersabda,

Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam dalam sabda beliau,

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ

“Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapatkan buah dari puasanya selain rasa lapar. Dan berapa banyak orang yang bangun beribadah di malam hari, namun tidak mendapatkan melainkan sekedar begadang.” (HR. Ibnu Majah).

Wallahua’lam bis showab.

******

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc
(Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta dan Pengasuh Situs thehumairo.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/36354-benarkah-ghibah-membatalkan-puasa.html

10 Alasan Mengapa Kita Mudah Bicarakan Keburukan Orang Lain?

Islam mengingatkan menghindari membicarakan keburukan orang lain.

Mengapa dorongan ingin menggunjing dan membicarakan keburukan sesama muncul dalam kehidupan sehari-hari? 

Sering kali bahkan dilakukan secara sengaja. Tak memandang umur, jabatan, dan kedudukan seseorang. Ghibah seolah dianggap lumrah. 

Jawaban atas pertanyaan mengapa inilah yang hendak diungkap Imam Zainuddin al-Juba’i al-Amili as-Syami (w 965 H) dalam karyanya yang cukup langka dan fenomenal berjudul Kasyf ar- Raibah ‘An Ahkam al-Ghibah. 

Al-Juba’i mengatakan, ada 10 hal yang bisa memicu perbuatan menggunjing keburukan orang lain. Pertama adalah timbulnya kemarahan dalam diri pelaku ghibah terhadap si objek. 

Amarah terhadap seseorang mendorong pelaku membeberkan aib yang bersangkutan. Terlebih jika ruh keagamaan dan sikap wara’ hilang dari mereka yang tengah dirundung amarah.

Jika amarah tersebut tak tersalurkan atau ternetralisasi dengan permintaan maaf atau jiwa besar mengikhlaskan, yang akan terjadi selanjutnya adalah amarah itu mengendap dan semakin mengeras dalam batinnya.

Amarah itu menjelma menjadi dendam kesumat, selamanya akan mengingat dan menyebutkan keburukan si fulan. Berhati-hatilah, kata al-Juba’I, amarah dan dendam pemicu dominan ghibah.

Kedua, solidaritas yang salah tempat. Berkumpul dalam perkumpulan, yang mungkin tujuan awalnya baik, ternyata di tengah-tengah perbincangan tersebut pelaku ghibah mengawali melontarkan isu, gosip, dan kabar burung tentang seseorang, lalu mengajak kita benar-benar ikut dalam pusaran ghibah.

Dalam kondisi demikian, kita kerap menyadari larangan berghibah, tetapi karena menjaga perasaan dan solidaritas salah tempat tadi, akhirnya kita turut menjerumuskan diri bersama-sama si pelaku ghibah.

Ketiga, mendegradasi kredibilitas si objek ghibah. Ini bisa jadi muncul karena misal faktor persaingan tak sehat atau untuk tujuan mereduksi kredibilitas seseorang dalam hal persaksian. Pelaku dalam kondisi semacam ini melakukan serangan lebih awal untuk menjatuhkan lawannya itu di depan publik.

Faktor pemicu ghibah yang keempat dalam pandangan al-Juba’i ialah cuci tangan atas perbuatan yang sama-sama pernah dilakukan dengan si objek ghibah. Ia ingin mencitrakan diri seolah-olah bersih dan sepenuhnya tak terlibat, padahal fakta tidak demikian. Pelaku ghibah akan menguak aib yang sebenarnya, ia juga melakukannya. Ia berbohong untuk dirinya sendiri, tetapi ia jujur menguliti keburukan orang lain.

Al-Jubai melanjutkan, pemicu ghibah yang kelima ialah keinginan mengangkat status pelaku dan menjatuhkan martabat si objek dengan merendahkan dan atau menyebarkan kekurangan intelektualitasnya, misal, kepada orang lain.

Seperti tudingan bahwa si fulan itu bodoh, tak pandai bicara, dan minim wawasan. Tujuannya hanya satu, meninggikan derajat dan nilai si pelaku di mata orang.

Pemicu ghibah selanjutnya yang keenam, menurut al-Juba’I, ialah dengki. Ia tak ingin saudaranya mendapat nikmat. Jika publik memuji lawannya, kedengkian si pelaku akan membakar hatinya dan menggerakkannya melakukan ghibah.

Bagaimana agar publik berhenti memuji saingannya itu. Caranya sangat tak santun dan tak beretika. Ia akan membuka aib orang tersebut di depan khalayak. Harapannya, rangkaian pujian demi pujian yang selama ini tertuju pada si objek akan terhenti.

Faktor yang ketujuh, al-Juba’i, mengingatkan kita, hendaknya mengindari menggunakan kekurangan dan aib seseorang sebagai bahan candaan. 

Sadar atau tidak, candaan tak pantas kita terhadap si fulan di belakangnya bermuatan ghibah. Meski sekadar ingin mencairkan suasana, memancing gelak tawa, ketahuilah hal itu sama sekali tak pantas.

Al-Juba’i menjelaskan, faktor kedelapan tak jauh berbeda dengan pemicu sebelumnya, yaitu keinginan merendahkan dan menghina si fulan. 

Menurut al-Juba’i, sekalipun pembeberan keburukan itu dilakukan di hadapannya dan ia mengetahui dan mendengar, itu pun bisa dikategorikan sebagai ghibah. Sebab, ia tak menutupi aib, malah membuka dan menjadikannya bahaan ejekan.

Sementara, pemicu ghibah kesembilan, menurut al-Juba’i, sangatlah tipis dan halus muatannya. Ini terkadang terjadi di kalangan orang-orang terdidik. Seperti perkataan demikian, Kasihan si fulan. Saya ikut prihatin. Tak ada yang salah dengan kalimat ini. Hal yang keliru ialah biasanya kalimat ini disusul dengan membeberkan kekurangan-kekurangan si fulan yang melatarbelakangi mengapa si pelaku ghibah prihatin.

Dan, penyulut ghibah yang terakhir, dalam pandangan al-Juba’i adalah kemurkaan karena Allah SWT. Kok bisa? Ya, ini lagi-lagi kerap menghinggapi mereka yang terdidik dan kalangan khusus seperti ulama. Seseorang bisa saja marah karena si fulan bermaksiat, melanggar larangan-larangan-Nya. Tetapi, secara spontan ia justru kerap membuka aib si fulan tersebut di hadapan orang lain.

KHAZANAH REPUBLIKA


Pelaku Gibah dan Para Korbannya menurut Rasulullah

DALAM sebuah perjalanan ke suatu daerah, para sahabat diatur agar setiap dua orang yang mampu, membantu seorang yang tak mampu (tentang makan-minum). Kebetulan Salman Al Farisi diikutkan pada dua orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak melayani keperluan keduanya. Ia disuruh minta lauk pauk kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan setelah ia berangkat, keduanya berkata, “Seandainya ia pergi ke sumur, pasti surutlah sumurnya.”

Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda, “Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa kalian sudah makan lauk pauknya.” Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan katanya, “Kami tidak makan lauk pauk dan seharian kami tidak makan daging.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Kalian telah mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukah kalian memakan daging orang mati?” Mereka menjawab, “Tidak!” “Jika kalian tidak mau makan daging orang mati, maka janganlah kalian gibah mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang demikian itu berarti memakan daging saudaranya sendiri.”

Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat: 12. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena setengahnya itu dosa, dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula setengah kamu menggunjing (gibah) atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang di antara kamu makan daging saudaranya yang mati? Pasti kamu jijik (tidak mau). Bertakwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima tobat lagi Penyayang.”

Dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari An-Naufal, dari Al-Sakkuni, dari Abu Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kerusakan yang dilakukan oleh gibah (mengumpat/memfitnah) pada iman seorang mukmin lebih cepat daripada kerusakan yang disebabkan oleh penyakit aklah (penyakit yang memakan daging di tubuh manusia) pada tubuhnya.”

Diriwayatkan dari Abu Dzar berkata: Ya Rasulullah, apakah gibah itu? Rasul menjawab: “Menyebutkan tentang saudaramu akan sesuatu yang membuat dia merasa jijik.” Aku berkata: Ya Rasulullah, bagaimana jika hal tersebut memang ada pada dirinya? Rasul menjawab: Ketahuilah, bahwa menyebut tentang sesuatu yang memang ada pada dirinya, berarti kamu telah mengumpatnya. Abu Dzar berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Gibah merupakan suatu dosa yang lebih besar daripada berzina. Kataku: Bagaimana itu, ya Rasulullah? Rasul menjawab: “Itu karena orang yang berzina, jika dia bertobat kepada Allah, Allah menerima tobatnya. Namun gibah tidak diampuni oleh Allah, hingga korban daripada gibah mengampuninya.”

INILAH MOZAIK

Fatwa Tentang Kafarah Ghibah

Pertanyaan:
Apakah kafarah untuk dosa ghibah adalah dengan mendoakan ampunan bagi orang yang dighibahi dengan mengatakan “اللهمّ اغفر لنا و له” (Ya Allah ampuni aku dan orang yang aku ghibahi). Dan apa makna ghibah sendiri wahai Syaikh?

Syaikh Shalih Al Fauzan menjawab:

Tentang hadits tersebut aku belum pernah menjumpai sedikitpun. Adapun ghibah sendiri hukumnya haram, dan termasuk salah satu dari dosa besar. Allah Subhanallahu Ta’ala telah melarang hamba-Nya dari praktek ghibah, Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hujurat: 12).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Setiap muslim dengan muslim yang lain adalah haram darahnya, hartanya, dan haram kehormatannya” (HR. Muslim No. 2564).

Maka ghibah adalah perbuatan haram, dan salah satu dari dosa besar dan perbuatan yang menjijikkan.

Lalu apa itu ghibah?

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam telah menjelaskan makna dari ghibah ketika ditanya tentang perkara tersebut. Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu
Sahabat bertanya,

أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟

Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya?”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab,

إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya” (HR. Muslim no. 2579).

Sehingga, ghibah adalah sebagaimana yang telah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sebutkan, yakni “Engkau menyebutkan tentang saudaramu hal yang tidak dia sukai”. Maka jika saudaramu tidak ada di sampingmu ketika engkau menyebutkan hal-hal yang tidak dia sukai. Maka sungguh engkau telah mengghibahinya, menjatuhkan harga dirinya, dan engkau telah berdosa dengan dosa yang besar.

Apabila engkau menyesali perbuatan tersebut dan bertaubat kepada Allah Subhanallahu Ta’ala. Maka sesungguhnya pintu taubat terbuka untukmu. Akan tetapi, ini adalah perbuatan kepada sesama makhluq. Dan diantara syarat diterimanya taubat adalah engkau menyucikan orang yang telah engkau ghibahi. Oleh karena itu, wajib atasmu untuk menyambung hubungan baik dengan saudaramu dan engkau menyampaikan hal tersebut kepadanya, dan engkau meminta maaf kepadanya. Namun, jika hal tersebut justru mengkhawatirkanmu berdampak pada kerusakan yang lebih besar. Maka, cukup engkau mintakan ampunan untuknya kepada Allah Ta’ala, dan memuji-muji dia, semoga Allah Subhanallahu Ta’ala mengampunimu.

Wallahu a’lam.
***
Penerjemah: Imroatus Sholikha

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11587-fatwa-tentang-kafarah-ghibah.html

Kebangkrutan Besar Akibat Buruknya Lisan di Sosial Media

Realita Kebebasan Berpendapat di Sosial Media

Di zaman modern saat ini, dengan adanya sosial media dan internet, seseorang dengan mudah berbicara dan menyampaikan pendapatnya. Di sosial media lebih mudah menyampaikan aspirasi dan pendapat. Akan tetapi sosial media ada juga sisi negatifnya, yaitu setiap orang bebas berbicara negatif, mencaci dan mencela. Lebih bebas daripada di dunia nyata karena ia bisa sembunyi di balik akun sosial media yang ia punya, bisa lebih berani karena tersembunyi dan bisa lebih lari dari tanggung jawab.

Sebagai seorang mukmin, tentu sangat tidak layak berbicara kasar, mencela dan melaknat kapanpun dam di mana pun, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦَ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻌَّﺎﻥِ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟﻄَّﻌَّﺎﻥِ، ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﻔَﺎﺣِﺶِ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﺒَﺬِﻱﺀِ

“Sesungguhnya orang mukmin itu orang yang tidak suka melaknat, mencela, berkata keji/jorok, dan kotor” (HR. Ahmad 1/416; shahih).

Bangkrut Akibat Lisan yang Buruk di Sosial Media

Hendaknya kita berhati-hati menjaga lisan kita di dunia nyata dan menjaga tulisan serta komentar kita di dunia maya. Karena tulisan ini kedudukannya sama dengan ucapan lisan. Sebagaimana kaidah:

الكتابة تنزل  منزلة القول

“Tulisan (hukumnya) sebagaimana lisan”

Ketika lisan suka mencaci, mencela, melaknat, ghibah dan berkata-kata kotor kepada orang lain, ini sama saja kita akan “bagi-bagi pahala gratis” kepada mereka kemudian kita akan bangkrut. Mengapa demikian? Karena dengan lisan dan tulisan kita, mereka yang kita cela dan caci-maki adalah pihak yang kita dzalimi. Jika kita tidak meminta maaf di dunia, maka urusan akan berlanjut di akhirat.

Di akhirat kita tidak bisa meminta maaf begitu saja, akan tetapi ada kompensasinya. Kompenasi tersebur bukan uang ataupun harta. Karena ini sudah tidak bermanfaat di hari kiamat.

Allah berfirman,

ﻳَﻮْﻡَ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻔَﻊُ ﻣَﺎﻝٌ ﻭَﻟَﺎ ﺑَﻨُﻮﻥَ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻦْ ﺃَﺗَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺑِﻘَﻠْﺐٍ ﺳَﻠِﻴﻢٍ

“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat” (Asy-Syu’araa`: 88-89).

Kompensasi Berat Atas Buruknya Lisan di Sosial Media

Kompensasinya adalah sebagai berikut:

  1. Jika punya pahala kebaikan seperti pahala shalat dan puasa, maka akan dibagi-bagikan kepada mereka yang didzalimi di dunia dan belum selesai perkaranya artinya belum ada maaf dan memaafkan
  2. Jika yang mendzalimi (mencela dan memaki) sudah habis pahalanya, maka dosa orang yang didzalimi akan ditimpakan dam diberikan kepada orang yang mendzalimi

Inilah yang disebut dengan orang yang bangkrut atau “muflis” di hari kiamat berdasarkan hadits berikut,

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?”

Para sahabat menjawab, ”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.”

Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim).

Jaga Lisan Sebelum Anda Diadili di Akhirat

Tahukah anda bahwa di dunia ini cukup sulit mencari keadilan yang seadil-adilnya. Ini adalah bukti adanya kehidupan setelah kematian di mana pada hari tersebut akan ada keadilan yang seadil-adilnya. Hendaknya kita sebagai seorang muslim menjaga lisan kita, karena memang lidah itu tidak bertulang, sangat mudah kita dengan lisan dan tulisan kita menyakiti orang lain. Terlebih yang disakiti adalah sesama muslim yang sejatinya bersaudara

Allah berfirman,

ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺫُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻤَﻠُﻮﺍ ﺑُﻬْﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَﺇِﺛْﻤًﺎ ﻣُّﺒِﻴﻨًﺎ

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (Al-Ahzab: 58).

Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin surga mereka yang bisa menjaga lisannya. Beliau bersabda,

ﻣَﻦْ ﻳَﻀْﻤَﻦَّ ﻟِﻲ ﻣَﺎﺑَﻴْﻦَ ﻟِﺤْﻴَﻴْﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺭِﺟْﻠَﻴْﻪِ ﺃَﺿْﻤَﻦْ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” (HR. Bukhari).

Demikian semoga bermanfaat

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/29950-kebangkrutan-besar-akibat-buruknya-lisan-di-sosial-media.html

Membicarakan Keburukan Penguasa, Apakah termasuk Ghibah?

Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala

Pertanyaan:

Apakah membicarakan urusan kenegaraan dan kondisi masyarakat dapat dianggap sebagai ghibah, sampai-sampai seandainya seseorang itu mencela (mencaci) aib dan kejelekan penguasa? (dengan kata lain, apakah ghibah itu hanya dilarang jika yang di-ghibah adalah rakyat atau manusia biasa seperti kita, sedangkan jika kita meng-ghibah penguasa itu diperbolehkan? –pen.)

Jawaban:

Perbuatan ini termasuk ghibah, bahkan termasuk jenis ghibah yang paling parah (paling jelek). Hal ini karena membicarakan (kesalahan) penguasa dan ulil amri akan menimbulkan suu’dzan (buruk sangka) terhadap penguasa kaum muslimin dan merendahkan kedudukan mereka di hadapan masyarakat. Dan terkadang akan menimbulkan kebencian pada sebagian masyarakat dan (menimbulkan) dendam tersembunyi terhadap ulil amri, sehingga akan terjadi perpecahan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

“Agama adalah nasihat.”

Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55)

Maka apakah termasuk dalam nasihat (menginginkan kebaikan) kepada ulil amri ketika Engkau duduk di berbagai forum dan berbicara (tentang kesalahan penguasa, pen.)? Atau Engkau merekam perkataanmu di kaset, atau Engkau berbicara di mimbar-mimbar mencela penguasa dan melecehkan mereka?

Perbuatan ini merusak persatuan, dan menyebabkan masyarakat menyimpan dendam terhadap penguasa, sehingga menimbulkan banyak kerusakan, terbaliknya keadaan, mencabut ketaatan (menjadi pemberontak), dan anggapan bahwa ketaatan (terhadap penguasa) itu tidak wajib.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)

Maka harus ada ketaatan terhadap penguasa, selama mereka tidak memerintahkan untuk maksiat kepada Allah Ta’ala. Jika Engkau mencela penguasa, membicarakan (aib) mereka, kemudian dampaknya masyarakat meremehkan perintah penguasa dan durhaka kepada penguasasehingga akhirnya masyarakat pun keluar dari perintah Allah Ta’ala.

***

@Sint-Jobskade 718 NL, 11 Dzulqa’dah 1439/ 25 Juli 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

 

Referensi:

Diterjemahkan dari kitab Al-farqu baina an-nashiihah wa at-tajriih, hal. 32 (penerbit Kunuuz Isybiliya).

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/41771-membicarakan-keburukan-penguasa-apakah-termasuk-ghibah.html