Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan Menurut Habib Ali Al-Jufri

Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan adalah sebuah konsep dari Habib Ali al-Jufri. Habib Ali al-Jufri memulai dengan mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah beragama. Fitrah ini merupakan naluri yang mendorong manusia untuk mencari kebenaran dan makna hidup. 

Sebagaimana tulisan sebelumnya bahwa bukan hanya menyuarakan pentingnya lebih mendahulukan kemanusiaan dari keberagamaan, namun memahami konsep tersebut juga menjadi lebih penting dari hanya sekedarr menyuarakannya.

Konsep kemanusiaan sebelum keberagamaan ternyata sudah jauh terbentuk sejak di era Rasulullah Saw, sosok beliau yang sangat rahmatan lil alamin tentu tidak mengherankan jika memang beliau sangat menjunjung tinggi rasa pentingnya kemanusiaan, peristiwa-peristiwa bersejarah tentang perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani di masa itu sudah menjadi bukti bahwa beliau memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap kesejahteraan manusia.

Berikut ini adalah hadits yang oleh Habib Ali Al-Jufri dijadikan dasar atau dalil bahwa sikap kemanusiaan lebih didahulukan dari pada keberagamaan. Hadits ini termaktub dalam kitab Sunan Abu Dawud;

فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَوَجَدْتُهُ مُسْتَخْفِيًا بِشَأْنِهِ وَوَجَدْتُ قُرَيْشًا عَلَيْهِ جُرَءَاءُ فَتَلَطَّفْتُ حَتَّى دَخَلْتُ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ثُمَّ قُلْتُ مَنْ أَنْتَ فَقَالَ أَنَا نَبِيٌّ فَقُلْتُ وَمَا النَّبِيُّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ قُلْتُ مَنْ أَرْسَلَكَ قَالَ اللَّهُ قُلْتُ فَبِمَ أَرْسَلَكَ قَالَ بِأَنْ تُوصَلَ الْأَرْحَامُ ‌وَتُحْقَنَ ‌الدِّمَاءُ وَتُؤَمَّنَ السُّبُلُ وَتُكَسَّرَ الْأَوْثَانُ وَيَعْبُدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ به شيء قلت نعم ما أَرْسَلَكَ فَأَشْهَدُ أَنِّي قَدْ آمَنْتُ بِكَ وَصَدَّقْتُ بِكَ أَمْكُثُ مَعَكَ أَمْ مَاذَا تَرَى قَالَ قَدْ تَرَى كَرَاهِيَةَ النَّاسِ لِمَا جِئْتُ بِهِ فَامْكُثْ فِي أَهْلِكَ فَإِذَا سَمِعْتَ بِأَنِّي خَرَجْتُ مَخْرَجِي فَائْتِنِي.

Artinya; “Aku (`Amr bin `Abasah As-Sulami) bertanya tentang dia (Rasulullah Saw) lalu aku mendapatinya dalam keadaan bersembunyi dan aku mendapati orang Quraisy memusuhinya, lalu aku berusaha menemuinya dengan cara menyamar hingga aku berhasil menemuinya dan mengucap salam, kemudian aku bertanya Siapa kamu?” 

Dia menjawab, “Aku seorang nabi.” Aku bertanya, “Dan apakah nabi itu?” Dia bertanya, “Utusan Allah.” Aku berkata, “Siapa yang mengutus kamu?” Allah berfirman, Aku bertanya, “Untuk apa dia mengutus kamu?” Beliau bersabda, “Agar kamu menyambung silaturahmi, melindungi darah, mengamankan jalan, menghancurkan berhala, dan menyembah Allah semata yang tidak ada sekutu baginya sesuatu pun. 

Aku berkata “Sangat bagus risalah yang karenanya engkau diutus, Maka aku bersaksi sesungguhnya aku sungguh beriman kepadamu dan aku mempercayaimu, apakah aku harus tinggal bersama mu atau bagaimana pendapatmu?

Lalu beliau bersabda “kamu telah melihat kebencian manusia atas apa yang aku bawa, maka tinggallah kamu bersama keluargamu, jika suatu hari kamu mendengar aku telah keluar dari persembunyianku, maka datanglah kepadaku.” (HR. Imam Ahmad).

Menurut Habib Ali berdasarkan hadist di atas dapat dipahami bahwa cara Rasulullah Saw menjelaskan risalah yang dibawanya, beliau terlebih dahulu menjelaskan tiga hal mendasar.

Pertama, beliau menjelaskan pentingnya silaturahmi. Habib Ali memaknai hal ini sebagai jaminan Rasulullah terhadap keamanan masyarakat.

Kedua, melindungi darah. Hal ini dimaknai oleh Habib Ali sebagai perlindungan terhadap kehidupan manusia.

Ketiga, mengamankan jalan. Yang menurut Habib Ali bahwa Rasulullah memberi jaminan keamanan publik.

Setelah menyampaikan tiga hal penting itu baru Rasulullah Saw menjawab tujuan risalah mengenai religiositas, yaitu menghancurkan berhala yang ini merupakan bagian amar ma`ruf nahi munkar dan juga sikap kukuh untuk menyembah Allah Swt semata, yang ini adalah wilayah dakwah.

Dari jawaban Rasulullah Saw tersebut dapat kami pahami bahwa dengan adanya jaminan sosial, kehidupan dan keamanan publik, maka barulah kita bisa menjalankan agama dengan khusyuk, aman dan nyaman. Karena hati yang adem akan membuat sikap keberagamaan kita juga adem.

Demikian penjelasan mengenai dalil hadits kemanusiaan sebelum keberagamaan. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam

BINCANG SYARIAH

Mungkinkah Seorang Pelaku Maksiat Dicintai Allah? Ini Jawaban Habib Ali Al Jufri

Suatu ketika seorang bertanya pada Habib Ali Al Jufri tentang pendosa yang penuh maksiat. “Adakah harapan untuk ku, seorang pelaku maksiat yang berlumuran dosa, untuk dicintai oleh Allah dan memperoleh kasih sayang-Nya?,”

Habib Ali Al Jufri menjawab, “Ya mungkin, pintu taubat Allah itu sangat luas dan terbuka lebar. Dan pemberiannya sangat Agung. Pun rahmat dan kurnia Tuhan tiada terbatas.  Dan Allah memanggil hamba-Nya setiap malam. Allah berkata; Apakah Ada yang mempunyai hajat, maka akan kupenuhi hajatnya. Sesungguhnya Allah membentangkan rahmat-Nya pada malam hari, agar orang yang berbuat dosa di siang hari bertaubat. Dan Allah juga membentangkan rahmat-Nya di siang hari, untuk bertaubat orang yang berbuat maksiat di malam hari,” begitu nasihat bijak Habib Ali Al Jufri.

Lebih lanjut, Habib Ali Al Jufri juga menceritakan kasih sayang Allah pada hamba-Nya. Menurut Habib Ali Al-Jufri pengampunan Allah meliputi langit dan bumi. Rahmat Allah tiada tara.  Allah berfirman pada hamba-Nya; “Wahai hamba ku yang melampaui batas terhadap dirinya sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun dan lagi Maha Penyayang.

Hal ini sebagaimana tercantum dalam firman Allah dalam Q.S Az Zumar ayat 53. Allah berfirman;

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Artinya; Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Seyogianya orang yang bertaubat, kata Habib Ali Al Jufri bahwa ia melaksanakan taubat yang sebenar-benar taubat. Yaitu orang yang bertekad kuat di hatinya untuk meninggalkan maksiat tersebut. Di samping itu, menjauhkan diri dari pelbagai hal yang membuatnya kembali jatuh pada kemaksiatan. Itulah hakikat taubat pada Allah.

Di samping itu, terkait persoalan dengan manusia—yang bersangkutan dengan hak manusia—, seyogianya seorang yang bertaubat mengembalikan hak manusia tersebut. Jika ada perbuatan salah dan khilaf, senantiasa minta maaf.  Pasalnya taubat yang benar itu adalah meninggalkan segala perilaku maksiat yang berkaitan dengan Allah dan Rasul-Nya. Dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Dan berhati-hati agar tidak terulang.

Namun, bila di tengah taubat, seorang yang taubat tadi terjerumus kembali ke dalam dosa, maka ia juga dianjurkan untuk bertaubat kembali. Allah juga akan mengampuni dosanya. Artinya, saban kali kita terjatuh dalam jurang kemaksiatan,kita dianjurkan selalu bertaubat. Pasalnya Allah sangat Maha Pengampun dosa seluruh hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Q.S  al-Baqarah ayat 222;

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya; Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Terkahir Habib Ali Al Jufri menyatakan yang paling berbahaya adalah pelaku maksiat yang tidak menyadari akan dosany atau mengabaikan pelbagai dosanya. Sangat berbahaya bagi seorang apabila mempermudahkan kemaksiatan itu. Dan Allah juga murka dengan orang yang bercanda dengan taubat. Misalnya ia mengatakan, “Aku berbuat dosa hari ini, nanti akan bertaubat. Tapi bohong,”. Manusia ini mempermainkan taubat. Itulah termasuk tipu daya setan.

BINCANG SYARIAH

Habib Ali Al Jufri: Caci Maki Bukan Ajaran Islam

Intisari ajaran Islam adalah menciptakan perdamaian dan menghargai keberagaman. Nilai-nilai toleransi dan sopan santun adalah buah dari keindahan ajaran Islam. Namun mutakhir ini, caci maki dan bahasa kasar acapkali digunakan oleh pemuka agama terutama di mimbar-mimbar keagamaan. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan misi ajaran Nabi yang ingin membawa Islam sebagai agama yang beradab dan penuh dengan kedamaian.

Habib Ali Al-Jufri menyayangkan para pendakwah yang kerap membawa materi kebencian di mimbar agama tersebut. Menurut Habib Ali AL-Jufri, pendakwah yang isinya selalu memprovokasi umat untuk membenci sesama umat muslim dan umat agama lain adalah pendakwah yang tidak patut diikuti, karena dakwah dengan kebencian sejatinya hanyalah hasutan belaka.

Ulama asal Mekkah yang terkenal karena kedalaman ilmunya itu bersyukur mengenal Islam bukan dengan cara kekerasan. Menurutnya, Islam yang diajarkan secara keras akan berbuah konflik di tengah masyarakat. Jika dakwah disampaikan dengan cara yang santun, maka masyarakat pun akan lebih menerima isi daripada dakwah tersebut.

“Ketika aku mendengar orang bicara atas nama Islam dengan bahasa yang kasar dan caci maki, aku bersyukur kepada Allah tidak memahami Islam lewat lisan mereka,” terang Habib Ali.

Pesan yang dikemukakan oleh Habib Ali mengandung makna Islam adalah agama yang damai dan toleran terhadap semua perbedaan. Sifat yang kasar dan mencaci maki adalah sifat yang tidak diajarakan oleh Nabi, bahkan Nabi tidak sepakat dengan Islam yang disampaikan secara keras tersebut, dan tentu saja dakwah yang keras dan caci maki bukanlah ajaran Islam.

 

ISLAM RAMAH

Habib Ali Al Jufri: Jangan Membenci Umat Agama Lain

Ulama kharismatik asal Arab Saudi, Habib Ali Al Jufri dalam ceramahnya yang diunggah di Youtube menyayangkan tindakan seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah namun membenci makhluk ciptaan-Nya. Menurut Habib Ali, umat Islam yang meyakini kebenaran kalimat La ilaha ilallah pasti akan berperilaku sesuai dengan sifat Allah yang berlandaskan kasih sayang. Rasa kebencian yang timbul sesungguhnya sudah jauh dari akhlak umat muslim itu sendiri.

“Kalimat La ilaha ilallah menyatukan kita semuanya. Orang yang mencintai Allah, tidak akan pernah membenci siapapun termasuk orang kafir sekalipun. Lebih dari itu, dia juga tidak akan membenci saudara-saudaranya sesama muslim meskipun sebagian mereka telah mengkafirkan dirinya,” terang Habib Ali.

Habib yang dikenal karena kesantunan akhlaknya tersebut menegaskan kepada seluruh umat muslim agar menebarkan ajaran agama dengan cinta dan damai. Perbedaan yang bersifat sunnatullah jangan dijadikan alat untuk membenci. Tolok ukur orang yang benar mencintai Allah menurut Habib Ali adalah dia yang selalu menebar kasih sayang dengan sesama makhluk Allah.

Menurut Habib Ali, ketulusan seorang mukmin mencintai Allah dan Rasulnya adalah ketika ia memiliki jiwa dan pikiran yang jernih, sehingga ia tidak pernah memiliki sifat benci terhadap orang lain. “Saudaraku-saudaraku, janganlah sedikitpun kalian membenci mereka! Orang yang benar jujur mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak akan pernah membenci,” tegas Habib Ali.

 

ISLAMRAMAH