Hadis Maudhu (Palsu) dan Larangan Mengamalkannya

Ustadz Apa itu hadis maudhu dan ciri2nya, apakah hadis maudhu yg secara matan shahih bisa diamalkan ? Syukron

Jawab:

Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya . Amma Ba’du:

Pertanyaan ini mengingatkan saya pada berita bombastis tentang sepeda Nabi Adam yang dijadikan pajangan di kota Jeddah, Saudi Arabia. Dikatakan oleh sebagian yang berkunjung ke kota tersebut, bahwa itulah sepeda Nabi Adam, begitu ceritanya. Cukup satu pertanyaan untuk menjelaskan, sejak kapan sepeda dibuat?

Dan sekarang ini bisa kita lihat, mulai sabun cuci sampai mesin suci ada label syar’i, mulai dari tanah sampai rumah mendapat stempel sunnah; mengingatkan pada zaman dulu bahwa salah satu sumber hadits-hadits palsu adalah para pedagang. Diantara hadits palsu yang banyak disebut para penuntut ilmu waktu itu adalah hadist tentang keutamaan terong.

Untuk memahami hadits palsu, kita harus memahami apa arti hadits yang asli dengan baik, sehingga kita bisa membedakan hadits asli dari yang palsu.

Hadits adalah perkataan, perbuatan, persetujuan (perkataan atau perbuatan shahabat disetujui oleh Nabi) dan sifat-sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits palsu artinya menisbatkan (menyandarkan) suatu perkataan, berbuatan, pengakuan atau sifat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal itu tidak dikatakan, tidak dilakukan, bukan merupakan persetujuan dan bukan merupakan sifat Nabi. Jadi, menisbatkan sesuatu kepada Nabi yang bukan merupakan darinya adalah hadits palsu.

Bagaimana kalau perkataan itu adalah perkataan yang baik dari seorang shahabat atau seorang ulama kemudian disandarkan kepada Nabi?

Tetap hadist palsu walaupun maknanya baik, karena yang palsu disini adalah penisbatan (penyandaran).

Berbeda halnya dengan Hadist Dhoif, yaitu hadits yang lemah penyandaran kepada Nabi, dan penisbataannya kepada Nabi adalah salah atau tidak kuat, dan hal itu karena kesalahan bukan kesengajaan. Bedanya dengan hadits palsu adalah bahwa hadits palsu diketahui bahwa itu bukan dari Nabi, akan tetapi tetap dinisbatkan kepada Nabi dengan sengaja

Maka hendaklah hati-hati yang menyandarkan sesuatu dengan sengaja kepada Nabi atau kepada sunnah (Nabi) padahal itu bukan darinya walaupun maknanya benar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di Neraka” (Hadits Mutawatir diriwayatkan Bukhari no. 1229, dll.).

Darimana kita mengetahui bahwa hadits itu palsu?

Kita mengetahui hadits itu palsu adalah dari penjelasan para ulama, diantaranya Imam Ibnul Jauzi mengarang kitab Al-Maudhu’at, kumpulan hadist-hadits palsu, untuk menjelaskan hal itu. Dan hadits menjadi palsu karena rawi di dalam sanadnya diketahui pernah sengaja berdusta atas nama Nabi, atau hadits tersebut tidak ada asal usulnya atau haditsnya dengan jelas bertentangan dengan al-Quran atau hadits shohih yang jelas, sehingga tidak mungkin bersumber dari Nabi.

Ibnu Qayyim al-jauziyah menyebutkan di dalam kitabnya al-Manar al-Munif 19 ciri-ciri hadits palsu, di antaranya adalah:

  1. Bertentangan dengan ayat al-Quran secara jelas, seperti hadits palsu: “Umur Dunia 7000 tahun, dan kita berada pada tahun yang ke-7000”. Bertentangan dengan ayat-ayat yang menjelaskan hanya Allah ta’ala yang mengetahui tentang waktu kejadian Hari Kiamat.
  2. Bertentangan dengan hadits yang shohih, seperti hadits palsu yang menjelaskan bahwa yang bernama Muhammad atau Ahmad tidak akan masuk Nereka, padahal sangat jelas di dalam hadits Nabi bahwa yang menyelamatkan seseorang itu adalah amalannya.
  3. Memiliki makna yang terlalu berelebihan, seperti Allah menciptakan seekor burung  yang memiliki 70 ribu lisan, setiap lisan bisa berbicara dalam 70 ribu Bahasa.
  4. Bertentangan dengan realita, seperti hadits palsu:”Terong menyembuhkan segala jenis penyakit”
  5. Maknanya tidak pantas dan hanya menjadi bahan ejekan, seperti hadits palsu:”Seandainya beras itu adalah seorang laki-laki, maka dia adalah seorang yang lembut, tidak ada yang memakannya kecuali menjadi kenyang”.
  6. Menyerupai resep dokter, seperti hadits palsu:”Al-Harisah (makanan) menguatkan punggung”

Ini adalah sebagian ciri yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim di dalam kitabnya.

Apakah hadits palsu bisa diamalkan kalau maknanya shohih?

Sumber Syariat Islam adalah Al Quran dan Sunnah, kalau ada kata atau makna yang bagus bukan dari keduanya maka bukan bagian dari Islam dan tidak boleh diamalkan sebagai ibadah.

Akan tetapi kalau yang dimaksud bahwa hadits palsu tapi secara makna shohih, dalam arti makna yang terkandung di dalamnya adalah sesuai atau serupa dengan Ayat atau hadits yang lain. Hadits palsu tersebut tetap tidak boleh diamalkan, tapi kita beramal dengan ayat atau hadits shohih yang menunjukkan kepada makna tersebut.

Kita ulangi lagi, bahwa hadits palsu itu adalah palsu walau kandungan isinya bagus, karena maksud dari palsu itu adalah palsu penisbatan (penyandaran) kepada Nabi.

Hendaklah kita terus belajar, karena di zaman sekarang hadits palsu tersebar dengan mudah, dan banyaknya hadits-hadits palsu baru yang bermunculan.

Semoga Allah taala selalu memberi taufik kepada kita untuk mengamalkan hadits yang shohih dan mengetahui hadits-hadits palsu, dan mampu menjelaskan tentang hadits palsu kepada umat. Amiin…!!

Read more https://konsultasisyariah.com/36006-hadis-maudhu-palsu-dan-larangan-mengamalkannya.html

Cara Membedakan Hadis Palsu, Daif,dan Sahih (2)

SATU persatu biografi para perawi hadis itu diteliti dengan cermat. Penelitian dipusatkan pada dua kriteria. Yaitu kriteria al-‘adalah dan kriteria adh-dhabth.

b. Krieria adh-dhabth

Kriteria adh-dhabth adalah penilaian dari sisi kemampuan seorang perawi dalam menjaga originalitas hadis yang diriwayatkanya. Misalnya, adakah dia mampu menghafal dengan baik hadis yang dimilikinya. Atau punyakah catatan yang rapi dan teratur. Sebab boleh jadi seorang perawi memiliki hafalan yang banyak, akan tetapi tidak dhabith atau tidak teratur, bahkan boleh jadi acak-acakan bercampur baur antara rangkaian perawisuatu hadis dengan rangkaian perawi hadis lainnya.

Biasanya dari sisi adh-dhabth ini para perawi memang orang yang saleh. Tetapi kalau hafalan atau database periwayatan hadisnya acak-acakan, maka dia dikatakan tidak dhaabith. Cacat ini membuatnya menempati posisi lemah dalam daftar para perawi hadis. Hadis yang diriwayatkan lewat dirinya bisa saja dinilai daif atau lemah.

Untuk mendapatkan kumpulan hadits yang sahih, kita bisa membuka kitab yang disusun oleh para ulama. Di antara yang terkenal adalah kitab Ash-Shahih yang disusun oleh Al-Imam Al-Buhkari dan kitab Ash-Shahih yang disusun oleh Imam Muslim. Akan tetapi bukan berarti semua hadis menjadi tidak shahih bila tidak terdapat di dalam kedua kitab ini. Sesungguhnya, kedua kitab ini hanya menghimpun sebagian kecil dari hadis-hadisyang sahih. Di luar kedua kitab ini, masih banyak lagi hadis yang sahih.

Keberadaan kedua kitab itu meski sudah banyak bermanfaat, namun masih diperlukan kerja keras para ulama untuk mengumpulkan semua hadis yang ada di muka bumi, lalu satu per satu diteliti para perawinya. Dan seluruhnya disusun di dalam suatu database. Sehingga setiap kali kita menemukan suatu hadis, kita bisa lakukan searching, lalu tampil matan-nya beserta para perawinya dengan lengkap mulai dari level sahabat hingga level terakhir, sekaligus juga catatan rekord tiap perawi itu secara legkap sebagaimana yang sudah ditulis oleh para ulama.

Yang sudah ada sekarang ini baru program sebatas hadis-hadis yang ada di dalam 9 kitab saja, yang dikenal dengan kutubus-sittah. Program ini sudah lumayan membantu, karena bisa dikemas dalam satu keping CD saja. Bahkan Kementerian Agama, Wakaf, Dakwah dan Irsyad Saudi Arabia membuka situs yang memuat database kesembilan kitab hadis ini, sehingga bisa diakses oleh siapa saja dan dari mana saja di seluruh dunia secara gratis.

Sayangnya, hadis-hadis yang ada di program ini masih terbatas pada 9 kitab hadis saja, meski sudah dilengkapi dengan kitab-kitab penjelasnya (syarah). Padahal ada begitu banyak hadis yang belum tercantum di dalam kutubus-sittah. Lagi pula program itu pun belum dilengkapi dengan al-hukmu ‘alal hadits. Baru sekedar membuat database hadis yang terdapat di 9 kitab itu. Dan meski setiap hadis itu sudah dilengkapi nama-nama perawinya, namun belum ada hasil penelitian atas status para perawi itu. Jadi hadis-hadis itu masih boleh dibilang mentah.

Proyek ini cukup besar untuk bisa dikerjakan oleh perorangan. Harus ada kumpulan team yang terdiri dari ribuan ulama hadis dengan spesifikasi ekspert. Mereka harus bekerja full-time untuk jumlah jam kerja yang juga besar. Tentu saja masalah yang paling besar adalah anggaran.

Sampai hari ini, sudah ada beberapa lembaga yang merintisnya. Para ulama di Al-Azhar Mesir, para ulama di Kuwait, para ulama di Saudi dan di beberapa tempat lain, masing-masing sudah mulai mengerjakan. Sayangnya hasilnya belum juga nampak. Barangkali karena mereka bekerja sendiri-sendiri dan tidak melakukan sinergi. Padahal kalau semua potensi itu disatukan dalam sebuah managemen profesional, insya Allah kita bisa menyumbangkan sesuatu yang berharga di abad 15 hijriyah ini.

Hitung-hitung sebagai kado untuk kebangkitan Islam yang sudah sejak lama didengung-dengungkan itu. Sebuah warisan pekerjaan dari generasi lampau untuk kita demi mencapai masterpiece.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341494/cara-membedakan-hadis-palsu-daif-sahih-2#sthash.EJ8ADtgm.dpuf

Cara Membedakan Hadis Palsu, Daif & Sahih (1)

YANG bisa menetapkan status sebuah hadis bukanlah kita yang awam ini, melainkan para ulama hadis. Mereka saja yang punya kapasitas, legalitas, otoritas dan tools untuk melakukannya. Dan buat kita, cukuplah kita membaca karya-karya agung mereka lewat kitab-kitab hasil naqd (kritik) mereka.

Menetapkan status suatu hadis dikenal dengan istilah al-hukmu ‘alal hadis. Upaya ini adalah bagian dari kerja besar para ulama hadis (muhadditsin). Mereka punya sekian banyak kriteria dalam menentukan derajat suatu hadis. Secara umum, studi ini dilakukan pada dua sisi. Yaitu sisi para perawinya dan juga sisi matan hadisnya, atau isi materinya. Jadi yang dinilai bukan hanya salah satunya saja, melainkan keduanya.

Kesahihan suatu hadis akan dinilai pertama kali dari masalah siapa yang meriwayatkannya. Dan yang dinilai bukan hanya perawi pada urutan paling akhir saja. Akan tetapi mulai dari level pertama yaitu para sahabat, kemudian level kedua yaitu para tabi’in, kemudian level ketiga yaitu para tabi’it-tabi’in dan seterusnya hingga kepada perawi paling akhir atau paling bawah.

Nama para perawi paling akhir itu adalahyang sering kita dengar sebagai hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Ibnu Majah, At-Tirmiziy, Abu Daud dan lainnya. Akan tetapi, yang dijadikan ukuran bukan semata-mata para perawi di level paling bawah atau paling akhir saja. Melainkan keadaan para perawi dari level paling atas hingga paling bawah dijadikan objek penelitian. Khususnya pada level di bawah para sahabat. Sebab para ulama sepakat bahwa para sahabat itu seluruhnya orang yang adil dan tsiqah. Sehingga yang dinilai hanya dari level tabi’in ke bawah saja.

Satu persatu biografi para perawi hadits itu diteliti dengan cermat. Penelitian dipusatkan pada dua kriteria. Yaitu kriteria al-‘adalah dan kriteria adh-dhabth.

a. Kriteria al-‘adalah

Kriteria pertama adalah masalah ‘adalah. Maksudnya sisi nilai ketakwaan, keIslaman, akhlak, ke-wara’-an, kezuhudan dan kualitas pengamalan ajaran Islam. Kriteria ini penting sekali, sebab ternyata kebanyakan hadis palsu itu lahir dari mereka yang kualitas pengamalan keIslamannya kurang.

Misalnya mereka yang sengaja mengarang atau memalsu hadis demi menjilat penguasa. Atau demi kepentingan politik dan kedudukan. Atau untuk sekedar mengejar kemasyhuran. Orang-orang yang bermasalah dari segi al-‘adalah ini akan dicatat dan dicacat oleh sejarah. Mereka akan dimasukkan ke dalam daftar black-list bila ketahuan pernah melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan akidah, akhlak dan etika Islam.

Bahkan para ulama sampai melahirkan disiplin ilmu khusus yang disebut ilmu al-jarhu wa at-ta’dil. Ilmu ini mengkhususkan diri pada database catatan hitam seseorang yang memiliki cacat atau kelemahan. Orang-orang yang dianggap cacat mendapatkan julukan khas dalam ilmu ini. Misalnya si fulan adalah akzabun nass (manusia paling pendusta), fulan kazzab (pendusta), si fulan matruk (haditsnya ditinggalkan) dan sebagainya.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341492/cara-membedakan-hadis-palsu-daif-sahih-1#sthash.ag0b6lhY.dpuf

Bolehkah Ulama Masa Kini Menilai Hadis?

Oleh: Nashih Nashrullah

Penilaian hadis hanya dilakukan ulama yang berkompeten.

Pertanyaan ini muncul bukan tanpa sebab. Belakangan, sejumlah cendekiawan masa kini tampil menghukumi hadis dengan ragam kualitasnya, mulai dari sahih, hasan, lemah (daif), atau palsu (maudhu’) sekalipun.

Tak jarang, sepak terjang para cendekiawan tersebut cenderung menyalah-nyalahkan kesimpulan para ulama hadis terdahulu. Lalu, bolehkah ulama masa kini ikut andil dalam menghukumi hadis? Bukankah ragam derajat hadis telah ditetapkan ahli hadis pada era klasik?

Ada setidaknya lima syarat sebuah hadis dinyatakan sahih, yakni kesempurnaan jejaring periwayatan (sanad), kualitas spiritual atau moralitas perawi (‘adalah), kecermatan perawi (dhabth), dan sterilnya hadis dari dua kekuarngan, yakni syadz (berselisih dengan riwayat lain) atau ‘illat, yakni cacat baik yang terdapat dalam sanad, perawi, ataupun redaksi (matan) hadis.

Ketiga syarat pertama bisa ditelusuri lewat segudang referensi ilmu perawi ilm rijal. Sedangkan, kedua syarat terakhir cukup sulit dan hanya bisa dilakukan mereka yang berkompeten.

Sebab itu, para ulama tidak sepakat terkait hukum boleh tidaknya ulama masa kini ambil bagian dalam penilaian hadis.

Merujuk sejumlah kitab klasik, ada setidaknya dua kutub pendapat. Pendapat yang pertama menegaskan, para ulama yang hidup belakangan tidak berhak dan memiliki otoritas menshahihkan hadis. Opsi ini seperti yang ditegaskan sejumlah ulama, antara lain, Ibnu as-Shalah dalam Muqaddimah-nya.

Menurut dia, jika terdapat hadis yang belum dinilai shahih oleh ulama terdahulu, dia tidak boleh gegabah dengan menyimpulkan sendiri.

Cukuplah merujuk ke penilaian para pakar hadis era klasik melalui karya-karya mereka. Ada dua alasan setidaknya, di antaranya, nihilnya kapabilitas ulama masa kini.

Pertama, menilai keshahihan sebuah hadis tak sebatas mengkaji sanad apakah tersambung sempurna atau tidak, begitu pula bukan hanya bertumpu pada informasi tentang status dan kondisi sang perawi.

Akan tetapi, menilai keshahihan hadis harus  mempertimbangkan sterilnya hadis tersebut dari dua momok, yaitu syadz dan ‘illat. Bagi ulama masa kini, kedua hal itu mustahil diketahui.

Kedua, tidak ada satupun hadis shahih yang terlewatkan para pengkaji hadis di era klasik, sehingga bila ada ulama sekarang mengklaim ada satu hadis yang belakangan terungkap keshahihannya maka hal itu tak bisa dibenarkan.

Sedangkan, menurut pendapat yang kedua, penilaian keshahihan hadis atau hasan boleh dilakukan ulama masa kini bagi mereka yang berkompeten dan memiliki modal keilmuan yang mumpuni.

Seperti yang ditegaskan Imam an-Nawawi dan lainnya, aktivitas tersebut tidak hanya terhenti pada ulama era klasik.

Mereka beralasan, aktivitas pentashihan justru dilakukan sejumlah ulama yang hidup semasa dengan Ibnu as-Shalah. Sebut saja, misalnya, Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Abd al-Malik al-Qatthan yang wafat pada 628 H.

Lewat kitabnya yang berjudul al-Wahm wa al-Iham dia menshahihkan deretan hadis yang sebelumnya tidak dihukumi demikian. Contohnya, hadis dari Abdullah bin Umar tentang wudhu Rasulullah SAW dengan tetap mengenakan alas kaki.

Selain al-Qatthan, ada al-Hafidz Dhiyauddin Muhammad bin Abd al-Wahid al-Maqdisi yang wafat pada 743 H, tahun yang sama ketika Ibnu as-Shalah meninggal dunia.

Al-Maqdisi mengodifikasikan hadis-hadis shahih yang belum pernah divonis shahih para ulama sebelumnya melalui karyanya yang berjudul al-Mukhtar mimma Laisa fi as-Shahihaini aw Ahadihima.

Ada pula al-Hafizh Abd al-Adzim bin Abd al-Qawi al-Mundziri. Tokoh yang wafat pada 656 H itu menulis kitab at-Targhib wa at-Tarhib dengan menghukumi keshahihan sejumlah hadis.

Contohnya riwayat Bahz bin Nashr dari Ibn Wahab dari Abu Hurairah perihal pengampunan dosa yang lewat dan dosa yang akan datang. Pada periode berikutnya, tampil al-Hafizh Syarafuddin ad-Dimyathi yang mentashihkan hadis soal khasiat air zamzam.

Pendapat an-Nawawi ini diperkuat al-Hafizh al-Iraqi, Ibn Hajar al-Asqalany, dan as-Suyuthi. Akan tetapi, as-Suyuthi menggarisbawahi, selain kompetensi yang mesti dikantongi, pentashihaan oleh ulama belakangan hendaknya menggunakan redaksi sanad yang shahih, bukan keshahihan hadis secara mutlak. Ini untuk menghindari keberadaan cacat yang tidak berhasil diungkap.

Lemah dan palsu

Lantas, bagaimana dengan vonis lemah atau palsu yang disematkan oleh ulama belakangan terhadap suatu hadis?

Berbeda dengan boleh tidaknya vonis shahih atau hasan yang kontroversial di kalangan ulama, terkait vonis lemah para ulama sepakat ulama masa kini tidak boleh menghukumi lemah hadis-hadis yang telah diriwayatkan ulama sebelumnya.

Ini, kata Ibnu Hajar al-Asqalani, karena bisa jadi ada kemungkinan keberadaan jalur jejaring periwayatan lain yang menguatkan atau bahkan akurat validitasnya.

Bila sang perawi menemukan adanya keterputusan jejarang itu, cukuplah dia menyimpulkan bahwa jejaring tersebut tidak sempurna melalui jalur yang dia temukan.

Bukan lemah secara keseluruhan, termasuk redaksionalnya (matan). Sebab, bisa jadi hadis dengan riwayat lain yang menopangnya. Karena itu, hendaknya ulama masa kini tidak gegabah melemahkan suatu hadis.

Demikian pula dengan vonis palsu atas hadis tertentu. Imam as-Suyuthi menegaskan, bila ulama sepakat larangan memvonis lemah suatu hadis oleh ulama masa kini, apalagi menyimpulkannya dengan palsu.

Bagaimanapun, kemungkinan adanya jalur periwayatan lain yang menguatkan sangat terbuka. Kecuali, jika memang tanda-tanda ataupun kriteria hadis palsu sudah tampak jelas, ketidaksinkronan redaksi hadis, semisal, hadis-hadis yang dipalsukan para pendongeng ataupun kontradiktif dengan akal dan konsensus ulama.

 

sumber: Republika Online

Inilah Ciri-ciri Hadis Palsu ( Bag 1)

Maudhu’  atau palsu berasal dari kata ata wadha’a – yadha’u – wadh’an wa maudhu’an yang berarti merendahkan, menjatuhkan, mengada-ngada,  menyandarkan atau menempelkan, serta menghinakan. Maka, hadis maudhu’  itu memiliki makna, rendah dalam kedudukannya, jatuh  tidak bisa diambil dasar hukum, diada-adakan oleh perawinya, serta disandarkan pada Nabi SAW, sedangkan beliau tidak mengatakannya.

Para ulama hadis mendefinisikan hadis palsu  sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan ataupun taqrir, tetapi disandarkan kepada Rasulullah SAW secara sengaja. Menurut Ensiklopedi Islam, hadis maudu’  memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Pertama, matan (teks) hadis tak sesuai dengan kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan bahasa Nabi SAW. Kedua, bertentangan dengan Alquran, akal, dan kenyataan. Ketiga, rawinya dikenal sebagai pendusta, Keempat, pengakuan sendiri dari pembuat hadis palsu tersebut. Kelima ada petunjuk bahwa di antara perawinya ada yang berdusta. Keenam, rawi menyangkal dirinya pernah memberi riwayat kepada orang yang membuat hadis palsu tersebut.

Menurut ahli Ilmu Hadis, Prof KH Mustafa Ali Ya’kub, sebuah hadis dikatakan palsu apabila, dalam sanad-nya terdapat rawi (periwayat), yang dengan terus terang dia mengaku memalsu hadis. ‘’Maka hadisnya menjadi palsu,’’ tutur guru besar Ilmu Hadis pada Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta itu.

Selain itu, kata dia, jika perawinya pun berdusta, tapi tidak diketahui ketika menyampaikan hadisnya apakah palsu atau tidakm, namun jelas dia pembohong. Maka, menjadi hadis makruh  atau semipalsu. ‘’Kedudukan dan kualitasnya sama, yakni harus dibuang.’’

Hadis palsu dibagi menjadi tiga macam. Pertama, perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah SAW. Kedua, perkataan itu dari ahli hikmah atau orang zuhud atau israiliyyat dan pemalsu yang menjadikannya hadis. Ketiga, perkataan yang tidak diinginkan rawi pemalsuannya, cuma dia keliru. Menurut para ahli hadis, jenis ketiga itupun termasuk hadis maudhu, apabila perawi mengetahuinya tapi membiarkannya.