Doa Dengan Hadits Dhaif, Boleh?

AMAT banyak  hadits-hadits yang dibukukan oleh para huffadz hadits yang di dalamnya berisi doa-doa dan dzikir, baik derajatnya shahih, hasan, maupun dhaif. Memang tidak bisa dipungkiri ada sebagian dari saudara muslim menolak mengamalkan doa-doa dan dzikir yang derajatnya dhaif, bahkan menyeru untuk meninggalkannya

Tindakan demikian, tentu mengundang respon pihak lain dan mengundang polemik di tengah umat. Sehingga perlu dicari duduk permasalahannya dalam masalah ini, yakni apa hukumnya menggunakan dzikir dan doa dari hadits-hadits yang derajatnya dhaif, tentunya dari para ulama mu’tabar.

Pendapat Imam Al Baihaqi

Sebenarnya, jauh-jauh para ulama sudah membahas persoalan ini. Adalah Al Hafidz Al Mujtahid Al Imam Al Baihaqi telah menyampaikan Imam Al Baihaqi setelah menjelaskan tingkatan derajat hadits yang disepakati kedhaifannya oleh para ulama ahlul hadits, yakni dimana perawinya tidak termasuk yang dituduh sebagai pemalsu hadits, akan tetapi dikenal buruk hafalannya dan banyak kesalahan dalam periwayatannya, atau majhul yang tidak diketahui adalahnya serta syarat-syarat diterimannya khabar darinya, ia berkata,”Maka hadits dalam kategori ini tidak dipakai dalam hukum-hukum sebagimana kesaksiannya ditolak oleh pemerintah. Namun terkadang dipakai (haditsnya-pent) yang mengenai doa-doa, motifasi, ancaman, tafsir dan riwayat peperangan yang tidak berhubungan dengan hukum-hukum.”  (Lihat, Dalail An Nubuwwah, 1/32-37)

Pendapat Imam An Nawawi

Demikian juga Imam An Nawawi, setelah menyampaikan hadits Umamah Al Bahili, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam setelah meletakkan jenazah Ummu Kultsum dalam kubur, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengucapkan, yang artinya, ”Darinya Kami menciptakan kalian. Dan kepadanya Kami mengembalikan kalian. Dan darinya Kami mengeluarkan kalian kembali.”

Kemudian Imam An Nawawi berkata,”Telah meriwayatkannya Ahmad dari Ubaidullah bin Zahr dari Ali bin Zaid bi Jad`an dari Al Qasim, dan ketiganya merupakan para perawi dhaif. Akan tetapi hadits-hadits fadhail tidak ditinggalkan, meskipun isnadnya dhaif. Dan hadits ini adalah salah satunya. (Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/293,294)

Bisa diambil kesimpulan bahwa dzikir yang diucapkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saat meletakkan jenazah Ummu Kultsum meski datang dengan sanad dhaif, namun tidak ditinggalkan, karena ia merupakan bagian  fadhail a`mal.

Pendapat Ibnu Rajab Al Hanbali

Al Hafidz Ibnu Rajab pengikut madzhab Imam Ahmad pun memiliki pendapat selaras. Setelah menyampaikan hadits dari Anas Radhiyallahu An’hu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam jika memasuki bulan Rajab berkata, yang artinya,” Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.”

Al Hafidz memberi komentشr terhadap hadits ini,”Diriwayatkan dari Abu Isma’il Al Anshari bahwasannya ia berkata,’Tidak shahih keutamaan Rajab, kecuali hadits ini.’ Perkataannya perlu dikaji, karena isnad ini terdapat perawi dhaif.”

Kemudian Al Hafidz Ibnu Rajab berkata,”Dalam hadits ini dalil mengenai (istihbab) kesunnahan doa agar disampaikan pada waktu-waktu yang memiliki keutamaan, agar bisa melakukan amalan-amalan shalih di dalamnya…” (Lathai’if Al Ma’arif, hal. 239)

Al Hafidz Ibnu Rajab meski telah menegaskan bahwa sanadnya dhaif, namun menyatakan terang-terangan bahwa hadits itu bisa dijadikan dalil mengenai doa-doa agar disampaikan kepada waktu-waktu yang memiliki keutamaan. Sehingga jika seorang berdoa dengan hadits tersebut tidak bermasalah meski dhaif, tidak masalah, ia mengandung permintaan untuk disampikan pada waktu-waktu yang mengandung keutamaan.

Pernyataan di atas adalah perkataan para ulama mu’tabar mengenai bolehnya pengamalan doa-doa dari hadits.

Doa Bagian dari Fadhail A’mal yang Boleh Gunakan Hadits Dhaif

Dan perlu diketahui bahwasannya doa adalah bagian dari fadhai’il al a’mal sebagaimana dipaparkan Imam An Nawawi sebelumnya, yang mana para ulama menyatahkan bolehnya menggunakan hadits dalam hal ini, meski dhaif.

Adalah Syeikh Abu Muhammad Al Maqdisi telah berkata,”Tidak mengapa dengan hal itu (yakni shalat tasbih), sesungguhnya dalam fadhail tidak disyaratkan shahihnya khabar.” (Al Ihtiyarat Al Ilmiyyah li Ibni Taimiyyah, hal. 100)

Demikian juga yang disampaikan Ibnu Qudamah, salah satu ulama besar dalam madzhab Hanbali,”Amalan-amalan nafilah dan fadhai’il tidak disyaratkan padanya keshahihan hadits.” (Al Mughni, 1/1044).

Imam An Nawawi menyatakan,”Dan telah bersepakat para ulama bahwa mengenai bolehnya beramal dengan hadits dhaif dalam fadha’il al a’mal.” (Al Arba’un An Nawawiyah, hal. 3)

Beberapa ulama yang menegaskan apa yang disampaikan Imam An Nawawi ini adalah Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki.  (lihat, Fathu Al Mubin, hal. 32)

Ijma’ bolehnya penggunaan hadits dhaif dalam fadha’il juga ikut ditegaskan oleh Al Allamah Ali Al Qari Al Hanafi, ”Hadits dhaif digunakan untuk fadhail a’mal sesuai kesepakatan.” (lihat, Al Maudhu’at,hal.73).

Demikian juga diikuti pendapat ini diikuti  oleh Imam Imam Al Laknawi Al Hanafi. (lihat, Ajwibah Al Fadhilah, hal. 37)

Sedangkan untuk ulama hadits mu’ashirin  Syeikh Abdullah bin Shiddiq Al Ghumari berkata,”Para huffadz hadits sepakat mengenai bolehnya menggunakan hadits dhaif dalam fadha’il a’mal. (lihat, Al Qaul Al Muqni’, hal.2,3).

Adapun pendapat yang menyatakan bahwasannya Imam Al Bukhari, Yahya bin Ma’in, Muslim dan Ibnu Al Arabi menolak hadits dhaif secara mutlak adalah pendapat yang lemah setelah ditahqiq (silahkan baca Jangan Remehkan Hadits Dhaif).

Dengan demikian, doa dan dzikir menggunakan hadits dhaif adalah perkara yang dibolehkan menurut para ulama mu’tabar. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

 

HIDAYATULAH

Menyikapi Hadits Dhaif dan Maudhu’ Ihya Ulumiddin Secara Proporsional

TIDAK bisa dipungkiri bahwa beberapa ulama mengkritik kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al Ghazali, salah satunya adalah kritik seputar hadits-hadits yang termaktub dalam kitab masyhur tersebut. Diantara para pengkritik adalah adalah Al Hafidz Ibnu Al Jauzi yang menyatakan dalam kitab Al Ihya’ penuh dengan hadits-hadits maudhu’. (lihat, Talbis Iblis, hal. 160)

Selain Ibnu Al Jauzi, ada Abu Walid Ath Thurthusi menyatakan bahwa Imam Al Ghazali memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits maudhu’at. Hal yang hampir sama dikatakan oleh Al Maziri (Lihat, Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 6/241, 243).

Jika menurut dua ulama di atas, bisa disimpulkan bahwa kitab Al Ihya dipenuhi dengan hadits-hadits maudhu’.

Takhrij As Subki

Namun selain para ulama di atas, ada pula para ulama yang melakukan kajian mendalam terhadap hadits-hadits Al Ihya, seperti At Taj As Subki. As Subki mengumpulkan ada lebih dari 900 hadits yang ia belum menemukan sanadnya (lihat, Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra 6/287-389)

Jumlah hadits yang terdapat dalam Al Ihya cukup banyak, yakni 4848 hadits berdasarkan Tartib Ahadits Al Ihya, karya Syeikh Mahmud Said Mamduh. Jika demikian hadits yang belum ditemukan isnadnya oleh Imam At Taj As Subki hanya seperlima dari jumlah keseluruhan hadits di Al Ihya. Dan hadits-hadits yang belum ditemukan isnadnya oleh As Subki tidak otomatis bahwa hadits-hadits itu tidak bersanad, hanya saja As Subki belum menemukannya. Hal ini menunjukkan bahwa takhrij yang dilakukan As Subki belumlah final, karena takhrij setelahnya menunjuukan bahwa hadits-hadits itu memiliki sanad.

Takhrij Al Iraqi

Selain As Subki Ulama yang juga telah melakukan kajuan khusus terhadap hadits-hadits Al Ihya’ adalah Al Hafidz Al Iraqi. Dalam muqadimahnya takhrijnya, Al Iraqi menyatakan bahwa ia sengaja mengakhirkan penyelesaian kitab takhrijnya tahun 751 H, dikarenakan banyak hadits-hadits yang belum ia temukanan sanadnya. Namun setelah itu ia banyak menemukan isnad bagi hadits-hadits yang sebelumnya belum ia temukan isnadnya. Maka pada tahun 760 H ia pun menyelesaikannya. (lihat, muqaddimah Mughfi An Haml Al Asfar fi Takhrij Ma fi Al Ihya Min Al Akhbar, 1/3)

Mengenai takhrij Al Iraqi, Syeikh Abdul Qadir Al Aidrus Ba’alwi ketika menjawab kritikan mengenai adanya hadits maudhu dan dhaif dalam Al Ihya menyatakan,”Walhasil, jawaban untuk hal itu baik dari Imam Al Ghazali maupun salah satu pengagumnya Al Hafidz Al Iraqi, bahwa sebagain besar yang disebutkan Al Ghazali bukan hadits maudhu’, hal itu terbukti dari takhrijnya. Dan ia bukan sebagian besar, dan sangat sedikit.” (Ta’rif Al Ahya’ fi Fadhail Al Ihya’ disertakan dalam jilid awal Ihya Ulumiddin, 1/365)

Takhrij Az Zabidi

Kemudian datanglah Al Hafidz Al Murtadha Az Zabidi yang mensyarah Ihya’ Ulumiddin dengan nama Ithaf As Sadah Al Muttaqin fi Syarh Ihya Ulumiddin. Al Murtadha Az Zabidi dalam mensyarh Al Ihya’ juga melakukan melakukan takhrij hadits-haditsnya dan ia pun mengomentari takhrij yang telah dilakukan Al Hafidz Al Iraqi.

Az Zabidi berkata,”Sesungguhnya (Hadits-hadits) yang telah disebutkan oleh penulis (Al Ghazali), derajatnya seputar muttafaq alaihi, juga termasuk  yang shahih dan hasan serta pembagian dari keduanya dan di dalamnya terdapat dhaif, syadz, munkar, serta maudhu dengan jumlah yang sedikit, sebagaimana engkau akan menemuinya insyaallah.” (Ithaf As Sadah Al Muttaqin, 20/1)

Mengenai takhrij Az Zabidi ini, Dr. Usamah Sayyid Al Azhari, seorang ulama hadits Al Azhar menyampaikan,”Dan ia tidak meninggalkan satu hadits pun dalam Al Ihya’, kecuali ia jabarkan takhrijnya, dia adalah dia, ia adalah ayat Allah yang agung dalam masalah ilal, thuruq, dan pengetahuan mengenai sumber hadits dan ia seorang penghafal dalam sanad-sanad. Sampai Syeikh Al Islam Al Hafidz At Taj As Subki membuat pembahasan khusus dalam thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra sebuah pasal yang menyatakan,’Ini adalah pasal mengenai hadits-hadits Al Ihya’ yang aku belum menemukan sanadnya.’ Maka Anda mendapati bahwa Al Imam Al Murtadha Az Zabidi telah menemukan hadits-hadits itu memiliki sanad dan memiliki asal dan ia menghukuminya dan menunjukkan takhrijnya.” (Al Hadits wa Al Muhadditsun fi Al Azhar Asy Syarif, hal. 37)

Jika demikian, perkataan yang diambil mengenai status hadits-hadits dalam Al Ihya, adalah para ulama yang telah melakukan kajian takhrij secara khusus terhadap hadits-hadits Al Ihya, yakni As Subki, Al Iraqi dan Al Murtadah Az Zabidi, dan hasilnya Al Iraqi dan Al Murtadha Az Zabidi membuktikan bahwa hadits maudhu’ dalam Al Ihya sangatlah sedikit.

Hadits Dhaif dalam Al Ihya

Adapun mengenai hadits dhaif dalam Al Ihya, Al Murtadha Az Zabidi berkata,”Adapun mengenai hadits-hadits yang tidak shahih, maka tidak boleh diingkari dalam penyebutannya, dikeranakan hal itu dibolehkan dalam masalah tarhib wa targhib (ancaman dan motivasi).” (Ithaf As Sadah Al Muttaqin, 20/1)

Demikian juga jawaban yang disampaikan oleh Syeikh Abdul Qadir Al Aidrus Ba’alwi,”Adapun yang dikritik terhadapnya, bahwasannya Imam Al Ghazali menyebut banyak hadits dhaif, maka kritikan itu gugur karena telah ditetapkan bahwa dhaif dipakai dalam fadhail dan kitabnya berkenaan dengan raqa`iq (masalah adab dan akhlak) yang merupakan bagian dari fadhail.” (Ta’rif Al Ahya fi Fadhail Al Ihya’, 1/ 363)

Walhasil, sangat tidak proporsional mencacati kitab yang dipuji oleh banyak ulama ini dan menyeru manusia untuk meninggalkannya karena terdapat hadits maudhu di dalamnya. Hal itu tidak bisa diterima kerena jumlah hadits maudhu’ sangat sedikit, dan itu telah diperingatkan oleh para ulama pentakhrij hadits Al Ihya’.

Hadits Maudhu’ di Luar Al Ihya`

Sebenarnya tidak hanya kitab Al Ihya yang mengandung hadits-hadits maudhu’, bahkan kitab para huffadz juga terdapat hadits maudhu’, diantaranya adalah kitab-kitab Ibnu Al Jauzi sendiri, semisal Dzam Al Hawa dan Tablis Iblis. Dimana dalam hal ini Al Hafidz As Sakhawi berkata,”Dan banyak dilakukan oleh Ibnu Al Jauzi dalam karya-karyanya yang bersifat nasihat dan sejenisnya dengan menyebutkan hadits-hadits maudhu’ dan sejenisnya.” (Syarh Al Alfiyah, hal. 107)

Demikian pula yang terjadi kepada Al Hafidz Adz Dzahabi dalam kitabnya Al Kabair yang juga menyebut hadits-hadits maudhu’, sebagaimana disebutkan Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam komentarnya terhadap Al Ajwibah Al Fadhilah. (Al Ajwibah Al Fadhalah, hal. 119, 120)

Bahkan dalam kitab-kitab Ibnu Qayyim Al Jauziyah sendiri terdapat hadits-hadits dhaif dan munkar seperti yang terdapat dalam Madarij As Salikin dan Zad Al Ma’ad, sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam komentarnya terhadap Al Ajwibah Al Fadhulilah (Al Ajwibah Al Fadhilah, hal. 130-132)

Tentu, sangat tidak bijak jika harus meninggalkan kitab-kitab para ulama tersebut, dikarenakan terdapat hadits dhaif dan madhu’, lebih-lebih jika para ulama sudah menyampaikan perihal hadits-hadits maudhu dalam kitab-kitab tersebut. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam

 

HIDAYATULLAH