Menyelami Sakaratul Maut

Oleh Hafidz Muftisany

Siapakah yang ingin mengetahui besarnya penderitaan saat sakaratul maut. Pedihnya tidak dapat dikethui dengan sebenarnya kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Dan kita, pada saatnya nanti akan merasakan kepedihan itu.

Maka saksikanlah bagaimana penuturan sang Hujjatul Islam, Imam Ghazali bagaimana kala ajal menjelang dalam Ihya Ulumuddin. Sang Imam menyebut sakaratul maut hanya akan dialami oleh makhluk yang memiliki ruh.

Ruh lah yang sejatinya merasakan kepedihan sakaratul maut. Jika badan seseorang terimpa luka maka bekas kepedihan fisik itu akan menjalar sampai ke ruh. Jika ia terbakar, maka rasa sakit yang dialami badan akan terasa jua oleh ruh.

Saat kepedihan pencabut nyawa menyerang ruh, rasanya akan menenggelamkan semuanya. Ruh lah yang ditarik dari badan. Dicerabut dari tiap urat badan, ditarik perlahan dari urat syaraf, dari sendi-sendi, dari pokok setiap rambut dan kulit dari ujung kepala hingga tapak kaki. Tergambar betapa menyakitkannya.

Manusia pada hari itu benar-benar kepayahan. Seorang penyair pernah berkata tentang sakaratul maut. “Sungguh kematian itu lebih sakit daripada pukulan dengan pedang, gergajian dengan gergaji dan guntingan dengan gunting.”

Sang Imam melanjutkan, akal manusia pada saat itu benar-benar kacau balau. Lisan telah dibisukan, tak sanggup berkata apa-apa tanpa pertolongan Allah SWT. Semua anggota badan telah dilemahkan. Tak ada upaya dan usaha kecuali hanya dari Allah SWT. Persis seperti zikir yang kita sebut setiap saat.

Jika saja ia mampu berteriak, maka ia akan berteriak karena rasa sakitnya. Namun ia tidak sanggup. Jika tersisa kekuatan pada seseorang yang dicabut nyawanya, tentu ia akan mengerahkan semua kekuatan untuk menahan rasa sakit.

Kepedihan itu semakin dalam menuju dua biji mata, naik terus ke pelupuknya. Kedua bibir sudah mengkerut. Anak jemarinya berubah menjadi kehijau-hijauan. Jika satu urat saja ditarik, sakitnya pun akan luar biasa. Apalagi ruh diangkat dari setiap inchi urat tanpa kecuali.

Lalu setiap anggota badan dari seluruh anggota badan mati secara bertahap. Dinginlah kedua tapak kakinya, lalu ke betisnya kemudian menjalar ke pahanya. Dari setiap badan ada anggota yang sekarat tahap demi tahap hingga mencapai kerongkongannya.

Jika sudah seperti ini maka terputuslah pandangannya pada dunia dan ditutup baginya pintu tobat. Rasulullah SAW bersabda, “Diterima tobat seorang hamba selama belum sekarat.” (HR Tirmidzi).

Maka lihatlah kesaksian Ummul Mukminin Aisyah RA yang menemani Rasulullah SAW hingga saat-saat terakhirnya. Beliau berkata, “Tidaklah aku iri hari kepada seseorang yang Allah memudahkan atas kematiannya sesudah yang aku lihat dari kesulitan wafatnya Rasulullah SAW..”

Benarlah jika kematian yang tiba-tiba itu sejatinya sebuah kenikmatan. Rasulullah SAW bersabda, “Kematian secara tiba-tiba adalah kesenangan bagi orang Mukmin dan penyesalan atas orang yang berbuat maksiat. ” (HR Ahmad)

Tidak ada yang lebih baik dibandingkan menyambut kepedihan sakaratul maut dengan terus tegap di atas iman. Kita tak pernah lagi tahu kapankah sakaratul maut itu akan bertamu. Kepedihan apa yang akan menghadap.

Seorang Mukmin sejati hakikatnya adalah mereka yang bahagia dengan perjumpaan dengan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menyukai perjumpaan dengan Allah, niscaya Allah menyukai perjumpaan dengannya, dan siapa saja yang tidak menyukai perjuampaan dengan Allah, niscaya Allah tidak menyukai perjumpaan dengannya.” (HR Bukhari Muslim)

Tiap kita pun pantas terus berdoa, agar detik-detik sakaratul maut kita akan berakhir dengan khusnul khatimah. Sebuah cara yang paling indah untuk memulai perjuampaan dengan Zat yang menciptakan kita dari tanah lalu memberikan amanah besar untuk mengurus dunia ini.

 

 

sumber: Republika Online

Kilau (Harta) yang Menipu

Oleh Hafidz Muftisany

Hati siapa yang tidak tertarik dengan godaan harta. Terlebih seseorang seharusnya mendapatkan bagian harta tertentu setelah ia berjuang keras. Berjuang hingga risiko antara hidup dan mati hanya dipisahkan benang tipis.

Ketertarikan atas harta yang lantas tak sesuai dengan harapan tentu memunculkan gundah. Keresehan itu pula yang dialami oleh kaum Anshar saat Perang Hunain nan berat itu sudah usai. Kaum Muslimin mendapat kemenangan yang besar.

Seperti laiknya perang-perang lain, kaum Muslimin pun berhak mendapat harta rampasan perang (ghanimah). Namun alangkah kecewanya kaum yang menerima Nabi SAW saat ia diusir dari kaummnya itu. Nabi SAW justru memberikan bagian harta ghanimah kepada orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam semisal Abu Sufyan, ‘Uyainah, Al Aqra’ dan Suhail bin ‘Amar.

Maka jiwa-jiwa manusia biasa kaum Anshar menyeruak protes. Kenapa orang yang dulunya memusuhi Nabi SAW dan baru masuk Islam mendapat bagian? sementara mereka yang menolong Nabi SAW dan kaum muhajirin, pulang dengan tangan hampa.

Rasulullah seperti yang diriwayatkan Imam Ahmad, lantas menemui dan menjawab kegundahan sahabat-sahabatnya dari Anshar itu. “Tidakkah kamu ridha, hai orang-orang Anshar,” ujar Nabi SAW dalam kalimatnya yang bersejarah, “manusia pergi dengan kambing dan unta mereka, sedangkan kamu pulang ke kampung halamanmu membawa Rasulullah? Demi yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentulah aku termasuk salah seorang dari Anshar.”

Kita paham bagaimana akhir dari kisah ini. Siapakah yang lebih beruntung bisa membawa serta Rasulullah SAW bersama mereka dibandingkan sampah dunia bernama harta. Sesenggukan wajah-wajah Anshar itu terdengar saling bersahutan. Air mata penyesalan mereka basah mengaliri hingga janggut-janggut mereka.

Begitulah kita sejatinya diajarkan untuk bersikap terhadap harta. Memiliki keinginan untuk menguasai harta adalah sesuatu yang wajar. Namun pada hakikatnya, harta hanyalah sebuah sarana. Seperti hanya Rasulullah SAW memberikan harta kepada kaum Quraisy yang baru masuk Islam. Semua itu hanya sarana untuk mengikat hati mereka agar tetap bersama dakwah.

Sementara Rasulullah SAW paham, sejatinya kaum Anshar tak memerlukan itu semua. Bagi mereka yang mengutamakan kaum muhajirin di atas diri mereka sendiri, tentu harta bukanlah yang paling utama. Jika kaum Anshar menangis tersedu karena mereka “mendapat” Rasulullah SAW, kita justru tergugu jika harta kita berkurang.

Otak kita seakan disetting hanya untuk mencari uang dan materi. Bukan dengan niat jihad mencari nafkah, namun demi memenuhi buas nafsu diri. Terkadang waktu yang kita miliki tak cukup 24 jam guna mencari pundi-pundi rupiah. Demi sebuah tas bermerk agar tak lagi dijauhi dalam kumpulan arisan-arisan masa kini.

Kehidupan kini hanya berjalan dari satu transaksi ke transaksi berikutnya. Dari satu lembur ke lembur yang sama keesokannya. Muara semuanya itu hanya kelelahan raga dan jiwa yang tak pernah tenang. Terlalu keras mengais emas terkadang turut melenakan kita pada hal-hal kecil yang sejatinya butuh perhatian.

Mengejar tender milyaran bagi kita masih terlalu penting dibanding mengajari anak-anak kita belajar huruf hijaiyah agar mereka dapat membaca kitab sucinya. Kita lupa membantu mengejakan hukum-hukum tajwid agar kelak saat kita mati, si anak dengan lancar memimpin barisan shalat jenazah.

Padahal bisa jadi bekal yang sangat ia perlukan bukanlah properti tak bergerak senilai puluhan miliar. Yang mereka butuhkan sejatinya adalah apa yang kaum Anshar butuhkan. Kehadiran sosok Rasulullah SAW. Mereka jauh lebih beruntung membawa pulang Nabi Muhammad SAW ke kota mereka. Lantas menyerap saripati hidup yang sebenarnya.

Semoga kita ini seperti orang-orang Anshar yang mendapat keistimewaan untuk “membawa pulang” Rasulullah SAW bersama mereka. Karena mereka sadar, meski ketertarikan pada kilau harta sangatlah normal namun tak akan bisa menggantikan kilau cahaya hakiki dari Muhammad SAW

 

sumber: Republika Online