Kakek 75 Tahun Pergi Haji Berjalan Kaki 3 Bulan

KISAH seorang kakek asal Yaman yang berusia 75 tahun pergi haji dengan berjalan kaki selama tiga bulan, layak diambil pelajaran setiap musim penyelanggaraan haji.

Kecintaannya terhadap Allah Swt, Muhammad Ali al-Mirfa, mampu melasanakan ibadah hajinya tersebut.

Ia berjalan kaki dari rumahnya menuju Baitullah di al-Haram, Mekah, untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan spiritual itu ia tempuh hampir tiga bulan mulai dari rumahnya di Yaman pada hari ketiga Idul Fitri.

Ia menceritakan bahwa perjalanannya sangat melelahkan tapi tekadnya untuk bertamu ke Rumah Allah membuat rasa lelahnya tak berarti. “Aku sudah bertekad untuk menempuh perjalanan ini dan mengabaikan setiap kesulitan yang kutemui”, Katanya.

Sebelum berangkat, ia telah meminta izin (pamit) kepada istri, 12 anaknya, dan juga kerabat-kerabatnya. Perjalanan hidup-mati itu pun dimulai.

Kemiskinan bukanlah penghalang bagi kakek ini. Ia mengubah kemiskinan menjadi sebuah pemikiran positif. Biasanya orang-orang mengatakan, “Saya miskin tak akan mampu berangkat haji” tapi Muhammad Ali al-Mirfa berpandangan berbeda, “Saya miskin, tidaka ada sesuatu yang membuat saya khawatir untuk saya tinggalkan”.

Motivasi terkuat yang membantunya dalam perjalanan ini adalah tekad yang kuat dan cita-cita yang telah ia simpan bertahun-tahun namun belum berhasil diwujudkan. Berangkat menuju Tanah Suci Mekah.

Pada 29 September 2014, kakek tangguh ini pun tiba di tanah suci. Saat diwawancarai ia sedang makan roti dan menikmati secangkir teh yang disediakan petugas kebersihan. Ia berkata, “Ini sarapanku. Aku benar-benar bahagia bisa menginjakkan kaki di tempat suci ini”, katanya.

Saat itu, ia tidak berpikir bagaimana ia akan tinggal di Mina, Mekah, dan Arafah. Sampai ke tanah suci pun telah membuatnya bahagia. Padahal tubuhnya yang tua akan berhadapan dengan dinginnya udara malam di luar ruangan dan teriknya matahari di kala siang.

Ia juga tidak menceritakan bagaimana nanti ia bisa pulang. Rasa rindu tak tertahan telah menundanya untuk berpikir panjang. Yang hanya ia pikirkan adalah menghadapi satu per satu rintangan di hadapannya dan menyelesaikan itu semua.

Inilah jiwa yang telah diselimuti rasa cinta yang bergejolak. Cinta terkadang tidak membuat orang memikirkan “Nanti bagaimana?” Ia hanya mengajarkan menghadapi permasalahan yang ada di hadapannya satu per satu untuk diselesaikan. [saudigazette.com.sa]

INILAH MOZAIK

Kisah Pendamba Cinta Ilahi, Haji Berjalan Kaki 5700 Km

JAKARTA– Senad Hadzic, seorang Muslim Bosnia, adalah pejalan spiritual (salik) paling tangguh zaman ini. Ia berhasil membuktikan pada dunia akan besar dan kuatnya dorongan cinta Ilahi di dalam dirinya yang tertanam sejak kecil. Cinta Ilahi, cinta kepada Allah, telah melembutkan sekaligus menguatkan hatinya; hatinya yang lembut, melelehkan air mata di setiap doa-doa malamnya dan di setiap melihat penderitaan yang dialami orang lain.

Hatinya yang kuat, mendorong untuk mewujudkan tekad yang paling nekad sekaligus unik bagi manusia modern, yaitu naik haji dengan jalan kali sepanjang 5700 km. Di hadapan kekuatan cinta, segala yang terkesan mustahil menjadi nyata dan segala yang diasumsikan tidak masuk akal (irasional) menjadi sesuatu yang tak terbantahkan keberadaannya oleh akal. Dengan dorongan cinta, mitos menjadi realitas, impian jadi kenyataan.

Apa yang dilakukan Senad Hadzic cukup mencengangkan sekaligus menakjubkan di zaman yang cenderung memanjakan umat manusia ini dengan adanya sarana transportasi darat, laut dan udara. Ia berjalan kaki selama 8,5 bulan sejauh 5700 km, melewati 7 negara, yaitu Bosnia (negaranya sendiri), Serbia, Bulgaria, Turki, Suriah, Jordan, dan Arab Saudi. Ia berjalan dalam suhu ekstrim dingin 37 derajat celcius pada saat berjalan melintasi negara Bulgaria dan suhu ekstrim panas 50 derajat celcius pada saat melintasi Yordania, melintasi dua benua (Asia dan Eropa), dua gurun pasir dan tiga lautan.

Sang salik pendamba cinta Ilahi, memang tak mudah mengejar dan meraih apa yang diobsesikan oleh mimpi-mimpi suci yang mengusik dalam lelap tidurnya. Obsesi spiritual itu bermula berada di alam sadarnya, lalu memasuki ke alam bawah sadar, merambat dan merembes ke dalam dunia mimpinya. Mimpi naik haji dengan berjalan kaki. Mimpi itu baginya adalah panggilan cinta suci Ilahi yang harus ditunaikan tanpa boleh diundur sedikitpun.

Mimpi suci yang datang bertubi-tubi mengusik tidurnya itu ia diceritakan pada sang istri tercinta, bukan untuk mengeluh tetapi ingin meminta restu demi mewujudkannya. Sebab, istri dan keluarga tercintalah pihak yang akan menanggung derita ditinggalkan Senad sebagai suami sekaligus sebagai ayah bagi anak-anaknya. Mimpi itu jika direalisasikan akan menggalaukan pikiran, menegangkan urat saraf, mengencangkan detak jantung siapapun yang mendengarnya—apalagi bagi istri dan anak-anaknya.

Setelah tahu niat dan komitmen suami dan bapak bagi anak-anaknya begitu kuat, mereka akhirnya mengikhlaskan kepergiannya untuk naik haji dengan berjalan kaki. Yang menjadikan sang istri berat hati melepaskan suaminya, lantaran ia tahu persis sang suami tidak membawa perbekalan yang cukup. Yang dibawa hanya pakaian, al-Qur`an, Bibel, bendera 7 negara yang akan dilalui, peta dan tak ada uang.

Rupanya, cinta Senad kepada Tuhan mengalahkan cintanya kepada siapa pun dan apa pun. Bahkan ia juga tidak memperdulikan dirinya sendiri. Tangisan permohonan sang istri agar rencananya diurungkan tak melumerkan niatnya yang sudah membaja.

Cinta Ilahi itu sangat kuat menyihir dan menyeretnya sangat jauh. Ia pun sudah melupakan segalanya, yang diingat dan didambanya hanyalah Sang Kekasih Abadi, Allah. Dia tahu bahwa mendekatkan diri dengan beribadah dan meluapkan rasa cinta kepada Allah bisa diekspresikan di mana saja dan kapan saja.

Namun, ia juga tahu bahwa simbol terpuncak dari pendekatan diri kepada-Nya adalah melalui ibadah haji yang tidak bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Ibadah haji hanya dapat dilakukan di Baitul Haram (Rumah Suci) yang ada di Makkah.

Baitul Haram bak sumber cahaya yang sedang didekatinya dengan penuh pengorbanan, ketuluan hati, kesabaran, dan cinta. Senad seakan meyakini bahwa semakin dekat dengan sumber cahaya, maka ia akan mendapatkan intensitas cahaya yang maksimal. Cintanya kepada Allah akan diluapkan dengan mesra dan sensasional di tempat yang diridhai-Nya, yakni Baitul Haram.

Sepanjang perjalanan, Allah memudahkan segala urusannya dan memenuhi kebutuhannya. Ia berjalan dalam kesunyian, tak ada tempat mencurahkan keluh-kesah atas apa saja yang dialaminya selama dalam perjalanan. Hanya Allah satu-satunya tempat untuk memohon dan mengadu atas berbagai kendala, aral dan rintangan yang dihadapinya.

Doa adalah salah satu cara Senad mengkomunikasikan apa yang diinginkannya, menyingkirkan krikil-krikil kendala, dan memuluskan langkahnya. Doa-doanya ternyata selalu didengar, direspon, disambut dan dipenuhi oleh-Nya; saat butuh makan-minum dan tempat istirahat, ada saja orang baik hati yang mengajaknya mampir dengan menyuguhkan makan-minum dan menawarinya untuk beristirahat di rumahnya; saat berhadapan dengan fenomena alam yang kurang bersahabat seperti turun hujan, ia berdoa sejenak dan hujan pun tidak begitu lama berhenti; saat berjalan di Suriah, negara yang sedang didera perang saudara, ia sempat berhadapan dengan perampok yang ingin menjambret barang-barang yang dibawanya.

Tetapi dengan doa dan kemantapan hati, para perampok itu dengan sendirinya menjauh dan berlari dari Senad; bahkan doanya untuk orang-orang yang tertimpa kemalangan seperti sakit parah menahun yang dijumpainya di perjalanan pun didengar dan dikabulkan oleh-Nya. Setelah Senad mendoakan seraya menangis bercucuran air mata memohon kepada-Nya, tidak lama kemudian orang yang didoakan itu diberi kesembuhan.

Inilah bukti kebenaran ucapan Nabi, bahwa Salah satu doa yang dikabulkan oleh Allah adalah doa orang yang sedang dalam perjalanan (musafir)—selain orang sakit dan orang yang dizhalimi.

Beberapa negara dilalui Senad dengan mudah. Ia mendapatkan visa tanpa kesulitan berarti. Bahkan Bulgaria yang mayoritas penduduknya beragama Kristen dan Turki yang sekular pun mempermudah pengurusan visanya. Tetapi yang mengherankan, ia justru mendapatkan kendala dan ‘dipersulit’ pengurusan visa oleh pihak negara Arab Saudi yang mengklaim sebagai negara Islam. Selama hampir 3 bulan, Senad berada di perbatasan Arab Saudi, dan dengan sabar menantikan visa yang dijanjikan akan segera didapatkan. Ia hidup di dalam tenda yang dirakitnya sendiri di tengah-tengah padang pasir yang tandus.

Cobaan demi cobaan ia hadapi dengan kesabaran penuh; panas matahari yang membakar di siang hari, dinginnya angin malam yang menusuk pori-pori, terpaan debu dan pasir kotor yang terus menghujani, lapar dan haus yang tak tertahankan.

Dari hari ke hari tubuhnya semakin kurus dan matanya mencekung. Ia sempat berpikir, bahwa sikap pemerintah Arab Saudi terhadap dirinya tidak mencerminkan ajaran Islam yang benar seperti diajarkan al-Qur`an dan Nabi Muhammad Saw. Namun, Allah tidak pernah membiarkan hamba-hamba-Nya yang dikasihi terjerembab dalam kesia-siaan.

Dengan kuasa-Nya yang tak terbatas, pemerintah Arab Saudi akhirnya memberikan visa masuk kepada Senad. Ia pun khusyuk bersimpuh di Baitul Haram dan Makam Nabi. Ia sangat menikmati kebersamaan dengan Sang Kekasih, Allah Swt.[]

Judul Buku: Senad Hadzic Naik Haji Jalan Kaki 5700 Km dari Bosnia
Penulis: Mujahidin Nur
Penyunting: Syafawi Ahmad
Penerbit: Jakarta, Zahira
Ukuran: 17 x 22 cm
Tebal: 1-186 halaman
Cetakan: 1 September 2013
Harga: 65, 000
ISBN: 978-602-1258-36-1
Peresensi: Mukti Ali el-Qum, peneliti Rumah Kitab dan Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

sumber: NU.or.id