Hukum Berangkat Haji Secara Ilegal

Di Saudi Arabia, ada sebuah aturan agar seseorang diizinkan untuk berhaji. Aturan ini dikeluarkan oleh pemerintah. Seseorang yang akan berhaji harus punya syarat tashrih. Namun syarat ini hanya dikeluarkan lima tahun sekali. Artinya lima tahun sekali baru bisa berhaji. Selain menjadi keputusan pemerintah, syarat ini menjadi keputusan negara-negara Islam dalam naungan OKI[1].

Kadang aturan yang kami sebutkan di atas tidak diindahkan. Kami temui di kalangan mahasiswa bahkan yang kuliah di Jami’ah Islamiyah terkemuka melanggar aturan ini. Bukan hanya satu atau dua orang nekad untuk berangkat haji tanpa adanya tashrih ini, namun bisa ratusan orang. Akhirnya Makkah dan Masy’aril Harom jadi penuh sesak di antara sebabnya karena pelanggaran ini. Kalau kita menilai, sungguh yang mereka lakukan memang menyesahkan. Tujuannya memang baik yaitu ibadah. “Kita kan mau ibadah”, kata mereka. Tetapi di satu sisi itu melanggar aturan. Juga di sisi lain hanya menyesakkan tempat-tempat haji. Padahal ribuan orang ingin berhaji sampai harus mengantri bertahun-tahun, namun diresahkan dengan mereka-mereka yang secara ilegal datang ke tanah suci tanpa tasyrih.

Ada fatwa ulama Saudi Arabia yang kami temukan tentang masalah tasyrih ini. Fatwa pertama adalah dari Syaikh Dr. ‘Abdul Karim Al Khudair hafizhohullah. Beliau adalah salah satu pengajar di Fakultas Ushulud-din Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyah di Riyadh. Beliau pun menjadi anggota Hai’ah Kibaril ‘Ulama dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’.

Beliau hafizhohullah ditanya,

ما حكم من يَحُجُّونَ بدُونِ تصريح، وبعضُهُم يلبسُ المخيط بعد المِيقات حتَّى لا يُمنع؟

Apa hukum seseorang berangkat haji tanpa tashrih? Mereka yang berangkat haji tanpa tashrih ini sengaja menggunakan pakaian ihrom setelah miqot sehingga mereka pun tidak dicegat (oleh aparat).

أوَّلاً التَّصريح هذا التَّحديد بِخمس سنوات مَبْنِيّ على فتوى من أهلِ العِلم، ومُخالَفَتُهُ لا شكَّ أنَّها مُخالفة لولِيِّ الأمر الذِّي لُوحِظَ فيهِ المَصْلَحَة، ولُوحِظَ فيهِ أيضاً البِناء على قولِ أهلِ العلم، فلا ينبغي مُخالفة هذا الأمر؛ لكنْ إنْ رَأى الشَّخص أنْ يَحُجّ امتِثالاً لِما وَرَدَ من الأحاديث الكثيرة في التَّرغيبِ في الحج، ولمْ يَتَرَتَّب على ذلك لا كَذِب، ولا رِشْوَة ولا احتِيَال ولا ارْتِكابِ محظُور، فَيُرْجَى؛ أمَّا إذا أدَّى ذلك إلى الكذب أو رِشْوَة، أو تَحَايُل، أو ارْتِكاب مَحْظُور كما يُفْعَل الآن، بَعْضُهُم يَرْتَكِب مَحْظُور ويدخُل ويَتَجَاوز المِيقات بِثَِيَابِهِ، هذا كُلُّهُ لا يَجُوز، ولا يُسَوِّغ لهُ ذلك.

Pertama, tashrih ini adalah aturan yang ditetapkan setiap lima tahun sekali (artinya setiap lima tahun sekali izin tashrih ini keluar baru ia dibolehkan untuk berhaji, pen). Ini telah menjadi fatwa para ulama (saat ini). Dan tidak diragukan lagi, orang yang berangkat haji tanpa tashrih sangat jelas telah menyelisihi aturan penguasa yang ada. Apalagi penetapan adanya syarat tasyrih ini ada maslahat yang besar. Bahkan dalam hal ini dibangun di atas fatwa para ulama. Sehingga tidak pantas seorang pun menyelisihi syarat tasyrih ini.

Akan tetapi jika seseorang ingin menjalankan haji dalam rangka menjalankan perintah Allah karena melihat hadits-hadits yang banyak yang memotivasi hal ini, lalu ia tidak berbuat dusta (dengan menyelisihi aturan, pen), tidak menyogok, tidak mengelabui dan tidak melakukan yang terlarang, maka hendaklah ia melaksanakan haji. Namun jika ia malah melakukan haji dengan melakukan dusta,  mengelabui (petugas yang ada), atau melakukan pelanggaran seperti yang dilakukan sekarang, yaitu sebagian orang bersengaja melakukan larangan dengan memasuki miqot untuk berhaji tanpa mengenakan pakaian ihrom, ini tentunya tidak boleh. Sama sekali hal ini tidak dibolehkan.

Demikian fatwa Syaikh Al Khudair. (Silakan lihat di http://www.khudheir.com/text/875)

Setelah melakukan searching lagi, kami pun mendapat beberapa kalam ulama kibar lainnya tentang tidak bolehnya berhaji tanpa tashrih.

Al Mufti Al ‘Amm, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhohullah berkata, “Sesungguhnya penguasa tidaklah menetapkan syarat berangkat haji harus dengan tasyrih dengan sia-sia belaka. Keputusan seperti ini bisa ada karena sebagian orang mengadukan kepada penguasa bahwa terlalu sesaknya orang-orang saat haji. Oleh karena itu, mereka keluarkan syarat tashrih yaitu untuk memberikan kemudahan bagi orang-orang yang berhaji (agar tempat haji tidak penuh sesak).”

Syaikh ‘Abdullah bin Sulaiman Al Manii’ hafizhohullah, anggota Hay’ah Kibaril ‘Ulama berkata, “Barangsiapa berhaji tanpa tashrih, maka ia berhaji dengan maksiat dan dosa. Mengenai kadar dosanya adalah perhitungan di sisi Allah. Namun, orang yang berhaji dengan tashrih seperti ini, hajinya sah, akan tetapi ia bedosa. Jika Allah kehendaki, Allah akan menghukumnya. Jika tidak, Allah akan maafkan dia. Hal ini sama halnya dengan orang yang berhaji tanpa mahrom.”

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah, anggota Hay’ah Kibaril ‘Ulama menyatakan tentang berhaji tanpa tashrih, “Tidak boleh seseorang berhaji dengan menyelisi aturan (yaitu berangkat haji tanpa adanya tashrih, pen)”.

Syaikh Sulaiman Al Majid mengatakan, “Asalnya seseorang wajib memenuhi syarat tasyrih. Karena ini adalah bagian dari aturan yang wajib ditaati. Inilah aturan yang harus diperhatikan oleh orang yang berhaji. Aturan ini masuk dalam aturan siyasah yang dibenarkan.”

Syaikh Yusuf bin ‘Abdillah Asy Syubaili, Guru Besar Fiqh di Ma’had Al ‘Ali Lil Qodho’ berkata, “Barangsiapa yang tidak mampu mendapatkan syarat tasyrih untuk berhaji, maka afdholnya ia tidak berhaji dalam rangka mentaati penguasa dan memberikan kelonggaran (kemudahan) untuk berhaji bagi kaum muslimin lainnya. Cobalah ia gunakan hartanya yang ada untuk bersedekah, menolong orang-orang yang tidak berhaji supaya dapat berhaji. Jika ia melakukan demikian, ia akan mendapatkan pahala semisal itu pula (semisal pahala haji). Karena dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menolong orang yang berperang (berjihad), maka ia pun terhitung berjihad.”

(Kami sarikan penjelasan ulama-ulama di atas dari http://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=549)

Bentuk Kezholiman Orang yang Berhaji Tanpa Tashrih

Kita sudah tahu bahwasanya wajibnya haji itu hanya sekali. Namun begitulah, kenapa sebagian orang nekad-nekadan untuk tunaikann haji. Katanya sih, “Kok mau ibadah haji saja dilarang?”

Ya ikhwan … Aturan ini dibuat karena ada maslahat. Di antara maslahatnya adalah agar orang tidak terlalu banyak yang berhaji, masy’aril harom tidak sesak. Coba bayangkan jika setiap orang nekad-nekadan seperti Saudara, berhaji tanpa tashrih, atau diistilahkan lewat jalur Cowboy (“Ngoboy”, kata mereka). Bukankah ini menyesaki Masjidil Haram, tempat thawaf, tempat wuquf dan lainnya? Saudara sama saja mengambil hak orang lain. Masih banyak yang ingin berhaji, yaitu tunaikan  yang wajib, namun karena ada Saudara, akhirnya mereka pun susah. Bukankah demikian?

Sungguh, sikap yang baik, berilah kesempatan bagi mereka yang belum berhaji. Berilah kesempatan pada mereka jika Saudara tinggal jalankan haji yang sunnah. Cobalah miliki akhlaq sebagaimana kaum Muhajirin dan Anshar, di mana mereka saling mendahulukan saudaranya dalam kebutuhan padahal mereka sendiri butuh.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan” (QS. Al Hasyr : 9).

Kaum Anshor yang terlebih dahulu menempati kota Madinah, mereka mendahulukan saudara mereka dari kaum Muhajirin dalam segala keperluan, padahal mereka sendiri membutuhkannya.

Sungguh sangat menakjubkan, seorang sahabat Anshor yang memiliki dua istri ingin menceraikan salah satu istrinya. Kemudian setelah masa ‘iddahnya berakhir dia ingin menikahkannya dengan sahabatnya dari kaum muhajirin. Adakah bentuk itsar yang lebih daripada ini?!! (Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi)

Saudaraku … renungkan hal ini. Cobalah seperti kaum Muhajirin dan Anshor yang saling mendahulukan satu dan lainnya. Tidakkah kau ingin dapat keutamaan seperti mereka (Muhajirin dan Anshar)? Dahulukanlah saudaramu, di balik itu pasti ada balasan dari Allah dengan yang lebih baik.

Melanggar Aturan Penguasa Juga Berdosa

Saudaraku … Melanggar aturan penguasa juga sebenarnya keliru. Ini bukan sembarang aturan. Karena jika kita mentaati penguasa, sama saja kita mentaati Allah. Renungkanlah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4] : 59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Juga dalam sabda beliau,

مَنْ أَمَرَكُمْ مِنْهُمْ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ تُطِيعُوهُ

Jika ada yang memerintah kalian untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah mentaatinya.” (HR. Ahmad. Dikatakan oleh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini hasan)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)

Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata, “Tidak boleh mereka (satu pun makhluk) ditaati dalam kemungkaran. Yang dimaksud perbuatan ma’ruf (yang wajib ditaati) adalah perkataan yang dibolehkan oleh syari’at.” (‘Aunul Ma’bud, 7/208). Syarat tashrih adalah aturan makhluk yang tidak menyelisihi syariat, sehingga sudah sepatutnya ditaati.

Apalagi sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al Khudair, aturan tasyrih ada maslahat. Para ulama terangkan bahwa  selama aturan penguasa itu ada maslahat, maka wajib ditaati. Aturan penguasa yang tidak wajib ditaati adalah aturan yang menyelisihi syariat Allah. Dan sama sekali aturan tasyrih ini tidak menyelisihi aturan Allah sehingga sudah sepatutnya ditaati.

Demikian, tulisan ini kami rangkai sebagai nasehat untuk mahasiswa KSU (King Saud University). Agama adalah nasehat. Hanya Allah yang beri hidayah dan petunjuk. Kami hanya sekedar menyampaikan.

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى

Berilah peringatan, sesungguhnya peringatan (nasehat) itu bermanfaat.” (QS. Al A’la: 9)

Written on 4th Dzulhijjah 1431 H (10/11/2010), KSU, Riyadh, KSA

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/2584-hukum-berangkat-haji-secara-ilegal250.html

Berangkat Melalui Jalur Ilegal, 116 WNI Calon Haji Ditangkap Pihak Keamanan Arab Saudi

Sebanyak 116 warga negara Indonesia dipulangkan bertahap ke Tanah Air, setelah mencoba berangkat haji melalui jalur illegal.

Dilansir Banjarmasinpost.co.id, Konsul Jenderal RI di Jeddah Arab Saudi, Mohammad Henry mengatakan 116 WNI yang berhaji secara illegal itu, ditangkap otoritas keamanan Arab Saudi di hotel yang ada di kawasan Misfalah, Mekkah, Jumat (27/7/2018).

“Beberapa sedang menunggu penerbangan, 32 sudah dideportasi dan 72 akan dipulangkan besok. Lainnya berangsur hingga Sabtu besok supaya sudah selesai semua,” kata Henry di ruang Media Center Haji di Mekkah, Kamis (2/8/2018).

Sebagian besar WNI itu tergolong muda karena tahun kelahiran 1970-an dan 1980-an.

Adapun asal WNI tersebut, menurut Mohammad Henry, terbanyak dari Lombok, Madura, Banjar, dan Jawa Barat.

116 WNI yang ditangkap keamanan Arab Saudi itu berupaya berhaji secara ilegal dengan memanfaatkan visa nonhaji, yaitu visa kerja, visa umrah, visa ziarah, visa bisnis, dan visa kunjungan keluarga.

Padahal untuk melakukan ibadah haji dibutuhkan visa khusus yakni visa haji.

Kementerian Agama mengusut kemungkinan adanya keterlibatan travel umrah resmi dalam pemberangkatan 116 WNI tersebut.

“Jika terbukti ada WNI yang menggunakan visa umrah dan dia overstay, maka kita lacak hal tersebut kesalahan PPIU atau jemaah,” ujar Nizar Ali di Kantor Daerah Kerja (Daker) baru Makkah di kawasan Syisyah, Makkah.

“Kalau kesalahan PPIU akan kita cabut izin operasionalnya,” sambung Nizar didampingi Kabiro Humas Data dan Informasi Mastuki.

WNI yang berhaji melalui jalur illegal bukan pertama kali, sebelumnya pada 3 Oktober 2016 lalu, sebanyak 106 anggota jemaah haji asal Indonesia terdiri atas 27 pria dan 79 wanita juga tertangkap di Filipina, dilansir TribunWow.com dari Kompas.com (6/10/2016).

Mereka melakukan memalsukan identitas dengan paspor Filipina, karena terbatasnya kuota haji di Indonesia.

Retno Marsudi, selaku Menteri Luar Negeri Indonesia mengungkapkan proses pemulangan WNI yang berada di Filipina selesai pada 10 Oktober 2016 lalu. (TribunWow.com/ Roifah Dzatu Azmah)

TRIBUN NEWS

 

Berhaji tidak Sah Jika Ilegal

Ibadah haji seharusnya dilakukan sesuai dengan syarat dan ketentuan syariah yang berlaku. Seperti, memenuhi syarat istitha’ah atau kemampuan. Mulai dari mampu secara fisik, mental hingga finansial.

Sekretaris Komisi Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Asrorun Ni’am menyampaikan syarat-syarat wajib tersebut harus terpenuhi. Jika memang belum masuk daftar pemerintah dan belum ada jalan yang absah ke Saudi berarti belum berkewajiban. “Kalau melakukan ikhtiar dengan jalan tidak benar itu melanggar aturan, tidak dibenarkan secara syar’i dan kenegaraan,” katanya pada Republika.co.id, Kamis (2/8).

Pembimbing ibadah haji dan umrah dari Wahana Travel, Syafiuddin Fadlillah mengatakan calon jamaah haji yang tidak memenuhi syarat tersebut, maka kewajiban berhajinya telah gugur. Ia menegaskan hal tersebut adalah hal pertama yang harus diperhatikan.

“Jangan sampai gara-gara ingin mencapai keinginan haji akhirnya syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW tidak dijalankan,” kata dia.

Syarat kemampuan ini bukan tanpa tujuan. Saat seseorang memaksakan diri berhaji padahal tidak mampu, maka ia hanya akan mendzalimi diri sendiri dan orang lain. Termasuk jamaah yang berhaji tapi ilegal.

Sebelumnya, Sebanyak 116 warga negara Indonesia (WNI) digerebek petugas keamanan Arab Saudi di sebuah penampungan pada Jumat (27/7). Di antara mereka ada yang mengaku berangkat ke Arab Saudi sebelum bulan Ramadhan dengan visa umrah.

Kemudian juga ada yang mengaku datang ke Arab Saudi saat bulan Ramadhan. Menurut kabar, mereka juga akan melaksanakan ibadah haji meski tidak memiliki visa haji.

Ustaz Syaff mengatakan sarana prasarana Arafah dan Mina saat ini di Arab Saudi terbatas. Sehingga pemerintah perlu pembatasan jamaah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Maka dari itu, izin berupa visa sangat penting untuk memantau jumlah jamaah yang ikut serta dalam pelaksanaan haji. “Jika semua diizinkan, 10 juta orang, 20 juta orang berkumpul di sana maka yang akan terjadi adalah kemudharatan,” kata pria yang akrab disapa Ustaz Syaff.

 

Syarat kemampuan juga berlaku bagi penyelenggara perjalanan haji. Jangan sampai demi uang maka kepercayaan jamaah dikorbankan. Jamaah ditipu bahwa mereka seperti mendapatkan izin ke Saudi padahal menggunakan visa selain haji.

Selain itu, Menurut Ustaz Syaff, fatwa Arab Saudi pun telah memperjelas hukum haji ilegal tersebut. Ulama-ulama seluruh dunia juga sepakat bahwa tidak sah haji seseorang yang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan.

Pemerintah Saudi berulang kali kampanye pentingnya izin haji sebagai aturan syarat sah. Hal itu demi menghindari kecelakaan yang tidak diinginkan. Kepadatan berlebih hanya akan membawa keburukan dan bencana. “Maka benar, haji tidak sah jika mengabaikan ketentuan-ketentuan yang sudah dibuat,” katanya.

REPUBLKA

116 WNI Terjaring Razia Haji Ilegal di Makkah

Sebanyak 116 warga negara Indonesia (WNI) terjaring razia pihak keamanan Arab Saudi di sebuah penampungan yang terletak di kawasan Misfalah, Makkah. Ratusan WNI ini diketahui akan melaksanakan ibadah haji secara ilegal.

Keterangan pers dari Konsulat Jenderal RI (KJRI) Jeddah yang dikirim ke Jakarta, Rabu (1/8) dinihari menyebutkan, hasil pemeriksaan berita acara (BAP) oleh Tim Petugas KJRI Jeddah di Tarhil (Pusat Detensi Imigrasi) menyebutkan 116 WNI yang terjaring ini sebagian besar memegang visa kerja, sisanya masuk ke Arab Saudi dengan visa umrah dan visa ziarah.

Disebutkan staf informasi dan kebudayaan KJRI Jeddah, Fauzy Chusny, penggerebekan tersebut berlangsung pada Jumat (27/7) tengah malam. Sebagian besar para WNI yang terjaring razia ini berdomisili di Makkah, sebagian lagi berasal dari luar Mekkah namun menyeberang melalui perbatasan masuk ke Kota Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Menurut Koordinator Pelayanan dan Perlindungan Warga (KPW), Safaat Ghofur, para WNI yang digerebek tersebut sebagian besar berasal dari Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Saat dilakukan BAP, mereka mengaku berniat ingin melaksanakan ibadah haji.

Kepada pihak penampung, menurut Safaat, mereka membayar sewa kamar dengan biaya bervariasi, dari 150 hingga 400 riyal per kepala. Mereka menyewa beberapa syuggah (rumah) dalam satu imarah (gedung) melalui orang Bangladesh yang berlaku sebagai calo, di mana rumah-rumah tersebut dihuni 10 sampai 23 orang, bercampur antara laki-laki dan perempuan.

Salah seorang yang ditangkap mengaku berangkat dengan visa umrah dan masuk ke Arab Saudi sebelum bulan Ramadhan dan ada juga yang datang pada saat Ramadhan. WNI tersebut mengaku juga berniat melaksanakan haji dan usai haji, akan langsung pulang ke Indonesia melalui Tarhil.

Sayangnya, sebelum mewujudkan niatnya, ia terlanjur terjaring razia, padahal jamaah tersebut telah membayar ke travel Rp 50 juta hingga Rp 60 juta. Sesampainya di Makkah mereka juga harus membayar uang tambahan sebesar 500 riyal untuk menebus paspor ke pemandunya.

“Setelah di Makkah, mereka bebas mau ke mana saja dan tidak ada urusan lagi dengan travel,” tutur Tolabul Amal, Staf KJRI yang bertugas di Tarhil.

Tolab juga menyayangkan karena mereka mengaku tidak ingat nama biro tavel yang memberangkatkan. Namun demikian, KJRI menyayangkan, jamaah yang memiliki dokumen resmi juga ikut diamankan petugas karena tinggal dengan WNI lainnya yang ilegal.

Cerita lainnya menyebut, adanya seorang yang berangkat dengan visa kunjungan pribadi (ziarah syakhshiah) yang visanya diurus oleh anaknya dengan membayar hingga Rp90 juta, karena berharap visanya bisa diperpanjang hingga bulan haji.

Sebagian dari pengguna visa ziarah ini enggan dimintai keterangan oleh Tim Petugas dari KJRI saat melakukan BAP. Mereka berdalih telah melakukan perpanjangan visa dan ada pihak yang sedang berupaya membebaskan mereka.

Dua tahun lalu KJRI mengurus sedikitnya 52 orang yang tertahan kepulangannya hingga 50 hari, karena berhaji dengan visa bisnis, kunjungan dan jenis visa lainnya. “Dari mereka ada juga dari kalangan media. Mereka harus membayar 15 ribu riyal per orang, baru bisa pulang,” ujar Konsul Jenderal (Konjen) RI Jeddah, Mohamad Hery Saripudin.

Karena itu, Konjen Hery mengimbau masyarakat agar menunaikan ibadah haji sesuai prosedur yang telah diatur Pemerintah Arab Saudi. “Tidak baik juga beribadah tapi dengan melanggar hukum negara setempat,” kata Konjen.

 

REPUBLIKA

‘Praktik Haji Melalui Filipina Sudah Bertahun-tahun’

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG — Kadiv Humas Kepolisian Republik Indonesia Irjen Pol Boy Rafli Amar menyatakan, praktik pemberangkatan jamaah calon haji Indonesia melalui Filipina sudah lama terjadi beberapa tahun.

“Memang hal ini sudah berjalan, namun berdasarkan informasi yang kami himpun jumlahnya belum sebanyak (sekarang) ini,” kata Boy Rafli Amar di Padang, Senin (29/8).

Menurut dia saat ini tim yang diturunkan tengah mengumpulkan barang bukti baik yang ada di Manila maupun i Indonesia. Saat ini sudah ada 20 orang yang diperiksa terkait perkara ini. “Kemungkinan dalam dua hari ini akan diketahui siapa tersangka yang terlibat dalam pemberangkatan ini,” sebut dia.

Selain itu, pihak Filipina juga meminta waktu kepada kepolisian Indonesia untuk melakukan penyidikan terhadap pengadaan paspor palsu negara mereka. “Jadi saat ini kita juga memberikan mereka waktu untuk mengungkap hal tersebut, yang penting saat ini kita berupaya memulangkan 177 WNI dengan cara deportasi ke Indonesia, ” kata dia.

Menurut dia saat ini calon jamaah haji tersebut ditempatkan di KBRI Indonesia di Manila. Mengenai pemulangan mereka perlu dikoordinasikan dengan Kementerian Luar Negeri Filipina. “Hingga saat ini kami belum mengetahui kapan pemulangan 177 orang tersebut, namun kami tetap berusaha untuk memulangkan mereka,” kata Irjen Polisi Boy.

Selain itu, pihaknya masih melakukan penyidikan termasuk warga negara asing yang menjadi perantara untuk pemberangkatan tersebut. “Kami juga melakukan penyidikan apakah 177 calon jamaah ini sebagai korban penipuan atau ikut serta dalam perbuatan melawan hukum,” kata dia.

Paspor Palsu Filipina, Taruhan Nyawa, dan Perjalanan Berbahaya Jamaah Haji

Pada Kamis, 4 Agustus 12.08 WIB,  sebuah pesan pendek mampir ke telepon selular. Isinya mengejutkan, unik, dan sekaligus ajaib. Sebuah penawaran berangkat haji dengan harga selangit.

Isi pesan pendek (SMS,red) itu sebagai berikut: “Ass. Paket Haji Plus, daftar langsung berangkat tahun ini, tempat terbatas hrg US$ 13.500, Info hub: HP/WA 0812 xxxx xxxx.”

Bagi banyak orang yang suka memperhatikan isu soal haji, pesan pendek ini terlalu biasa. Apalagi pada saat yang sama juga ke luar ‘desas-desus’ baru bila ada peluang memakai jatah kursi haji milik negara Timor Leste. Harganya separuh dari tawaran tersebut, yakni sekitar 6.500 – 7000 dolar Amerika Serikat.

Dan tanpa diduga dipertengahan Agustus ini muncul berita menghebohkan. Sebanyak 177 calon haji dari Indonesia ditahan oyoritas imigrasi negara jiran Philipina. Dan setelah diusut, mereka ternyata memakai paspor dan visa haji asal negara itu. Maka publik pun geger. Apalagi para calon haji itu kini harus mendekam dalam rumah tahanan imigrasi di Filipina.

Maka kementerian luar negeri pun dibuat sibuk. Pekerjaan mereka bertambah yang tadinya hanya mengurus soal sandera WNI oleh kelompok Abu Sayaf, kini ditambah beban soal WNI yang terbelit visa dan paspor haji di Filipina.

“Saya tekankan kembali bahwa 177 jamaah haji WNI ini adalah korban, sekali lagi mereka adalah korban,” lanjut Menlu Retno Marsudi. Ia pun berjanji berusaha keras memulangkan mereka secepatnya ke Indonesia.

Minat berhaji orang Indonesia memang luar biasa. Antrean sudah begitu panjang. Jumlah yang mengantre sudah mencapai 2,5 juta orang. Tahun antrean pun dibanyak wilayah sudah mencapai 20 tahun.

Akibat panjangnya antrean berhaji, maka berbagai cara ditempun agar bisa menunaikan ibadah rukun Islam yang kelima ini. Bukan rahasia bila banyak jamaah hajiberangkat dari negara tetangga, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan yang terakhir ‘tercium’ dari Filipina. Pendek kata, berbagai cara ditempuh asal bisa berhaji, tak peduli berangkat dari negara mana.

Mengacu pada kajian Martin van Bruinessen ‘Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji’ semenjak dahulu minta pergi haji orang asal Nusantara (Indonesia,red) tetap tinggi. Bahkan, di antara seluruh jemaah haji, orang Nusantara selama satu setengah abad  terakhir merupakan proporsi yang sangat menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan  awal abad ke-20, jumlah mereka berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh  haji asing, walaupun mereka datang dari wilayah yang  lebih jauh daripada yang lain. Malah pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh hajiberasal dari Indonesia.

Orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetap di  Makkah pada zaman itu juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Di antara semua bangsa yang berada diMakkah, orang ‘Jawah’ (Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar.

Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua diMakkah, setelah bahasa Arab.

Kita tidak mempunyai data statistik mengenai jamaah haji Indonesia abad-abad  sebelumnya. Sebelum munculnya kapal api jumlah mereka pasti lebih sedikit, karena perjalanan dengan kapal layar cukup berbahayadan makan waktu lama sekali. Namun bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat penting. Ada kesan bahwa orang Indonesia lebih mementingkan haji daripada banyak bangsa lain, dan bahwa penghargaan masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi. Keadaan ini mungkin dapat dikaitkan dengan budaya tradisional Asia Tenggara.

 

Martin selanjutnya menulis, perjalanan panjang dan berbahaya sebelum ada kapal api, perjalanan haji tentu saja ha rus dilakukan dengan perahu  layar, yang sangat tergantung kepada musim. Dan biasanya para haji  menumpang pada kapal dagang, berarti mereka terpaksa sering pindah kapal.

Perjalanan membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di Nusantara ke Aceh,
pelabuhan terakhir di Indonesia (oleh karena itu dijuluki ‘serambi Makkah’), di mana mereka menunggu kapal ke India. Di India mereka kemudian mencari  kapal yang bisa membawa mereka ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke  Jeddah.

Perjalanan ini bisa makan waktu setengah tahun sekali jalan, bahkan lebih. (Perjalanan Sultan Haji dari Banten, yang sudah pulang satu setengah  tahun setelah berangkat, terhitung cepat). Dan para haji berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Tidak jarang perahu yang mer eka tumpangi karam  dan penumpangnya tenggelam atauterdampar di pantai tak dikenal. Ada haji yang semua harta bendanya dirampok bajak laut atau, malah, awak perahu
sendiri.

Para musafir haji yang sudah sampai ke tanah Arab pun belum aman juga, karena  di sana suku-suku Badui sering merampok rombongan yang menuju Makkah. Tidak jarang juga wabah penyakit melanda jemaah haji, di perjalanan maupun di tanah Arab.

Naik haji, pada zaman itu, memang bukan pekerjaan ringan. Tidak  banyak orang Nusantara yang pernah menulis catatan  perjalanannya, namun  dalam ceritera legendaris mengenai ulama-ulama besar petualangan mereka  dalam perjalanan ke Makkah sering diberikan tempat menonjol.

Penuturan yang sangat jelas mengenai kesulitan dan bahaya perjalanan dengan kapal layar ke Makkah ditinggalkan oleh pelopor sastra Melayu modern, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah naik haji p ada tahun 1854, tidak
ama sebelum kapal layar digantikan oleh kapal api.

Mendekati Tanjung Gamri di Seylon (Sri Lanka) kapalnya diserang angin kencang: Allah, Allah, Allah! Tiadalah dapat hendak dikhabarkan bagaimana kesusahannya dan bagaimana besar gelombangnya, melainkan Allah yang amat mengetahuinya. Rasanya hendak masuk ke dalam perut ibu kembali; gelombang dari kiri lepas ke kanan dan yang  dari kanan lepas ke kiri.

Maka segala barang-barang dan peti-peti dan tikar bantal berpelantingan. Maka sampailah ke dalam kurung air bersemburan, habislah basah kuyup. Maka masing-masing dengan halnya, tiadalah lain lagi dalam fikiran melainkan mati. Maka hilang-hilanglah kapal sebesar itu dihempaskan gelombang. Maka rasanya gelombang itu terlebih tinggi daripada pucuk tiang kapal. Maka sembahyang sampai duduk berpegang.

Maka jikalau dalam kurung itu tiadalah boleh dikhabarkan bunyi muntah dan kencing, melainkan segala kelasi selalu memegang bomba. Maka air pun selalu masuk juga ke dalam kapal. (…)

Maka pada ketika itu hendak menangis pun tiadalah berair mata, melainkan masing-masing keringlah bibir. Maka berbagailah berteriak akan nama Allah dan rasul kerana Kepulauan Gamri itu, kata mualimnya, sudah termasyhur ditakuti
orang:

“Kamu sekalian pintalah doa kepada Allah, kerana tiap-tiap tahun di sinilah beberapa kapal yang hilang, tiadalah mendapat namanya lagi, tiada hidup
bagi seorang, ah, ah, ah!’…..

Dari kajian Marin, pada masa itu, Belanda juga mencatat bahwa banyak orang yang telah berangkat ke Makkah tidak kembali lagi. Antara tahun 1853 dan1858, jemaah haji yang pulang dari Makkah ke Hindia Belanda tidak sampai separuh dari jumlah orang yang telah berangkat naik haji.

 

sumber: Republika Online

Agar Terhindar Jadi Haji Ilegal, Ini Tips Muna Tour

Masyarakat diminta jeli guna menghindarkan diri dari keberangkatan haji ilegal. Jeli yang dimaksud adalah mampu memastikan keberangkatan haji tersebut sudah sesuai dengan apa yang ditetapkan pemerintah Saudi dan Kementerian Agama Republik Indonesia.

Direktur Utama Muna Tour H. Sugeng Wuryanto menjelaskan, keberangkatan haji ini harus memenuhi aspek legalitas dan akomodasi. Tidak hanya masalah hotel saja. Melainkan juga program haji seutuhnya. “Dengan program jelas yang diketahui, kemudian tahu berangkat haji dengan kuota apa?” papar Sugeng kepada Republika.co.id, Kamis (25/8).

Menurutnya, Pemerintah Saudi tak hanya mengeluarkan visa kuota haji tetapi juga visa lain. “Ini harus dipastikan. Jangan sampai visa yang dipakai visa ummal (visa kerja) atau visa ziarah (visa kunjungan),” ungkap dia menerangkan.

Menurut Sugeng, visa ummal dan ziarah bukan untuk ibadah haji. Visa ummal misalnya, memang bisa untuk masuk ke Saudi tapi tidak bisa memasuki Kota Suci Makkah dan Madinah. ”Begitu juga dengan visa ziarah, Anda bisa ke Saudi tetapi tidak bisa masuk ke Kota Suci Makkah dan Madinah,” jelasnya.

Karena itu, lanjutnya, calon jamaah haji harus memastikan apakah yang tertera dalam paspornya adalah visa haji atau bukan. “visa yang diakui Kementerian Haji Saudi untuk para calon jamaah haji yang memasuki Makkah dan Madinah adalah visa haji,” ungkapnya.

Sugeng berharap para penyelenggara haji dan umrah dapat bertanggungjawab dengan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait visa apa yang bisa digunakan untuk keberangkatan haji. “Kalau kasus Filipina jelas ilegal karena mengubah paspor atau dokumen,” ungkap Sugeng menambahkan.

 

 

sumber: Republika Online