Tips Agar Menjadi Haji Mabrur

 Berikut tips agar menjadi haji mabrur. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh umat Muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Haji yang diterima atau disebut sebagai haji mabrur adalah haji yang dilakukan dengan ikhlas, sesuai tuntunan Rasulullah SAW, dan mendapatkan ridha Allah SWT.

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

Artinya: (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu109) mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.

Tips Agar Menjadi Haji Mabrur

Dalam upaya untuk mendapatkan haji mabrur, ulama telah memberikan petunjuk dan pedoman yang lengkap. Berikut adalah beberapa tips agar mendapatkan dan menjadi haji mabrur menurut ulama.

  1. Memperbarui Niat dan Meningkatkan Iman

Niat yang tulus dan iman yang kuat merupakan fondasi utama untuk mendapatkan haji mabrur. Seorang Muslim harus memiliki niat yang murni dan benar-benar ikhlas dalam menjalankan ibadah haji.

Dalam kitab “Fathul Majid” karya Syaikh Abdul Rahman bin Hasan Al-Alshaikh, dijelaskan pentingnya niat yang tulus dan kuat dalam melakukan segala ibadah, termasuk haji.

“إن النية المخلصة هي أساس العبادة، فعلى المسلم أن يكون له نية طاهرة وصادقة في أداء مناسك الحج، وهذا ما يشرحه الشيخ عبد الرحمن بن حسن الألشيخ في كتابه “فتح الماجد”.

Artinya: Niat yang tulus adalah dasar ibadah, sehingga seorang Muslim harus memiliki niat yang murni dan tulus dalam melakukan manasik haji, dan inilah yang dijelaskan oleh Sheikh Abd al-Rahman bin Hassan al-Sheikh dalam bukunya “Fath al-Majid. ”

2. Memperdalam Pengetahuan tentang Rukun dan Sunnah Haji

Sebelum melaksanakan haji, penting untuk memperdalam pengetahuan tentang rukun dan sunnah haji. Kitab “Bidayatul Mujtahid” karya Ibnu Rusyd memberikan penjelasan mendalam tentang tata cara haji berdasarkan dalil-dalil syar’i.

Dengan memahami rukun dan sunnah haji, seorang Muslim dapat menjalankan ibadah haji dengan benar dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.

3. Memperbaiki Akhlak dan Meningkatkan Ketaqwaan

Selain melaksanakan rukun-rukun haji secara fisik, penting juga untuk memperbaiki akhlak dan meningkatkan ketaqwaan. Kitab “Riyadhus Shalihin” karya Imam Nawawi memberikan panduan mengenai akhlak yang harus ditingkatkan dalam menjalankan ibadah haji. Dengan memiliki akhlak yang baik dan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, seorang Muslim dapat meraih haji mabrur.

4. Berbuat Baik kepada Sesama

Dalam menjalankan ibadah haji, seorang Muslim juga harus berbuat baik kepada sesama manusia. Bantuan kepada orang lain, berbagi rezeki, dan menahan diri dari sikap buruk adalah beberapa bentuk kebaikan yang harus diperhatikan.

Dalam kitab “Al-Adab al-Mufrad” karya Imam Bukhari, terdapat hadis-hadis yang menunjukkan pentingnya berbuat baik kepada sesama dalam mendapatkan haji mabrur.

5. Menghindari Dosa dan Perbuatan Haram

Untuk mendapatkan haji mabrur, seorang Muslim harus menjauhi dosa dan perbuatan haram. Mengikuti tuntunan syariat Islam, menjaga lidah dari ghibah (mencela), memelihara pandangan dari hal-hal yang terlarang, dan menjauhi perbuatan maksiat adalah beberapa langkah penting dalam mencapai haji mabrur.

Kitab “Mukhtasar Minhajul Qashidin” karya Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisi menjelaskan mengenai pentingnya menjaga diri dari dosa dalam pelaksanaan ibadah.

Dalam rangka mendapatkan haji mabrur, sangat penting bagi seorang Muslim untuk memperbarui niat, memperdalam pengetahuan tentang haji, memperbaiki akhlak, berbuat baik kepada sesama, serta menghindari dosa dan perbuatan haram.

Pedoman-pedoman ini didasarkan pada kitab-kitab klasik seperti “Fathul Majid” karya Syaikh Abdul Rahman bin Hasan Al-Alshaikh, “Bidayatul Mujtahid” karya Ibnu Rusyd, “Riyadhus Shalihin” karya Imam Nawawi, “Al-Adab al-Mufrad” karya Imam Bukhari, dan “Mukhtasar Minhajul Qashidin” karya Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisi.

Dengan mengikuti petunjuk ulama dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara konsisten, diharapkan setiap Muslim dapat meraih haji mabrur yang diiringi ridha Allah SWT. Semoga kita semua diberikan kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji dengan sempurna dan mendapatkan haji mabrur.

Demikian penjelasan terkait tips agar menjadi haji mabrur. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Apa yang Dimaksud Haji Mabrur?

Haji mabrur menurut  bahasa,  berarti haji yang baik  atau  yang  diterima oleh Allah  SWT.  Menurut istilah, haji mabrur adalah haji yang      mendorong pelakunya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Sedangkan menurut  syar’iy, haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan sesuai dengan   petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Dengan memperhatikan berbagai syarat, rukun, wajib  dan  adabnya, serta menghindari hal-hal yang dilarang dengan penuh konsentrasi  dan  penghayatan  semata-mata atas dorongan iman dan mengharap ridha Allah SWT.

Sumber: Tuntunan Manasik Haji dan Umrah 2020 Kemenag 

IHRAM

Makna Haji Mabrur

Muslim yang melaksanakan rukun Islam kelima mengharapkan satu hal, yaitu haji mabrur. Predikat ini diberikan Allah kepada hambanya yang dinilai melaksanakan haji dengan baik.

Ulama berbeda pendapat memaknai haji mabrur. Sebagian berpendapat haji mabrur adalah amalan yang diterima di sisi Allah. 

Sebagiannya lagi berpendapat, yaitu haji yang hasilnya tampak pada pelakunya dengan indikasi keadaannya setelah berhaji jauh lebih baik.

Salah seorang alim hadis, al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Baarii, syarah Bukhari-Muslim menjelaskan, “Haji mabrur adalah haji yang diterima Allah.”

Pendapat lain yang saling menguatkan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah Muslim, “Haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah, yang tidak ada kesombongan di dalamnya.”

Haji mabrur dilaksanakan secara sempurna dengan memenuhi semua syarat, wajib, dan rukunnya. Selama menjalankan haji, seorang Muslim tidak mengungkapkan kata kotor, tidak berbuat kerusakan, dan tidak bertengkar atau berdebat. Hal ini dijelaskan Allah dalam surah al-Baqarah ayat 197.

Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa melakukan ibadah haji karena Allah, kemudian tidak berkata kotor dan tidak melakukan perbuatan fasik, maka ia akan pulang tanpa dosa sebagaimana ketika ia dilahirkan ibunya.” (HR Muttafaq ‘alaih).

Pakar ilmu Alquran Prof Quraish Shihab dalam bukunya, Haji dan Umrah, menjelaskan, ada satu hadis Rasulullah tentang haji mabrur yang populer, yaitu, “Alhajjul mabrur laysa lahu jaza’ illaljannah.” Artinya, tak ada balasan untuk haji mabrur kecuali surga.

Quraish menjelaskan, kata mabrur berasal dari kata barra. Artinya benar, diterima, pemberian, keleluasaan dalam kebajikan.

Mantan pemimpin tertinggi al-Azhar, Kairo, Prof Abdul Halim Mahmud, menulis, haji merupakan ibadah yang di dalamnya terdapat simbol kerohanian yang mengantarkan Muslim untuk masuk ke dalam lingkungan ilahi. Syaratnya, harus dilakukan dalam bentuk dan cara yang benar.

Salah satu ritual dalam berhaji adalah mengenakan ihram. Jika sudah memakainya, jamaah haji tidak diperbolehkan merusak tanaman dan membunuh binatang yang ada di Tanah Suci. Selain itu, mereka juga tidak diperbolehkan bersetubuh dengan pasangannya.

Ihram adalah simbol ketaatan. Muslim yang sudah melaksanakan haji harus dapat memahami ketaatan kepada Allah harus selalu dilaksanakan. Menaati Allah tidak hanya ketika di Tanah Suci, tapi juga di Tanah Air. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi diri dari dosa yang merusak hati.

Ihram mengajarkan untuk melindungi kelestarian alam. Tumbuhan yang ada di sekitar kita akan menjadi makanan sehat. Bisa juga menjadi tempat untuk berlindung dari cuaca ekstrem.

Jamaah haji juga dapat menghayati tawaf. Mengitari Ka’bah jangan sebatas menjadi ritual di Tanah Suci. Simpanlah tawaf di dalam hati sehingga jiwa dapat selalu memutarinya setiap saat. Ketika menyadari jiwa selalu mengitari rumah Allah, seseorang akan terhindar dari dosa.

Sa ‘i antara Shafa dan Marwah adalah simbol konsistensi keimanan kepada Allah. Seorang Muslim harus senantiasa konsisten beriman kepada Allah meskipun dalam keadaan terjepit. 

Ibadah haji mengajarkan seseorang harus tetap optimistis dalam beriman, sebagaimana Hajar tetap konsisten beriman kepada Allah meski mengalami kesulitan di Makkah yang pada saat itu hanyalah padang pasir.

Masih banyak lagi simbol dalam haji yang menarik untuk didalami. Semuanya adalah renungan agar Muslim senantiasa menjaga kedekatannya kepada Allah. 

Oleh: Erdy Nasrul

IHRAM

Haji Mabrur

Istilah ‘mabrur’ secara harfiah dapat diterapkan pada berbagai jenis ibadah dalam agama Islam. Namun, istilah ini paling sering digunakan untuk ibadah haji.

Kata ‘mabrur’ secara etimologis berasal dari kata barra-yabirru-birrun yang artinya berbuat baik atau patuh. Dan, kata birrun yang merupakan mashdar (kata benda) dari kata itu artinya kebaikan. Jadi, kata ‘mabrur’ artinya orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Maka, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik.

Ada ayat dalam Alquran yang mengandung kata birrun dan tampaknya sangat relevan dengan makna dari haji mabrur, yaitu Surat Ali Imran ayat 92. Penggalan dari ayat ini berbunyi, ”Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan sebelum kamu mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai.”

Memberikan sesuatu yang kita cintai kepada orang lain merupakan perbuatan yang luar biasa berat. Andaikan kita memiliki sebuah barang yang sangat kita sukai, apalagi masih baru, pastilah kita merasa enggan memberikannya kepada orang lain. Barangkali, hanya sedikit orang yang mampu melakukannya.

Ayat ini sesungguhnya mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mempunyai komitmen sosial yang tinggi. Dan, mabrur yang dilekatkan pada haji itu berkaitan erat dengan komitmen sosial tersebut.

Seorang haji mabrur, dengan demikian, adalah seorang haji yang memiliki komitmen sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakatnya sepulangnya dari Tanah Suci. Jadi, predikat haji mabrur tidak diperoleh seorang haji ketika berada di Makkah dan Madinah, tapi justru ketika sudah kembali hidup di tengah masyarakat.

Berbagai ritual ibadah haji seperti ihram, thawaf, sai, lempar jumrah, tahallul, dan sebagainya, meskipun memperlihatkan sebuah perjalanan transendental menuju Allah, sesungguhnya sarat dengan makna komitmen sosial. Benar pula kalau dikatakan bahwa ibadah haji merupakan sebuah prosesi kepulangan kepada Allah dalam bingkai spiritual. Artinya, setelah itu, kita akan kembali kepada masyarakat dan mengejewantahkan kepulangan kepada Allah itu dalam kehidupan sosial kita.

Inilah tantangan yang dihadapi para haji tatkala selesai menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Keberhasilannya memperoleh gelar haji mabrur jelas sangat bergantung kepada sejauh mana komitmen sosialnya ketika berada kembali di tengah-tengah masyarakat.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga. Anda para calon haji, semoga mampu meraihnya. Amin.

IHRAM 

Mencari Haji Mabrur

Berbagai fasilitas dan kemudahan bagi jamaah Indonesia di Tanah Suci barangkali membuat kesan pelaksanaan ibadah haji adalah perkara mudah tahun ini. Selepas pelaksanaan wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, kemudian melontar Jamarat dan bertawaf ifadhah, nyatanya ritual itu masih mendorong batas terjauh ketahanan fisik jamaah.

Nurjanah seorang jamaah asal Kampung Duri, Jembatan Besi, Jakarta Barat, punya kisah soal itu. Bukan muda lagi, ia sudah berusia 65 tahun, Nurjanah bergerak dari maktabnya di Mina Jadid menuju pemondokan di Hotel Al Wehdah selepas tengah malam Senin (20/8) dan langsung berjalan menuju Jamarat. Jarak lokasi itu bisa mencapai tujuh kilometer.

Keesokan harinya, pada Rabu (22/8) malam hingga Kamis (23/8) fajar, ia melakukan mabit di pelataran Mina sehubungan letak maktab yang jauh dari Jamarat. Dari Jamarat, selepas melontar jumrah, ia dan Abdullah (70 tahun) sang suami langsung diajak rekan satu kampungnya ke Masjid al-Haram untuk melaksanakan tawaf ifadhah meski kondisi badan masih kelelahan.

“Katanya waktu itu biar mabrur hajinye,” kata Nurjannah dengan logat betawi kental saat saya temui di Masjid al-Haram, Jumat (24/8).

Apesnya, Nurjanah dan suaminya ditinggal rekan sekampungnya di Masjid al-Haram. Jadilah sejak Kamis siang itu hingga Jumat (24/8) pagi mereka telantar di Masjid al-Haram. Saat itu, ia belum sekalipun kemasukan makanan sejak dari hotel.

“Minum zamzam saja terus biar kuat,” kata dia.

Bagaimanapun, tubuh manusia tetap punya batasnya. Nurjanah sudah lunglai pagi itu. Jalannya harus dipapah, sesekali ia muntah. Sedangkan Abdullah yang dengan sayang ia panggil “engkong” seperti panggilan dari enam cucu mereka, juga sedikit linglung. “Dia mahbegitu orangnye. Suka ngilang kaga bilang-bilang,” kata Nurjanah.

Ia kebingungan mencari jalan pulang ke hotelnya dari Masjid al-Haram. Air mata menggenang di matanya mengharapkan bantuan. “Ya Allah, susah amat ya mau nyari hani mabrur,” kata dia.

Abdullah dan Nurjanah menuturkan, mereka berangkat haji dengan uang hasil menjual tanah di kampung halaman. Selain itu, delapan tahun mereka menabung untuk melunasi biaya naik haji dari hasil mengontrakkan rumah.

Pada Jumat pagi, mereka akhirnya mendapatkan bantuan kembali ke Hotel Al Wehdah, tempat mereka tinggal. Setibanya di hotel setelah diantarkan mobil dari Daker Makkah, keduanya nampak menangis penuh haru. Berulang kali, mereka berangkulan dengan rekan-rekan serombongan yang sudah dua hari kebingungan juga mencari mereka. Meski lewat jalan yang sedemikian berat, Nurjanah akhirnya memungkasi ibadah hajinya.

Masing-masing jamaah selain Nurjanah dan Abdullah pada puncak ibadah haji juga punya kesusahan masing-masing. Ada Uher (55), dari Rangkas Bitung, Banten yang juga harus menghabiskan malam di lantai pelataran kompleks Jamarat karena lokasi maktabnya jauh dari jamarat.

“Nggak apa-apa, memang ibadah haji harus susah begini biar ada ceritanya,” saat ditemui di Jamarat, Kamis (23/8).

Ia mengatakan, berangkat haji bersama istri dengan hasil panen padi di kampung halaman. Menabung tujuh tahun, akhirnya ia bisa menggenapi pelunasan ibadah haji dan berangkat tahun ini. Kesusahan di Tanah Suci, menurutnya sebanding dengan pahala yang mereka harapkan.

“Kalau masih boleh sama Allah, saya mau banget kembali lagi ke Tanah Suci,” kata dia.

Pada puncak ibadah haji, fisik masing-masing jamaah memang seperti didorong hingga batas-batas paling ujung kemampuan mereka. Jangan kata yang berusia lanjut, buat yang muda pun berjalan belasan kilometer bukan perkara mudah.

Itu masih ditingkahi lagi dengan nelangsa lainnya seperti pemondokan yang terbatas ruangnya, makanan yang tak ramah dengan lidah masing-masing, cuaca panas yang menyengat, serta kebingungan soal lokasi.

Namun pada akhirnya, seperti yang disampaikan Pak Uher, hal-hal itulah yang membuat ibadah haji jadi penuh makna dan penuh kisah. Bukan sekadar wisata keagamaan, tapi sebenar-benarnya pengabdian hamba-hamba pada Tuhan mereka. Ia adalah bukti tak terbantahkan soal bagaimana keimanan punya daya gerak yang luar biasa pada umat manusia.

REPUBLIKA

Jamaah Haji Diminta Perbanyak Sedekah Setibanya di Indonesia

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nizar Ali berpesan agar jamaah haji Indonesia semakin gemar bersedekah kepada warga sekitarnya sekembali ke Tanah Air. Hal ini dapat menjaga marwah kemabruran berhaji. “Agar kesalehan sosial itu juga ditunjukkan oleh mereka,” kata Nizar di Makkah, Senin (27/8).

Dia mengatakan salah satu indikator haji yang diterima amalnya oleh Allah (mabrur) adalah semakin memiliki rasa empati terhadap lingkungannya. Empati merupakan keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.

Dengan kata lain, Nizar mengatakan seorang haji mabrur itu bisa memberi manfaat bagi lingkungannya seperti memberi makan kepada orang lain yang membutuhkan. “Ini adalah simbol dari rasa empati sosial kepada orang yang membutuhkan dalam makna yang luas,” kata dia.

Menurut dia, seorang yang hajinya mabrur itu harus mampu menjaga status itu hingga akhir hayatnya. Dengan begitu, kedudukan haji mabrur tersebut tidak hanya berhenti saat didapatkan di Tanah Suci saja tapi terus abadi di dalam diri jamaah.

Lebih baik lagi, kata dia, dalam kesehariannya di Tanah Air jamaah haji Indonesia usai dari Tanah Suci semakin meningkat ibadahnya, baik ibadah mahdhah (murni) dan ibadah sosialnya. “Itulah kemabruran yang sudah melekat dalam dirinya karena itu menjadi sangat penting. Jadi indikatornya sejauh mana dia porsi intensitas ibadahnya meningkat atau tidak,” kata dia.

Mabrurnya haji seseorang, lanjut Nizar, juga bisa dilihat dari kedamaian hati yang didapatkan seseorang setelah menyelesaikan ibadah hajinya di Tanah Suci. Sang haji tidak lagi khawatir dengan persoalan materi tapi berada dalam ketenangan jiwa apapun keadaannya.

REPUBLIKA

Meraih Predikat Mabrur

Meraih predikat mabrur merupakan dambaan bagi setiap calon jamaah haji (calhaj). Hal ini tidak terlepas dari keutamaan haji mabrur sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW, Haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga. (HR Bukhari dan Muslim).

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, Yang dimaksud, `tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan, ia memang pantas untuk masuk surga. (Syarh Shahih Muslim).

Banyak pendapat yang dilontarkan para ulama terkait dengan pengertian haji mabrur, satu pendapat dengan pendapat lainnya saling berkaitan dan berdekatan.

Dari berbagai pendapat itu, disimpulkan oleh al-Qurthubi.  Haji mabrur adalah haji yang dipenuhi seluruh ketentuannya dan dijalankan dengan sesempurna mungkin oleh pelakunya (mukallaf) sebagaimana yang dituntut darinya. (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, juz, V, h. 112).

Meraih predikat haji mabrur tidak semudah kita mengucapkannya. Diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang cukup berat melibatkan materi, hati, pikiran, dan fisik prima yang membuat haji yang kita laksanakan menjadi mabrur. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh para calhaj agar bisa meraih predikat mabrur.

Pertama, menjaga niat dan tujuan kita berhaji adalah semata-mata karena Allah SWT.

Niat ini harus dijaga dan dipelihara, baik saat akan berhaji, sedang berhaji, maupun setelah pulang berhaji. Sebab, tidak jarang sepulang haji, niat yang tadinya ikhlas semata karena Allah berubah menjadi riya. Niat ikhlas semata karena Allah SWT ini dijelaskan dalam Alquran surah al-Baqarah (2) ayat 196, Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.

Kedua, laksanakan ibadah haji selaras dengan manasik yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Hal ini penting karena seikhlas apa pun kita berhaji kalau manasiknya menyelisihi manasik yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW maka hajinya tidak sah dan jauh dari kemabruran. Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, Ambillah dariku manasik-manasik kalian. (HR Muslim).

Ketiga, sebelum berangkat haji, hendaknya kita mempelajari dan mendalami hikmah yang terdapat dalam setiap prosesi haji. Hal ini dilakukan karena banyak ritus haji penuh dengan simbol yang tidak dapat kita pahami kecuali dengan mengambil hikmah yang terdapat di dalamnya.

Makin banyak kita memahami hikmah dari prosesi haji, akan makin khusyuk dalam menjalankan berbagai amalan haji. Ketiga hal ini mampu menjadikan haji kita mabrur karena dengan niat yang ikhlas dan manasiknya sesuai dengan yang disyariatkan, akan menjadikan hajinya diterima dan dengan hikmah akan menjadikan hajinya mabrur yang terlihat dari perubahan sikap diri positif sepulangnya dari haji.

Saat ini, para calon jamaah haji dari berbagai negeri sudah mulai bergerak dan berangkat ke Tanah Suci guna melaksanakan ibadah haji. Semoga mereka dikaruniai keikhlasan, diberi kemudahan dan kelancaran, serta dibimbing untuk memperoleh haji mabrur.Allahumaj’alhum hajjan mabruron.” Artinya, ya Allah, jadikan haji yang mereka lakukan menjadi haji yang mabrur. Amin. Wallahu’alam.

Oleh: Moch Hisyam

 

REPUBLIKA

 

TERBARU:

Aplikasi Cek Porsi Haji, kini dilengkapi Infomasi Akomodasi Haji di Tanah Suci!
Silakan Download dan instal bagi Calon Jamaah Haji yang belum menginstalnya di smartphone Android!  Klik di sini!

Apakah Haji Mabrur Itu?

Kosakata yang akrab di telinga kita saat menyebut haji adalah mabrur. Semoga menjadi haji mabrur, demikian doa yang kerap disampaikan kepada jamaah haji. Rasulullah dalam hadits mengatakan, haji mabrur tidak ada balasan, kecuali surga.

Lalu sebenarnya mabrur itu? Bagaimana mendapatkannya? Berikut penjelasan salah satu anggota Amirul Hajj sekaligus Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr. Asrorun Ni’am pada Media Center Haji, Rabu (30/8):

Dari sisi bahasa, al mabrur adalah isim maf’ul dari akar kata al birru. Al birru itu artinya kebaikan atau  kebajikan. Dengan demikian, al hajjul mabruru artinya haji yang diberikan kebaikan dan kebajikan.

Dari sisi istilah, haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah, kemudian berdampak pada kebaikan diri, serta bermanfaat bagi orang lain. Oleh karenanya, al hajjul mabrur sebagai impian dari orang yang melaksanakan jamaah haji itu melalui tahapan. Mabrur tidak datang tiba-tiba. Tetapi harus diusahakan, mulai dari sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan ibadah haji.

Terkait dengan persiapan, ketika kita ingin mencapai haji mabrur, tentu kita harus melakukan aktivitas yang mendukung pencapaian haji mabrur. Persiapan itu antara lain:

Pertama, memahami ajaran agama Islam dengan baik, termasuk juga manasik hajinya. Karena amalan ibadah yang tidak disertai dengan ilmu, maka ia dapat sia-sia.

Kedua, harus dipastikan rejekinya halal. Jangan sampai berangkat ibadah haji menggunakan uang hasil curian. Ini tidak diterima. Tidak boleh menggunakan uang curian untuk kepentingan ibadah.

Ketiga, meningkatkan amal ibadah. Kita harus menyiapkan diri dengan meningkatkan dan menyempurnakan amal ibadah.

Pada saat pelaksanaan ibadah haji, kita memastikan terlaksananya syarat, rukun, wajib haji. Sunnah-sunnah haji juga harus dipahami. Termasuk, hal yang terlarang, untuk dijauhi. Pelaksanaan amal perbuatan yang sah secara syar’i, belum tentu diterima. Sesuatu itu sah atau tidak, dapat diukur dengan ketentuan fiqh haji. Persoalan apakah diterima atau tidak, itu otoritas Allah SWT. Nah, haji mabrur terkait denggan keterterimaan ibadah kita oleh Allah.

Kemabruran dapat dilihat dari aktivitas seseorang setelah melaksanakan ibadah haji. Setidaknya indikator pertama, meningkatnya pelaksanaan ibadah secara personal. Yang semula ibadahnya bolong, tidak lagi. Yang biasanya menggunjing, tidak menggunjing. Hubungan kita kepada Allah menjadi lebih intim.

Kedua, meningkatnya kualitas hubungan sosial atau horizontal. Salah satu yang dilarang ibadah haji adalah rafats, fusuq, jidal. Haji mabrur, begitu setelah selesai menunaikan ibadah haji, ia memiliki kemampuan untuk menjauhi yang dilarang dalam haji. Sehingga, akan terwujud, kohesi sosial. Kemudian, hubungan sosial akan menjadi positif.

Ketiga, melahirkan empati terhadap orang lain. Memiliki solidaritas sosial. Ada hadis yang menjelaskan beberapa perkara berikut:

1. Afsyussalam, artinya sebarkan kedamaian. Setiap bertemu orang lain, berilah salam, maka niscaya akan menebarkan kedamaian. Tetapi yang lebih substantif adalah kehadiran kita menjadi faktor pendamai di tengah masyarakat. Fi ayyi ardhin tatho’ anta mas’uulun ‘an islaamiha (dimana bumi dipijak, engkau bertanggungjawab atas kedamaian diatasnya)

2. Ath’imuth-tha’aam, artinya berikanlah makan orang yang membutuhkan makan. Artinya, kita harus memiliki solidaritas sosial.

3. Washilul arham, artinya sambung tali kekerabatan. Terminologi sambung itu artinya pernah terputus. Kalau sudah akrab, itu bukan silaturahmi, melainkan merawat kekerabatan. Kata sambung kasih sayang itu kepada yang memutus persahabatan dengan kita. Tidak mahal, tetapi butuh kelegaan hati

4. Berikutnya adalah hubungan kita secara personal vertical kepada Allah. Washallu bil laili wannasu niyaam. Shalat malam disaat semua orang sedang terlelap tidur. Itu adalah cerminan dari hubungan yang sangat privat kita dengan Allah. Tidak ada riya, kita bermuhasabah, kita mengadu kepada Allah.

Jika itu semua bisa dilakukan, tadkhulul jannata bis saalam. Maka engkau akan terhantarkan masuk surga dengan damai.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa haji mabrur bukan sesuatu yang given, tetapi selalu diusahakan tanpa henti. Tidak hanya saat pelaksanaan ibadah haji, tetapi dari persiapan, saat, dan pasca-haji. Pelaksanaan ibadah akan sangat berpengaruh pada absah atau tidak absah haji. Kalau diterima atau tidaknya, itu urusan Allah.

 

REPUBLIKA

FOTO: Anggota Amirul Hajj KH Asrorun Niam (dok Kemenag)

Cara Memperoleh Gelar Haji Mabrur

ADA berbagai cara seseorang yang berhaji ingin mendapatkan gelar haji mabrur. Intinya adalah perilaku keseharian, baik ketika ia beribadah maupun saat bergaul dengan sesama.

Namun sebelum menjalankan perilaku tersebut, pertama, niat berhaji harus benar-benar bersih, yakni berhaji untuk menggapai keredhaan Tuhan. Bukan karena niat ria (ingin pujian), niat dagang, niat cari pengaruh dan jabatan (haji politik) maupun sombong.

Kedua, harta yang dipakai untuk beribadah haji adalah harta yang halal dan baik. Bukan hasil judi, menipu, suap, mencuri maupun merebut harta milik orang lain (misalnya mengambil harta warisan yang merupakan hak saudaranya). Kalau ada kewajiban zakat harta yang belum dikeluarkan, maka harus ditunaikan sebelum berangkat haji. Hal itu merupakan keharusan untuk mensucikan harta tersebut.

Ketiga, pergi haji dengan lahir dan batin yang bersih. Karena itu, sebelum berangkat haji, setiap calon jamaah haji dianjurkan bersilaturahmi dengan saudara, teman, kenalan dan kerabat untuk mohon maaf bila yang bersangkutan punya kesalahan. Dengan cara begitu, diharapkan dia berangkat haji dengan diri yang bersih dari segala salah dan dosa kepada sesama manusia.

Sedangkan dosa dan kesalahan kepada Tuhan dapat dihapuskan dengan cara memperbanyak istighfar, zikir dan beramal saleh. Seperti kata Nabi, amal-amal yang baik dapat menghapuskan dosa-dosa yang kecil. Yang tak kalah pentingnya adalah meningkatkan kualitas shalat.

Keempat, mengutamakan sikap sabar dan saling tolong. Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat berat, dan memerlukan pengorbanan jasmani maupun rohani. Berkumpul bersama sekitar dua juta orang yang berbeda-beda perangai dan kebiasaannya (terutama pada puncak ibadah haji di Arafah dan Mina) sudah pasti memerlukan kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa.

Kelima, tentu saja mabrur tidaknya ibadah haji seseorang sangat tergantung pada kesempurnaan pelaksanaan ibadah hajinya. Karena itulah dia harus mengerti betul ilmu (manasik) haji. Dia harus berupaya melaksanakan rukun, wajib maupun sunnat haji sebaik mungkin. Kalau ada hal yang meragukannya, sudah seharusnya dia bertanya kepada ahlinya.

 

MOZAIK

Mendapatkan Predikat Haji Mabrur

Ibadah haji mabrur selalu menjadi dambaan bagi setiap Muslim yang menunaikan ibadah haji. Hal tersebut bukan saja karena didorong oleh motivasi dari hadits Rasulullah SAW yang menyebut bahwa balasan haji mabrur adalah surga, tetapi juga karena sudah menjadi naluri manusia bahwa setiap individu itu ingin berubah menjadi yang lebih baik.

“Momentum haji adalah saat tepat seseorang untuk melakukan perubahan itu agar bisa mencapai predikat sebagai manusia yang saleh dan bertakwa,” ujar Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Saadi kepada Republika.co.id, Rabu (17/5).

Dia mengatakan, seseorang bisa mendapatkan predikat haji mabrur apabila memiliki beberapa kriteria.  Pertama, motivasi dan niat ibadah tersebut ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Kedua, proses pelaksanaannya sesuai dengan manasik yang telah dicontohkan Rasulullah SAW yakni syarat, rukun, wajib bahkan sunah ibadah tersebut terpenuhi dengan tertib.

Ketiga, biaya yang digunakan untuk ibadah haji, biaya perjalanan maupun biaya untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan diperoleh dengan cara yang halal. Keempat, dampak dari ibadah haji tersebut adalah positif bagi pelakunya, yaitu adanya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji.

Kelima, tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal. Rafats bukan sekadar hubungan seksual tapi termasuk bicara yang porno dan pandangan matanya juga harus dijaga. Fusuq adalah perbuatan fasik yang maksiat, misalnya, membicarakan kejelekan orang lain, memfitnah dan atau mengadu domba. Sementara, jidal artinya berkelahi atau berbantah-bantahan yang bisa menimbulkan permusuhan.

“Pokoknya selama di Tanah Suci, mereka bisa menahan hawa nafsu untuk tidak menimbulkan amarah orang sehingga dia harus banyak bersabar. Haji yang mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT dan lawannya adalah haji mardud (tertolak),” kata Zainut.

Banyak ulama menyatakan, bahwa ciri-ciri haji mabrur yang paling utama adalah berubahnya perilaku menjadi lebih baik setelah berhaji. Meningkat semangat ibadahnya, lebih mendalami ajaran agamanyya, meningkat hasil usaha dan prestasi kerjanya.

Selain itu, kata dia, dari segi keluarga juga semakin tumbuh rasa saling cinta, pengertian dan sayang diantara anggota keluarga. Dan lebih dari itu dengan masyarakat juga semakin tumbuh kepedulian sosialnya. “Jadi haji yang mabrur itu akan melahirkan kesalehan baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial,” ujarnya.

N Qommarria Rostanti

IHRAM