Apakah Haji Mabrur Itu?

Kosakata yang akrab di telinga kita saat menyebut haji adalah mabrur. Semoga menjadi haji mabrur, demikian doa yang kerap disampaikan kepada jamaah haji. Rasulullah dalam hadits mengatakan, haji mabrur tidak ada balasan, kecuali surga.

Lalu sebenarnya mabrur itu? Bagaimana mendapatkannya? Berikut penjelasan salah satu anggota Amirul Hajj sekaligus Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr. Asrorun Ni’am pada Media Center Haji, Rabu (30/8):

Dari sisi bahasa, al mabrur adalah isim maf’ul dari akar kata al birru. Al birru itu artinya kebaikan atau  kebajikan. Dengan demikian, al hajjul mabruru artinya haji yang diberikan kebaikan dan kebajikan.

Dari sisi istilah, haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah, kemudian berdampak pada kebaikan diri, serta bermanfaat bagi orang lain. Oleh karenanya, al hajjul mabrur sebagai impian dari orang yang melaksanakan jamaah haji itu melalui tahapan. Mabrur tidak datang tiba-tiba. Tetapi harus diusahakan, mulai dari sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan ibadah haji.

Terkait dengan persiapan, ketika kita ingin mencapai haji mabrur, tentu kita harus melakukan aktivitas yang mendukung pencapaian haji mabrur. Persiapan itu antara lain:

Pertama, memahami ajaran agama Islam dengan baik, termasuk juga manasik hajinya. Karena amalan ibadah yang tidak disertai dengan ilmu, maka ia dapat sia-sia.

Kedua, harus dipastikan rejekinya halal. Jangan sampai berangkat ibadah haji menggunakan uang hasil curian. Ini tidak diterima. Tidak boleh menggunakan uang curian untuk kepentingan ibadah.

Ketiga, meningkatkan amal ibadah. Kita harus menyiapkan diri dengan meningkatkan dan menyempurnakan amal ibadah.

Pada saat pelaksanaan ibadah haji, kita memastikan terlaksananya syarat, rukun, wajib haji. Sunnah-sunnah haji juga harus dipahami. Termasuk, hal yang terlarang, untuk dijauhi. Pelaksanaan amal perbuatan yang sah secara syar’i, belum tentu diterima. Sesuatu itu sah atau tidak, dapat diukur dengan ketentuan fiqh haji. Persoalan apakah diterima atau tidak, itu otoritas Allah SWT. Nah, haji mabrur terkait denggan keterterimaan ibadah kita oleh Allah.

Kemabruran dapat dilihat dari aktivitas seseorang setelah melaksanakan ibadah haji. Setidaknya indikator pertama, meningkatnya pelaksanaan ibadah secara personal. Yang semula ibadahnya bolong, tidak lagi. Yang biasanya menggunjing, tidak menggunjing. Hubungan kita kepada Allah menjadi lebih intim.

Kedua, meningkatnya kualitas hubungan sosial atau horizontal. Salah satu yang dilarang ibadah haji adalah rafats, fusuq, jidal. Haji mabrur, begitu setelah selesai menunaikan ibadah haji, ia memiliki kemampuan untuk menjauhi yang dilarang dalam haji. Sehingga, akan terwujud, kohesi sosial. Kemudian, hubungan sosial akan menjadi positif.

Ketiga, melahirkan empati terhadap orang lain. Memiliki solidaritas sosial. Ada hadis yang menjelaskan beberapa perkara berikut:

1. Afsyussalam, artinya sebarkan kedamaian. Setiap bertemu orang lain, berilah salam, maka niscaya akan menebarkan kedamaian. Tetapi yang lebih substantif adalah kehadiran kita menjadi faktor pendamai di tengah masyarakat. Fi ayyi ardhin tatho’ anta mas’uulun ‘an islaamiha (dimana bumi dipijak, engkau bertanggungjawab atas kedamaian diatasnya)

2. Ath’imuth-tha’aam, artinya berikanlah makan orang yang membutuhkan makan. Artinya, kita harus memiliki solidaritas sosial.

3. Washilul arham, artinya sambung tali kekerabatan. Terminologi sambung itu artinya pernah terputus. Kalau sudah akrab, itu bukan silaturahmi, melainkan merawat kekerabatan. Kata sambung kasih sayang itu kepada yang memutus persahabatan dengan kita. Tidak mahal, tetapi butuh kelegaan hati

4. Berikutnya adalah hubungan kita secara personal vertical kepada Allah. Washallu bil laili wannasu niyaam. Shalat malam disaat semua orang sedang terlelap tidur. Itu adalah cerminan dari hubungan yang sangat privat kita dengan Allah. Tidak ada riya, kita bermuhasabah, kita mengadu kepada Allah.

Jika itu semua bisa dilakukan, tadkhulul jannata bis saalam. Maka engkau akan terhantarkan masuk surga dengan damai.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa haji mabrur bukan sesuatu yang given, tetapi selalu diusahakan tanpa henti. Tidak hanya saat pelaksanaan ibadah haji, tetapi dari persiapan, saat, dan pasca-haji. Pelaksanaan ibadah akan sangat berpengaruh pada absah atau tidak absah haji. Kalau diterima atau tidaknya, itu urusan Allah.

 

REPUBLIKA

FOTO: Anggota Amirul Hajj KH Asrorun Niam (dok Kemenag)

Cara Memperoleh Gelar Haji Mabrur

ADA berbagai cara seseorang yang berhaji ingin mendapatkan gelar haji mabrur. Intinya adalah perilaku keseharian, baik ketika ia beribadah maupun saat bergaul dengan sesama.

Namun sebelum menjalankan perilaku tersebut, pertama, niat berhaji harus benar-benar bersih, yakni berhaji untuk menggapai keredhaan Tuhan. Bukan karena niat ria (ingin pujian), niat dagang, niat cari pengaruh dan jabatan (haji politik) maupun sombong.

Kedua, harta yang dipakai untuk beribadah haji adalah harta yang halal dan baik. Bukan hasil judi, menipu, suap, mencuri maupun merebut harta milik orang lain (misalnya mengambil harta warisan yang merupakan hak saudaranya). Kalau ada kewajiban zakat harta yang belum dikeluarkan, maka harus ditunaikan sebelum berangkat haji. Hal itu merupakan keharusan untuk mensucikan harta tersebut.

Ketiga, pergi haji dengan lahir dan batin yang bersih. Karena itu, sebelum berangkat haji, setiap calon jamaah haji dianjurkan bersilaturahmi dengan saudara, teman, kenalan dan kerabat untuk mohon maaf bila yang bersangkutan punya kesalahan. Dengan cara begitu, diharapkan dia berangkat haji dengan diri yang bersih dari segala salah dan dosa kepada sesama manusia.

Sedangkan dosa dan kesalahan kepada Tuhan dapat dihapuskan dengan cara memperbanyak istighfar, zikir dan beramal saleh. Seperti kata Nabi, amal-amal yang baik dapat menghapuskan dosa-dosa yang kecil. Yang tak kalah pentingnya adalah meningkatkan kualitas shalat.

Keempat, mengutamakan sikap sabar dan saling tolong. Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat berat, dan memerlukan pengorbanan jasmani maupun rohani. Berkumpul bersama sekitar dua juta orang yang berbeda-beda perangai dan kebiasaannya (terutama pada puncak ibadah haji di Arafah dan Mina) sudah pasti memerlukan kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa.

Kelima, tentu saja mabrur tidaknya ibadah haji seseorang sangat tergantung pada kesempurnaan pelaksanaan ibadah hajinya. Karena itulah dia harus mengerti betul ilmu (manasik) haji. Dia harus berupaya melaksanakan rukun, wajib maupun sunnat haji sebaik mungkin. Kalau ada hal yang meragukannya, sudah seharusnya dia bertanya kepada ahlinya.

 

MOZAIK

Mendapatkan Predikat Haji Mabrur

Ibadah haji mabrur selalu menjadi dambaan bagi setiap Muslim yang menunaikan ibadah haji. Hal tersebut bukan saja karena didorong oleh motivasi dari hadits Rasulullah SAW yang menyebut bahwa balasan haji mabrur adalah surga, tetapi juga karena sudah menjadi naluri manusia bahwa setiap individu itu ingin berubah menjadi yang lebih baik.

“Momentum haji adalah saat tepat seseorang untuk melakukan perubahan itu agar bisa mencapai predikat sebagai manusia yang saleh dan bertakwa,” ujar Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Saadi kepada Republika.co.id, Rabu (17/5).

Dia mengatakan, seseorang bisa mendapatkan predikat haji mabrur apabila memiliki beberapa kriteria.  Pertama, motivasi dan niat ibadah tersebut ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Kedua, proses pelaksanaannya sesuai dengan manasik yang telah dicontohkan Rasulullah SAW yakni syarat, rukun, wajib bahkan sunah ibadah tersebut terpenuhi dengan tertib.

Ketiga, biaya yang digunakan untuk ibadah haji, biaya perjalanan maupun biaya untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan diperoleh dengan cara yang halal. Keempat, dampak dari ibadah haji tersebut adalah positif bagi pelakunya, yaitu adanya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji.

Kelima, tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal. Rafats bukan sekadar hubungan seksual tapi termasuk bicara yang porno dan pandangan matanya juga harus dijaga. Fusuq adalah perbuatan fasik yang maksiat, misalnya, membicarakan kejelekan orang lain, memfitnah dan atau mengadu domba. Sementara, jidal artinya berkelahi atau berbantah-bantahan yang bisa menimbulkan permusuhan.

“Pokoknya selama di Tanah Suci, mereka bisa menahan hawa nafsu untuk tidak menimbulkan amarah orang sehingga dia harus banyak bersabar. Haji yang mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT dan lawannya adalah haji mardud (tertolak),” kata Zainut.

Banyak ulama menyatakan, bahwa ciri-ciri haji mabrur yang paling utama adalah berubahnya perilaku menjadi lebih baik setelah berhaji. Meningkat semangat ibadahnya, lebih mendalami ajaran agamanyya, meningkat hasil usaha dan prestasi kerjanya.

Selain itu, kata dia, dari segi keluarga juga semakin tumbuh rasa saling cinta, pengertian dan sayang diantara anggota keluarga. Dan lebih dari itu dengan masyarakat juga semakin tumbuh kepedulian sosialnya. “Jadi haji yang mabrur itu akan melahirkan kesalehan baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial,” ujarnya.

N Qommarria Rostanti

IHRAM

Kemabruran Haji Terlihat dari Hablumminallah dan Hablumminannas Individu

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Asahan memberikan bimbingan manasik haji kepada tujuh puluh calon jamaah haji (calhaj) dari Kecamatan Aek Kuasan, Kecamatan Pulau Rakyat, Kecamatan Bandar Pulau dan Kecamatan Rahuning di Balai Karyawan PTPN IV Pulau Raja. Para calhaj itu akan berangkat menunaikan ibadah haji 2017.

Kepala Kantor Kemenag Asahan Hayatsyah mengatakan, banyak calhaj yang sudah berumur enam puluh tahun keatas. Meski demikian, ada calhaj yang masih bisa berjalan dengan baik, tetapi ada juga yang sudah tertatih-tatih.

“Hebatnya, mereka tetap semangat dalam mengikuti bimbingan manasik haji. Mereka berharap, saat menunaikan ibadah haji bisa melaksanakannnya dengan baik sesuai dengan yang diajarkan dalam bimbingan manasik haji,” ujarnya Rabu (17/5).

Hayatsyah menyampaikan, bahwa kemabruran haji dapat dilihat dari dua dimensi yaitu hablumminallah dan hablumminannas. Hablumminallah kemabruran haji yang tercermin dari meningkatkan keimanaan, ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Sedangkan dalam konteks hablumminannas kemabruran haji tercermin dari semakin meningkatkannya keshalehan sosial.

“Kemabruran haji tergantung dari perilaku individu baik sebelum melaksanakan haji, saat melaksanakan maupun setelah melaksanakan haji. Saling tolong menolong saat berada di Tanah Suci Makah juga merupakan hablumminannas, jangan selalu memperioritaskan sifat individualitas saja tanpa memperhatikan jamaah yang ada disekeliling dan itu bukanlah sikap yang baik,” tuturnya.

Dia mengatakan, sikap cinta dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama, saling menghargai dan saling toleransi terhadap perbedaan sudah menunjukkan suatu kemabruran dari haji yang kita sandang tatkala sepulang dari Tanah Suci.

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuatlah kepada dua orang ibu bapa, karib kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat , ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (QS. An Nisa: 36).

 

IHRAM

 

Baca juga:

Download Panduan Manasik Haji dan Umrah

Memahami Mabrur

Rasulullah SAW bersabda, Umrah ke umrah berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya. Dan, tiada balasan bagi haji mabrur, melainkan surga.” (HR Bukhari: 1683, Muslim: 1349). Dalam hadis lainnya Nabi SAW bersabda, Jihad yang paling utama bagi kamu (kaum perempuan) adalah haji mabrur.” (HR Bukhari).

Setiap jamaah haji yang menunaikan rukun Islam kelima pasti mendambakan predikat haji mabrur. Secara bahasa, ‘mabrur’ yang berasal dari bahasa Arab didapat dari kata barra-yaburru-barran, yang artinya taat berbakti. Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap disebutkan, al-birru berarti ketaatan, kesalehan, atau kebaikan. Sedangkan, mabrur berarti haji yang diterima pahalanya oleh Allah SWT.

Ibadah haji dinilai mabrur apabila memiliki beberapa kriteria sebagai berikut. Pertama, motivasi dan niat ibadah tersebut ikhlas semata-mata menghadap ridha Allah SWT. Kedua, proses pelaksanaannya sesuai dengan manasik yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, yakni syarat, rukun, wajib, bahkan sunah ibadah tersebut terpenuhi.

Ketiga, biaya, baik untuk ibadah haji, biaya perjalanan, maupun biaya untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan, diperoleh dengan cara yang halal. Keempat, dampak dari ibadah haji tersebut adalah positif bagi pelakunya, yaitu adanya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji.

Haji mabrur juga dicapai oleh orang yang melaksanakannya sesuai dengan syarat, wajib, dan rukunnya, dan saat melaksanakannya dia tidak melakukan kemaksiatan. Yang dimaksud dengan haji yang mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT dan lawannya adalah haji mardud.

Banyak ulama menyatakan ciri-ciri dari haji mabrur. Menurut para ulama, ciri yang paling utama adalah berubahnya perilaku menjadi lebih baik setelah berhaji. Meningkat semangat belajarnya, meningkat usahanya untuk keluarga, juga meningkat semangat pengajiannya. Hubungan dengan keluarganya dan semangat membina anak-anaknya untuk beribadah semakin meningkat setelah pulang dari ibadah haji.

Derajat kemabruran akan dicapai seorang jamaah apabila melaksanakan haji sesuai dengan aturan syariat yang memenuhi syarat dan rukunnya, serta mengerjakannya dengan ikhlas.

Mereka yang meraih predikat haji mabrur juga senang membaca Alquran dan gemar shalat berjamaah. Salah satu tanda kemabruran haji, menurut para ulama, seorang jamaah melakukan apa yang telah dilakukan selama menunaikan haji. Kualitas haji mabrur terletak pada hati. Seorang haji mabrur hatinya selalu khusyuk. Ketika khusyuk, Allah selalu hadir di hatinya. Ia selalu sadar akan kehadiran Allah SWT.

 

IHRAM

Tanda-Tanda Haji Mabrur

Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh para ulama dengan maqashid syari’ah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.

Adapun maslahat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara yang terangkum dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits qudsi),

قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

“Allah berfirman (yang artinya): Telah Aku siapkan untuk hamba-hambaKu yang shaleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terdetik di hati manusia.” [1]

Untuk haji secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

والْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.”[2]

Adapun di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh umat Islam dengan menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji khususnya, ada beberapa contoh yang bisa kita sebut; seperti menambah teman, bertemu dengan ulama dan keuntungan berdagang.

Di samping itu, Allah juga memberikan tanda-tanda diterimanya amal seseorang, sehingga ia bisa menyegerakan kebahagiaan di dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin bersemangat untuk beramal.

Tidak Semua Orang Meraih Haji Mabrur

Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sah.  Mabrur berarti diterima oeh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Ta’ala.

Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yang hajinya mabrur sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak baik lantaran jamaah haji yang baik.” [3]

Tanda-Tanda Haji Mabrur

Nah, bagaimana mengetahui mabrurnya haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak. Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan al-Quran dan al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji seseorang.

Di antara tanda-tanda haji mabrur yang telah disebutkan para ulama adalah:

Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal,[4] karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

“Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik. [5]

Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api. Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair [6]:

Jika anda haji dengan harta tak halal asalnya.

Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.

Allah tidak terima kecuali yang halal saja.

Tidak semua yang haji mabrur hajinya.

Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam . Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua larangan harus ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusnya yang telah ditentukan.

Di samping itu, haji yang mabrur juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi, “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jamaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah.” [7]

Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya, dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah salah.[8]

Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.

Ibnu Rajab berkata, “Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.[9]

Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab,

إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ

“Memberi makan dan berkata-kata baik.” [10]

Keempat: Tidak berbuat maksiat selama ihram.

Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan  jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.

Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah berfirman,

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.[11]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [12]

Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.

Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.

Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.[13]

Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.

Demikian juga, orang yang ingin hajinya mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiat.

Kelima: Setelah haji menjadi lebih baik

Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya.[14]

Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jamaah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.

Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya.

Bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal  yang lebih mantap dan  benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji mabrur.

Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridho Allah Ta’ala. Ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.”[15] Ia juga mengatakan, “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.”[16]

Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.” [17]

Penutup

Sekali lagi, yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah. Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah, dan teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka anda harus mawas diri, istighfar dan memperbaiki amalan anda.  Wallahu a’lam.

Referensi:

  1. Al-Quran al-Karim.
  2. Shahih al-Bukhari, Tahqiq Musthofa al-Bugha, Dar Ibn Katsir.
  3. Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya’ Turats.
  4. Musnad Imam Ahmad, Tahqiq Syu’aib al-Arnauth, Muassasah Qurthubah.
  5. Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Cetakan Hyderabad, India.
  6. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
  7. At-Tarikh al-Kabir, al-Bukhari, Tahqiq Sayyid Hasyim an-Nadawi, Darul Fikr.
  8. Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali, Darul Ma’rifah Beirut.
  9. Lathaiful Ma’arif fima li Mawasil ‘Am minal Wazhaif, Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Maktabah asy-Syamilah.
  10. Qutul Qulub, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Maktabah asy-Syamilah.

Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, MA

Sumber: https://muslim.or.id/1891-tanda-tanda-haji-mabrur.html

Ini Tanda-Tanda Haji Mabrur

Tahun ini sekitar 168.800 jamaah dari Indonesia akan menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, namun tidak semua bisa mendapatkan pengalaman bathin dan bisa menjadi haji yang mabrur seperti yang diharapkan.

Prof Aswadi, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya, yang menjadi salah satu anggota tim pembimbing haji pada Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) 1436H/2015M di Makkah, Arab Saudi, mengatakan ada beberapa  hal yang harus diperhatikan jamaah untuk menjadi haji yang mabrur, sekaligus menjadi tanda-tanda ia memperoleh manfaat dari ibadahnya.

“Orang itu (jamaah) harus memiliki pengetahuan mengenai Islam yang luas,” katanya. Hal itu, lanjut dia, penting agar jamaah memahami tujuan berhaji dan proses pelaksanaannya, serta paham setiap makna urutan ibadah yang mereka lakukan.

Karena itulah tim pembimbing haji PPIH daerah kerja (Daker) Makkah yang dipimpin Tawwabuddin Muhammad Maulana, melakukan sejumlah kunjungan ke berbagai pemondokan untuk meningkatkan pengetahuan jamaah tentang ibadah haji.

Kemudian setelah paham mengenai makna berhaji, kata Aswadi, jamaah harus mampu mencegah orang melakukan pelanggaran, termasuk misalnya tidak menyakiti jamaah lain ketika berusaha mencium Hajar Aswad atau shalat di Hijr Ismail.

“Setelah itu ia akan mampu memberi kabar gembira kepada orang lain dan menyenangkan orang lain,” ujarnya.

Aswadi mencontohkan Nabi Ibrahim AS yang berdo’a kepada Allah agar Makkah yang tandus bisa menjadi negeri yang makmur  yang bisa memberi kemakmuran bagi banyak orang. Secara logika mungkin sulit, katanya, namun Nabi Ibrahim tidak putus asa berdoa dan.

Dengan kekuasaan Allah, banyak orang yang datang ke negeri tandus tersebut melalui perintah dibangunnya Rumah Allah (Baitullah) dan perintah berhaji ke sana, sehingga setiap tahun Makkah tidak pernah sepi dari kunjungan umat Islam untuk umrah dan haji. Do’anya dikabulkan dan menyenangkan serta memakmurkan banyak orang.

“Ketika melihat banyak persoalan,  kita tidak punya kemampuan secara total untuk mengatasinya, maka berserah dirilah padaNYA, pasti ada jalan keluarnya,” ujar Aswadi. Hal itulah yang dilakukan Nabi Ibrahim AS.

Selain itu, salah satu ciri haji yang mabrur kelak menjadi orang yang damai dan mudah mendamaikan, tenang dan menyenangkan orang lain.

“Tiga hal itu akan mengarahkan manusia benar-benar beriman kepada Allah dan RasulNya,” kata dosen S3 di UIN Surabaya, Jawa Timur itu.

Kemudian, manusia tersebut mempunyai tugas menginformasikan kepada orang lain, menyebarkan berita gembira tentang haji, dan terus bertasbih, sehingga meluas nilai-nilai kebaikan dalam dirinya.

 

 

sumber: Republika Online

Dr Oni Sahroni: ‘Azam Yang Kuat Kunci Meraih Haji Mabrur

Setiap musim haji diikuti tidak kurang dari 2 juta jamaah. Baik dalam negeri Arab Saudi, maupun jamaah yang datang dari berbagai negara.

Pertanyaannya, bagaimana jamaah haji yang jumlahnya jutaan itu,  dengan segala persiapan yang cukup melelahkan, bisa mendapatkan haji yang mabrur?

Menurut Dr Oni Sahroni, ada empat kunci  agar jamaah haji  bisa mendapatkan haji yang mabrur. Pertama, ber-‘azam atau niat yang kuat untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji.

“Tidak hanya sesuai dengan rukun dan syaratnya menurut fikih, tetapi lebih dari itu berkomitmen untuk menyempurnakannya dengan adab-adab berhaji,” kata doktor fiqih muamalat lulusan Al-Azhar University Kairo, Mesir itu, kepada Republika di Depok, Selasa (1/9).

Contohnya hanya sesorang hanya cukup dengan rukun dan syarat, orang yang haji diawali tamattu’ (memakai pakaian ihram) dan diakhiri dengan tawaf wada, maka bersangkutan telah berhaji dan telah menyandang gelar haji.

Tetapi rafats (berkata-kata kotor) dan fusuq (berbuat maksiat), etika melempar jumrah untuk tidak mendorong-dorong, etika  tawaf untuk tidak mencerca, tidak masuk dalam kriteria rukun dan syarat dalam fiqih.

Meskipun demikian, semua itu menentukan menentukan mabrur tidaknya seseorang dalam berhaji. “Karena itu, untuk menggapai haji mabrur, jamaah haji harus memadukan fiqih dan adab,’ papar Oni yang juga direktur dan peneliti SIBER-C SEBI Depok, Jawa Barat.

 

sumber: Republika Online

Dr Oni Sahroni: Rahasia Haji Mabrur Ibarat Jihad dan Bayi Baru Lahir

Setiap orang yang pergi haji ingin meraih gelar haji mabrur. Mengapa haji mabrur begitu penting? Menurut Dr Oni Sahroni, ada dua hadits terkait dengan  kedudukan haji mabrur.

“Pertama, haji mabrur adalah perbuatan yang palingmulia disetarakan dengan jihad,” ujar doktor fiqih muamalat lulusan Al-Azhar University Kairo, Mesir itu kepada Republika, Selasa (1/9).

Oni menambahkan,  jihad (berjuang atau berperang di jalan Allah)  mengorbankan aset yang paling mahal yang dimiliki manusia, yakni nyawanya.

“Begitulah kira-kira kedudukan dan fungsi haji. Karena begitu beratnya ibadah haji, maka balasan yang Allah siapkan tidak kalah mulianya dengan jihad,” papar Oni yang juga direktur dan peneliti SIBER-C SEBI, Depok, Jawa Barat.

Dalam hadis kedua, kata Oni,  dijelaskan bahwa haji mabrur itu akan bisa diperoleh manakala seorang jamaah haji tidak melakukan rafats (mengeluarkan kata-kata kotor) dan fusuq  (melakukan kemaksiatan).

“Jamaah haji yang komitmen untuk tidak melakukan kata-kata kotor dan maksiat diibaratkan oleh rasulullah sebagai seorang bayi yang baru lahir, bersih tidak berdosa,” papar Oni yang juga anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI).

 

sumber: Republika Online

Apa Haji Mabrur Itu?

Al Hasan Al Bashri rahimahullahu ta’ala pernah ditanya: “apa haji mabrur itu?”. Beliau menjawab: “sekembalinya engkau dari ibadah haji, engkau menjadi orang yang zuhud terhadap dunia dan sangat mengharapkan kebaikan akhirat”.

 

sumber: Muslimah.or.id