Kuota Haji Harus tak Tersisa

Komisioner Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Syamsul Ma’arif meminta Kementerian Agama (Kemenag) kuota haji diupayakan tidak tersisa. Hal ini menurut Syamsul perlu dipikirkan.

Syamsul menekankan, Kemenag harus memberikan sisa kuota haji sesuai urutan. Kemenag harus memberikan hak sisa kuota kepada orang yang wajib menerima.

“Ini harus diberikan kepada hak pada orang-orang yang punya kewajiban,” kata Syamsul kepada Republika.co.id, Ahad (17/7).

Selain itu, Syamsul juga meminta Kemenag tegas dalam memberikan sisa kuota haji. Syamsul menambahkan, harus ada ketegasan waktu terkait penyelesaian berkas bagi calon jamaah yang menerima sisa kuota.

“Intinya tidak boleh ada sisa visa,” tuturnya.

Pelaksanaan haji semakin dekat. Pemberangkatan awal akan dimulai sejak Agustus 2016.

Syamsul menilai, secara keseluruhan persiapan sudah cukup baik. Terutama pelayananan pemondokan, transportasi dan catering.

 

sumber: Republika Online

23 Juta Lebih Jamaah Kunjungi Masjidil Haram Selama Ramadhan

Sebanyak 23.164.319 umat Islam mengunjungi Masjidil Haram di bulan suci Ramadhan. 1.463.543 kendaraan digunakan untuk mengangkut peziarah ke Masjidil Haram.

Dilansir dari Arab News, Sabtu (9/7), Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi mengungkapkan kelancaran transportasi merupakan salah satu aspek yang berperan penting. Kelancaran turut disumbangkan kemampuan petugas lalu lintas Makkah dalam mengatur kendaraan-kendaraan.

Hal itu dikarenakan pengaturan lalu lintas kendaraan pengangkut jamaah, bukanlah tugas yang mudah dan perlu perhatian khusus. Pasalnya, kendaraan pengangkut jamaah akan terus berdatangan mendatangkan peziarah dan perlu pengaturan lalu lintas yang tepat.

Para petugas lalu lintas harus mengatur setiap kendaraan lain, terutama yang tidak berkepentingan di sekitar Masjidil Haram. Termasuk para pengendara sepeda motor yang kerap mengganggu pejalan kaki, dan menyebabkan kemacetan di jalan.

Meski begitu, kerja sama yang baik telah ditunjukkan semua intansi, sehingga arus lalu lintas sekitar Masjidil Haram dapat berjalan lancar. Dengan begtu, umat Islam dari seluruh dunia dapat menjalankan ibadah di Masjidil Haram selama Ramadhan dengan baik.

 

sumber: Republika Online

Calon Jamaah Haji Akan Diseleksi Secara Kesehatan

Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementrian Kesehatan, Muchtaruddin Mansyur mengungkapkan, pemerintah mulai tahun ini akan memberlakukan aturan baru mengenai batas kemampuan fisik calon jamaah haji.

Persyaratan itu, ungkap Muchtaruddin, akan menyeleksi agar mereka yang sampai di Tanah Suci benar-benar teruji dan layak secara kesehatan.

Meskipun calon jamaah haji mampu membiayai perjalanan ibadahnya, kata dia, rencana pergi ke Tanah Suci bisa saja gagal bila syarat kesehatan tidak tercapai. Dia mencontohkan tolak ukur syarat yang dimaksud.

“Sederhananya begini. Kalau seseorang bisa jalan lima kilometer dalam satu jam, tanpa mengalami kelelahan berarti. Kira-kira begitu gambarannya,” ujar Muchtaruddin di kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (18/5).

Menurut dia, Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat yang akan melakukan ibadah haji tahun ini untuk memperhatikan aspek kesehatan. Sebab, aspek kesehatan sama pentingnya dengan aspek kemampuan ekonomi untuk menunaikan rukun Islam kelima itu.

Salah satu yang harus diwaspadai adalah serangan stroke akibat paparan panas matahari (heat stroke). Penyakit ini bisa menyebabkan kelumpuhan otot dan terganggunya fungsi saraf. Diperkirakan, suhu rata-rata di Mekkah bisa mencapai 50 derajat Celcius di siang hari.

Mansyur mengungkapkan, pada penyelenggaraan haji tahun lalu, sekitar 150 orang jamaah asal Indonesia meninggal dunia di Tanah Suci lantaran menderita heat stroke. Adapun sekitar 70 orang di antaranya sempat dirawat di sejumlah rumah sakit Arab Saudi.

Kemudian, hanya dua pasien heat stroke di antaranya yang berhasil selamat. Satu orang jamaah asal Jawa Timur masih menjalani perawatan instensif di rumah sakit Jeddah, sedangkan satu orang lainnya warga Sumatra Barat atas nama Hajjah Culan sudah kembali ke Tanah Air dan dirawat di Jakarta.

 

sumber: Republika Online

Jangan ‘Baper Selfie’ Kala Kenakan Ihram..!

Masa liburan sekolah dan bulan Ramadhan yang akan jatuh pada buan Juni  segera tiba. Dapat dipastikan pada bulan itu banyak sekali –bisa sampai ratusan ribu— jamaah umrah asal Indonesia akan memadati ‘dua tanah haram’, yakni Madinah dan Makkah.

Mereka dipastikan akan berbaur dengan jamaah umrah asal negara dari kawasan Timur Tengah yang pada saat itu juga tengah mengalami libur sekolah bertepatan dengan bulan Ramadhan. Maka, tanpa perlu banyak dianalisa dua tempat sentral yang menjadi tujuan para jamaah umrah, yakni Masjid Nabawi dan Masjidil Haram suasana akan sangat padat. Bahkan di sepuluh hari terakhir suasana akan menyamai saat bulan haji tiba.

Pemerintah Arab Saudi pun sudah bersiap menyambut masa puncak umrah dan datangnya jamaah haji yang rombongan pertamanya mulai akan tiba di tanah suci pada pekan kedua bulan Syawal. Tampak jelas, proyek peluasan ‘mataf’ (tempat tawaf) akan segera dituntaskan sekitar sepekan sebelum Ramadhan tiba.

Perlu diketahui, bila dibandingkan tahun-tahun yang silam, jamaah umrah pada saat ini di ‘hari-hari biasa’ pun jumlahnya sangatlah banyak. Bayangkan, pada tahun 2015, jumlah visa umrah asal yang dikeluarkan pihak Kerajaan Arab Saudi, sudah mencapai 1,2 juta orang. Padahal bulan umrah hanya berlangsung pada masa tujuh bulan saja. Sisa lima bulan lainnya, tidak ada umrah karena area Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah) dipakai untuk melayani kepentingan ibadah para jamaah haji.

Dengan begitu bila ditelisk, dalam sehari diperkirakan ada sekitar 5.000 orang jamaah umrah yang berangkat ke tanah suci dari Indonesia. Jumlah ini akan meningkat, apalagi sekarang penerbangan dari Jakarta sudah tak perlu lagi transit di Jeddah, namun bisa langsung ke Madinah. Waktu perjalanan menuju tanah suci pun terpangkas signifikan, yakni hingga enam jam.

Selfie Mulai Ganggu Kekhusyukan Beribadah

Mampu pergi umrah adalah kesempatan yang patut disyukuri dengan penuh suka cita. Tentu saja, akan lebih penuh arti, bila dapat kesempatan bisa pula pergi menunaikan ibadah haji ke tanah suci.

Tentu saja, seiring dengan perkembangan teknologi, setiap orang atau jamaah saat pergi ke umrah pasti sudah menyediakan berbagai peralatan untuk mengabadikan perjalanan sucinya itu. Kecanggihan teknologi telepon selular kini menjadi pilihan utama untuk merekam berbagai aktivitas jamaah baik dalam bentuk foto muapun rekaman video. Ibaratnya, hanya dengan mengklik telepon selular semua aktivitas ketika di tanah suci bisa langsung terlihat dan dapat segera diunggah ke media sosial yang saat ini tengah menjadi trend masyarakat Indonesia.

“Tapi ingat, hati-hati bila berfoto ria dan melakukan selfie (swa foto) ketika mengenakan pakaian ihram,’’ begitu nasihat seorang pembimbing umrah kepada para jamaahnya.

Nasihat agar berhati-ati ketika melakukan selfie saat mengenakan umrah memang terasa mengejutkan. Sebab, pada waktu kepergian umrah sebelumnya nasihat ini belum ada.

‘’Apa jadinya ketika tengah mengenakan umrah anda berfoto tapi tanpa sadar anda memperlihatkan aurat yang seharusnya tak boleh terbuka. Celakanya, foto anda yang memperlihatkan umrah saat mengenakan ihram sudah diunggah ke media massa sehingga seluruh dunia bisa melihatnya. Nah, berapa besar nilai dham  bila dibandingkan masa lalu, di mana aurat anda saat itu hanya dilihat oleh beberapa orang saja,’’ ujarnya.

Adanya kenyataan pahit ini patut diperhatikan karena kini memang banyak jamaah yang terkena sindrom ‘baper selfie’ (ke mana-mana ‘bawaan perasaan’-nya ingin berfoto dan berselfie ria). Bahkan, mulai tahun kemarin sudah muncul seruan agar jamaah umrah dan haji membatasi kegiatan berfoto ria dan berselfie di area sekitar Ka’bah (atau area mataf). Sebab, kegiataan sudah mulai menganggu kegiatan ibadah jamaah lain yang saat itu tengah melakukan tawaf atau  shalat sunah di dekat Multazam.

Maka, sekarang ini memang bukan hal baru bila banyak ditemukan kejadian seorang jamaah umrah dengan seenaknya berpose untuk foto selfie di depan orang yang tengah shalat sunah, berdzikir, atau membaca Alquran.

 

Berapa Besaran Dham Ketika Aurat Terbuka Diumbar ke Medos Kala Kenakan Ihram..?

Mendengar nasihat itu, para jamaah umrah saat itu sempat tercenung. Selfie di kala mengenakan pakain ihram memang bisa menjadi persoalan serius kalau ada hal-hal melanggar aturan, salah satunya adalah terbukanya aurat.

Memang untuk jamaah umrah atau haji perempuan, mungkin tidak terlalu menjadi persoalan atau bermasalah karena cenderung pakaian ihramnya tertutup (hanya wajah dan telapak tangan yang bisa terlihat).

Namun bagi jamaah umrah atau haji dari kalangan laki-laki bisa menjadi soal serius. Sebab, batas aurat kaum Adam adalah dari pusar hingga lutut. Faktanya, tanpa sadar banyak jamaah pria ketika mengenakan ihram, wilayah bagian bawah pusarnya kerapkali terbuka karena kain ihramnya melorot. Ini kerap kali terjadi terutama pada jamaah lelaki yang berperut gendut.

Maka, kalau gambar yang terbuka auratnya itu keburu diunggah ke media sosial, entah berapa banyak viewer yang melihat (mengklik)  gambar itu. Ini belum termasuk jumlah impressi atas penanyangan gambar itu yang jumlahnya bisa berlipat-lipat dari jumlah orang yang meng-‘kilk’ foto tersebut.

‘’Akibatnya, entah berapa banyak pula dana dham yang sebenarnya harus dibayar akibat kecerobohan itu. Perbandingan gampangnya: maka akan berapa banyak kambing, domba, unta, atau fakir miskin yang harus dibayar untuk mengganti pelanggaran aturan sewaktu ikhram itu?’’ ujar sang pembimbing umrah seraya menyarankan jangan sampai soal ‘baper berfoto ria dan selfie’  kemudian malah mendegradasi nilai ibadah yang telah dilakukan.

Astagfirullah hal’adzim…!

 

 

sumber: Republika Online

Pesona Memandang Ka’bah

Rasa haru dan bahagia ketika memandang Ka’bah hanyalah dapat dirasakan bagi mereka yang memiliki hati yang bersih. Banyak sekali terlihat di antara jamaah haji yang menangis ketika memandang Ka’bah. Mengapakah bisa demikian? Apakah yang kita bayangkan ketika memandangnya?

Pada saat Ka‘bah telah tampak di depan mata, hendaknya kita menghadirkan keagungan Rumah Allah tersebut dalam hati kita. Banyak ulama yang mengatakan, ketika memandang Ka’bah hendaklah membayangkan seolah-olah sedang memandang Sang Pemilik Ka’bah itu sendiri, yaitu Allah SWT.

Ketika memandang Ka’bah dan membayangkan Sang Pemilik Ka’bah, hendaklah berharap semoga di Akhirat kelak mendapatkan anugrah untuk memandang wajah Allah SWT.

Kesempatan memandang wajah Allah di surga kelak adalah suatu kesempatan dan anugrah tertinggi bagi seorang mu’min. Kesempatan agung tersebut jauh lebih tinggi dari segala kenikmatan yang ada di surga. Tidak semua orang yang bisa mendapatkan kesempatan tersebut.

Ketika melihatnya, hendaklah memperbanyak doa. Diperbolehkan berdoa menurut apa yang disukai. Dalam sunnah, doa yang masyhur dibaca ketika memandang Ka’bah adalah;

Allahumma zid hazal baita tasyrifan wata’zlman wataknman wamahabatan wazid man syarrafahu wa azzamahu wa karramahu mimman hajjahu awi’tamarahu tasyrifan wa ta’zTman wa taknman wabirran.”

Artinya; “Ya Allah tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kehormatan dan kehebatan pada Baitullah ini dan tambahkanlah pada orang-orang yang memuliakannya dan mengagungkannya dari orang-orang yang berhaji dan umrah kemuliaan, kebesaran, kehormatan dan kebaikan.”

Ketika berdoa, hendaklah mencari posisi multazam, yaitu posisi antara hajar aswad dan pintu ka’bah. Sebagaimana diriwayatkan dari banyak hadist, multazam adalah salah satu tempat yang mustajabah (dijamin terkabulnya doa) bagi orang yang berdoa disana.

Selanjutnya, bersyukurlah kepada Allah SWT atas karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan untuk mengunjungi rumah-Nya. Banyak sekali orang yang merindukan untuk berangkat haji, namun belum juga kesampaian. Begitu juga orang yang hidup bergelimang harta, namun belum juga terpanggil hatinya untuk menunaikan haji.

 

sumber:Republika Online

Hari Ini, Menag Tanda Tangan MoU Kuota Haji 2016

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Sebtu (13/3)  ini sedang bertemu dengan Menteri Haji Arab Saudi. Rencananya mereka akan menandatangani nota kesepahaman kuota haji 2016.

“Rapat penetapan kuota haji sedang berlangsung, nanti saya akan kabari mengenai keputusan penambahan kuota setelah rapat selesai,” ujar Slamet Staf Kantor Urusan Haji Indonesia di Arab Saudi, Ahad (13/3).

Kunjungan Lukman beserta rombongan di Arab Saudi akan berlangsung hingga Selasa, (15/3). Selain menentukan kuota haji 2016, pihakya juga memantau seluruh kesiapan haji 2016 di Arab Saudi.

Beberapa tempat yang dikunjungi diantaranya Rumah Sakit Arab Saudi, peninjauan pemondokan pra haji, pertemuan dengan menteri haji dan menteri kesehatan Arab Saudi, Muassasah Asia Tenggara dan Balai Pengobatan Haji Indonesia di Makkah.

Sementara itu hasil peninjauan persiapan haji sejak Rabu (9/3), Menag memutuskan agar jamaah haji tak lagi menginap di Mina Jadid.

 

sumber: Republika Online

Haji dan Transendensi Makna Hidup (2)

oleh Komaruddin Hidayat

Dengan menjabat tangan Tuhan,  seorang Muslim mempertegas kembali ikrarnya, bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta prestasi yang diraihnya ini nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Kekayaan, kepintaran, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga, semuanya akan bermakna selama mendekatkan pemiliknya untuk meningkatkan amal kebajikannya sebagai manifestasi rasa syukur atas segala rahmat Tuhan yang dilimpahkan kepadanya.

Dalam suasana batin di mana ‘aku’ dan ‘Engkau’, tak ada lagi jarak yang menghalangi, seorang Muslim yang tengah menunaikan ibadah haji biasanya mencurahkan segala isi hatinya,  untuk bersyukur, memohon ampun, pertolongan ataupun kekuatan untuk menjalani hidup selanjutnya. Makna dan hikmah thawaf yang sejati, oleh karenanya, adalah juga berupa thawaf menjalani siklus kehidupan dari hari ke hari ini.

Sebagaimana thawaf di Makkah, agar aktivitas sehari-hari ini menjadi bermakna maka secara psikologis hendaknya kita mampu mengambil jarak dari rutinitas yang membelenggu. Kita transendensikan semua aktivitas ini sehingga hati nurani memiliki ketajaman untuk membedakan manakah tindakan yang bermakna dan manakah yang menggerogoti harkat kemanusiaan kita.

Wuquf (berdiam diri secara khusyuk) di Arafah, yang merupakan puncak ibadah haji, tak lain adalah semacam meditasi, merenungkan eksistensi dan posisi kemanusiaan kita di hadapan Sang Pencipta dan alam semesta. Dengan wuquf, diharapkan seorang Muslim mendapatkan makrifah atau the wisdom of life sehingga dengan demikian ketika kembali ke tanah airnya masing-masing telah lahir manusia baru yang penuh kearifan hidup.

 

sumber: Republika Online

Haji dan Transendensi Makna Hidup (1)

oleh Komaruddin Hidayat

Begitu siap dengan pakaian ihram, jamaah haji lalu membaca talbiyah, yaitu pernyataan kehadiran memenuhi panggilan Tuhan. Suasana batin hendaknya hanya diisi dengan kesadaran “aku – Engkau”, dan segala urusan duniawi ditinggalkan agar bisa memasuki orbit kesadaran transendental secara intens. Pikiran, perasaan, ucapan dan bahkan segala tindakan kini hanya diarahkan untuk mendekati Allah.

Ketika mengenakan pakaian ihram, seseorang tak boleh mengenakan kosmetik, tidak boleh bercermin, tidak boleh membunuh hewan, merusak pepohonan, tidak juga melakukan hubungan seksual. Pendeknya berbagai nafsu egoistik ditekan ke titik nol agar seseorang mampu melakukan mikraj, mendekati Sang Pencipta sedekat-dekatnya dalam rangka membangun pribadi tangguh, sebuah pribadi yang darinya terpancar sifat-sifat Ilahi.

Upaya mendekati, bahkan memeluk Tuhan ini lalu secara simbolik diperagakan dalam thawaf, yaitu berputar mengelilingi Ka’bah. Batu Hitam (Hajar Aswad) yang dijadikan titik tolak gerakan thawaf ini bagaikan tangan Tuhan yang terjulurkan menyambut setiap hamba-Nya yang berkunjung ke Baitullah (Rumah Allah) untuk melakukan audiensi.

Dengan menyambut uluran tangan-Nya, seorang Muslim diingatkan akan kampung halamannya yang berada “di seberang sana”, kampung akhirat. Dengan menjabat tangan Tuhan seorang Muslim mempertegas kembali ikrarnya, bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta prestasi yang diraihnya ini nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

 

sumber: Republika Online

Orang Betawi ke Tanah Suci

Mau tahu bagaimana gairahnya warga Betawi untuk menunaikan ibadah haji, datanglah ke majelis-majelis taklim Habib Ali Kwitang, Assafiiyah, dan Attahiriyah. Di pengajian yang selalu dipenuhi pengunjung ini, tidak pernah lepas dari doa-doa agar para jamaahnya bisa menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi.

Bagi warga Betawi, sejak masa kecil ketika hendak ditidurkan, si ibu dengan kasih sayang bersenandung, ‘’Ya Allah ya Rabbi, minta rezeki biar lebih, biar bisa pergi haji, ziarah ke kuburan Nabi.’’ Seolah-olah sang anak diingatkan oleh orang tuanya agar kelak mereka bisa menunaikan rukun Islam kelima.

Karenanya, tidak heran mereka yang akan menunaikan ibadah haji selalu dilepas dengan kebesaran. ‘’Bang, jangan lupe ya name kita dipanggil-panggil di depan Kabah. Jangan lupe kirim salam kite juga pada Nabi Muhammad SAW. Semoga kite bisa ziarah.’’

Yang menyampaikan pesan ini bukan satu dua orang saja, bisa berpuluh-puluh orang. Entahlah, apakah yang dititipi pesan bisa mengingat nama mereka semua. Suasananya memang mengharukan. Karena mereka yang melepas keberangkatan keluarga, kerabat, atau tetangganya, mengucapkan kata-kata di atas sambil menangis.

warga-mengantar-calon-jamaah-haji-_150902153641-810Menangisi Calon Haji

Ketika menunaikan ibadah haji pada 1973, saya menerima pesan yang demikian dari keluarga dan kerabat. Akan tetapi, sesampainya di Tanah Suci hanya beberapa orang yang pesannya saya sampaikan.

Yang lebih mengherankan lagi, ada yang titip surat dalam amplop kepada Rasulullah. Maksudnya, agar disampaikan ke makam beliau. Kebiasaan di tempo doeloe ini sampai sekarang masih berlangsung di daerah pinggiran, meskipun tidak banyak lagi. Karena bisa berabe bila ketahuan askar yang siang malam menjaga di makam Nabi.

Ada kebiasaan masa lalu yang sekarang ini sudah hampir dihilangkan, yakni menangisi calon haji ketika hendak berangkat. Menangisnya bukan sekadar menitikkan air mata, tapi hingga  menggerung-gerung. Mungkin, ini karena saat pergi haji dulu perlu waktu berbulan-bulan. Bahkan, ada kalanya hitungan tahun. Kalau sekarang dengan pesawat ditempuh dalam tempo sembilan jam, tidak demikian di masa lalu. Naik haji dengan kapal uap baru dimulai 1920. Sebelumnya, kapal layar harus singgah di banyak pelabuhan.

Bahkan, dengan kapal uap, pergi haji perlu waktu tiga-empat bulan baru kembali ke Tanah Air. Ini termasuk perjalanan Jakarta–Jeddah pulang pergi. Saat telekomunikasi masih minim, keluarga di Tanah Air tidak memperolah kabar bagaimana keadaan kerabatnya di Tanah Suci.

 

kapal-yang-membawa-calon-jamaah-haji-ke-tanah-suci-_150902153736-767‘Haji Singapur’

Pada tahun 1970-an, terjadi booming minyak. Ketika itulah banyak warga Betawi menunaikan ibadah terlebih dulu dengan cara menjual tanah atau terkena gusuran untuk proyek. Tak heran, saat itu muncul istilah ‘haji gusuran’.

Ketika itu, pesawat terbang menggantikan kapal laut dan jumlah jamaah berhaji meningkat drastis. Kalau tahun-tahun 1949 sampai 1969, rata-rata 15 ribu jamaah haji Indonesia yang menunaikan ibadah per tahun, pada 1970-an meningkat lebih dua kali lipat.

Kala itu, ketika hampir seluruh angkutan tergantung kapal laut, pemerintah hanya mampu memberangkatkan sekitar 15 ribu sampai 16 ribu jamaah. Waktu itu diberlakukan kotum (semacam daftar tunggu). Untuk mendapatkannya harus menunggu bertahun-tahun karena terbatasnya angkutan.

Untuk mendapatkan kotum agar bisa pergi haji, ada jalan belakang: Jual beli kotum haji. Tentu saja, harganya lebih mahal dari harga resmi. Banyak kisah sedih dialami para calon jamaah haji. Tidak terhitung banyaknya yang menjadi korban penipuan yang dilakukan para calo.

Di Jakarta, terdapat biro perjalanan haji yang melakukan penipuan besar-besaran kepada mereka yang berminat menunaikan ibadah haji. Ada istilah ‘haji singapur’, karena jamaah yang kena tipu hanya diberangkatkan sampai Singapura.

 

suasana-proses-kedatangan-jemaah-haji-dari-jeddah-ke-pelabuhan-_150831153047-49340 Hari di Atas Kasur

Hingga saat ini, ritual pemberangkatan haji masih menjadi bagian penting dari ibadah ini. Sampai sekarang masih banyak yang melepas jamaah dengan tahlilan dan ratiban sebelum berangkat. Bahkan, di daerah pinggiran, acara ini berlangsung selama 40 hari sampai jamaah kembali dari Tanah Suci.

Memang sepulang ke Tanah Air, berbagai acara masih menunggu para haji seperti selamatan. Dan, tentu saja yang datang menjenguk akan mencicipi seteguk air zamzam. Lalu meminta doa agar dia juga dapat menunaikan rukun Islam kelima tersebut.

Kalau mereka yang tinggal di pusat-pusat kota setelah dua atau tiga hari kembali dari Tanah Suci, mulai melakukan aktivitas bekerja atau berdagang, tidak demikian warga di daerah pinggir. Ada yang masih menunggu selama 40 hari tidak keluar rumah.

Menurut penuturan H Irwan Syafe’ie (80 tahun), yang pernah menjadi lurah di tiga kelurahan di Jakarta Selatan, jamaah haji ditempatkan di ruang tamu. Di kediamannya itu, disediakan kasur dan permadani. Kecuali mandi, buang air, dan shalat, selama 40 hari mereka tidak diperbolehkan meninggalkan tempat ini.

Di kasur itulah dia menerima para tamu. Mengapa demikian? Ini karena ada yang meyakini 40 hari setelah menunaikan ibadah haji, dia masih bersih dari dosa.

Dalam buku Biro Perjalanan Haji di Indonesia Masa Kolonial disebutkan ibadah haji sudah dikenal oleh orang Islam Indonesia sejak berkembangnya Islam di negeri ini.

Bahkan, para kesultanan di Jawa mencari legitimasi politik di Makkah. Terbukti pada abad ke-17, pembesar dari Kesultanan Banten dan Mataram telah menunaikan ibadah haji. Menurut sejarah, sebelum menyerang Portugis di Sunda Kalapa, Falatehan terlebih dulu pergi ke Tanah Suci.

Seperti diuraikan almarhum Hamka, banyak di antara ulama Betawi yang telah bermukim di Makkah yang sampai sekarang keturunannya dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabia di antaranya Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi, dan Syaikh Said Betawi.

Menjadi Haji Sesungguhnya

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

 

Ibadah haji terdiri dari rangkaian ritual yang saling berkesinambungan satu sama lain. Pemahaman pesan ritus-ritus ibadah haji sangat dibutuhkan ketika mengerjakannya. Tanpa pemahaman yang baik dan mendalam, seseorang bisa terjebak dalam kelelahan fisik semata dan bahkan bisa terjebak dalam kemusyrikan ritual.

Untuk menghindari itu, bekal ketakwaan mutlak diperlukan. Salah satu dari bekal ketakwaan ini adalah memahami simbol-simbol ibadah haji. Dan, sebagai bahan renungan, mari kita resapi kisah berikut ini.

Alkisah, antara al-Syibli dan seorang tokoh sufi bernama Zainal Abidin. Sepulang dari menunaikan ibadah haji, al-Syibli segera menemui Zainal Abidin, seorang sufi besar dari keluarga Rasulullah SAW. Dalam pertemuan itu, Zainal Abidin bertanya kepada al-Syibli secara bertubi-tubi.

Ketika engkau sampai di miqat di mana engkau menanggalkan pakaian berjahit sebagai simbol keduniawian, apakah engkau berniat juga menanggalkan pakaian kemaksiatan dan berganti dengan pakaian ketakwaan. Apakah saat itu saja engkau tanggalkan riya dalam segala hal. Apakah engkau juga menanggalkan sifat kemunafikan dan yang sibhat?

Ketika engkau berihram tanda engkau memulai kegiatan haji, apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah, lalu engkau mencari yang halal dan thayib. Ketika engkau menuju Kota Suci Makkah, apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah karena di sana terdapat Baitullah.

Ketika engkau memasuki Masjidil Haram, di mana manusia dari seluruh dunia datang, apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak berucap apa pun kecuali berzikir kepada Allah Ketika engkau sa’i, apakah engkau merasa sedang menuju dan lari menuju Allah di antara cemas dan penuh harap, sebagaimana disimbolkan oleh Siti Hajar yang sedang mencari air demi kelangsungan hidup putranya, Ismail.

Ketika engkau wukuf di Arafah, adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan masa lalumu yang tersembunyi dan engkau sengaja menyembunyikannya. Ketika engkau berangkat ke Muna (Mina), apakah engaku bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu, dan hatimu seperti yang dilakukan oleh setan terhadap Nabi Ibrahim AS. Dan ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau juga berniat memerangi iblis yang sering bersarang di hatimu.

Mendengar pertanyaan Zainal Abidin yang bertubi-tubi itu, al-Syibli diam seribu bahasa. Ia hanya berkata, “Tidak”. Mendengar jawaban al-Syibli itu, Zainal Abidin lalu berkata, “Wahai kawan, Engkau belum pergi ke miqat, belum berihram, belum thawaf, belum sa’i, belum wukuf, belum ke Muna, dan belum melempar jumrah.”

Mendengar itu, al-Syibli menangis, karena pertanyaan yang diajukan Zainal Abidin bukan saja benar, malainkan telah menghunjam hatinya, hingga ia sadar bahwa ibadah hajinya baru kulit belum isi, baru lahiriah belum yang esensi. Kisah ini dapat menjadi cermin untuk kita semua, baik yang sudah pernah haji maupun untuk yang sedang melaksanakan haji, sehingga bisa lebih berhati-hati.

 

sumber: Republika Online