7 Hak Buruh dalam Islam

PERTAMA, Islam memposisikan pembantu sebagaimana saudara majikannya. Dari Abu Dzar radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Saudara kalian adalah budak kalian. Allah jadikan mereka dibawah kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari no. 30). Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebut pembantu sebagaimana saudara majikan agar derajat mereka setara dengan saudara.

Kedua, beliau shallallahu alaihi wa sallam melarang memberikan beban tugas kepada pembantu melebihi kemampuannya. Jikapun terpaksa itu harus dilakukan, beliau perintahkan agar sang majikan turut membantunya. Dalam hadis Abu Dzar radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian membebani mereka (budak), dan jika kalian memberikan tugas kepada mereka, bantulah mereka.” (HR. Bukhari no. 30)

Ketiga, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan para majikan untuk memberikan gaji pegawainya tepat waktu, tanpa dikurangi sedikit pun. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibn Majah dan dishahihkan al-Albani).

Keempat, Islam memberi peringatan keras kepada para majikan yang menzalimi pembantunya atau pegawainya. Dalam hadis qudsi dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam meriwayatkan, bahwa Allah berfirman: “Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442). Bisa Anda bayangkan, di saat kita sangat butuh kepada ampunan Allah, tetapi justru Allah menjadi musuhnya.

Kelima, Islam memotivasi para majikan agar meringankan beban pegawai dan pembantunya. Dari Amr bin Huwairits, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Keringanan yang kamu berikan kepada budakmu, maka itu menjadi pahala di timbangan amalmu.” (HR. Ibn Hibban dalam shahihnya dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Syuaib al-Arnauth).

Keenam, Islam memotivasi agar para majikan dan atasan bersikap tawadhu yang berwibawa dengan buruh dan pembantunya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Bukan orang yang sombong, majikan yang makan bersama budaknya, mau mengendarai himar (kendaraan kelas bawah) di pasar, mau mengikat kambing dan memerah susunya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 568, Baihaqi dalam Syuabul Iman 7839 dan dihasankan al-Albani).

Ketujuh, Islam menekan semaksiamal mungkin sikap kasar kepada bawahan. Seorang utusan Allah, yang menguasai setengah dunia ketika itu, tidak pernah main tangan dengan bawahannya. Aisyah menceritakan: “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah memukul dengan tangannya sedikit pun, tidak kepada wanita, tidak pula budak.” (HR. Muslim 2328, Abu Daud 4786). Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga pernah menjumpai salah seorang sahabat yang memukul budak lelakinya. Tepatnya ia sahabat Abu Masud Al-Anshari. Seketika itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan sahabat itu dari belakang: “Ketahuilah wahai Abu Masud, Allah lebih kuasa untuk menghukummu seperti itu, dari pada kemampuanmu untuk menghukumnya.”

Ketika Abu Masud menoleh, dia kaget karena ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Spontan beliau langsung membebaskan budaknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam memujinya: “Andai engkau tidak melakukannya, niscaya neraka akan melahapmu.” (HR. Muslim 1659, Abu Daud 5159, Tumudzi 1948 dan yang lainnya). Bukan manusia yang pemberani ketika dia hanya bisa menzalimi bawahannya. Bersikap keras kepada bawahan justru merupakan tanda bahwa dia tidak berwibawa.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2375656/7-hak-buruh-dalam-islam#sthash.5Y9v5xjQ.dpuf