Hak dan Kewajiban Pemimpin dan Rakyat yang Dipimpin (Bag. 2)

Ke lima, memberikan pembelaan dan loyalitas, membantu, dan menolong sang pemimpin, baik secara dzahir maupun batin, baik dengan ucapan dan perbuatan, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Hal itu dengan mencurahkan segala daya dan upaya dalam perkara-perkara tersebut. Lebih-lebih yang berkaitan dengan urusan menolong kaum muslimin secara umum, atau menjaga kehormatan agama, dan mencegah bahaya dari musuh-musuh kaum muslimin.

Misalnya, membantu sang pemimpin ketika terjadi bencana alam (banjir atau gempa bumi) di suatu wilayah. Dalam kondisi semacam ini, selayaknya masyarakat umum tidak berpangku tangan dan menyerahkan urusannya kepada aparat yang berwenang saja (kepolisian, TNI, BNPB, dan sejenisnya).

Oleh karena itu, rakyat yang mengetahui kewajibannya, mereka akan menolong sang pemimpin (pemerintah) atas beban berat yang dipikul oleh pemerintah berupa urusan-urusan keumatan dan memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan rakyat.

Hal ini termasuk dalam cakupan umum firman Allah Ta’ala,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah [5]: 2)

Ke enam, rakyat hendaknya mengetahui agungnya hak dan kedudukan sang pemimpin, juga mengetahui kewajibannya untuk memuliakan dan menghormati sang pemimpin. Sehingga dia berinteraksi dengan sang pemimpin sesuai dengan kewajiban yang harus dia tunaikan, berupa memberikan penghormatan dan pemuliaan kepada mereka.

Oleh karena itu, kita jumpai para ulama terdahulu, mereka memuliakan kedudukan pemimpin kaum muslimin di masa itu dan juga menyambut (memenuhi) seruan para pemimpin. Hal ini para ulama lakukan bukan dalam rangka rakus dan tamak terhadap harta dan jabatan yang mereka inginkan dari sang pemimpin. Para ulama adalah manusia yang zuhud terhadap dunia, dan bukan para penjilat penguasa.

Ke tujuh, memberikan peringatan dari musuh negara (dari dalam) yang bermaksud untuk membuat kejelekan (kekacauan) atau musuh negara (dari luar) yang dikhawatirkan akan merusak kaum muslimin. Juga memberikan peringatan secara umum atas semua hal yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan dan kejelekan. Kewajiban yang ke tujuh ini termasuk kewajiban yang paling penting dan paling ditekankan.

Ke delapan, memberitahukan (melaporkan) kepada sang pemimpin atas apa yang diperbuat oleh aparatnya, yaitu orang-orang yang diberikan tugas tertentu oleh sang pemimpin. Hal ini agar para aparat bisa melihat kepada diri mereka sendiri apakah dia benar-benar telah menunaikan tugas tersebut, juga agar para aparat tersebut bisa memberikan maslahat (kebaikan) kepada kaum muslimin secara umum.

Perbuatan semacam ini banyak dicontohkan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ، وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلاَتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ؟ ، فَسَأَلُوهُ، فَقَالَ: لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus seorang laki-laki dalam sebuah ekspedisi militer. Lantas laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (yaitu surat Al-Ikhlash) dan menutupnya juga dengan surat itu. Ketika mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat sedemikian?” Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, “Sebab surat itu adalah surat yang menggambarkan sifat Ar-Rahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.” Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah mencintainya.”” (HR. Bukhari no. 7375 dan Muslim no. 813)

Ke sembilan, menyatukan rasa cinta seluruh rakyat kepada para pemimpinnya dan senantiasa mendoakan kebaikan kepada para pemimpin. Karena dengan hal itu, akan terwujudlah kebaikan bagi masyarakat secara luas dan berbagai urusan umat pun menjadi teratur, tertata, dan tidak kacau.

Di antara perkara yang kita lupakan adalah mendoakan kebaikan para pemimpin. Mendoakan para pemimpin inilah yang merupakan jalan para ulama salaf. Sebaliknya, mencela, menghina, dan melaknat pemimpin adalah jalan yang ditempuh oleh ahlul bid’ah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. … ” (HR. Muslim no. 1855)

Imam Al-Barbahari rahimahullahu Ta’ala berkata,

وإذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى، وإذا رأيت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة

“Jika Engkau melihat seseorang yang mendoakan jelek kepada penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah). Jika Engkau melihat ada seseorang yang mendoakan kebaikan kepada penguasa, maka ketahuilah bahwa dia di atas sunnah (petunjuk Nabi).” (Syarhus Sunnah, hal. 113)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Oleh karena itu, para ulama salaf semisal Fudhail bin ‘Iyadh, Ahmad bin Hambal, dan selain keduanya, mereka mengatakan, “Seandainya kami memiliki satu doa yang dikabulkan, maka akan kami jadikan doa tersebut untuk mendoakan (kebaikan) bagi pemerintah.” (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 111)

Hal ini karena jika doa mustajab tersebut hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, maka kebaikannya hanya untuk dirinya sendiri saja. Akan tetapi, jika doa yang mustajab tersebut ditujukan kepada pemimpin, maka kebaikan itu akan meluas, baik kebaikan untuk pemimpin dan juga kebaikan untuk semua rakyat yang dipimpin.

Ke sepuluh, bersabar atas tindakan melampaui batas dan kedzaliman penguasa, tidak memberontak kepada mereka.

Termasuk di antara kewajiban rakyat biasa adalah bersabar atas kedzaliman penguasa, meskipun penguasa berbuat dzalim dengan membuat kebijakan yang lebih mementingkan diri mereka sendiri dan mengabaikan hak-hak rakyatnya. Ini di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa jadi sulit diterima oleh sebagian orang yang mengaku dirinya sebagai pejuang umat atau semacam itu.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, hendaklah dia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) terhadap penguasa (seakan-akan) sejengkal saja, maka dia akan mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.” (HR. Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849. Lafadz hadits ini milik Bukhari.)

Junadah bin Abi Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami menemui ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu ketika beliau sedang dalam kondisi sakit. Kami mengatakan, “Semoga Allah Ta’ala memperbaiki keadaanmu (menyembuhkanmu, pen.). Sampaikanlah kepada kami suatu hadits yang Engkau dengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah memberikan manfaat (pahala) kepadamu dengan sebab hadits yang Engkau sampaikan (kepada kami).”

Sahabat ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah kepada kami dan kami pun berbaiat kepada beliau. Maka Nabi mengatakan di antara poin baiat yang beliau ambil dari kami, Nabi meminta kepada kami untuk mendengar dan taat kepada penguasa, baik (perintah penguasa tersebut) kami bersemangat untuk mengerjakannya atau kami tidak suka mengerjakannya, baik (perintah penguasa tersebut) diberikan kepada kami dalam kondisi sulit (repot) atau dalam kondisi mudah (lapang), juga meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen.), dan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari pemegangnya (maksudnya, jangan memberontak, pen.). Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata (tampak terang-terangan atas semua orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran.” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

كَانَ مِنْ الْعِلْمِ وَالْعَدْلِ الْمَأْمُورِ بِهِ الصَّبْرُ عَلَى ظُلْمِ الْأَئِمَّةِ وَجَوْرِهِمْ كَمَا هُوَ مِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ

“Termasuk dalam ilmu dan keadilan yang diperintahkan (oleh syariat) adalah bersabar atas kedzaliman dan kejahatan penguasa, sebagaimana hal ini merupakan pokok aqidah ahlus sunnah wal jama’ah.” (Majmu’ Al-Fataawa, 28: 179)

Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berkata,

“(Wajibnya) konsisten dalam ketaatan kepada mereka (penguasa), meskipun mereka dzalim, adalah karena tindakan keluar (memberontak) dari ketaatan terhadap mereka akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada (kerusakan) akibat kedzaliman mereka itu sendiri. Bahkan di dalam kesabaran terhadap kedzaliman penguasa adalah penggugur atas dosa-dosa mereka (rakyat) dan pelipatgandaan pahala kebaikan. Karena Allah Ta’ala tidaklah membuat mereka (yaitu penguasa dzalim) berkuasa atas kita, kecuali karena buruknya amal-amal kita. Sedangkan balasan itu sejenis dengan amal perbuatan. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk sungguh-sungguh dalam istighfar dan taubat, serta memperbaiki amal-amal kita. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuura [42]: 30)” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 585)

Dan di antara tindakan yang tidak menunjukkan sikap sabar adalah menghina, mencela, mengumpat, dan menjelek-jelekkan penguasa (yang dianggap) dzalim. Ini adalah tindakan memberontak dengan lisan, yang bisa jadi menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada memberontak dengan pedang dan senjata. Wal ‘iyaadhu billah.

Jika rakyat yang dipimpin itu memenuhi hak-hak para pemimpin yang wajib mereka ditunaikan tersebut, dan perhatian terhadap kewajiban-kewajiban mereka terhadap para pemimpin, maka umat pun akan bersatu, terwujudlah keamanan dan kedamaian di negeri tersebut dengan karunia dari Allah Ta’ala.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Referensi:

Tanbiih Dzawil ‘Uquul As-Saliimah ila Fawaaid Mustanbathah min As-Sittatil Ushuul Al-‘Adhiimah, karya Syaikh ‘Ubaid bin ‘Abdullah bin Sulaiman Al-Jabiri hafidzahullahu Ta’ala, hal. 60-62 (cetakan ke dua tahun 1425, penerbit Maktabah Al-Furqan KSA)

Syarh Al-Ushuul As-Sittah li Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, karya Abu ‘Abdillah Naashir bin Ahmad bin ‘Ali Al-‘Adani, hal. 93-109 (cetakan pertama, tahun 1436, penerbit Maktabah Al-Imam Al-Wadi’i, Shan’a, Yaman)

Sahabat muslim, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik disini. Jazakallahu khaira

🔍 خيركم من تعلم القرآن وعلمه ArtinyaAir Zam Zam Dalam Al QuranAgama Orang Tua Nabi MuhammadTuma NinahBangsa Jin Menurut Islam

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46138-hak-dan-kewajiban-pemimpin-dan-rakyat-yang-dipimpin-bag-2.html

Hak dan Kewajiban Pemimpin dan Rakyat yang Dipimpin (Bag. 1)

Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur setiap sendi kehidupan manusia. Lebih-lebih berkaitan dengan masalah yang sangat besar, yaitu hubungan antara rakyat dengan pemimpin mereka. Islam telah mengatur, apa saja hak para pemimpin yang wajib ditunaikan oleh rakyat. Dan sebaliknya, apa saja kewajiban pemimpin yang harus ditunaikan kepada rakyat yang dipimpin

Hak pemimpin atas rakyat yang dipimpin

Hak pemimpin atas rakyat yang dia pimpin (dengan kata lain, kewajiban rakyat kepada sang pemimpin) itu di antaranya:

Pertama, rakyat memiliki kewajiban untuk mencurahkan ketaatan kepada sang pemimpin, baik dzahir maupun batin, dalam setiap yang diperintahkan atau yang dilarang oleh pemimpin, kecuali dalam hal maksiat.

Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan untuk taat kepada pemimpin, dan tidak memberikan pengecualian kecuali jika dalam hal kemaksiatan. Maka perkara (aturan) lainnya yang bukan maksiat, harus tetap ditaati.

Allah Ta’ala befirrman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini berkata,

“Akan tetapi, (ketaatan terhadap pemimpin) itu dengan syarat selama pemimpin tersebut tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Jika mereka memerintahkan hal itu (maksiat), maka tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.” (Taissir Karimir Rahmaan, hal. 183)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ

“Dengarlah dan taat, meskipun penguasa (pemimpin) kalian adalah seorang budak Habsyi (budak dari Ethiopia), yang kepalanya seperti kismis (anggur kering) (karena secara fisik, mereka berambut keriting seperti anggur kering yang mengkerut, pen.)” (HR. Bukhari no. 693)

Juga diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Mendengar dan taat (kepada pemimpin) adalah wajib bagi setiap muslim, baik (terhadap perkara) yang dia sukai maupun yang tidak dia sukai, selama dia tidak diperintahkan melakukan kemaksiatan. Adapun jika dia diperintahkan melakukan maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar dan taat (dalam perkara maksiat tersebut saja, pent.).” (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 4740)

Yang dimaksud dengan “tidak ada kewajiban mendengar dan taat” dalam hadits tersebut bukanlah tidak mendengar dan taat secara mutlak, sehingga berlepas diri dari kepemimpinan secara total dari sang penguasa. Akan tetapi, yang dimaksud adalah tidak mendengar dan taat dalam perkara maksiat itu saja. Sedangkan aturan lain yang bukan maksiat, tetap wajib ditaati. Pemahaman ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ، قَالُوا: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ؟ قَالَ: لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian.”

Mereka berkata, “Kemudian kami bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka ketika itu?”

Beliau menjawab, “Tidak, selama mereka mendirikan shalat bersama kalian, tidak selama mereka masih mendirikan shalat bersama kalian. Dan barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia melihat pemimpinnya bermaksiat kepada Allah, hendaknya dia membenci dari perbuatan (maksiat) tersebut dan janganlah dia melepas dari ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855)

Kedua, memberikan nasihat kepada sang pemimpin dengan metode dan adab yang baik. Diriwayatkan dari sahabat Tamim Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

“Agama adalah nasihat.” Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55)

Adab dalam memberikan nasihat kepada sang pemimpin ini diperjelas dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاِنِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah dia menasihati secara terang-terangan. Akan tetapi, ambillah tangannya dan menyepilah dengannya. Jika sang penguasa menerima (nasihatmu), itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3: 403, Ath-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyiin 2: 94, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096 dan yang lainnya. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Dzilaal As-Sunnah 2: 507)

Oleh karena itu, termasuk kewajiban rakyat adalah mengingatkan sang pemimpin ketika dia lalai serta memberikan petunjuk dan bimbingan ketika sang pemimpin terjatuh dalam kesalahan dan ketergelinciran, didorong oleh rasa kasih sayang dan belas kasihan kepada mereka atas beratnya pertanggungjawaban yang akan diminta dari mereka pada hari kiamat. Juga dalam rangka menjaga agama dan kehormatan sang pemimpin.

Ketiga, jihad bersama mereka, shalat di belakang mereka (karena pemimpin zaman dahulu adalah juga imam shalat), menunaikan sedekah (zakat mal) kepada mereka ketika diminta (maksudnya, ketika penguasa menarik harta zakat yang itu menjadi kewajibannya, melalui amil zakat yang ditunjuk, maka tetap ditaati), juga berhaji bersama mereka. Baik pemimpin baik adalah pemimpin yang shalih, ataupun pemimpin yang fajir, selama belum sampai derajat kekafiran. Inilah di antara pokok aqidah ahlus sunnah.

Sebagian ulama menjadikan hal ini sebagai salah satu bentuk nasihat kepada pemimpin. Al-Khaththabi rahimahullah berkata,

“Termasuk dalam nasihat kepada ulil amri adalah mencurahkan ketaatan kepada mereka dalam perkara-perkara yang ma’ruf, shalat di belakang mereka, jihad melawan orang-orang kafir bersama mereka, menunaikan zakat (sedekah) kepada mereka, tidak memberontak dengan pedang kepada mereka, ketika tampak dari mereka kesalahan dan kejelekan, mengingatkan mereka ketika mereka lalai, tidak menipu mereka dengan pujian-pujian dusta atas mereka, dan mendoakan kebaikan untuk mereka.” (A’laamul Hadiits fi Syarhi Shahih Al-Bukhari, 1: 192-193)

Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berkata,

“Siapa saja yang meninggalkan shalat Jum’at dan shalat berjamaah di belakang pemimpin yang fajir (jahat atau dzalim), maka dia adalah mubtadi’ (ahlul bid’ah) menurut jumhur (mayoritas) ulama. Yang benar adalah shalat di belakang mereka dan tidak mengulang shalat. Hal ini karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum tetap shalat Jum’at dan shalat berjamaah di belakang pemimpin yang fajir dan tidak mengulang shalat mereka. Hal ini sebagaimana ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang shalat di belakang Al-Hajjaj bin Yusuf, demikian pula Anas radhiyallahu ‘anhu.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 575)

Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam, beliau berkata,

“Sesungguhnya Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ketika di masa fitnah (khawarij), tidaklah sang ulil amri datang kecuali beliau (Ibnu ‘Umar) shalat di belakangnya, dan menunaikan zakat mal kepada mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 4: 149)

Di antara dalil dari sunnah (hadits) yang menunjukkan bolehnya shalat di belakang pemimpin yang fajir (selama mereka belum kafir) adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat di belakang pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya (shalat di luar waktu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ مَعَهُمْ فَصَلِّ، وَلَا تَقُلْ إِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ فَلَا أُصَلِّي

“Shalatlah pada waktunya. Jika Engkau menjumpai shalat bersama mereka (di luar waktu), maka shalatlah. Dan jangan katakan, “Sesungguhnya aku sudah shalat, maka aku tidak shalat (bersama kalian).” (HR. Muslim no. 648)

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa shalat lagi di belakang penguasa (di luar waktu) itu dinilai sebagai shalat sunnah. Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَلَّكُمْ سَتُدْرِكُونَ أَقْوَامًا يُصَلُّونَ الصَّلَاةَ لِغَيْرِ وَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتُمُوهُمْ فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، وَصَلُّوا مَعَهُمْ وَاجْعَلُوهَا سُبْحَةً

“Mungkin kalian akan menjumpai suatu kaum yang mengerjakan shalat tidak pada waktunya. Jika kalian mendapati mereka, maka shalatlah pada waktunya, kemudian ikutlah shalat bersama mereka dan anggaplah itu sebagai shalat sunnah.” (HR. An-Nasa’i no. 779. Dinilai hasan shahih oleh Al-Albani)

Baca Juga: Noda Hitam Demokrasi

Dan inilah yang menjadi pemahaman sahabat, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebagian riwayatnya di atas.

Keempat, tidak mengumbar, membeberkan, dan membongkar aib dan kejelekan mereka di khalayak umum.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullah berkata,

“Bukanlah termasuk manhaj salaf (perbuatan) mempopulerkan aib pemerintah, dan menyebutkan kejelekan-kejelekan pemerintah di mimbar-mimbar. Karena hal itu akan menimbulkan kudeta (pemberontakan), tidak ada lagi mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf, dan menimbulkan pemberontakan yang menimbulkan mudharat dan tidak ada manfaat. Akan tetapi, jalan yang ditempuh oleh para salaf adalah memberikan nasihat di antara mereka dan pemerintah (saja), menulis surat kepada mereka, atau melalui para ulama yang bisa menyampaikan kepada pemerintah sehingga ulama tersebut bisa menunjukkan kepada kebaikan.” (Al-Ma’luum min Waajibi Al-‘Alaaqah bainal Haakim wal Mahkuum, hal. 22)

Inilah yang diamalkan oleh sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ketika banyak orang membicarakan kepemimpinan sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Ada seseorang yang berkata kepada Usamah radhiyallahu ‘anhu,

أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ؟

“Tidakkah Engkau menemui ‘Utsman dan menasihatinya?”

Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟ وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ

“Apakah kalian anggap aku tidak menasihatinya karena kalian tidak mendengar pembicaraanku kepadanya? Demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya empat mata, tanpa menampakkannya. Aku tidak mau menjadi orang yang pertama kali membuka (pintu fitnah).” (HR. Muslim no. 2989)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

أي كلمته فيما أشرتم إليه لكن على سبيل المصلحة والأدب في السر بغير أن يكون في كلامي ما يثير فتنة أو نحوها

“Maksudnya, aku (Usamah) telah berbicara kepadanya dalam perkara yang kalian maksudkan. Akan tetapi, hal itu dalam bentuk yang baik (mendatangkan maslahat) dan adab, yaitu secara rahasia. Nasihatku itu bukanlah perkataan yang bisa menimbulkan fitnah atau semacamnya.”

Beliau rahimahullah juga berkata,

وفي الحديث تعظيم الأمراء والأدب معهم وتبليغهم ما يقول الناس فيهم ليكفوا ويأخذوا حذرهم بلطف وحسن تأدية بحيث يبلغ المقصود من غير أذية للغير

“Dan dalam hadits ini terdapat pemuliaan terhadap ulil amri dan adab terhadap mereka. Juga menyampaikan kepada ulil amri tentang apa yang yang dikatakan oleh rakyat tentang mereka, agar mereka menahan diri dan memperhatikan peringatan rakyat, dengan penyampaian yang lembut dan baik. Yaitu dalam bentuk tercapainya maksud (untuk menasihati), tanpa menyakiti pihak lain.” (Fathul Baari, 13: 65-67)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Hak dan Kewajiban Pemimpin dan Rakyat yang Dipimpin (Bag. 3)

Terdapat sepuluh hak rakyat yang wajib ditunaikan oleh pemimpin, yaitu:

Pertama, menjaga dan mempertahankan wilayah negeri kaum muslimin, yaitu dengan menyiapkan pasukan, mempersiapkan persenjataan, atau memperkuat benteng pertahanan. Sehingga bisa mempertahankan diri dari serangan orang-orang musyrik, atau untuk memerangi para pemberontak yang mengacaukan keamanan negeri kaum muslimin.

Kedua, menjaga kemurnian agama dari perkara-perkara baru (bid’ah) yang dapat merusak agama, di antaranya dengan menyebarkan ilmu syar’i (ilmu agama) yang bermanfaat. Senantiasa bersama ulama, meminta petunjuk, nasihat, dan bimbingan dari mereka, serta bermusyawarah dengan mereka. Hendaknya pemimpin kaum muslimin memperhatikan hal ini. Di antaranya dengan memudahkan dan memfasilitasi majelis-majelis ilmu agama yang dengannya akan tersebarlah ilmu syar’i yang bermanfaat ke seluruh penjuru negeri.

Ketiga, menegakkan dan menjamin terlaksananya syi’ar-syi’ar agama Islam, seperti shalat lima waktu secara berjamaah; azan dan iqamah; memberikan perhatian terhadap urusan puasa (Ramadan) dan hari raya; juga mengatur urusan haji dan umrah. Termasuk juga adalah memberikan kemudahan terhadap calon jamaah haji dari seluruh penjuru negeri, dengan memberikan kemudahan dan keamanan kepada mereka selama di perjalanan.

Keempat, memberikan keputusan hukum terkait sengketa dan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat; mencegah kezaliman dari sebagian orang-orang yang zalim. Lalu tidaklah menyerahkan urusan tersebut kecuali kepada orang-orang yang amanah, terpercaya dari sisi agamanya, yaitu para ulama.

Hal ini karena para pemimpin akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpin. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ رَاعٍ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang mereka pimpin.” (HR. Ahmad no. 5869, shahih).

Kelima, menegakkan kewajiban jihad fi sabilillah bagi dirinya dan juga pasukannya. Dengan mengutus pasukan tersebut ketika memang dibutuhkan.

Keenam, menegakkan hukuman had yang syar’i, sesuai dengan syarat dan ketentuan dari syariat. Hal ini dalam rangka menjaga kehormatan Allah Ta’ala dari orang-orang yang bersikap lancang kepada-Nya. Dan juga menjaga kehormatan rakyatnya dari perbuatan orang-orang yang berbuat zalim kepada mereka. Dalam menegakkan hukum had ini, pemimpin tidak boleh membeda-bedakan antara rakyat yang lemah (rakyat biasa) dan rakyat yang kuat (yaitu para pejabat dan orang-orang kaya).

Ketujuh, menyalurkan harta zakat dan harta jizyah kepada mereka yang berhak, juga menyalurkan harta rampasan perang sesuai dengan aturan syariat, dengan senantiasa menyerahkan atau berkonsultasi kepada para ulama terkait hal tersebut.

Kedelapan, memperhatikan urusan wakaf yang diperuntukkan untuk kebajikan dan ibadah ketaatan. Dan menyalurkannya pada kebutuhan yang sesuai. Merawat jembatan-jembatan dan juga fasilitas jalan yang membawa kebaikan bagi masyarakat.

Kesembilan, jika mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah), maka pemimpin harus memberikan perhatian dalam pembagian dan pendistribusian harta tersebut dengan memberikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syariat.

Kesepuluh, bersikap adil dalam memimpin dan juga dalam semua urusan yang berkaitan dengan kepemimpinannya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’ [4]: 58).

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl [16]: 90).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, meskipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am: 152).

Demikianlah pembahasan yang dapat kami susun berkaitan dengan masalah ini, semoga menjadi ilmu bermanfaat bagi kita semuanya.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id