Hal-hal Terlarang Dalam I’tikaf

BERIKUT ini aktivitas yang diperbolehkan selama Itikaf (diringkas dari Fiqhus Sunnah):

– Tawdi (melepas keluarga yang mengantar), sebagaimana yang nabi lakukan terhadap Shafiyyah

– Menyisir dan mencukur rambut, sebagaimana yang Aisyah lakukan terhadap nabi

– Keluar untuk memenuhi hajat manusiawi, seperti buang hajat

– Makan, minum, dan tidur ketika itikaf di masjid, atau mencuci pakaian, membersihkan najis, dan perbuatan lain yang tidak mungkin dilakukan di masjid.

Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan salat jumat bagi yang itikafnya di masjid ghairu jami, antara yang membolehkan dan yang mengatakan batal itikafnya.

Pembatal-pembatal Itikaf

Pembatal-pembatal tersebut antara lain:

– Secara sengaja keluar dari masjid tanpa ada keperluan walau sebentar

– Murtad

– Hilang akal

– Gila

– Mabuk

– Jima (hubungan badan). (Lihat semua dalam Fiqhus Sunnah, 1/481-483)

Aktivitas selama Itikaf

Hendaknya para mutakifin memanfaatkan waktunya selama itikaf untuk aktivitas ketaatan, seperti membaca Alquran, zikir dengan kalimat yang matsur, muhasabah, salat sunah mutlak, boleh saja diselingi dengan kajian ilmu.

Berbincang dengan tema yang membawa manfaat juga tidak mengapa, namun hal itu janganlah menjadi spirit utama. Tidak sedikit orang yang itikaf berjumpa kawan lama, akhirnya mereka ngobrol urusan dunianya; nanya kabar, jumlah anak, kerja di mana, dan seterusnya, atau disibukkan oleh SMS yang keluar masuk tanpa hajat yang jelas, akhirnya membuatnya lalai dari aktivitas ketaatan.

Syaikh Ibnul Utsaimin Rahimahullah mengomentari hal ini, katanya:

“Perkataannya (untuk ketaatan kepada Allah) huruf Lam di sini adalah untuk menunjukkan sebab (ilat- istilahnya lam talil), yaitu bahwa dia menetap di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah, bukan untuk memisahkan diri dari manusia, bukan pula karena ingin mengunjungi sahabat-sahabatnya, kerabatnya, lalu berbincang dengan mereka, tetapi untuk memfokuskan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.

Dengan inilah kita tahu bahwa mereka sedang itikaf di masjid. Lalu datang kepada mereka sahabat-sahabat mereka, dan ngobrol dengan tema pembicaraan yang tidak berfaidah, mereka ini datang tidak dengan ruh (spirit) untuk beritikaf, karena ruh yang ingin beritikaf, berdiamnya di masjid adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Benar, bahwa manusia boleh saja berbincang kepada sebagian anggota keluarganya tetapi tidaklah memperbanyaknya, sebagaimana yang dilakukan Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam.”

Ada pun untuk menuntut ilmu di majelis itikaf, beliau berkata:

“Tidak ragu bahwa menuntut ilmu termasuk ketaatan kepada Allah, tetapi itikaf terdapat ketaatan khusus, seperti salat, zikir, membaca Alquran, dan yang serupa itu. Tidak apa-apa mutakif menghadiri satu pelajaran atau dua dalam sehari atau malam, sebab itu tidak mempengaruhi itikafnya, tetapi jika majelis ilmu diadakan terus menerus, akan membuatnya mengkaji materinya, menghadiri berbagai majelis yang memalingkannya dari ibadah khusus, ini tidak ragu lagi membuat itikafnya berkurang, di sini saya tidak katakan menganulir itikafnya. (Lihat semua dalam Syarhul Mumti, 6/163).

Pelajaran yang bisa kita petik dari itikaf adalah:

– Menegaskan kembali posisi masjid sebagai sentral pembinaan umat

– Sesibuk apa pun seorang muslim harus menyediakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah Taala secara fokus dan totalitas

– Hidup di dunia hanya persinggahan untuk menuju keabadian akhirat. [dakwatuna]

 

 
– See more at: http://ramadhan.inilah.com/read/detail/2382352/hal-hal-terlarang-dalam-itikaf#sthash.mhz4kkAg.dpuf